Chapter 9 - Bab. 9

Alvan meletakkan tubuh Qiana pada sandaran jok mobilnya, lalu memasangkan seatbelt pada Qiana.

Alvan merapikan rambut Qiana yang menutupi wajahnya dengan menyelipkan di belakang telinga Qiana. Alvan menatap lekat wajah Qiana yang sudah terlelap.

"Kamu cantik sekali, Qiana! Ckck… betapa bodohnya Gilang yang sudah mencampakkanmu seperti ini." gumam Alvan.

Cup…

Alvan mengecup kening Qiana kemudian menyalakan mesin mobilnya.

"Maafkan aku, Qiana! Aku tidak mungkin membawamu ke rumah orang tuamu dalam keadaan seperti ini. Apa kata dunia? Dikira mereka aku yang sudah melakukannya kepadamu, jadi aku cari aman saja." Ucap Alvan pada dirinya sendiri.

Alvan membawa mobilnya menuju ke apartemen miliknya. Saat tiba di parkiran apartemen Alvan langsung membopong tubuh mungil Qiana. Alvan membawanya ke dalam unit apartemennya di lantai 11.

"Dasar Beruang Kutub! Kalau sudah tidur susah banget dibangunin!" ucap Alvan.

Alvan sampai geleng-geleng kepala saat menurunkan Qiana di atas kasur empuk ukuran besar, di dalam apartemen miliknya.

Beruntung apartemen itu memiliki dua kamar tidur yang cukup luas dan nyaman. Sebagai CEO muda yang sukses juga pewaris tahta keluarga Pratama Wijaya, Alvan memiliki segalanya. Hanya sebuah apartemen mewah Alvan mampu membelinya lebih dari satu apartemen.

Jakarta, Agustus 2020…

"Sudah sore seperti ini kenapa Alvan dan Qiana tidak memberi kabar sama sekali, kemana mereka? bikin aku khawatir saja! Haaah…" Oma Inge menghela nafasnya.

Bi Narsih terus memperhatikan Oma Inge yang sejak tadi mondar mandir seperti setrikaan. Terkadang sesekali Oma Inge melihat ponselnya dan melakukan panggilan kepada Alvan mau pun Qiana.

"Oma, makan dulu! Dari tadi Oma belum makan." seru Bi Narsih.

"Aku gak lapar, Bi Narsih! Aku lagi cemas ini menunggu Alvan dan Qiana. Kenapa mereka belum memberi kabar sama sekali, bahkan aku hubungi teleponku gak mereka angkat. Kemana sebenarnya mereka? Bikin khawatir saja!" gerutu Oma Inge.

Bi Narsih yang mendengar keluh kesah Oma Inge hanya manggut-manggut saja.

Bandung, Agustus 2020…

Plaaappp…

Mata Alvan terbuka sesaat melihat pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Hoaaammm… sudah hampir malam. Apa Qiana sudah bangun?" Alvan hendak bangkit dari atas sofa.

Kring…

Kring…

Kring…

Ponsel Alvan berbunyi, segera saja Alvan menyambar benda pipih itu. Alvan mengusap keningnya kasar saat melihat nama Oma Inge di layar ponselnya.

Alvan ragu untuk mengangkat panggilan video dari Oma Inge. Apa lagi dirinya takut Oma Inge berpikiran yang negative.

"Bagaimana ini?" gumam Alvan bimbang.

Alvan menggeser tanda hijau pada layar ponselnya, dengan ragu Alvan menyapa Oma Inge.

"Ya, Oma?" sapa Alvan pada sambungan videonya.

"Al, kamu sama Qiana dimana? Kenapa belum memberi kabar sama Oma? Apa kalian baik-baik saja? Mana Qiana? Apa dia masih bersamamu? Bagaimana dengan hasil meetingnya? Terus kalian jadi menemui kedua orang tua, Qiana?" Oma Inge memberondong Alvan dengan banyak pertanyaan.

Alvan terlihat bingung di balik layar ponselnya. Oma Inge melihat Alvan sedang bingung.

"Al, apa kamu membawa Qiana ke apartemenmu?" tanya Oma Inge.

"Emmm… I iya, Oma." Jawab Alvan gugup.

"Haaah? Kamu apakan itu, Qiana? Dia anak gadis orang, Alvan?" teriak Oma Inge.

"Omaaa… dengar dulu penjelasanku! Ini tidak seperti yang Oma pikirkan! Jadi jangan salah paham." Ucap Alvan tegas.

"Tapi kalian berdua sekarang ada di dalam apartemen, mau ngapain kalian?" tanya Oma Inge curiga.

"Oma, jangan salah paham dulu sama aku! Dengarkan dulu penjelasanku." Ucap Alvan.

Lalu Alvan menceritakan apa yang terjadi kepada Qiana saat mereka masih berada di hotel, tempat mereka bertemu klien dan meeting.

"Sekarang Qiana bagaimana?" tanya Oma Inge.

"Qiana masih tidur, Oma! Aku gak berani bangunin, Qiana." Ucap Alvan.

"Ya sudah kalian baik-baik. Kamu jangan macam-macam, Al!" pesan Oma Inge.

"Oma, apaan sih? Gak percaya banget sama cucunya sendiri!" protes Alvan.

"Bukannya gak percaya, Al! Kamu cuma berdua dengan Qiana di dalam apartemen. Oma takut aja syetan godain kamu dan Qiana supaya berbuat yang tidak-tidak. Ingat, Al! Qiana, anak orang jangan kamu apa-apain dulu dia sebelum kamu menikahinya." Ucap Oma Inge tegas.

"Ya kali Qiana anak kucing." Alvan terkekeh.

"Al… Oma serius ini!" bentak Oma Inge.

"Oma, please deh! Percaya sama aku! Kalau aku gak bakalan ngapa-ngapain, Qiana!" bibir Alvan mengerucut.

"Ya sudah, Oma percaya sama kamu! Jaga kepercayaan, Oma." ucap Oma Inge.

"Ya, Oma." Jawab Alvan datar.

Alvan dan Oma Inge sama-sama mengakhiri panggilan videonya. Alvan kembali menyimpan ponselnya di atas meja.

Ting nong…

Ting nong…

Suara bel apartemen Alvan berbunyi. Alvan bergegas membuka pintu apartemen. Seorang kurir datang mengirimkan paket pesanan Alvan.

"Pesanan atas nama Alvan Pratama Putra Wijaya?" tanya kurir.

"Ya, benar!" jawab Alvan.

Alvan menerima paket pesanannya lalu kembali menutup pintu setelah kurir itu pergi. Alvan menyimpan paket itu di atas meja.

"Qiana, kamu sudah bangun?" tanya Alvan saat melihat Qiana membuka pintu kamarnya.

Qiana berjalan dengan mengucek matanya yang terlihat bengkak. Kaki Qiana tersandung karpet saat akan berjalan menuju ke kamar mandi.

Bruuukkk…!

Tubuh Qiana terhuyung ke depan jatuh tepat mengenai dada bidang Alvan. Dengan cepat Alvan menangkap tubuh Qiana.

"Nah, ini akan sangat menarik!" batin Alvan.

"Ma… maaf!" ucap Qiana gugup.

"Kamu terlihat sangat manis, Qiana!" Alvan menatap Qiana lekat.

"Heh?" Qiana membalas tatapan Alvan.

Sekian detik kemudian Alvan mengangkat tubuh Qiana ke dalam pangkuannya. Qiana melingkarkan tangannya dileher Alvan.

Cup…

Alvan melumat bibir Qiana dengan rakus. Bibir manis Qiana sudah membuat candu bagi seorang Alvan Pratama Putra Wijaya.

"Ah! Ah! Ah!" desah Qiana.

Alvan membawa Qiana ke atas sofa dengan tidak melepaskan pagutan mereka. Qiana kian tenggelam dalam ciuman panas itu.

"Shiiittt! Kenapa selalu seperti ini?" batin Alvan.

Ya! setiap kali bersama Qiana, Alvan tidak bisa menahan dirinya. Bahkan saat pertama kali bertemu Qiana saja, Alvan sudah nekad mencium Qiana.

"Dengan Rayya aku tidak pernah seperti ini, hubungan hampir 4 tahun burungku tidak berfungsi dengan baik. Kenapa dengan Qiana seperti ada magnet? Haaah…" batin Alvan frustasi.

Alvan jadi teringat kata-kata Oma Inge saat menghubunginya beberapa saat. Alvan terpaksa melepaskan pagutannya pada Qiana.

"Qiana, aku sudah memesankan baju untukmu! Semoga ukurannya pas di tubuhmu." Alvan membantu Qiana duduk.

Alvan mengambil paket berisi pakaian dan menyerahkan kepada Qiana.

"Ganti pakaianmu! Setelah itu kita cari makan dulu." ucap Alvan.

Alvan sengaja tidak menyinggung soal keinginan Qiana untuk menemui kedua orang tuanya. Alvan tidak ingin Qiana merasa terpuruk dan sedih saat bertemu dengan kedua orang tuanya.

"Terima kasih, tapi untuk saat ini aku belum mau menemui orang tuaku. Aku tidak ingin mereka melihatku dengan keadaan seperti ini." ucap Qiana.

"Heuuhmm, baiklah! Sekarang kamu mandi dan ganti pakaian. Aku akan memesankan makanan untuk kita!" ucap Alvan yang dibalas anggukan kepala oleh Qiana.

Alvan kemudian memesan makanan secara online. Qiana selesai mandi dan berpakaian tepat saat makanan yang Alvan pesan untuk mereka sudah datang.

"Makanlah! Aku tidak tahu makanan apa yang kamu suka, tapi aku harap kamu menyukai salah satu makanan yang aku pesan untukmu!" ucap Alvan.

"Terima kasih! Aku suka semua makanan ini!" ucap Qiana tanpa menoleh.

"Benarkah?" tanya Alvan senang.

"Ya! Makanan apa pun aku suka dan akan memakannya sampai habis, kecuali…" Qiana memotong ucapannya sendiri.

"Kecuali apa?" tanya Alvan penasaran.

"Kecuali makan hati! Hehehe…" jawab Qiana polos.

Tuing…

Tuing…

Tuing…

Wkwkwkwkwkwk…

Alvan dibuat terpingkal-pingkal dengan tingkah Qiana. Ada-ada saja Qiana, walau suasana hatinya sedang buruk tapi sisi humorisnya masih tetap ada.

"Hahaha… kalau makan hati, aku juga gak mau!" balas Alvan dengan konyol.

Alvan lalu menyantap makanan yang sudah dipesannya bersama Qiana. Melihat Qiana begitu lahap makan, Alvan merasa senang. Alvan pikir Qiana sudah bisa menerima kenyataan pahit yang baru saja menimpanya.

"Perutku kenyang sekali!" ucap Qiana mengusap perutnya.

Alvan mengulum senyum melihat tingkah menggemaskan dari Qiana. Alvan kemudian mengacak pelan rambut Qiana dan mencubit pelan pipi Qiana dengan gemas.

"Oh ya, Qiana! Oma, tadi telepon aku. Oma tanya kapan kita kembali ke Jakarta." ucap Alvan.

"Biar aku hubungi Oma dulu. Aku ingin minta izin pada Oma." ucap Qiana.

Qiana segera menghubungi Oma Inge dan berbincang banyak hal mengenai hasil meetingnya bersama klien. Oma tidak menyinggung sama sekali mengenai kejadian yang Alvan ceritakan.

"Bagaimana, Oma? Apa boleh aku kembali ke Jakarta hari minggu sore? Aku ingin bertemu Abah, Ambu, dan The Qorie. Besok sabtu kantor liburkan, Oma!" pinta Qiana dengan wajah memelas.

"Melihat wajahmu yang menggemaskan seperti itu, Oma gak bisa menolak keinginanmu Qiana! Bersenang-senanglah di Bandung. Tapi biarkan Alvan tetap bersamamu, yah? Selama kamu di rumah orang tuamu, biarkan Alvan di apartemennya sendiri. Yang penting saat kamu kembali ke Jakarta, Alvan harus menemanimu." Tutur Oma Inge membuat Alvan senang.

"Aku gak apa-apa sendiri saja, Oma. Kalau Bang Alvan mau kembali ke Jakarta malam ini, biar aku ke rumah orang tuaku naik ojek online saja."

"Jangan menolak, Qiana! Ini perintah, Oma! Lagi pula Alvan juga pasti butuh hiburan, selama ini dia sibuk bekerja. Iya kan, Al?" tanya Oma Inge.

"Iya, Oma!" dengan cepat Alvan menjawab.

Hati Alvan kini berbunga-bunga saat Oma Inge memintanya menemani Qiana selama berada di bandung. Alvan tersenyum tipis nyaris tak terlihat.

"Ada bagusnya juga aku gak pakai supir pribadi. Asyeeeeek….!" batin Alvan.

Qiana kemudian mengakhiri sambungan videonya bersama Oma Inge. Sesaat Qiana termenung menatap layar ponselnya.

"Sebenarnya siapa yang mengirim pesan ini kepadaku?" gumam Qiana pelan, yang masih bisa didengar oleh Alvan.

"Kamu ingin tahu siapa nama pengirimnya?" tanya Alvan, membuat Qiana menoleh seketika.

"Siapa?" Qiana penasaran.

"Mana ponselmu!" Alvan menadahkan tangannya meminta ponsel Qiana.

Qiana langsung saja menyerahkan ponselnya kepada Alvan. Qiana melihat Alvan dengan lincahnya menekan tombol ponselnya.

"Iqbal!" seru Alvan membuat Qiana membelalakkan matanya.

"Ap… apa? Iqbal? Tapi kenapa Iqbal? Dia itu sahabat Gilang!" ucap Qiana tak percaya.

"Apa mungkin Iqbal memang sengaja memberitahumu karena dia merasa kasihan padamu? Atau mungkin saja dia memang menyukaimu dan menginginkan kalian berdua putus!" ucap Alvan membuat Qiana berpikir.

"Apa kamu bisa membantuku?" tanya Qiana.

"Membantu apa?" Alvan balik bertanya.

"Sebelumnya kamu menyelidiki Gilang, bukan? Sekarang bisakah kamu menyelidiki Iqbal juga!" pinta Qiana.

"Heuhmmm, baiklah! Kita akan menyelidiki Iqbal bersama-sama." Jawab Alvan.

Alvan segera mengambil laptopnya. Dengan cekatan Alvan membuka laptop dan menekan tombol dengan lincah.

Alvan mencari profil Iqbal dan di sana Alvan menemukan informasi mengenai Iqbal dengan berbekal nomor ponsel Iqbal yang Qiana berikan.

"Ini dia!" pekik Alvan girang.

Qiana menatap layar laptop Alvan dengan seksama. Wajahnya sangat serius melihat profil Iqbal.

"Aku ingin tahu kapan Iqbal akan keluar, aku ingin mengikutinya! Aku jadi curiga sama dia!" ucap Qiana.

"Kamu tenang saja! Aku bisa melakukannya untukmu!" sahut Alvan.

Dengan cepat Alvan meretas ponsel Iqbal dan menemukan beberapa chat dengan Gilang. Alvan lalu menunjukkannya kepada Qiana.

"Jadi besok malam kalian berdua akan bertemu?" smirk di wajah Qiana membuat Alvan tersenyum tipis.

"Qiana kalau seperti itu terlihat semakin seksi! Ishhh… Alvan! Kamu mikir apa sih? Kenapa akhir-akhirn ini kamu terobsesi dengan Qiana? Bukannya kamu benci dengan Qiana? Tapi saat ini Qiana sedang sedih dan dia membutuhkan bantuanku! Ayolah, Alvan!!!" batin Alvan bergejolak.

Tring…

Tring…

Tring…

Ponsel Qiana berbunyi, kali ini Aurel sahabatnya yang menghubungi Qiana.

"Qiana, kamu dimana? Kenapa belum pulang?" tanya Aurel di balik sambungan teleponnya.

"Maafkan aku, Le! Aku masih di Bandung sekarang!" jawab Qiana.

"Kenapa? Ada masalah?" tanya Aurel terdengar khawatir.

"Ya! Aku bertemu dengan Gilang dan Salsa." Balas Aurel.

"Apa Gilang salah paham padamu karena kamu datang dengan Bang Alvan, Qiana?" tanya Aurel.

Qiana sekilas melirik kepada Alvan karena merasa bersalah dengan pertanyaan Aurel.

"Tidak sama sekali! Aku sudah putus dengan Gilang…"tutur Qiana.

"Apa? Kamu putus dengan Gilang? Tapi kenapa, Qiana?" tanya Aurel.

"Tadi siang, saat aku di hotel aku mendapatkan pesan dari nomor tak dikenal. Pesan itu berisi foto Gilang bersama seorang wanita di dalam hotel. Aku meminta bantuan Bang Alvan menyelidikinya. Saat aku masuk ke dalam kamar hotel, aku melihat Gilang dan Salsa sedang berada di atas tempat tidur…" ucap Qiana sedih.

"Salsa selingkuh dengan Gilang!" Aurel terkejut.

"Heuhmmm…" balas Qiana.

"Jika Gilang bisa berselingkuh. Dia tidak pantas untukmu, Qiana!" sahut Aurel.

"Ya!" balas Qiana.

"Kamu akan menemukan seseorang yang sejuta kali lebih baik dari Gilang." Ucap Aurel.

"Itu sebabnya aku putus dengan Gilang." Tutur Qiana.

Setelah bercerita banyak hal Aurel dan Qiana sama-sama mengakhiri panggilan telepon masing-masing.

Alvan menatap Qiana lekat. Alvan merasa kagum dengan ketegaran Qiana. Alvan tahu betul bagaiman sakitnya dikhianati, sebab Alvan pernah merasakan saat dirinya diputuskan Rayya setelah itu Alvan tahu jika Rayya juga berselingkuh di belakangnya.

Apa yang dulu Rayya lakukan padanya, sama persis dengan yang Gilang lakukan sekarang pada Qiana. Tidak hanya berselingkuh tapi juga sudah melakukan hal yang sangat menjijikkan.

"Sekarang apa rencanamu selanjutnya?" tanya Alvan.

"Izinkan malam ini aku tidur di sini! Aku akan menyusun rencana untuk besok malam. Aku harus membuktikan kalau Gilang dan Iqbal sama-sama bajingan! Yang tidak pantas aku cintai." Ucap Qiana.

Alvan tersenyum tipis melihat api kebencian menyala di mata Qiana. Gadis yang sangat cerdas, tapi bisa mengendalikan emosi dengan tidak langsung berbuat sesuatu tanpa memikirkannya terlebih dahulu.