Alvan yang sedari tadi fokus menyetir mobilnya, jadi ikut mendengarkan cerita Qiana mengenai hubungan asmaranya dengan seorang laki-laki bernama Gilang. Sesekali Alvan juga mencuri pandang pada Qiana, melalui kaca spion.
"Kenapa kamu masih bertahan dengan Gilang? Kayak yang gak ada cowok lain aja di dunia ini, masih banyak yang nganggur Qiana!" Oma mendelik pada sang cucu, saat tahu Alvan terus mencuri pandang pada Qiana.
"Qiana bukan gak mau, Oma. Tapi Qiana takut…" jawab Qiana jujur.
"Takut kenapa?" Oma Inge mengercitkan dahinya.
"Takut gak laku, Oma… hahaha." Ledek Alvan.
"Ish, sok tahu!" Qiana mencebikkan bibirnya sementara Alvan jadi terkekeh.
"Kamu juga gak laku, Al!" celetuk Oma Inge membuat tawa Alvan seketika terhenti.
"Rasain…!" umpat Qiana kesal.
Suasana hening seketika, Alvan yang sejak tadi mencuri pandang pada Qiana kini hanya fokus melihat jalan. Alvan tidak ingin mendapat tatapan tajam lagi dari sang Oma, dan membuat Qiana terus mendapatkan pembelaan dari sang Oma.
"Al, kita mampir dulu ke apartemen temannya Qiana." Perintah Oma Inge.
"Mau ngapain, Oma?" tanya Alvan dengan tatapan sinis pada Qiana melalui kaca spion.
"Gak usah banyak nanya, cepat ikuti saja!" bentak Oma Inge membuat Alvan semakin kesal.
"Lho bukannya sekarang kita ada acara di kantor, Oma?" tanya Qiana menatap lekat Oma Inge.
"Ya, tapi sebelumnya Oma ingin kamu bawa baju buat kita makan malam nanti. Setelah acara di kantor, kamu bisa langsung ikut Oma pulang. Biar gak bulak balik, nanti kamu malah cape." Usul Oma Inge.
"Ya, Oma." Jawab Qiana manut pada Oma Inge.
Qiana dan Oma Inge sudah sampai di depan apartemen Aurel. Alvan menunggu di dalam mobil sementara Qiana dan Oma Inge pergi ke apartemen Aurel.
Saat sudah berada di dalam apartemen Qiana, Oma Inge menghubungi Alvan agar segera menyusul ke apartemen.
Tanpa membantah Alvan segera turun dari mobilnya menuju ke apartemen temannya Qiana. Saat Alvan sedang berjalan menuju ke apartemen seseorang memanggil Alvan dengan suara yang khas.
"Alvan…!" suara yang masih sangat Alvan kenali.
"Ra… Rayya?" Alvan menoleh.
"Kamu sedang apa di sini, Al? Apa kamu sendiri di sini?" tanya Rayya
"Aku sedang mengantar Oma." Jawab Alvan datar.
"Kamu apa kabar, Al?" tanya Rayya tersenyum ramah.
"Aku sedang terburu-buru, Oma sudah menungguku!" Alvan hendak pergi namun Rayya menahannya.
"Al, bisakah kita bicara sebentar saja?" pinta Rayya.
"Maaf, aku tidak bisa!" Alvan menepis tangan Rayya lalu pergi.
Rayya menatap punggung Alvan hingga menghilang di balik tembok dengan perasaan kecewa. Setelah lima tahun berpisah dari Rayya, Alvan semakin terlihat tampan dan lebih dewasa.
Namun sikap Alvan yang dulu sangat manis dan murah senyum kini berubah menjadi dingin dan datar. Bahkan banyak wanita yang berusaha meluluhkan hati Alvan namun tidak ada yang berhasil menaklukkannya.
"Kenapa lama sekali, Al? Apa kamu jalannya ngesot? Kok kayak siput sih lama amat!" seloroh sang Oma membuat Qiana terkekeh sementara Alvan jadi mencebikkan bibirnya.
Alvan tidak menjawab sebab tidak ingin mengatakan kepada sang Oma jika dirinya sudah bertemu dengan Rayya di tempat parkir.
Alvan tidak ingin sang Oma marah kepadanya lantaran mengira kalau dirinya belum bisa move on dari Rayya dan masih menyimpan rasa kepada Rayya.
"Malah bengong! Nih angkat tas punya Qiana!" perintah sang Oma.
"Haiiih… Oma apa-apaan sih? Ketimbang cuma ngangkat tas begini doang harus aku yang bawa! Keenakan Qiana kalau begini!" batin Alvan mendelik kesal kepada Qiana.
"Kalau gak ikhlas gak usah! Aku juga masih bisa kok bawa tas aku sendiri!" sindir Qiana membuat Alvan segera menarik tas punggung di tangan Qiana.
"Hadeeeuuuh… ini Tom and Jerry, ada aja cerita yang bikin kalian ribut!" sesal Oma Inge membuat Alvan dan Qiana sama-sama terdiam.
Oma Inge dan Qiana berjalan beriringan di lantai gedung apartemen, sementara Alvan mengekor di belakang.
Melihat kedekatan sang Oma dan Qiana membuat Alvan semakin muak dengan keberadaan Qiana diantara dirinya dan sang Oma.
"Omaaa…! Apa kabar?" sapa Rayya.
"Rayya…?" mata Oma Inge membulat sempurna melihat Rayya.
"Ini siapa, Oma?" tunjuk Rayya kepada Qiana yang sedari tadi bergandengan tangan dengan Oma Inge.
"Ini Qiana tunangannya Alvan." celetuk Oma Inge membuat Alvan dan Qiana terkejut.
"Ish… Oma! Apa-apaan sih?" batin Qiana dan Alvan serempak.
"Tu… tunangannya, Al?" ucap Rayya dengan raut wajah tak suka menatap Qiana.
"Iya, Qiana dan Alvan sudah tunangan. Sebentar lagi mereka akan segera menikah." ucap Oma Inge bangga.
"Benarkan sayang?" Oma Inge melirik sekilas kepada Qiana yang hanya dibalas dengan senyum kaku oleh Qiana.
Sementara Alvan jadi tersenyum miring menanggapi ucapan sang Oma. Melihat Rayya mengangkat kedua alisnya seperti hendak bertanya Alvan segera menggandeng tangan Qiana dengan erat.
"Sayang, Oma ayo kita pulang!" Alvan melepaskan genggaman tangan pada Qiana kini justru merangkul bahu Qiana.
"Kamu benar, Al! Malam ini kita akan membahasa soal pernikahan kalian, bukan?" jawab Oma Inge asal, sementara Qiana hanya tersenyum kaku.
"Rayya, aku dan calon istriku juga Oma pamit dulu yah!" Alvan meremas kuat bahu Qiana sementara tangan yang disembunyikan di dalam saku celananya.
Melihat sikap Alvan dan Oma Inge terhadap Qiana membuat Rayya geram. Tanpa sadar Rayya mengepalkan kedua tangannya.
"Sial! Padahal aku jauh-jauh datang ke Jakarta hanya demi kamu, Al! Tapi lihat apa yang kamu lakukan? Bisa-bisanya kamu tunangan dan mau menikah dengan gadis sialan itu! Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Aku harus bisa membuat Alvan memutuskan hubungannya dengan gadis sialan itu sebelum mereka menikah nantinya. Aaarrrggghhh…! Sesal Rayya penuh emosi.
Alvan segera membuka pintu mobil dengan perasaan dongkol Alvan melempar tas punggung milik Qiana ke dalam mobilnya.
"Shiiittt! Kenapa harus ketemu dengan dia lagi?" Alvan menghemapskan tubuhnya di depan kemudi.
"Kamu kenapa, Al? Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu?" tanya sang Oma.
"Tidak apa-apa, Oma." Jawab Alvan semakin kesal.
" Apa itu karena Rayya?" sindir sang Oma.
Alvan diam tak menjawab. Kali ini bukan hanya kesal dengan pertemuannya bersama Rayya. Tapi Alvan juga kesal karena sang Oma seenaknya saja mengenalkan Qiana sebagai tunangan sekaligus calon istrinya kepada Rayya.
"Oma, tadi itu siapa?" tanya Qiana setengah berbisik karena takut Alvan mendengarnya dan marah kepadanya.
"Oh perempuan yang tadi di apartemen maksud kamu, Qi?" Oma Inge seperti sengaja mengeraskan suaranya.
Qiana jadi tegang saat Alvan menatapnya tajam di balik kaca spion. Qiana menggigit bibir bawahnya saat bersitatap dengan Alvan.
"Qiana imut juga kalau begitu! Wajahnya menggemaskan sekali!" batin Alvan.
"Rayya itu mantan pacarnya Alvan. Dulu saat Alvan kuliah di Belanda mereka sempat pacaran. Tapi selama pacaran sama Alvan diam-diam Rayya selingkuh dengan laki-laki lain di belakang Alvan. Setelah itu Rayya juga memutuskan Alvan karena laki-laki lain." tutur Oma Inge membuat Qiana mengerti kenapa kini Oma Inge sengaja mengarang cerita soal hubungannya dan Alvan.
"Tapi… kenapa Oma malah mengenalkan aku sebagai tunangan cucu Oma? Bagaimana nanti kalau sampai dia menganggu aku, Oma? Apa lagi dia juga sepertinya tinggal di apartemen ini." ucap Qiana cemas.
"Maafkan Oma, Qiana. Saat bertemu Rayya tadi Oma benar-benar marah makanya spontan Oma mengatakan kalau kalian sudah tunangan dan akan segera menikah." jawab Oma Inge terkekeh.
"Oma ada-ada aja sih!" protes Alvan.
"Udah gak usah protes sih! Lagian kalau kalian tunangan dan benar-benar menikah, Oma juga gak keberatan kok! Biar kalian bisa lebih akur lagi!" celetuk Oma Inge.
"Omaaa…!" sahut Qiana dan Alvan nyaris bersamaan.
"Iya maaf Tom and Jerry, hehehe…" Oma Inge terkekeh senang sementara Alvan dan Qiana mencebikkan bibirnya kesal.
Dua puluh lima menit kemudian Alvan, Oma Inge, dan Qiana sudah sampai di rumah mewah keluarga Pratama Wijaya. Rumah bak istana mewah itu terdiri dari empat lantai dengan pagar yang tinggi.
Seorang satpam datang menyambut tuan Rumah membukakan gerbang yang tinggi. Senyum mengembang pada seorang satpam bernama Yunus.
"Ayo masuk, Qi!" ajak Oma Inge menarik tangan Qiana bersamanya.
"Iya, Oma." Qiana menyeret langkah kakinya memasuki rumah mewah Oma Inge.
Ini kali ketiga Qiana masuk ke dalam rumah mewah bak istana milik Oma Inge. Saat itu Qiana tidak pernah tahu kalau Oma Inge tinggal berdua dengan Alvan sang cucu.
Sebab yang Qiana tahu Oma Inge tinggal di rumahnya seorang diri sementara sang cucu berada di Belanda tengah kuliah.
"Narsih! Bawa minum buat Qiana!" teriak Oma Inge memanggil asisten sekaligus pengasuh Alvan.
"Oalaaah ada neng Qiana toh? Tunggu yah Bi Narsih bawa minum dulu buat neng Qiana." Bi Narsih segera pergi ke dapur.
Bi Narsih adalah asisten rumah tangga di rumah Oma Inge. Dulu saat pertama kali Oma Inge menikah dengan Erlangga Pratama Wijaya, Oma Inge baru datang ke Indonesia.
Bi Narsih adalah kerabat dari keluarga Erlangga yang sama-sama berasal dari kota Padang. Bi Narsih ikut Erlangga karena tidak ingin sakit hati melihat suaminya yang sudah berselingkuh dan mempunyai anak dari wanita selingkuhannya itu.
Setelah resmi bercerai dari suaminya Bi Narsih memutuskan untuk ikut Erlangga bekerja di Jakarta sebagai asisten rumah tangga. Sejak saat itu Bi Narsih menjadi teman sekaligus pemandu wisata bagi istri Erlangga yaitu Nyonya Ingerda Sophia Willemina Wijaya.
"Al, tolong kamu simpan tas Qiana di kamar sebelah kamar kamu yah!" perintah sang Oma.
"Hemmm… Baiklah!" jawab Alvan dengan malas.
"Oma, biarkan aku ganti baju di kamar Bi Narsih saja!" tolak Qiana dengan halus.
"Jangan melawan ini perintah Oma, Qiana!" Oma Inge menatap Qiana dengan tajam.
Qiana hanya membalasnya dengan tersenyum kaku. Beruntung Bi Narsih segera datang membawakan minuman serta cemilan membuat Qiana dapat bernafas dengan lega.
"Hufffttt…" Qiana membasuh keringat di dahinya.
"Kenapa?" tanya Oma Inge yang tahu Qiana tengah gugup saat ini.
"Ti… tidak apa-apa, Oma." Qiana nyengir kuda.
Terlihat Alvan menuruni anak tangga dengan wajah tidak ramah kepada Qiana. Baru saja Qiana diminta menginap satu malam di rumah Oma Inge sudah membuat Alvan tidak senang kepada Qiana.
"Jangan harap kamu bisa merebut Oma dariku, Qiana!" batin Alvan dengan rahang yang semakin mengeras.
Alvan bergegas pergi ke dapur dan membawa minumnya sendiri. Tidak ingin melihat kedekatan sang Oma dan Qiana, Alvan berniat pergi untu kembali ke kantornya.
"Oma, aku pergi dulu!" ucap Alvan tanpa menoleh kepada sang Oma.
"Kamu mau kemana lagi, Al?" tanya Oma Inge.
"Aku ada urusan di kantor!" seru Alvan.
"Tunggu, Al! Biarkan Qiana ikut bareng kamu yah! Oma sebentar lagi ada meeting dengan klien, tapi mendadak gak enak badan. Kalau bisa tolong kamu pergi saja bersama Qiana untuk menggantikan Oma..." Ucap Oma Inge.
"Tapi, Oma…!" potong Alvan.
"Tolonglah sekali ini saja, Al!" ucap Oma Inge lirih.
"Oma, wajah Oma pucat sekali? Apa sebaiknya kita membatalkan saja meeting hari ini? Aku antar Oma ke dokter yah?" usul Qiana.
Alvan yang mendengar itu seketika menoleh pada sang Oma. Melihat wajah pucat sang Oma, Alvan segera mendekat dan menyentuh kening sang Oma dengan punggung tangannya.
"Oma demam! Sebaiknya kita bawa Oma ke dokter sekarang, Qiana!" sahut Alvan.
"Jangan, Al!" tolak Oma Inge.
"Kenapa, Oma?" tanya Alvan dan Qiana serempak.
"Oma hanya butuh istirahat saja saat ini. Sebaiknya kamu dan Qiana segera pergi meeting dengan klien dari luar negeri. Tidak baik membiarkan mereka menunggu lebih lama lagi." Perintah Oma Inge kepada Alvan dan Qiana.
"Tapi, Oma…" balas Qiana ragu.
"Jangan bantah, Oma! Ini perintah, Qiana, Alvan! Di sini ada Narsih yang bisa mengurus, Oma. Meeting ini lebih penting buat perusahaan kita. Pergilah!" pinta Oma Inge dengan tegas.
"Bi Narsih…!" teriak Alvan.
Bi Narsih yang sedang memasak di dapur segera berlari menghampiri Alvan yang tengah memanggilnya.
"Ya, Bang Al?" tanya Bi Narsih.
"Aku dan Qiana ada meeting penting! Tolong jaga Oma selama aku pergi! Oma sakit, badannya demam." Ucap Alvan.
Alvan kemudian mengajak sang Oma agar beristirahat di dalam kamarnya. Sementara itu Qiana melakukan panggilan di telepon dengan dokter keluarga Pratama Wijaya.
Setelah memastikan sang Oma istirahat di dalam kamarnya, Alvan dan Qiana pamit pergi meeting. Tak lama dokter keluarga datang untuk memeriksa Oma Inge.
"Aku sudah menghubungi Dokter Levi, beliau sebentar lagi akan segera datang untuk memeriksa Oma." Ucap Qiana saat sudah berada di dalam mobil bersama Alvan.
"Heuhhh…" balas Alvan mengangkat dagunya.
"Heuhhh? Haaahhh? Apa sih maksudnya?" batin Qiana.
Dua puluh menit kemudian Alvan dan Qiana sampai di sebuah restoran mewah. Tempat yang sudah Oma Inge booking untuk meeting dengan klien sudah disiapkan oleh pihak manajer restoran. Alvan dan Qiana segera masuk menuju tempat yang telah dipesan yaitu privat room.
"Hufffttt… untung mereka belum datang! Jadinya kita tidak terlambat." Gumam Alvan yang masih bisa di dengar oleh Alvan.
Alvan dan Qiana sudah berada di dalam privat room. Suasana tegang dapat Qiana rasakan saat berhadapan dengan Alvan dan hanya mereka berdua di dalam ruangan itu.
Tak berapa lama pintu ruangan terbuka seorang pria bule datang bersama beberapa asistennya. Alvan mempersilakan kliennya itu masuk dan bergabung dengan dirinya dan Qiana.
Setelah selesai menanda tangani kontrak kerja sama dan makan siang. Pria bule dan asistennya pamit pulang. Sementara Qiana dan Alvan masih sibuk membereskan berkas.
"Aku izin ke toilet sebentar." Ucap Qiana gugup.
"Mmmmm…" balas Alvan.
Qiana tidak peduli dengan sikap Alvan yang sinis bahkan dingin kepadanya. Yang Qiana tahu dia hanya menjalankan tugasnya sebagai asisten dari nyonya Ingerda Sophia Willemina Wijaya.