Chapter 7 - Bab. 7

Cup…

Qiana membuat bibir Alvan mendarat sempurna di bibirnya. Dengan sekali kecupan saja dada Alvan dan Qiana kembali berdebar kencang.

"Hoiiiyyy…" Qiana mendorong tubuh Alvan hingga Alvan tersungkur di samping Qiana.

"Masih kurang tadi saat di restoran, hah?" Alvan menaikkan sebelah alisnya.

"Ishhh, dasar mesum! Sana pergi!" Qiana lalu bangkit dan beralih ke atas sofa.

Melihat Alvan menyeka bibirnya dengan punggung tangannya membuat Qiana tertunduk malu. Alvan melihat tingkah Qiana yang menggemaskan membuatnya ingin menjahili Qiana lagi.

"Belum lupa dengan kejadian di restoran tadi, kan?" Alvan menaik turunkan alisnya menggoda Qiana.

"Pergi!" teriak Qiana.

"Kalau mau lagi nanti tinggal bilang saja!" ledek Alvan membuat Qiana semakin kesal.

Qiana yang geram segera berdiri dan mengepalkan kedua tangannya ke atas, membuat Alvan jadi terkekeh lalu pergi dari kamar meninggalkan Qiana sendirian.

"Maafkan aku, Gilang!" desah Qiana dengan nafas naik turun.

Sementara Alvan segera turun menemui sang Oma di bawah. Saat melihat Alvan hanya seorang diri Oma Inge mengerutkan dahinya.

"Qiana mana?" tanya Oma Inge.

"Baru selesai mandi katanya." Jawab Alvan asal.

"Kamu niat manggil Qiana gak sih?" tanya Oma Inge.

"Iya, Oma! Aku udah panggil Qiana barusan." Balas Alvan tegas.

"Aneh!?" ucap Oma Inge.

"Eh? Kenapa Oma?" tanya Alvan.

"Kamu habis manggil Qiana darimana? Kenapa sampai berkeringat seperti itu?" tanya Oma Inge membuat Alvan jadi gugup.

Glek…

Alvan menelan ludahnya sendiri yang terasa tercekat di tenggorokan. Qiana yang baru datang menatap Alvan dengan tatapan penuh tanya.

"Qiana, sini duduk!" ajak Oma Inge saat melihat Qiana.

"Hufffttt… syukurlah!" Alvan mengelus dadanya yang sudah berdebar.

"Ada apa, Oma?" tanya Qiana yang sudah duduk di samping Oma Inge.

"Al, Qiana, kalian besok pagi harus ke Bandung untuk mewakili Oma meeting dengan klien. Tadinya Oma mau pergi sama Qiana berdua, tapi badan Oma masih kurang sehat. Papi kamu juga besok pagi harus pergi ke Lampung. Jadi kalian berdua yang bisa menggantikan Oma." Ungkap Oma Inge.

Alvan dan Qiana hanya saling tatap dalam diam. Bagi Qiana sendiri itu tentu sangat menguntungkan, dia bisa meluangkan waktu sedikit untuk bertemu dengan kedua orang tuanya dan kakak kandungnya selepas meeting selesai.

"Baik, Oma." Qiana segera menyahut.

""Kenapa harus aku, Oma? Inikan urusan perusahaan Oma? Bukan perusahaan aku?" tanya Alvan dengan konyol.

Pletaaakkk…

Oma Inge menyentil kening Alvan dengan keras hingga membuat Alvan meringis kesakitan.

"Awww… sakit, Omaaa!!!" Alvan mengusap keningnya.

"Setelah Oma mati nanti, dan papi kamu pensiun kamu yang akan jadi satu-satunya pewaris tunggal seluruh asset milik Opa. Kalau kamu gak mau pergi ke Bandung besok dengan Qiana, Oma bisa pergi dengan keadaan sakit. Tapi kalau sampai Oma mati di Bandung, Oma minta Qiana urus kuburan Oma di Bandung biar kamu gak usah ngurus Oma lagi." Sungut Oma Inge dengan kesal.

"Omaaa…, jangan ngomong gitu dong! Iya besok aku pergi ke Bandung, tapi Oma janji sama aku kalau Oma harus istirahat selama aku berada di Bandung. Janji ya, Oma?" Alvan memeluk sang Oma penuh kasih.

Sementara Oma Inge jadi tersenyum penuh kemenangan di balik punggungnya. Qiana melihat kedekatan Oma Inge dengan Alvan membuatnya jadi ikut senang dan tersenyum tipis.

Trang…

Tring…

Trang…

Tring…

Suara sendok dan piring saling beradu. Saat ini Qiana sedang makan malam bersama di rumah Oma Inge. Ada Papi Billy, Tante Erlin, Zoya, dan tentu saja Alvan.

Tidak ada pembicaraan saat mereka sedang makan malam. Selesai makan malam bersama mereka melanjutkan berbincang di ruang keluarga.

"Qiana, apa kamu tidak lanjut kuliah sampai S3?" tanya Papi Billy saat berkumpul di ruang tamu.

"Inginnya lanjut, Pi! Tapi nunggu beasiswa lagi biar gak terlalu berat biayanya." Sahut Qiana.

"Memang kamu mau kuliah dimana kalau dapat beasiswa lagi, Qi?" tanya Zoya.

"Kayaknya aku mau pilih di Belanda lagi deh, Zo!" jawab Qiana.

"Apa? Qiana lulusan S2 dari Belanda?" batin Alvan tiba-tiba merasa bangga pada Qiana.

Alvan terpesona menatap Qiana. Alvan tidak pernah menyangka jika gadis polos dan lugu seperti Qiana ternyata lulusan S2.

Awalnya Alvan hanya mengira kalau Qiana adalah gadis beruntung yang bekerja di perusahaan milik sang Oma.

Tapi nyatanya Qiana adalah lulusan S2 dengan beasiswa serta mendapat kesempatan belajar di Belanda. Diam-diam Alvan jadi kagum kepada Qiana.

"Pantas setiap kali meeting, Oma selalu percaya pada Qiana. Rupanya Qiana benar-benar gadis yang berkualitas." Puji Alvan di dalam hati.

"Oma, apa aku bisa kembali ke apartemen sekarang saja?" Ucap Qiana.

"Kenapa? Bukannya kamu malam ini mau tidur di sini, Qiana?" tanya Oma Inge.

"Aku gak bawa baju ganti buat pergi besok, Oma." Ucap Qiana beralasan.

"Begini saja, biar Alvan yang mengantarmu ke apartemen buat bawa baju ganti setelah itu kamu kembali lagi dan malam ini tidur di sini biar pergi ke Bandung langsung dari sini tidak perlu ke kantor dulu, apa lagi ke apartemen." Usul Oma Inge.

Sebenarnya Qiana keberatan kalau harus tidur di rumah Oma Inge. Apa lagi ada Alvan sekarang, Qiana takut jadi omongan tetangga.

Qiana juga gak mau pergi kemana-mana diantar oleh Alvan. Qiana sangat menghormati hubungannya dengan Gilang. Meski jarak yang memisahkan mereka, namun Qiana tetap menjaga kesetiaannya bersama Gilang.

"Kenapa bengong? Sudah sana pergi sekarang! Biar gak terlalu malam. Besok kalian berdua harus pergi pagi-pagi sekali agar tidak terlambat sampai di Bandung. Jadi malam ini harus tidur lebih awal. Satu lagi! Kalau kamu mau bertemu kedua orang tuamu, lakukan itu setelah meeting, oke?" perintah Oma Inge.

"Iya, Oma!" ucap Qiana patuh.

Kali ini dengan sangat terpaksa Qiana menuruti perintah Oma Inge. Mau tak mau Qiana menginap di rumah Oma Inge saat Alvan ada.

Biasanya Qiana tidak pernah keberatan jika Oma Inge memintanya menginap di rumahnya. Karena Qiana tahu Oma Inge hanya tinggal berdua dengan Bi Narsih.

Tapi kali ini ada Alvan juga di rumah Oma Inge, yang membuat Qiana merasa kurang nyaman. Suka tidak suka Qiana terpaksa melakukannya.

"Aku tunggu di sini! Jangan pake lama!" ucap Alvan.

"Heuuuhhh…" jawab Qiana sinis.

Saat Qiana melangkahkan kakinya menjauhi Alvan yang sedang berdiri di samping mobilnya. Alvan melihat Rayya sedang berjalan ke arah Qiana seorang diri.

"Kalau Rayya melihat Qiana jalan sendirian, sementara dia melihat aku di sini bisa bahaya!" gumam Alvan.

Alvan segera berlari menyusul Qiana, tepat saat Rayya mencekal tangan Qiana.

"Sayang!" panggil Alvan.

Qiana dan Rayya sama-sama menoleh kepada Alvan. Dada Qiana berdebar kencang saat mendengar kata 'sayang' dari bibir Alvan untuk kedua kalinya.

"Alvan, kamu di sini?" tanya Rayya saat melihat Alvan datang bersama Qiana.

Alvan segera melingkarkan tangannya di pinggang ramping Qiana. Melihat hal itu wajah Rayya seketika merah padam menahan emosi.

"Maaf kami terburu-buru." Ujar Qiana.

"Ayo, sayang!" Alvan menarik Qiana.

Rayya mengepalkan kedua tangannya melihat sikap manis Alvan kepada Qiana. Sungguh Rayya menyesal telah meninggalkan Alvan dulu.

Kini Alvan jauh lebih tampan, lebih dewasa dan tentunya lebih mapan dari yang Rayya kira. Dulu Rayya memilih laki-laki lain dan meninggalkan Alvan demi uang.

Siapa sangka kini Alvan jauh lebih mapan dari kekasih Rayya saat ini. Rayya tahu jika Alvan adalah seorang CEO muda dari perusahaan yang dia bangun sendiri bersama para sahabatnya.

"Keterlaluan, Alvan! Dulu saat bersamaku dia tidak memanggilku sayang, kenapa dengan Qiana dia memanggilnya sayang?" Rayya semakin emosi tingkat Dewa.

Saat berada di dalam lift Alvan baru melepas tangannya di pinggang Qiana. Membuat Qiana sedikit mundur dan menjauh dari Alvan.

"Jangan takut! Aku tidak akan menciummu lagi!" goda Alvan membuat Qiana memalingkan wajahnya.

Alvan sengaja mengingatkan kejadian yang sudah mereka lalui bersama. Hal itu membuat Qiana tak suka lantaran merasa sangat bersalah kepada Gilang.

"Sampai kapan kita mau bersandiwara seperti ini di depan mantan pacarmu? Aku gak mau ada masalah dengan pacarku. Jangan sampai dia berpikir yang bukan-bukan tentang aku." Ucap Qiana dengan mata berkaca-kaca.

"Kita bicarakan ini nanti dengan, Oma. Sebab Oma yang harus bertanggung jawab di sini, bukan aku!" kilah Alvan.

Qiana menyeka air matanya yang sudah mulai jatuh berguguran di wajahnya yang cantik. Alvan mendekat karena ingin membantu menyeka air mata Qiana, disaat yang bersamaan pintu lift terbuka.

Qiana segera keluar dari dalam lift dengan diikuti oleh Alan dari belakang. Saat tidak ada Rayya, Alvan dan Qiana berjalan masing-masing begitu ada Rayya mereka berjalan bergandengan tangan seolah memang pasangan kekasih.

"Qiana…?" sapa Aurel saat membuka pintu apartemennya.

"Aku mau bawa baju buat besok meeting ke Bandung. Malam ini kamu tidur sendiri gak apa-apa kan?" tanya Qiana yang tahu kalau Aurel adalah penakut.

"Gak apa-apa, Qi. Kamu datang sama siapa?" Aurel celingak celinguk mencari seseorang.

Saat melihat Alvan berdiri di depan pintu apartemennya, Aurel menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

"Bang Al…!" panggil Aurel.

"Kamu…? Ngapain kamu di sini, Aurel?" tanya Alvan.

"Aku memang tinggal di sini dengan Qiana, Bang! Bang Al, ngapain ke sini?" Aurel balik bertanya.

"Aku…" sekilas Alvan melihat Rayya datang.

Alvan tidak ingin Rayya tahu unit apartemen yang ditempati Qiana. Alvan segera mendorong tubuh Aurel agar masuk ke dalam apartemennya.

Jederrrrr…

Alvan segera menutup pintu apartemen dan ikut masuk ke dalam apartemen Aurel. Qiana yang sudah berdiri di depan Aurel jadi terkejut saat Alvan membanting pintu apartemen.

"Ada apa?" tanya Qiana.

"Tahan dulu! Di luar ada Rayya. Aku tidak mau dia melihat kita ada di apartemen ini, aku gak mau Rayya menggangu kamu." Ucap Alvan dengan nafas ngos-ngosan.

"Eh? Kenapa Bang Alvan mengkhawatirkan Qiana? Apa jangan-jangan…?" batin Aurel.

"Eheeemmm…" Alvan berdehem keras.

Qiana dan Aurel jadi saling tatap.

"Maksud aku, Rayya jangan sampai mengganggu aku dengan mencari informasi sama kamu. Aku kasih tahu kamu jika bertemu dengan seseorang bernama Rayya jangan katakan apa pun padanya kecuali satu." Ucap Alvan penuh penekanan.

"Apa?" tanya Aurel penasaran.

"Aku dan Qiana akan segera menikah." ucap Alvan mantap.

"Haaah?" Aurel terkejut.

Qiana langsung menangkup wajah Aurel dengan kedua tangannya.

"Hanya sandiwara! Gak usah lebay deh! Aku sudah punya Gilang." Sahut Qiana yang tidak ingin Aurel salah paham.

"Ooouuuhhh…" Aurel kini manggut-manggut.

Setelah dirasa Rayya sudah pergi Alvan segera mengajak Qiana pergi. Saat di dalam lift Alvan berdiri dengan bersandar pada dinding dan menjaga jarak dari Qiana.

Tring…

Pintu lift terbuka, Alvan dan Qiana terkejut karena melihat Rayya tengah berangkulan bersama seorang laki-laki.

Rayya belum menyadari keberadaan Alvan dan Qiana di dalam lift. Kesempatan itu Alvan gunakan diam-diam untuk menarik tubuh Qiana agar mendekat kepadanya.

"Pelan-pelan." Bisik Qiana dengan rahang mengeras dan mata melotot tajam ke arah Alvan.

"Galak banget sih, hah?" Alvan pun berbisik di telinga Qiana.

"Al…?" panggil Rayya saat melihat Alvan seperti sedang mencium Qiana.

Dengan cepat Qiana mendorong tubuh Alvan agar menjauh dari wajahnya.

"Apa kalian selalu romantis seperti ini saat dimana pun berada?" ejek laki-laki yang bersama Rayya.

"Tentu saja! Kenapa memang? Apa urusannya denganmu?" tanya Alvan sinis.

"Kamu sepertinya frustasi saat ditinggal pacarmu lima tahun yang lalu?" ledek laki-laki kekasih dari Rayya.

"Aku tidak pernah frustasi ditinggal pacar yang selingkuh dengan laki-laki lain di belakangku, dan tidur dengan laki-laki itu saat masih menjadi pacarku." Ucap Alvan dingin.

Deg…!

Jantung Rayya terasa berhenti berdetak saat mendengar ucapan Alvan. Rayya jadi khawatir tentang perselingkuhannya dulu dari Alvan. Bahkan Rayya lebih khawatir jika Alvan tahu kalau Rayya sudah tidur dengan Tio laki-laki yang kini menjadi kekasihnya.

"Al, kita sepertinya harus bicara! Aku akan meluruskan kesalah pahaman ini." pinta Rayya tak tahu malu.

"Tidak perlu!" balas Alvan dingin.

"Tapi aku gak mau kamu salah paham sama aku, Al!" Rayya memaksa.

"Rayya, sudahlah! Kisah kalian sudah berlalu lima tahun yang lalu. Kenapa kamu ingin meluruskan kesalah pahaman dengan dia? Apa kamu masih sangat mencintai dia?' tanya Tio.

"Maaf aku harus pergi! Ayo sayang!" Alvan merangkul Qiana dan membawanya pergi.

Qiana sebenarnya merasa risih saat Alvan terus merangkulnya. Meski hanya sebuah sandiwara, tapi Qiana merasa tidak nyaman dengan keadaan itu.

Sekali pun Qiana belum punya pacar misalnya, Qiana tetap tidak nyaman jika ada laki-laki lain menyentuhnya seperti itu tanpa ada ikatan pernikahan.

"Arrrggghhh…!" Alvan memukul setir mobil dan melampiaskan kekesalannya di dalam mobil.

Qiana tersentak kaget saat Alvan berteriak kencang seraya memukul tangannya dengan keras pada setir mobil.

"Apa dia benar-benar terluka sangat dalam oleh Rayya? Apa laki-laki itu yang sudah berselingkuh dengan Rayya di belakangnya? Kasihan sekali kamu!" batin Qiana menatap lirih kepada Alvan.

"Kenapa harus bertemu lagi dengan mereka? Kenapa…?" teriak Alvan.

"Sabar yah! Suatu saat nanti kamu akan bertemu dengan seorang gadis yang baik hati. Kamu orang baik pasti akan mendapatkan orang baik juga." Qiana mengelus punggung Alvan pelan.

Alvan yang menyembunyikan wajahnya di balik kemudi kemudian merubah posisi duduknya dan bersandar. Hatinya benar-benar sakit saat mengingat kejadian lima tahun yang lalu.

"Sudah yah? Kita pulang!" ajak Qiana menepuk pundak Alvan pelan.

Alvan menatap Qiana dan bergeser dengan posisi duduk miring menghadap Qiana. Alvan menangkup wajah Qiana dengan kedua tangannya lalu mendekatkan wajahnya kepada Qiana.

Cup…

Alvan melumat rakus bibir Qiana hingga hilang kendali. Qiana berusaha melepaskan diri dari pagutan Alvan.

Usaha Qiana sia-sia. Semakin Qiana mencoba melepaskan diri dari Alvan, semakin kuat Alvan melumat bibir Qiana.

"Haaah…" Alvan menghentikan ciumannya pada Qiana.

Alvan kemudian menyembunyikan wajahnya di dada Qiana. Seketika Alvan menangis sesegukan seraya memeluk Qiana.

"Eh?" Qiana jadi kebingungan.