Chapter 8 - Bab. 8

Qiana perlahan membelai rambut Alvan dengan lembut. Alvan masih menenggelamkan wajahnya di balik dua gunung kembar milik Qiana.

Greppp…

Alvan memeluk Qiana erat. sementara Qiana menaruh dagunya di puncak kepala Alvan dan terus membelai lembut punggung Alvan.

Lama mereka saling menguatkan hingga akhirnya Alvan sendiri yang melepaskan pelukannya dari Qiana dan menarik mundur menjauh dari Qiana.

"Terima kasih sudah ada buatku." Alvan menggenggam tangan Qiana dan mengecup keningnya.

Setelah mampu mengendalikan emosinya Alvan segera menyalakan mesin mobilnya dan pergi dari apartemen.

"Bang Al, baru pulang?" tanya Bi Narsih saat Alvan membuka pintu diiringi Qiana di belakangnya.

"Oma sudah tidur, Bi?' Alvan balik bertanya.

"Oma sudah tidur. Tadi sebelum tidur Oma bilang supaya Bang Al dan Neng Qiana membereskan berkas yang mau dibawa besok. Bi Narsih sudah menyimpan di ruang kerja Bang Al." ucap Bi Narsih menyampaikan amanat dari Oma Inge.

"Iya, Bi! Terima kasih." Alvan pun berlalu.

Bi Narsih jadi mengerutkan dahinya melihat sikap Alvan yang tidak seperti biasanya. Bi Narsih tahu betul Alvan, sebab dia mengenal Alvan dengan sangat baik.

"Kenapa dengan Bang Alvan, Neng Qiana?" tanya Bi Narsih.

"Sssttt, jangan bilang-bilang! Bang Al baru saja ketemu mantannya." Bisik Qiana pada Bi Narsih.

"Rayya?" tanya Bi Narsih dengan wajah masam.

Qiana mengangguk pelan. Tak lama Qiana pun pamit lalu bergegas menaiki anak tangga menuju ke kamarnya. Saat akan menutup pintu, Alvan datang dan menahan pintu dengan tangannya.

"Kamu pelajari dulu proposalnya!" Alvan masuk begitu saja ke dalam kamar.

Qiana tidak bisa melarang Alvan karena dirinya hanya tamu di rumah Oma Inge. Sementara Alvan adalah cucu kesayangan dari pemilik rumah.

"Oke!" balas Qiana datar.

"Kemana?" tanya Alvan menaikkan sebelah alisnya.

"Cuci muka dulu biar gak ngantuk!" sahut Qiana lalu masuk ke dalam kamar mandi.

Qiana selesai cuci muka dan segera keluar dari kamar mandi. Alvan sudah tidak ada di kamarnya. Qiana pikir Alvan tidak jadi memintanya mempelajari proposal, maka Qiana segera merebahkan diri di atas kasur.

"Hei…! Suruh siapa rebahan? Aku menyuruhmu membaca proposalnya kenapa malah tidur?" Alvan datang membawa cemilan dan dua gelas kopi susu yang masih sangat panas.

"Hehehe… aku kira gak jadi!" Qiana terkekeh hingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih.

"Qiana, kalau seperti itu terlihat semakin cantik! Sayang, dia sudah ada yang punya!" batin Alvan.

Alvan dan Qiana lalu mendiskusikan rencana meeting besok. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Qiana yang sudah ngantuk pun tertidur di atas karpet.

"Walau beruang kutub minum kopi, tetap aja gak bisa melawan kantuk! Hehehe…" Alvan terkekeh.

Alvan mengangkat tubuh mungil Qiana dan memindahkan ke atas kasur. Kemudian Alvan menyelimuti tubuh Qiana hingga sebatas dada.

Sebelum keluar dari kamar Qiana, Alvan lebih dulu membereskan berkas dan menyimpannya di tas miliknya.

Lalu Alvan pergi dan menutup pintu kamar Qiana dengan membawa tas serta piring dan gelas bekas Alvan dan Qiana.

"Hoaaammm… jam berapa ini?" Qiana menggisik matanya pelan.

Qiana bergegas bangun dan pergi ke kamar mandi. Setelah selesai mandi dan membersihkan diri, Qiana berpakaian rapi. Qiana kemudian turun untuk sarapan bersama Oma Inge dan Alvan sebelum pergi ke Bandung.

"Kalian sudah siap?" tanya Oma Inge.

"Sudah, Oma." Jawab Qiana dan Alvan nyaris bersamaan.

Alvan dan Qiana segera pergi menggunakan mobil pribadi Alvan. Oma Inge sudah meminta Alvan membawa supir namun Alvan menolak. Entah apa yang Alvan pikirkan saat ini yang pasti Alvan hanya ingin pergi berdua saja dengan Qiana.

"Qiana…" tanya Alvan.

"Apa?" jawab Qiana tanpa menoleh.

"Bagaimana kalau pacarmu Gilang itu selingkuh di belakangmu?" tanya Alvan.

"Kenapa kamu berpikiran seperti itu? Jangan samakan masa lalu Rayya dengan pacarku. Gilang adalah orang yang sangat setia kepadaku." Ucap Qiana tidak terpengaruh sedikit pun.

"Kita lihat saja nanti!" seru Alvan.

"Aku akan memberitahunya sekarang, agar dia bersiap-siap menemuiku nanti di hotel tempat kita meeting." Ucap Qiana.

"Kalau boleh aku memberi saran, sebaiknya kamu jangan memberitahu pacarmu dulu kalau saat ini kita akan datang ke Bandung." Ucap Alvan.

"Kenapa?" tanya Qiana heran.

"Kita buktikan saja kalau memang pacarmu itu benar-benar setia!" ucap Alvan tegas.

Qiana hendak menghubungi Gilang namun mengurungkan niatnya. Qiana ingin membuktikan kalau ucapan Alvan itu salah.

Qiana sangat yakin jika Gilang selama ini benar-benar setia kepadanya. Walau hubungan mereka sangat ditentang oleh kedua orang tua Gilang.

Bandung, Agustus 2020…

"Benar ini kan hotelnya?" tanya Alvan saat mereka sudah sampai di lokasi.

"Iya benar ini nama hotelnya." Qiana segera merapikan pakaiannya dan bersiap turun dari mobil.

Alvan dan Qiana segera menemui klien yang sudah menunggu mereka di hotel berbintang di kota Bandung.

Meeting berjalan dengan lancar Qiana dan Alvan segera saja menanda tangani berkas kerja sama dengan klien.

"Aku ke toilet sebentar!" izin Alvan saat klien sudah pergi.

Qiana tidak menjawab karena asyik berselancar di dunia maya dengan ponselnya. Dada Qiana seketika terasa sesak saat mendapat pesan dari nomor yang tidak dikenal.

"Gilang…? Apa dia ada di hotel ini?" gumam Qiana.

Alvan yang sudah datang segera mengajak Qiana pergi ke restoran karena perutnya sudah keroncongan.

"Qiana, aku lapar! Ayo kita cari makan dulu sebelum kita pergi ke rumah orang tuamu!" ajak Alvan.

Merasa tidak diperhatikan oleh Qiana, Alvan berinisiatif merebut ponsel Qiana dari tangannya.

"Heiii…!" sentak Qiana.

"Aku sedang berbicara denganmu, kenapa kamu tidak meresponnya sama sekali?" tanya Alvan kesal.

Alvan kemudian memperhatikan raut wajah Qiana yang sedikit kusut. Entah apa yang terjadi tapi Alvan yakin saat ini Qiana sedang tidak baik-baik saja.

"Kamu kenapa?" tanya Alvan.

"Aku harus mencari tahu di kamar mana mereka berada saat ini." ucap Qiana.

Qiana menunjukkan sebuah pesan di ponselnya yang dikirim seseorang. Alvan mengerutkan keningnya lalu memperhatikan isi pesan di ponsel Qiana.

"Kamu benar kalau Gilang memang ada di hotel ini." ucap Alvan tegas.

"Darimana kamu tahu?" tanya Qiana.

"Maaf, Qiana. Aku memang sedang menyelidiki Gilang pacarmu itu. Seperti yang aku bilang kalau Gilang selingkuh di belakangmu, dan saat ini dia ada di hotel ini. Mungkin saja Gilang saat ini sedang bersama selingkuhannya." Jawaban Alvan membuat Qiana tak percaya.

"Aku ingin membuktikan ucapanmu!" ucap Qiana.

"Baiklah! Kita pergi ke kamar itu sekarang!" ajak Alvan.

Tanpa Qiana tahu Alvan sebenarnya sudah sejak lama menyelidiki tentang Qiana dan keluarganya. Bahkan Alvan juga menyelidiki laki-laki yang bernama Gilang.

Bukan tanpa alasan Alvan melakukan itu pada Qiana. Saat dirinya ingin mempekerjakan seseorang di perusahaannya Alvan perlu tahu rekan jejak orang itu.

Namun hal tak terduga Alvan temukan. Gilang pacar dari Qiana ternyata tukang main perempuan di belakang Qiana. Selama ini Qiana begitu menyanjung Gilang, sementara Gilang sendiri adalah seorang pengkhianat cinta.

"Apa Gilang sering membawa wanita ke hotel saat aku pergi?" gumam Qiana saat berada di depan pintu kamar hotel.

Ceklek…

Pintu kamar hotel terbuka berkat kemampuan Alvan, yang ahli dengan ilmu meretas yang dia miliki sejak kuliah di Belanda bersama kedua sahabatnya Gherry dan Evan.

"Ah… ya! Ah…! Gilang… lebih keras! Ah… ya!" suara dari seorang wanita yang berada di dalam kamar hotel.

"Suara itu…? Suara itu benar-benar tidak asing di telingaku." Batin Qiana.

Brukkk…!

Tas Qiana terlepas dari tangannya dan jatuh di atas lantai. Qiana menggeser pelan pintu kamar di dalam ruangan besar itu.

"Salsa…?" Qiana terkejut melihat Salsa dan Gilang berada di dalam kamar hotel.

"Ah! Ah! Ah… ya! Ah!!!" pekik Salsa yang duduk di atas tubuh Gilang dengan tubuh polosnya.

"Hufttt…!" Gilang menyeka keringatnya.

"Ah… ya!" sekilas Salsa melirik kepada Qiana dengan smirk di wajahnya.

"Hufttt…!" Gilang menyeka pelipisnya yang sudah basah kembali dengan keringatnya.

"Gilang, menurutmu siapa yang lebih cantik dan seksi. Aku atau Qiana?" tanya Salsa di balik punggungnya.

"Hufttt… hmmm…ah!" desah Gilang.

"Tentu saja kamu, sayang! Aku sangat mencintaimu. Aku juga tidak bisa jauh dari dirimu walau hanya sesaat." Ucap Gilang.

"Lalu bagaimana jika Qiana sampai tahu soal hubungan kita, dan dia mendengar ucapanmu barusan? Qiana pasti akan sakit hati." tanya Salsa.

"Jangan sebut nama Qiana lagi di depanku! Aku sudah tidak peduli dengan Qiana!" jawab Gilang.

"Tapi… Qiana saat ini sedang melihat kita, Gilang!" ucap Salsa tanpa rasa bersalah.

Syuuuttt…

Gilang mendorong tubuh Salsa yang berada di atas tubuhnya.

"Qiana, kenapa kamu ada di sini? Bukankah kamu bilang akan pulang besok?" Gilang meraih selimut lalu berdiri dan mendekati Qiana.

Braaakkk!!!

Qiana menggebrak pintu dengan keras, tak peduli tangannya sakit dan terluka saat ini. Yang Qiana tahu saat ini adalah hatinya benar-benar sudah hancur, melihat perselingkuhan Gilang pacarnya dengan Salsa saudara sepupunya Qiana sendiri.

"Kalau aku datang besok, aku tidak akan mengetahui perselingkuhan kalian berdua, bukan? Kenapa kalian berhenti bermain? Bukankah kalian sedang menikmati permainan yang belum berakhir? Apakah kalian tidak menyesal menghentikan permainan ditengah-tengah nafsu kalian?" ucap Qiana marah dengan dada kembang kempis.

Alvan yang ikut masuk hanya mendengarkan ucapan Qiana dengan mulut menganga. Alvan tidak menyangka jika Qiana akan berani bicara seperti itu kepada Gilang dan Salsa.

"Qiana, apa kamu juga menginginkan Gilang? Jika kamu masih mencintai Gilang, tentu kamu tidak keberatan bukan jika kita berbagi?" ucap Salsa tanpa rasa malu.

"Salsa, kamu? Bagaimana kamu bisa begitu memalukan berbuat mesum seperti itu dengan Gilang?" tanya Qiana dengan nafas memburu.

Gilang kembali mendekati Qiana dengan masih bertelanjang dada.

"Qiana, dengarkan aku…" Gilang berusaha meraih bahu Qiana, namun Qiana melangkah mundur.

"Jangan sentuh aku buaya kotor!" Qiana menepis tangan Gilang.

"Yah! Aku memang kotor! Lalu bagaimana denganmu? Salsa bilang kamu sudah tinggal serumah dengan seorang laki-laki." Gilang kembali berusaha menyentuh Qiana.

"Darimana Salsa punya pikiran seperti itu?" batin Qiana.

"Aku tidak tahu pekerjaanmu apa. Jadi berhenti bersikap seolah kamu gadis yang baik dan masih suci di depanku, Qiana!" Gilang menghina Qiana.

Plaaakkk…!!!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Gilang.

"Qiana, kamu menamparku!" bentak Gilang.

"Sekarang juga kita putus, Gilang!" tunjuk Qiana tepat di depan wajah Gilang.

"Ahhh…!!! Keluar kamu dari sini, Qiana!" teriak Salsa mendorong tubuh Qiana.

Greppp…!!!

Gilang memeluk tubuh Qiana saat Salsa mendorongnya. Gilang mengunci tangan Qiana di dinding kamar dan menarik kancing baju Qiana di bagian depan. Membuat belahan dada Qiana terlihat nyata di depan mata Gilang.

"Menjauhlah dariku, bajingan!" teriak Qiana.

"Ahhh!" Gilang meremas buah dada Qiana dengan penuh nafsu dan berusaha mencium bibir Qiana.

"Ah! Tidak! Lepaskan aku!" teriak Qiana berusaha mendorong tubuh Gilang yang sudah merapat pada Qiana.

Bugh…!!!

Dezighhh…!!!

Satu pukulan keras melayang di wajah Gilang. Alvan segera menarik tangan Qiana dan menjauhkannya dari Gilang.

"Anjir! Siapa kamu? Beraninya kamu menyerangku." teriak Gilang.

"Dasar bangke!" balas Alvan.

Gilang kembali menarik tubuh Qiana dan merebutnya dari Alvan.

"Aku akan membuktikan apakah kamu benar-benar masih perawan atau tidak, Qiana!" Gilang menarik baju Qiana.

Dezighhh…!

Qiana menekuk lututnya keras mengenai burung perkutut milik Gilang.

"Arrrggghhh!" Gilang berteriak kesakitan.

Alvan segera menarik tangan Qiana dan membawanya keluar dari kamar hotel itu.

"Bodohnya aku! Mereka telah lama berhubungan di belakangku, tapi aku tidak menyadarinya, hiks…!" Qiana berjalan sambil menangis.

"Qiana, kamu yang sabar!" ucap Alvan yang masih menarik tangan Qiana.

"Antar aku pulang!" pinta Qiana.

"Baiklah!" sahut Alvan.

"Qiana, tunggu!" teriak Gilang.

Qiana sama sekali tidak menggubris Gilang. Qiana terus saja berjalan bersama Alvan. Hal itu membuat Gilang semakin marah.

"Qiana, tunggu! Urusan kita belum selesai!" Gilang mengejar Qiana.

Gilang berhasil meraih pundak Qiana.

Bugh…!!!

Tbuh Qiana membanting dinding lantara Gilang mendorong Qiana merapat ke dinding dan mengunci tangan Qiana.

"Arghhh!" pekik Qiana meringis kesakitan.

"Qiana?" Alvan bergegas menarik bahu Gilang.

Bagh…!!!

Bugh…!!!

Dezighhh!!!

Satu pukulan keras menghantam rahang Gilang.

"Ah! Sialan! Siapa kau? Beraninya menyerangku seperti itu? Dasar pengecut!" umpat Gilang seraya meraba rahangnya yang terasa sakit.

"Dan kau hanya seorang bajingan! Kau berani memperdaya seorang wanita, setelah mencampakkannya!" Alvan mendorong tubuh Gilang hingga terhuyung ke belakang.

Dengan cepat Alvan meraih tubuh Qiana dan membawa pergi dari tempat itu.

"Sial!" teriak Gilang kesal.

Seseorang tengah mengikuti Qiana dan Alvan. Tanpa Qiana sadari, dia juga orang yang sudah mengirim pesan kepada Qiana mengenai keberadaan Gilang dan Salsa saat ini.

"Qiana, sebaiknya kita jangan ke rumah orang tuamu dulu! Mereka tidak boleh melihatmu seperti ini." ucap Alvan.

Qiana tidak menanggapi ucapan Alvan. Saat ini Qiana hanya ingin menangis dan marah pada diri sendiri.

"Aku benar-benar bodoh! Bodoh…!!!" teriak Qiana.

"Qiana, sudahlah! Jangan memaki dirimu seperti itu lagi. Sebaiknya kita segera pergi dari sini!" ajak Alvan.

Alvan dan Qiana sudah berada di dalam mobil.

"Kasihan sekali kamu, Qiana! Ternyata nasib kita sama! Sama-sama diselingkuhi pacar kita." batin Alvan.

Alvan mengemudikan mobilnya keluar dari parkiran hotel.

"Arghhh!!! Teriak Qiana mengejutkan Alvan.

Alvan menepikan mobilnya yang baru beberapa menit meninggalkan hotel. Melihat Qiana menangis Alvan merasa iba. Dengan lembut Alvan menarik pundak Qiana ke dalam pelukannya.

"Menangislah sepuasnya, jika dengan menangis akan membuatmu merasa lebih baik." Alvan membelai punggung Qiana.

Qiana semakin terisak di dalam pelukan Alvan. Qiana masih terbayang kejadian di hotel.

"Hatiku sakit, hiks… aku sudah dikhianati oleh kekasih dan saudara sepupuku sendiri, hiks… sejak kapan mereka berhubungan di belakangku?" ucap Qiana lirih.

Alvan membiarkan Qiana terus menangis di dalam pelukannya, hingga Qiana benar-benar lelah dan tertidur lelah di dalam pelukan Alvan.