Qiana meninggalkan Alvan sendiri di dalam ruang 'privat room'. Saat Qiana menuju ke toilet tak sengaja Rayya melihat Qiana keluar dari ruang 'privat room'.
"Dia kan tunangannya Alvan? Ngapain dia ada di sini? Apa dia datang bersama Alvan?" gumam Rayya tersenyum licik.
Rayya tidak menyia-nyiakan kesempatan bagus itu. Dengan cepat Rayya segera menuju ruangan 'privat room'. Rayya melihat ada Alvan di dalam sana sedang duduk seorang diri.
"Al, kamu di sini?" sapa Rayya yang tiba-tiba masuk dan duduk di samping Alvan.
"Rayya…? Ngapain kamu ke sini? Darimana kamu tahu kalau aku ada di ruangan ini?" tanya Alvan berusaha menghindar dari Rayya.
"Aku melihat tunanganmu keluar dari sini dan aku pikir dia datang ke sini bersamamu, makanya aku segera ke sini untuk menemuimu dan ternyata dugaanku benar." Rayya menyungging senyum.
"Tolong keluar dari sini secepatnya, Rayya! Kamu tahu kan ruangan ini aku pesan untuk apa? Aku tidak ingin kebersamaanku dengan tunanganku ada yang mengganggu! Jadi, pergilah!" usir Alvan membuat Rayya tak terima.
"Al, maafkan aku! Aku sangat menyesal karena sudah meninggalkanmu malam itu! Beri aku satu kali kesempatan lagi untuk memperbaiki semuanya aku mohon, Al!" pinta Rayya dengan wajah memelas.
"Aku sudah bahagia dengan hidupku yang sekarang, Rayya! Jadi tolong tinggalkan aku! Dan jangan pernah muncul lagi di hadapanku! Aku…" ucapan Alvan terhenti karena Qiana datang di saat yang tepat.
Qiana menatap Alvan dan Rayya bergantian. Qiana tidak tahu jika di dalam ruangan yang Oma Inge booking, sudah ada Rayya duduk berdua dengan Alvan di atas sofa yang sama dengan jarak yang sangat dekat.
"Sayang, kenapa lama sekali?" Alvan berdiri dan mendekat pada Qiana.
Greppp…
Alvan memeluk pinggang ramping Qiana agar lebih mendekat kepadanya. Alvan bahkan mendekatkan wajahnya pada Qiana. Dapat Qiana rasakan hembusan nafas Alvan terasa hangat di wajahnya.
"Al, apakah aku bisa mempercayai jika kalian berdua memang sudah tunangan?" tanya Rayya yang tidak percaya sama sekali.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Bukankah Oma juga sudah mengatakannya kepadamu kalau aku dan Qiana sudah tunangan dan kami akan segera menikah?" jawab Alvan ketus.
"Apa buktinya kalau memang kalian benar-benar sudah tunangan? Aku tidak melihat kalian memakai cincin tunangan sama sekali?" tanya Rayya penuh curiga.
Deg…!
Jantung Alvan dan Qiana yang sudah berdebar sejak Alvan memeluk Qiana, kini jadi berdebar sejuta kali lebih kencang dari sebelumnya. Bahkan kali ini terasa akan copot dari tempatnya.
"Apa hanya karena Aku dan Qiana tidak memakai cincin tunangan kami, lantas kamu meragukan ucapan Oma?" kilah Alvan membuat Rayya tersenyum masam.
"Tidak! Hanya saja aku curiga melihat sikap kalian berdua. Sangat kaku seperti itu!" tunjuk Rayya dengan dagunya, sementara kedua tangannya dilipat di depan dadanya dengan wajah menantang.
"Percaya atau tidak itu bukan urusanmu!" sela Alvan tegas.
"Memang bukan urusanku! Tapi aku pastikan kalian tidak sedang bersandiwara di depanku saat ini, Al!" ucap Rayya.
"Apa maksudmu?" tanya Alvan.
"Selama kita berhubungan kamu tidak kaku seperti itu kepadaku, Al." pancing Rayya membuat Alvan merasa terjebak dengan ucapan sang Oma.
"Lalu mengapa dengan tunangan sendiri kamu terlihat sangat kaku?" lanjut Rayya.
"Sebaiknya kita pulang sekarang! Kasihan Oma di rumah sendiri." ajak Qiana membuat Alvan sedikit bisa bernafas dengan lega.
"Aku dan Qiana harus pulang!" Alvan berbalik badan hendak melangkah pergi bersama Qiana.
"Buktikan padaku kalau kalian memang benar-benar sudah tunangan, Al! Aku menantangmu untuk mencium tunanganmu di hadapanku sekarang. Dengan begitu aku akan mempercayaimu dan tidak akan mengganggumu lagi!" pinta Rayya.
"Apa kamu sudah gila, Rayya?" bentak Alvan.
"Kalau kalian tidak bisa membuktikannya, jangan menyesal kalau aku kembali ke dalam hidupmu, Al! Aku pastikan kalian akan batal menikah dan kamu akan kembali kepadaku, Alvan Pratama Putra Wijaya!" ancam Rayya dengan smirk di wajahnya.
Alvan menatap Qiana dengan perasaan ragu. Dadanya berdebar kencang saat matanya bertemu dengan mata Qiana yang terlihat teduh.
"Kenapa, Al? masih ragu?" ledek Rayya.
Cup…
Alvan mencium bibir Qiana dan melumat habis bibir ranum Qiana yang manis. Tanpa rasa bersalah Alvan terus menenggelamkan bibirnya ke dalam bibir Qiana.
Alvan jadi teringat saat kejadian di dalam mobilnya beberapa waktu yang lalu. Ketika itu Alvan mencium Qiana dengan kaku. Tapi kali ini Alvan melakukannya lagi tepat di hadapan Rayya.
Sementara Qiana yang awalnya terkejut pada akhirnya hanya pasrah dan menikmati ciuman itu. Hingga mereka benar-benar larut dan tenggelam dalam ciuman panas itu.
"Sialan, Alvan! Saat bersamaku dulu dia belum pernah melakukan apa pun padaku, bahkan hanya untuk menciumku saja dia tidak berani. Tapi dengan Qiana? Bisa-bisanya dia begitu menikmati dan mau menciumnya? Aaarrrggghhh…" sesal Rayya di dalam hati.
"Emmmhhh…" lenguh Alvan dengan sengaja membuat Rayya semakin panas.
Perlahan ciuman yang menuntun dan hanya pura-pura itu kini jadi menuntut. Alvan bahkan sudah lepas kendali.
Tangannya perlahan turun menyentuh dua gunung kembar milik Qiana. Darah Alvan dan Qiana berdesir hangat mengalir di dalam tubuh mereka masing-masing.
Saat Qiana tersadar dia segera mendorong tubuh Alvan dan menghentikan ciuman itu. Wajah Qiana jadi memerah menahan marah kepada Alvan dan juga malu terhadap Rayya.
"Maafkan aku, sayang! kita tidak seharusnya melakukan ini di depan orang lain. Entah kenapa setiap kali berada di dekatmu aku selalu merasakan getaran cinta ini, hingga membuat aku lupa diri saat sedang bersamamu." Alvan menggoda Qiana di hadapan Rayya, dengan mengusap lembut bibir Qiana yang basah dengan ibu jarinya.
Cup…
Alvan kembali mendaratkan ciuman singkat di bibir Qiana yang disaksikan langsung oleh Rayya. Lalu Alvan mengecup kening Qiana dengan lembut dan mengeratkan pelukannya di tubuh Qiana.
"I love you, honey!" ucap Alvan sengaja mengompori Rayya.
"Love you more…" balas Qiana tanpa komando.
Rayya yang cemburu akhirnya memilih untuk pergi meninggalkan Alvan dan Qiana yang tengah pamer kemesraan. Sementara Alvan hanya tersenyum sinis.
Saat Rayya sudah pergi meninggalkan Alvan dan Qiana di dalam ruangan itu. Alvan melepaskan pelukan dari Qiana.
Brukkk…
Alvan menjatuhkan dirinya di hadapan Qiana. Dengan berlutut Alvan menggenggam erat tangan Qiana, matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku minta maaf karena sudah melibatkanmu dalam sandiwara ini, Qiana! Aku tidak tahu sampai kapan akan membohongi Rayya dengan cara seperti ini! Aku tidak berniat sama sekali untuk melecehkanmu, Qiana." Ungkap Alvan dengan bibir bergetar.
"Sudahlah! Ini semua bukan sepenuhnya salahmu!" mata Qiana berkaca-kaca.
"Jangan membenciku lagi, Qiana! Aku mohon!" Alvan memohon dengan wajah memelas.
"Aku tidak pernah membenci siapa pun! Aku hanya merasa bodoh sudah terjerembab ke lubang yang sama dan melakukan kesalahan berulang kali." Tangis Qiana pecah.
Greppp…
Alvan memeluk kaki Qiana dengan erat. wajahnya sudah sangat basah oleh air mata. Alvan tidak pernah menyesali apa yang sudah dilakukannya kepada Qiana. Alvan hanya tidak ingin mengakui perasaannya terhadap Qiana.
Alvan selalu saja membohongi dirinya sendiri saat berada di dekat Qiana. Alvan terlalu gengsi untuk menyadari jika dirinya begitu mencintai Qiana. Bagaimana mungkin Alvan begitu menikmati ciuman bersama Qiana jika dirinya tidak mencintai Qiana.
Drrrttt…
Drrrttt…
Drrrttt…
Ponsel Alvan bergetar di dalam saku jasnya. Dengan cepat Alvan merogoh ke dalam sakunya dan mengambil ponselnya.
"Ya, Oma?" Alvan menyapa Oma Inge pada sambungan teleponnya.
"Kalau sudah selesai cepat pulang, Al!" ucap Oma Inge.
"Aku pulang sekarang!" Alvan menutup sambungan teleponnya.
"Ada apa dengan, Oma?" tanya Qiana.
"Kita harus pulang!" Alvan menarik tangan Qiana tergesa-gesa keluar dari restoran.
Alvan memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Qiana yang duduk di sebelah Alvan hanya menatap pasrah saat Alvan membawa kemudi mobil dengan tergesa-gesa.
Alvan bergegas keluar dari mobilnya saat sudah sampai di depan carport. Alvan tidak menyadari jika Qiana masih berada di dalam mobil. Qiana hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Alvan.
"Omaaa, aku pulang!" teriak Alvan saat sudah membuka pintu.
"Gak usah teriak-teriak! Kebiasaan deh kamu, Al!" sungut Oma Inge kesal.
"Maaf, Oma!" Alvan terkekeh.
"Mana Qiana?" tanya Oma Inge dengan kening berkerut.
Terdengar derap langkah kaki mendekati pintu. Oma Inge segera mendekat dan tersenyum saat melihat Qiana datang.
"Oma kira kamu ketiduran di dalam mobil, Qiana!" celetuk Oma Inge membuat Qiana mencebikkan bibirnya.
"Hahahahaha… emang dasar beruang kutub itu, Qiana." Ucap Alvan terkekeh.
Qiana hanya mendelik kesal kepada Alvan tanpa ingin membalas ocehannya. Qiana tidak ingin ribut dengan Alvan di depan Oma Inge, terlebih saat ini Oma Inge sedang kurang sehat.
"Oma, apa acara makan malamnya jadi?" tanya Qiana.
"Jadi! Kenapa memang?" Oma Inge balik bertanya.
"Aku kira gak jadi. Kalau gak jadi aku mau balik aja sekarang. Aku cape, Oma!" seru Qiana dengan tatapan sayu.
"Kamu istirahat saja di atas sana!" tunjuk Oma Inge membuat Qiana mengangguk pelan.
Qiana langsung pergi menuju kamar yang sudah di sediakan oleh Oma Inge untuknya. Qiana melangkah pelan menaiki anak tangga hingga sampai pada ujung anak tangga.
Langkah kakinya terhenti saat melihat Alvan keluar dari dalam kamarnya, dengan menggunakan pakaian yang menurut Qiana sangat seksi.
Glekkk…
Qiana menelan salivanya sendiri yang terasa kering di tenggorokan. Alvan memakai kaos tanpa lengan dengan bawahan celana sebatas lutut. Tubuh Alvan yang atletis terlihat semakin kekar dan gagah.
"Ngapain lihatnya begitu amat? Ntar jatuh cinta lho!" goda Alvan saat Qiana menatapnya.
"Biasa aja!" sahut Qiana datar.
"Ish, judes amat!" Alvan mencebikkan bibirnya.
Qiana segera menuju ke dalam kamar. Setelah menutup pintu, Qiana lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur ukuran king size.
Ini bukan kali pertama Qiana menginap di rumah Oma Inge. Saat Alvan berada di Belanda dulu, Qiana sering sekali menginap di rumah Oma Inge jika Aurel sahabatnya ada pekerjaan di luar kota.
"Kenapa dulu aku gak perhatian yah saat menginap di sini? Padahal di depan jelas sekali ada foto keluarga Oma. Di dalam foto itu ada dia juga! Tapi dasar aku nya aja yang gak nyadar, ck…" gumam Qiana.
Setelah dirasa keringatnya mulai turun, Qiana segera beranjak ke kamar mandi. Setelah mandi dan membersihkan diri Qiana duduk di atas kasur dan membuka ponselnya.
"Kenapa gak diangkat sih? Ayo Gilang angkat telepon aku!" umpat Qiana kesal.
Qiana berusaha menghubungi Gilang sang kekasih. Namun setiap kali Qiana yang menghubungi terlebih dahulu, Gilang tidak pernah mengangkatnya.
"Giliran aku gak telepon, kamu kerjaannya ngomel melulu!" rutuk Qiana kesal.
Qiana merebahkan tubuhnya di atas kasur, dengan kedua kaki dibiarkan menjuntai ke bawah. Qiana menatap langit-langit kamar. Pikirannya kini berfantasi kemana dia suka.
Tok…
Tok…
Tok…
Pintu kamar diketuk seseorang. Qiana yang sedang rebahan sambil berfantasi dengan malas hanya meminta orang itu masuk ke dalam kamar, tanpa tahu siapa yang datng mengetuk pintu.
"Masuk! Gak di kunci!" perintah Qiana.
Alvan membuka pintu kamar lalu masuk dan melihat pemandangan terindah di depan matanya. Melihat Qiana diposisinya seperti itu membuat Alvan malu sendiri, namun Alvan mencoba menahan diri.
"Qiana, dipanggil Oma tuh!" ucap Alvan dengan wajah mencelos.
"Kamu…?" Qiana seketika bangkit dan duduk.
Baru kali ini Alvan melihat Qiana dengan pakaian seperti itu. Tanktop dengan model kurang bahan yang memperlihatkan dada serta pusar Qiana, juga celana pendek sebatas paha terlihat seksi.
"Kamu memang terbiasa membuka pintu untuk orang lain dalam keadaan seperti itu yah?" ledek Alvan.
Bugh…
Qiana melempar bantal ke arah Alvan tepat mengenai kepalanya. Alvan tidak terima dan membalas melempar bantal itu kembali pada Qiana. Hingga terjadilah saling melempar bantal.
"Uuuggghhh…" dengan kesal Qiana kembali menyerang Alvan.
"Terima ini!" balas Alvan.
Akhirnya tanpa sadar Alvan mendekat dan mengunci tangan Qiana yang terus melemparnya dengan bantal. Kini pertarungan sengit itu pun terjadi di atas kasur diantara Alvan dan Qiana.
"Rasakan ini!" Qiana berhasil menduduki tubuh Alvan.
Kini posisi Qiana berada di atas Alvan dan memukuli Alvan tanpa ampun. Mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari Qiana, Alvan pun segera menyerang balik.
Dengan satu kali serangan saja, Alvan berhasil mengendalikan tubuh Qiana dan membalikkan posisinya. Kini Alvan yang sudah berada di atas tubuh Qiana dan mengungkung tubuh gadis itu.
"Lepas!" Qiana berontak.
"Siapa suruh kamu menyerangku lebih dulu, hah?" Alvan membalas serangan Qiana.
Paaak…
Piiik…
Puuukkk…
Alvan dan Qiana saling serang dengan mempertahankan pukulan masing-masing. Saat Qiana sedikit lengah, Alvan segera mengunci tangan Qiana.
Qiana mencoba melepaskan tangannya yang dikunci Alvan. Saat Qiana berusaha melepaskan diri, tak sengaja tatapan mata keduanya bertemu. Jangan ditanya bagaimana jantung Alvan dan Qiana saat ini.
Baik Alvan mau pun Qiana sama-sama berdebar saat tatapan keduanya saling bertemu. Apa lagi posisi Alvan kini berada di atas tubuh Qiana dengan dada bidang yang tengah menghimpit dua gunung kembar milik Qiana.
"Lepas!" lama Qiana menatap Alvan begitu pun sebaliknya.
"Gak akan aku lepaskan kamu begitu saja, Qiana!" Alvan mendekatkan wajahnya pada Qiana.
"Kamu mau ngapain?" tanya Qiana mulai panik.
"Menciummu!" ucap Alvan dengan smirk di wajahnya.
"Jangan bodoh kamu! Kalau Oma tahu bisa kena semprot kita! Aku gak mau dinikahkan sama kamu! Sekarang cepat lepaskan aku! Dan pergi dari sini!" cerocos Qiana dengan posisi masih sama.
"Kenapa?" tanya Alvan dingin.
"Aku sudah punya pacar! Dan aku gak suka sama kamu!" balas Qiana ketus.
"Gilang? Hahaha… asal kamu tahu, Qiana. Di belakangmu Gilang sudah membohongimu. Kasihan sekali kamu, Qiana!" cibir Alvan.
"Jangan katakan keburukan apa pun tentang Gilang! Dia tidak seburuk dirimu!" sahut Qiana geram.
"Bagaimana kalau aku bisa membuktikannya!" ungkap Alvan.
"Ciiih… aku tetap tidak akan percaya padamu!" timpal Qiana.
"Baiklah! Aku akan membuktikan padamu kalau ucapanku benar!" ucap Alvan.
Qiana terus saja meronta agar bisa terlepas dari kungkungan Alvan. Saat Qiana ingin mendorong tubuh Alvan justru tangan Qiana nyangkut diantara kaos Alvan, sehingga tangan Qiana mengalung sempurna di leher Alvan.