Alvan dan Qiana saling tatap tidak percaya dengan apa yang baru saja Evan katakan. Tangan Alvan masih mencengkram kuat pergelangan tangan Qiana hingga tangan Qiana merah.
"Jadi dia…? Cucu kesayangan Oma Inge, Alvan Pratama Putra Wijaya CEO PT. Pratama Wijaya Putra?" ucap Qiana tak percaya.
"Dan lu… asisten kesayangan Oma gue?" tatap Alvan sinis.
"Akh mimpi apa gue semalam, bisa ketiban sial ketemu cewek nyebelin kayak lu!" ucap Alvan dengan sinis.
"Emang kamu aja yang ketiban sial, hah? Aku juga ketiban sial gara-gara ketemu sama kamu, cowok paling nyebelin sombong dan gak tanggung jawab!" balas Qiana tak kalah sinis.
"Lu yah…!" pekik Alvan geram.
"Apa, hah…?" tantang Qiana.
Sementara Evan yang melihat pertarungan sengit antara Qiana dan Alvan jadi geleng-geleng kepala. Evan ikut kesal melihat tingkah sahabatnya sekaligus bosnya itu.
Evan lalu berdiri diantara Qiana dan Alvan untuk menghentikan pertarungan sengit antara sahabat dan adik angkatnya itu.
"Sudah… sudah… jangan ribut di sini! Lu berdua segera pergi dari sini! Oma Inge dan Papi Billy sudah menunggu kalian di kantor, SE KA RANG!" tegas Evan membuat Qiana dan Alvan terdiam.
"Kenapa malah diam? Apa kalian tuli, hah? Sana pergi!" usir Evan kemudian mendorong tubuh Alvan dan Qiana bersamaan dengan kedua tangannya.
"Iya… iya ini gue juga mau pergi, walau terpaksa!" gerutu Alvan kesal.
Sementara Qiana sudah tidak mampu lagi berkata apa pun, bagi Qiana sendiri ini seperti mimpi buruk. Dipertemukan dengan cucu kesayangan Oma Inge.
Orang yang selama ini di dalam bayangannya baik, ramah, tampan, serta murah senyum seperti Papi Billy dan Oma Inge, namun ternyata sangat menyebalkan baginya.
Qiana melangkahkan kakinya dengan hati yang dikuasai emosi, namun masih bisa dia tahan. Andai saja bukan cucu kesayangan Oma Inge, sudah Qiana injak kakinya atau menggigit tangan Alvan yang sudah membuat tangan Qiana sakit.
Alvan mendekat menuju mobilnya, sementara Qiana mengekor di belakangnya. Saat Qiana hendak membuka pintu mobil bagian belakang, Alvan menatapnya kesal.
"Duduk di depan! Gue bukan supir pribadi lu!" gerutu Alvan kesal.
"Sombong amat!" gumam Qiana yang masih bisa di dengar oleh Alvan.
Qiana masuk ke dalam mobil duduk di samping Alvan. Suasana hening tidak ada percakapan di dalam mobil. Padahal sebelumnya Alvan dan Qiana sempat perang mulut dengan sengit, tapi keduanya saat ini hanya diam.
Mobil melaju membelah jalan ibu kota di siang hari. Tiga puluh menit kemudian mobil yang Alvan kendarai bersama Qiana akhirnya sampai di halaman gedung perusahaan milik Oma Inge.
"Hei, bangun! Sudah sampai!" teriak Alvan di dalam mobil saat melihat Qiana terlelap tidur.
Qiana tidak juga bangun meski Alvan berteriak saat membangunkannya, sampai Alvan kesal sendiri. Sekali lagi Alvan berusaha membangunkan Qiana, dengan suara beratnya Alvan kembali berteriak.
"Qianaaa… banguuunnn!!!" teriak Alvan hingga suaranya jadi sedikit serak dan tenggorokannya sakit.
Uhuk…
Uhuk…
Uhuk…
Alvan jadi batuk, sementara Qiana tetap anteng terlelap dalam tidurnya.
"Molor kayak orang pingsan aja susah dibangunin!" gerutu Alvan kesal.
Alvan menyeringai di balik senyum liciknya, dia memikirkan sesuatu yang mungkin bisa membuat gadis beruang kutub itu terbangun dari tidurnya.
Alvan mendekatkan wajahnya pada telinga Qiana, baru saja Alvan akan melakukan sesuatu yang ada dipikirannya.
Qiana membalikkan wajahnya, hingga kini wajah Alvan sudah sangat dekat dengan wajah Qiana. Qiana membuka matanya dan tersentak kaget saat wajah Alvan begitu dekat dengan wajahnya, dan hanya menyisakan beberapa inci saja.
Bahkan Qiana dan Alvan sama-sama merasakan hembusan hangat ke wajah mereka masing-masing, sesaat Alvan dan Qiana saling menatap dalam diam.
"Heh, ngapain dekat-dekat? Dasar otak mesum!" Qiana spontan mendorong dada Alvan dengan kasar.
Jangan ditanya perasaan mereka saat ini, baik Alvan maupun Qiana sama-sama merasakan debaran kencang di dalam dadanya.
Qiana dan Alvan merasa jantung mereka seperti mau loncat keluar dari tempatnya, hal ini membuat mereka berdua kembali terdiam dalam debaran jantung masing-masing.
"Lu pikir gue mau berbuat mesum sama cewek nyebelin kayak lu? Enak aja! Cewek di dunia ini masih banyak! Sekalipun cuma tersisa lu seorang, ogah gue kalau mesum sama lu! Jadi jangan keGRan… gue barusan mau bangunin lu. Molor kayak orang pingsan, gue teriak gak bangun juga. Dasar beruang kutub!" gerutu Alvan kesal yang memang tidak ada niat untuk berbuat mesum pada Qiana, seperti yang dituduhkan Qiana.
Alvan bermaksud membangunkan Qiana, dengan berteriak di telinga Qiana. Namun usahanya gagal saat Qiana tiba-tiba bangun dan membalikkan wajahnya.
Qiana mendapati Alvan sedang mendekatkan wajahnya, sehingga membuat Qiana berpikir jika Alvan akan berbuat mesum kepadanya.
"Bilang aja malu karena ketahuan mau mesum, pake banyak alasan lagi!" Qiana yang kesal langsung berbalik dan hendak membuka pintu mobil.
Namun lagi-lagi Alvan menahannya dengan menarik tangan Qiana, hingga spontan Qiana berbalik menoleh pada Alvan.
Sialnya kali ini justru tanpa sengaja bibir ranum Qiana sudah mendarat sempurna di bibir manis Alvan.
Alvan yang sudah tidak tahan segera melumat bibir ranum Qiana dengan lembut, Qiana untuk yang pertama kalinya merasakan sesuatu yang nikmat di dalam hidupnya hanya diam saat Alvan justru terus mencium bibirnya semakin dalam.
Bagi Alvan ini adalah pengalaman pertamanya mencium bibir seorang gadis, selama empat tahun lebih menjalin kasih dengan Rayya, Alvan tidak pernah sedikit pun menyentuh Rayya bahkan menciumnya sekali pun.
Tapi dengan Qiana, gadis yang baru pertama kali bertemu dan baru beberapa jam dia kenal Alvan sudah berani mencium bibir gadis itu.
Tes…
Tes…
Tesss…
Air mata Qiana jatuh dari sudut kedua matanya, selama ini Qiana berusaha menjaga diri agar tidak terpengaruh dengan pergaulan bebas.
Kini tiba-tiba saat baru pertama kali bertemu dengan Alvan, laki-laki menyebalkan yang baru dia kenal. Qiana tidak bisa mengontrol diri justru membiarkan Alvan menikmati bibirnya yang seksi.
"Emmmpppttt…" Qiana berusaha melepaskan pagutannya dari bibir Alvan karena hampir kehabisan nafas.
Alvan yang baru tersadar dari perbuatannya, segera menarik bibirnya dari bibir Qiana. Namun saat melihat air mata Qiana, Alvan merasa iba dengan gadis itu. Alvan membelai lembut rambut Qiana, membuat Qiana semakin menangis tersedu.
Alvan yang tidak tega melihat Qiana seperti itu, membawa tubuh Qiana masuk ke dalam pelukannya. Sementara Qiana menenggelamkan wajahnya ke dalam dada bidang Alvan, hingga tubuhnya terus berguncang karena tangisnya.
Setelah tenang Qiana yang merasa nyaman berada di dalam pelukan Alvan berhenti menangis. Alvan kemudian melepaskan pelukannya dari Qiana, dengan cepat Qiana menyeka air matanya dan tertunduk lesu.
Alvan yang melihat Qiana tertunduk lalu mengangkat dagu Qiana. Alvan menatap dalam mata Qiana yang bulat nan indah.
"Maafkan aku…" bisik Alvan lirih, namun tidak mendapatkan jawaban maupun respon dari Qiana.
Qiana justru diam seribu bahasa, membalas tatapan Alvan dengan sayu. Alvan yang kini sudah dikuasai nafsu, kembali mendekatkan bibirnya kepada bibir Qiana.
Saat melihat Qiana memejamkan matanya, Alvan seperti mendapatkan izin untuk kembali menikmati bibir yang sudah basah itu.
Alvan dan Qiana sama-sama tenggelam dalam pagutan mereka masing-masing, walau masih sangat kaku namun keduanya sangat menikmati permainan itu.
Saat nafas keduanya mulai tersengal, Alvan maupun Qiana segera mengakhiri permainan panas di bibir mereka masing-masing.
Alvan kembali menatap mata Qiana lebih dalam, namun Qiana segera memalingkan wajahnya. Qiana segera meraih pintu mobil dan membukanya.
Kali ini Alvan tidak melarang Qiana untuk keluar dari dalam mobilnya. Qiana keluar dari mobil lalu melangkah dengan wajah tertunduk lesu.
Alvan merasa bersalah saat melihat sikap Qiana. Berbeda dengan Qiana yang tadi pagi Alvan temui.
"Kenapa gue mencium bibir Qiana? Bodoh…! lu benar-benar bodoh, Alvan!" Alvan memukul-mukul kepalanya sendiri dengan pelan.
"Bagaimana kalau sampai Qiana mengadukan hal ini sama Oma, atau Papi? Mampus gue!" Alvan segera keluar dari mobilnya berniat menyusul Qiana.
Alvan berlari menuju lobi agar segera sampai di depan lift. Alvan berpikir saat ini Qiana sedang menuju kesana, Alvan berlari dengan tidak memperhatikan sekeliling hingga…
Bruuukkk…!
Alvan menabrak tubuh seseorang yang membelakanginya hingga berbalik dan hampir terjatuh. Alvan cepat menangkap tubuh Qiana masuk ke dalam pelukannya.
Alvan menatap Qiana dengan debaran jantungnya yang kembali berpacu kian kencang. Dada Alvan dan dua bola kenyal Qiana menyatu hangat.
"Qiana…?" pekik Alvan kaget.
"Kamu…?" Qiana terkejut
Qiana melepaskan diri dari pelukan Alvan, pemuda tampan yang hari ini sudah dua kali mencuri ciuman di bibirnya itu dengan manis dan lembut namun kaku.
"A… aku minta maaf, aku terburu-buru tadi sampai tidak sengaja menabrak kamu!" ujar Alvan merasa bersalah.
"Makanya jalan pake mata, dasar mesum!" bentak Qiana.
Qiana segera pergi menuju lift yang terbuka. Sementara Alvan berdiri mematung.
"Kata-kata itu… apa hanya kebetulan saja atau memang Qiana gadis itu sebenarnya?" gumam Alvan.
Alvan baru tersadar saat melihat Qiana sudah masuk ke dalam lift. Dengan segera Alvan menyusul Qiana lari menuju ke dalam lift.
"Qiana… tunggu!" seru Alvan saat melihat Qiana sudah masuk ke dalam lift.
Tap…!
Alvan menahan pintu lift yang hendak tertutup. Alvan segera masuk sebelum pintu lift itu tertutup rapat.
"Qiana, aku minta maaf!" pinta Alvan.
"Untuk?" balas Qiana ketus.
"Kejadian di mobil tadi, aku benar-benar minta maaf! Aku khilaf…" sesal Alvan.
"Lupakan saja!" Qiana menatap lurus ke arah pintu lift di depannya.
"Kamu marah padaku?" tanya Alvan merasa bersalah.
Plaaakkk…!
Qiana melayangkan tamparan keras di pipi Alvan. Laki-laki tampan itu terkejut hingga tubuh gagahnya terhuyung ke belakang, beruntung tidak sampai terjatuh.
Alvan menatap nanar pada Qiana, mata Qiana berkaca-kaca menatap penuh benci kepada Alvan.
Alvan mendekati Qiana hendak meminta maaf saat bersamaan pintu lift terbuka. Qiana segera keluar dari dalam lift dengan setengah berlari.
Alvan menatap kepergian Qiana dengan menahan rasa sakit di pipinya. Alvan menatap kembali punggung Qiana, namun gadis itu tidak masuk ke dalam ruangannya maupun ruangan Oma Inge.
Qiana masuk ke dalam toilet yang berada di lantai lima gedung itu, Qiana sudah hilang dari pandangan Alvan.
Alvan kemudian menghela nafas panjang dan membuangnya kasar, sebelum dia masuk ke dalam ruangan sang Oma.
Tok…
Tok…
Tok…
"Masuk!" seru Oma Inge.
Alvan membuka pintu ruangan Oma Inge di sana sudah ada Papi Billy. Oma Inge menatap wajah Alvan yang terlihat kusut dan kacau seperti ada sesuatu yang sudah terjadi pada sang cucu kesayangan.
Tok…
Tok…
Tok…
"Masuk!" seru Oma Inge.
Qiana masuk ke dalam ruangan Oma Inge. Seperti saat melihat Alvan masuk Oma Inge pun merasa heran saat melihat Qiana masuk.
Wajah Alvan dan Qiana sama-sama ditekuk. Pipi Alvan merah sementara hidung dan mata Qiana merah juga sembab seperti habis menangis.
"Duduk!" perintah Oma Inge kepada Alvan dan Qiana bersamaan.
"Terima kasih, Oma." Ucap Qiana dengan suara parau.
"Qiana, kamu kenapa? Apa ada masalah?" tanya Oma Inge.
"Aku baik-baik aja, Oma." Sahut Qiana.
"Benarkah?" selidik Oma Inge.
"Iya, Oma." Timpal Qiana tanpa berani menatap Oma Inge.
"Apa ada yang menganggu kamu, Qiana?" tanya papi Billy yang dibalas gelengan kepala oleh Qiana.
Oma Inge menatap Qiana namun Qiana tetap menunduk dan menyeka air matanya.
"Alvan, Qiana, bisa kalian jelaskan pada Oma, ada apa ini? Kenapa kalian datang dengan wajah ditekuk seperti itu?" tanya Oma Inge penasaran.
Qiana yang baru sadar jika Alvan sudah ada di ruangan Oma Inge langsung mengangkat wajahnya, begitu melihat Alvan sudah terlebih dahulu menatapnya hingga kini tatapan mereka berdua saling beradu pandang.
Alvan melihat mata Qiana sembab dan merah, begitu juga dengan hidung bangir Qiana. Alvan jadi benar-benar merasa bersalah pada Qiana, namun Qiana dengan cepat segera membuang muka dengan tatapan penuh benci kepada Alvan.
"Kalian berdua kenapa sih? Apa ada masalah?" tanya Oma Inge semakin penasaran saat melihat tatapan Alvan pada Qiana, begitu juga sebaliknya tatapan Qiana pada Alvan.
Qiana dan Alvan sama-sama membisu, mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Qiana tidak ingin Oma Inge tahu perasaannya saat ini, apa lagi laki-laki yang dia benci adalah cucu kesayangan dari bos nya sendiri.
Qiana tidak ingin kehilangan pekerjaan yang dia sukai, dan memang sesuai dengan bidang yang dia tekuni selama ini.
Qiana ingin membuktikan pada keluarga besar ibunya di Bandung, bahwa seorang desainer, penjahit ataupun semacamnya bisa maju jika menekuni pekerjaannya dengan terampil dan tekun.
Qiana yang sering dihina, diejek, bahkan dibuang dari keluarga besar sang ibu ingin membuktikan bahwa dirinya akan sukses tanpa bantuan mereka, yang bekerja di perusahaan sang kakek secara turun temurun.
"Qiana, apa bisa kita mulai saja pertemuan kita kali ini? Apa hasil yang kamu dapat saat meeting tadi?" tanya Papi Billy.
"Ini hasil laporan yang sempat aku tulis, aku juga sudah mencatat semua anggaran untuk proyek baru kita sekaligus pemasaran untuk produk baru dalam proyek ini, Pi." Qiana menyerahkan beberapa dokumen penting pada Papi Billy, kemudian disambut pula oleh Oma Inge.
Alvan yang sedari tadi menatap Qiana, tidak sedetik pun mengalihkan pandangan matanya dari Qiana. Qiana yang sadar Alvan menatap kepadanya, tidak ingin menoleh sedikitpun.
Qiana tetap fokus pada pekerjaannya, dan sesekali hanya melihat pada Papi Billy serta Oma Inge dan enggan melihat Alvan yang duduk tepat di hadapannya.