Chapter 2 - Bab. 2

Jakarta, Januari 2015…

Pesawat yang Qiana tumpangi baru saja mendarat di Bandara Soekarno Hatta. Senyum mengembang terbit di kedua sudut bibir Qiana saat kakinya kembali menginjak tanah air tercinta.

"Selamat datang kembali di Jakarta, Qiana…" Qiana membentangkan tangannya.

Kedatangan Qiana dan kelima mahasiswa perwakilan dari kampus yang pergi ke Belanda, disambut oleh perwakilan kampus yang sudah menunggu di Bandara.

Qiana dan kelima mahasiswa yang lain diantar pulang ke hotel yang sudah disediakan oleh kampus. Mereka diberi waktu istirahat selama tiga hari sebelum akhirnya kembali ke kampus.

"Akh… nikmat rasanya hidup ini!" Qiana menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di dalam kamar hotelnya.

Qiana terlelap dalam tidurnya karena lelah setelah perjalanan dari Belanda. Malam mulai larut Qiana terbangun saat perutnya merasa lapar. Qiana tidak punya pilihan selain meminta layanan hotel untuk mengantarkan makan ke dalam kamar hotelnya.

Tiga hari kemudian…

Drttt…

Drttt…

Drttt…

Ponsel Qiana bergetar. Saat melihat nama kontak di layar ponselnya, Qiana segera menggeser tanda hijau untuk menjawab panggilan.

"Ya, Oma?" sapa Qiana pada Oma Inge di balik sambungan teleponnya.

"Kamu sudah kembali dari Belanda?" tanya Oma Inge di ujung teleponnya.

"Aku sudah kembali ke Indonesia sejak tiga hari yang lalu, Oma. Maaf aku belum sempat menghubungi Oma." Balas Qiana merasa bersalah.

"Kamu mau buat Oma khawatir terus yah sepanjang hari, haaah?" Oma Inge marah.

"Maaf, Oma. Aku benar-benar belum sempat!" suara Qiana terdengar manja membuat Oma Inge jadi gemas membayangkan wajah Qiana yang imut-imut.

"Gak apa-apa, Qi. Oma telepon cuma khawatir aja sama kamu." Oma Inge tersenyum lega.

Qiana mengelus dadanya mendengar Oma Inge tidak marah kepadanya. Mana mungkin Oma Inge bisa marah kepada Qiana secara Qiana ini asisten kesayangannya.

Belanda, Februari 2015…

"Al, lu serius mau balik ke Indonesia sekarang?" tanya Gherry.

"Seriuslah! Ngapain gue canda mulu! Udah bosen tahu! Gue mau buka bisnis di Jakarta!" sahut Alvan dingin.

"Ya udah kalau gitu gue juga ikut balik ke Jakarta bareng lu, Al!" sambung Evan.

"Lu gimana, Gher?" tanya Alvan.

"Kalau kalian balik yah gue juga ikut baliklah! Kita buka bisnis di Jakarta bareng-bareng! Sayang ilmu kita selama kuliah di sini kalau gak di pake." celetuk Gherry terkekeh dengan bangga sementara Evan dan Alvan jadi memutar bola mata dengan malas.

Alvan, Gherry, dan Evan sudah bersahabat sejak masih sekolah SMP, hingga mereka kuliah bersama-sama di Belanda. Ketiganya adalah lulusan S2 terbaik di universitas negeri yang ada di Belanda.

Jakarta, Februari 2015...

Pesawat yang membawa Alvan, Gherry, dan Evan sudah sampai di Bandara Soekarno Hatta. Alvan segera menaiki taksi menuju ke rumahnya.

"Omaaa… aku pulang!" teriak Alvan saat membuka pintu rumahnya.

"Bang Al…?" sapa Bi Narsih.

Rasa rindu yang sudah tertahan selama hampir lima tahun lebih pada sang majikan akhirnya terobati sudah.

Alvan memeluk erat Bi Narsih pengasuhnya yang sudah sejak lama bekerja di rumah sang Oma. Tangis haru membuat Bi Narsih membalas pelukan Alvan semakin erat.

Lima tahun kemudian… 

"Pagi, Bang Al!" sapa seorang security bernama Pak Bambang.

"Pagi, Pak Bambang!" sapa Alvan kembali.

Alvan berjalan dengan langkah pasti menuju ke ruangannya, beberapa karyawan yang melihat Alvan tersenyum dan menyapa ramah pada CEO muda yang tampan itu.

"Hai, Al!" sapa Gherry saat berpapasan dengan Alvan di depan ruangannya.

"Hai, Bray!" Alvan menjabat tangan Gherry.

"Ada beberapa berkas yang harus lu lihat sebelum ditanda tangan, nanti gue bawa ke ruangan lu!" ucap Gherry.

"Oke, gue tunggu!" balas Alvan tanpa memalingkan wajahnya dari Gherry.

Bruuukkk…

Tubuh Alvan merasakan sesuatu yang kenyal, saat berbalik badan dan menubruk tembok di depannya. Matanya membulat sempurna hingga hampir keluar dari tempatnya, sementara mulutnya menganga lebar saat tahu yang Alvan tabrak adalah seorang gadis cantik.

Dada Alvan berdebar sangat kencang saat menyadari jika dua bola kenyal milik Qiana telah dia himpit diantara tembok dan tubuhnya.

Jangan ditanya bagaimana perasaan Qiana saat bertemu pandang dengan Alvan, apalagi dada bidang Alvan yang terasa menghimpit asset berharganya.

Dengan cepat Qiana segera mendorong tubuh Alvan. Wajah Qiana dan Alvan sama-sama bersemu merah, entah karena malu atau memang karena debaran di dalam dada mereka masing-masing.

"So… sorry…" ucap Alvan gugup saat tubuhnya di dorong oleh Qiana.

"Makanya jalan pake mata!" jawab Qiana dengan ketus, lalu berjongkok memunguti barang-barangnya yang terjatuh.

"Kata-kata itu? Sepertinya tidak asing di telingaku. Aku pernah mendengarnya tapi dimana? Aku lupa!" Alvan menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

Alvan ikut berjongkok membantu Qiana memunguti barangnya yang terjatuh. Namun alih-alih membantu insiden tak terduga kembali terjadi. Kepala Alvan dan Qiana saling membentur, hingga mereka saling menatap dalam diam.

"Awww…" pekik Qiana kesakitan.

"Sorry…" spontan Alvan memegang kepala Qiana.

"Issshhh… pagi-pagi udah kena apes aja!" tatap Qiana dengan sinis ke arah Alvan dan menepis tangan Alvan yang memegang kepalanya.

"Kamu gak apa-apa?" tanya Alvan setelah membantu Qiana memunguti barang miliknya yang jatuh berserakan di lantai.

"Pake nanya lagi! Ya sakitlah…!" Qiana mendelik kesal pada Alvan.

Glek…!

Alvan menelan salivanya sendiri yang terasa kering, pasalnya kejadian itu menjadi tontonan karyawan yang ada di kantornya.

Sebagai CEO di kantornya sendiri, Alvan merasa dipermalukan dengan sikap ketus Qiana yang kini sudah berdiri di hadapanya.

Karena kesal Alvan hendak pergi meninggalkan Qiana, namun saat Alvan akan melangkah tangan Qiana dengan cepat mencekal tangan kekar Alvan.

"Eh? Kenapa pegang-pegang tangan aku?" tanya Alvan nyolot.

"Kamu sudah menabrakku sampai barangku jatuh. Kepalaku juga sakit, main kabur aja! Dimana tanggung jawabmu, hah?" sela Qiana tak terima.

Alvan yang kesal mendekatkan wajahnya kepada Qiana, nafas mereka berdua terasa hangat berhembus pada wajah mereka masing-masing.

"Ap… apa yang mau kamu lakukan?" tanya Qiana takut.

"Memangnya apa yang akan aku lakukan dengan gadis angkuh sepertimu?" Alvan terus mendekatkan wajahnya ke pipi Qiana yang sudah memalingkan wajahnya.

"Al…!" panggil Gherry membuat Alvan menoleh.

"Hem." Gumam Alvan.

"Udah ditunggu di ruang meeting!" Gherry mengingatkan Alvan seraya menunjukkan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Lu duluan nanti gue nyusul masih ada urusan sama cewek ini!" gerutu Alvan kesal.

"Eh?" Qiana menatap Alvan dengan tatapan membunuh.

"Alaaah bilang aja mau enak-enak modus lu mah, Al! Dasar otak mesum, lu!" cibir Gherry seraya pergi meninggalkan Alvan.

"Haaah, teman kamu sendiri bilang kalau kamu itu otak mesum. Jadi apa yang sekarang mau kamu lakukan?" tanya Qiana ketus.

Wajah Alvan dan Qiana saling berhadapan, tatapan mata keduanya bertemu. Hidung mancung Alvan dan hidung mancrit Qiana sudah tidak berjarak lagi, Alvan maupun Qiana merasakan hembusan nafas hangat pada wajah keduanya.

Sriiing…

Qiana mendorong tubuh Alvan dengan kasar hingga tubuh Alvan terhuyung ke belakang beberapa langkah. Dengan cepat Qiana berlari menghindari Alvan, Qiana terburu-buru pergi dari hadapan Alvan.

"Sial! Dia kabur!" gerutu Alvan kesal.

"Akh… pagi-pagi udah apes aja!" gerutu Qiana.

Dengan nafas yang masih ngos-ngosan, Qiana menarik nafas dan membuangnya perlahan berulang kali untuk menetralkan suasana tegang yang baru saja terjadi.

Qiana mendorong pintu dan masuk ke dalam ruangan meeting dengan senyum manis tersungging di bibirnya, Qiana melihat ada beberapa orang yang berada di ruangan itu. Beberapa dari mereka ada yang sudah mengenalnya dan tersenyum kepadanya.

"Maaf, aku terlambat!" Qiana menyapa semua yang ada di dalam ruangan termasuk Evan dan Gherry.

"Gak apa-apa belum dimulai kok!" Sahut Evan yang memang sudah sangat mengenal Qiana.

"Ouh, oke!" timpal Qiana kemudian.

Suasana hening sejenak mereka sedang mempersiapkan agenda meeting. Saat pintu ruangan terbuka, semua menoleh ke arah pintu begitu juga dengan Qiana.

Mata Qiana terbelalak saat melihat Alvan masuk ke dalam ruangan itu, dadanya berdebar kencang bahkan wajahnya memerah karena menahan emosi.

"Sial… kenapa harus ketemu cowok nyebelin itu lagi sih?" rutuk Qiana di dalam hati.

Alvan yang berjalan dengan gagah tersenyum manis menyapa semua, tanpa Alvan sadari Qiana tengah berada di dalam ruang meeting yang sama dengannya.

Senyum Alvan seketika hilang saat matanya tertuju pada Qiana, bahkan wajah Alvan memerah sama seperti Qiana yang menahan emosi di dalam dadanya.

Deg…!

Pandangan mata Alvan dan Qiana kini bertemu dalam tatapan sama-sama sinis, rahang Alvan mengeras giginya bergemeratuk karena masih menahan kesal dengan sikap Qiana.

"Eheeem…" Gherry berdehem keras membuyarkan Alvan dan Qiana yang masih saling tatap.

"Bisa kita mulai meeting hari ini?" tanya Evan.

"Oke!" jawab Alvan dingin.

Dan meeting pun dimulai…

Alvan dan Qiana sama-sama menurunkan ego mereka masing-masing saat sedang meeting. Bahkan sesekali pendapat Qiana membuat Alvan kagum kepadanya, tapi Alvan juga belum bisa melupakan kejadian tadi pagi saat sebelum memulai meeting dengan Qiana.

"Baiklah, kita sepakat akan meluncurkan produk yang dirancang oleh perusahaan Pratama Wijaya. Terima kasih atas kerja samanya." Tutur Alvan menutup meeting.

"Sebelum kalian kembali ke kantor masing-masing, kami mengundang kalian semua untuk makan siang bersama." Ajak Evan mendahului yang lain menuju pintu dan kemudian diikuti oleh peserta meeting tidak terkecuali Alvan dan Qiana.

"Qiana…!" sapa Evan dengan ramah pada Qiana.

"Ya, Kak?" balas Qiana tersenyum manis pada Evan.

"Kamu diantar siapa?" tanya Evan.

"Pak Tatang yang mengantar aku kesini." Timpal Qiana ramah.

Melihat kedekatan Evan sahabatnya dengan Qiana, membuat Alvan semakin kesal pada Qiana.

"Apa Evan sangat dekat dengan gadis itu? Mereka seperti sudah saling mengenal." batin Alvan.

Alvan sesekali melirik Qiana yang duduk di seberangnya dan berdampingan dengan Evan dan Gherry.

"Kenapa Oma mengirim gadis angkuh itu untuk meeting kali ini?" batin Alvan merasa dongkol.

Selesai makan siang bersama mereka mulai membubarkan diri dan kembali ke kantor masing-masing, sementara Evan dan Qiana masih asyik ngobrol.

"Van… gue balik duluan ke kantor yah!" Alvan berdiri dari tempat duduknya.

Drrrttt…

Drrrttt…

Drrrttt…

Ponsel Alvan bergetar dengan cepat Alvan merogoh saku celananya. Alvan mengusap layar ponselnya melihat nama kontak yang ada di layar ponselnya.

"Oma…?" gumam Alvan seraya menggeser tanda hijau di layar ponselnya.

"Al, kamu datang sekarang ke kantor Oma! Sekalian kamu ajak Qiana bareng kembali ke kantor Oma, Pak Tatang tidak bisa menjemput Qiana. Ban mobilnya tadi pecah saat pulang dari kantormu waktu mengantar Qiana." Perintah Oma Inge membuat Alvan terkejut.

"What…?" ucap Alvan kaget.

"Kenapa? Kamu gak dengar apa yang Oma katakan barusan, apa kurang jelas?" balas Oma Inge pada sambungan teleponnya.

"Ta… tapi kenapa harus aku, Oma? Biar Evan saja yang mengantar gadis angkuh itu kembali ke kantor Oma, aku masih banyak kerjaan!" sahut Alvan kesal.

"Al, kamu kenapa sih? Oma minta kamu datang kemari karena ingin bicara banyak hal mengenai pekerjaan, Oma hanya minta kamu sekalian mengajak Qiana. Kenapa kamu malah terdengar kesal seperti itu?" tanya Oma Inge kemudian.

"Tapi Oma…" Alvan ingin menolak.

"Cepat datang kemari, Oma dan Papi kamu menunggu!" Oma Inge segera menutup sambungan teleponnya.

Alvan mencebik kesal, apa yang diminta sang Oma kali ini tidak bisa dilakukan bukan karena ingin menolak keinginan sang Oma. Tapi Alvan tidak ingin berurusan dengan gadis angkuh yang bernama Qiana, Alvan masih sangat marah dengan Qiana.

"Apa aku manfaatkan saja moment ini, untuk membalas sikapnya pagi tadi kepadaku? Dia sudah mempermalukan aku tadi pagi, aku masih belum puas mempermalukan gadis itu!" senyum licik terpancar di bibir Alvan

"Al, lu mau pergi sekarang?" tanya Evan yang sudah selesai berbincang dengan Qiana.

"Oma barusan telepon gue, Oma minta gue datang ke kantornya sekalian nganter dia!" tunjuk Alvan pada Qiana dengan bibirnya yang dibuat jadi monyong sekitar lima senti.

"Apa? Kamu disuruh Oma nganterin aku? Ogah…!" balas Qiana sinis.

"Ini perintah Oma! Kalau bukan karena Oma yang minta, gue juga ogah nganterin lu balik ke kantor!" bentak Alvan semakin kesal pada Qiana.

Alvan menarik tangan Qiana dengan kasar, Qiana yang tidak terima mencoba melepaskan tangan Alvan yang mencekalnya kuat. Alvan tidak sedikit pun melepaskan tangan Qiana, Alvan justru semakin kasar menarik tangan Qiana untuk terus menyeretnya mengikuti langkah kakinya.

Tangan Qiana mulai merasakan sakit, saat Alvan terus menyeret Qiana dengan paksa. Evan yang mengekor di belakang mereka, merasa kasihan dengan Qiana yang terlihat kesakitan.

Tap…!

Evan menahan tangan Alvan, seketika Alvan berhenti melangkah dan menoleh pada Evan yang tengah menahan tangannya. Alvan lalu menatap wajah Qiana yang memerah karena menahan sakit di tangannya, namun itu tidak membuat Alvan iba pada Qiana.

"Ada apa?" tanya Alvan sinis pada Evan saat tahu kalau sahabatnya itu yang menahan tangannya.

"Jangan main kasar sama cewek, Al! Atau lu punya masalah dengan Qiana?" bentak Evan tak terima dengan sikap Alvan yang kasar pada Qiana.

"Kenapa memang? Apa gadis ini pacar lu, Van?" tanya Alvan tersenyum sinis.

"Dia punya nama, dan namanya Qiana Fathiyya bukan gadis ini! Dan perlu lu tahu, Qiana bukan pacar gue. Karena selama ini gue udah nganggap dia kayak adik gue sendiri, jadi lu jangan macam-macam sama Qiana. Atau…" belum selesai Evan bicara, Alvan memotongnya.

"Atau apa, hah?" tantang Alvan pada Evan sahabatnya.

"Gue laporin lu sama Oma, biar Oma tahu kalau asisten pribadi kesayangannya sudah disakiti sama cucu kesayangan Oma Inge sendiri…" ancam Evan membuat Alvan maupun Qiana terkejut.

"Ap… apa?" ucap Alvan dan Qiana hampir bersamaan.