Sebagai bentuk dukungan kawan-kawan buat Light Novel That Time One Class Summoned in the Another World ini. Penulis berharap, tanpa paksaan, cukup melakukan dua hal ini.
1. Sempatkan pencet tombol LIKE sebelum membaca.
2. Sempatkan tinggalkan KOMENTAR setelah membaca, terserah mau komen kayak apa, ketik satu huruf "A" saja termasuk komentar kok(。•̀ᴗ-)✧
_________________________________________
Suara air menetes sampai ke telinganya. Angin dingin bertiup melewati pipinya, dan seluruh tubuhnya menggigil di dalam air. Shin mengerang pelan saat membuka matanya.
Bagian atas tubuhnya tergeletak di atas sebuah batu besar yang menjorok keluar dari tepi sungai.
"Ghuk!"
Shin terbatuk ketika hidungnya terhalang oleh air.
Dengan tubuhnya yang menggigil, dia mendorong dirinya ke tanah, rasa sakit melanda seluruh tubuhnya selama ini.
"Dimana ini… kupikir aku…"
Dia memantapkan kepalanya dengan satu tangan, lalu mencoba mengingat bagaimana akhirnya dia berada di posisi itu.
"Benar juga," kemudian Shin mencoba untuk menoleh ke samping, yang dimana Rin tertidur di sampingnya. "Sebenarnya… berapa lama kami tertidur di sini."
Lingkungannya relatif gelap, tapi berkat kristal biru yang berserakan, warnanya tidak gelap gulita melainkan gemerlapan. Dia melihat ke belakang dan melihat sebuah danau setinggi lima meter, dan menyadari bahwa dia masih setengah terendam.
Sebuah keberuntungan telah menyelamatkannya dari kematiannya jatuh menuju sebuah danau Tera.
Kemudian, Shin mencoba untuk naik ke permukaan tepi danau serta mengangkat tubuhnya Rin, lalu meletakkannya ke tanah secara rebahan.
Dan ia mencoba untuk membangunkan Rin dengan cara menggoyang-goyang tubuhnya.
"Sadarkan dirimu, Yuasa-san!"
Terutama mengingat bahwa di tengah perjalanan airnya, sesuatu menampar dan menjatuhkannya. Jujur saja, bahkan dia pun tidak mengerti betapa ajaibnya kelangsungan hidup mereka bisa bertahan selama ini.
"Hei! Sampai kapan kau terus tidur seperti itu?"
Shin bisa melihat seluruh wajah Rin saat terbaring, bibirnya berwarna merah muda serta tubuh idealnya membuat siapapun akan terpesona saat melihatnya. Namun, Shin tidak merasakan apapun dari itu. Yang terpikirkan olehnya saat ini adalah bagaimana caranya menolong Rin agar dia bisa sadar.
"Yuasa-san…? Dia tidak mendengar. Ini benar-benar gawat!"
Di tengah tebing, dia melihat sebuah lubang di dinding tempat airnya membanjir. Sebuah air terjun. Sebenarnya ada banyak air terjun kecil saat ia terus terjatuh, dan Shin berhasil hanyut, sampai akhirnya air terjun itu membimbingnya masuk ke salah satu danau di tebing, seperti air yang meluncur dari jurang. Fakta bahwa mereka masih hidup sungguh suatu keajaiban.
"Semoga saja dia masih hidup."
Saat itu, Shin mulai memikirkan segala macam cara untuk menyadarkan Rin.
Seharusnya Rin itu dia bisa berenang, tapi karena dia mengalami beberapa tekanan mental yang membuat pikiran kosong dan tubuhnya pun tidak mengikuti pikirannya dengan benar.
Rin pingsan karena jalur pernapasannya terhalang oleh air. Jika tidak cepat menolongnya, mungkin Rin lambat laun akan perlahan kehilangan kesadarannya dan mati. Begitu pikirnya.
Ia memeriksa beberapa bagian jalur pernapasan seperti mulut, hidung dan dadanya.
Meski, Shin tidak terlalu mengerti hal seperti ini, tapi dia bisa mempraktekan langsung apa yang pernah di tontonnya di siaran televisi.
Setelah memeriksa dadanya, menandakan bahwa masih bisa merasakan adanya detak jantung, entah bagaimana Shin merasa sangat lega.
Shin tentu sangat bersyukur kalau dia masih hidup. Ia langsung melakukan resusitasi jantung paru dengan menekan bagian tengah dadanya sejajar dengan telapak tangan.
"Bertahanlah, Yuasa-san…"
Entah beberapa kali cara itu dilakukan, Rin masih saja belum sadarkan diri.
"Dia masih belum sadar juga…"
Masih ada satu cara lagi yang masih bisa dilakukan olehnya, tetapi Shin tidak begitu yakin dan tidak pernah melakukan hal ini semasa hidupnya. Meski begitu, ia tidak punya pilihan selain melakukannya.
(Hayo… tebak, Shin bakalan ngelakuin apa tuh pada Rin…)
"Harus kulakukan."
Shin melakukan hal itu secara perlahan-lahan, karena ada kemungkinan terburuk terjadi nanti pastinya. Pertama-tama yang ia lakukan adalah memencet hidung Rin, kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Rin dan menciumnya. Setelah itu, Shin meniupkan udara di dalam mulutnya Rin hingga dua kali tiupan dalam satu detik.
Dengan cara ini, Rin pun telah sadarkan diri. Dan dia batuk beberapa kali mengeluarkan seluruh air yang tertinggal di dalam tubuhnya. Shin juga membantunya untuk duduk dan menanyakan tentang keadaannya saat itu.
"Bagaimana dengan keadaanmu? Apakah kau baik-baik saja sekarang?"
Saat ia menanyakan itu dengan khawatir, Rin sempat melamun melihat sekitar atau bisa dibilang linglung penuh dengan tatapan yang kosong.
Rin teringat mimpi buruk bagaimana orang yang selama ini dia kejar dan ia kagumi ingin membunuhnya.
"Jun! Kenapa… kenapa…"
Rin menyebut namanya dan terus membisikan kalimat itu berulang kali yang disertai rasa mencintai dan kecewa yang bercampur aduk. Jika itu terus berlanjut, Rin akan berakhir menyakiti dirinya sendiri. Dia sudah diluar akal rasionalitas. Kesedihan, pahitnya kenyataan benar-benar mengelilingi benaknya.
"Yuasa-san! Tenangkan dirimu dulu!"
Shin menarik napas berat, kemudian melanjutkan.
"Meski kau menyebut namanya berulang kali, itu tidak ada gunanya. Jika terus begini, kau seperti menyakiti dirimu sendiri."
"Apa maksudmu tidak ada gunanya…!? Jun! Kalau itu, Amanogawa Jun dia tidak akan pernah—" tanpa selesai untuk bicara, Shin langsung memotongnya.
"Tidak akan pernah meninggalkan temannya. Apakah kau berpikir begitu barusan?"
"Bukan!" Rin menyangkal. "Bukan begitu, maksudku adalah… kalau dia pasti tidak akan pernah melakukan itu semua untuk meninggalkan kita tanpa alasan!"
"Pada kenyataannya, dia memang sengaja membiarkan kita terjatuh ke jurang labirin ini."
Setelah mengatakan itu. Rin langsung menatap Shin dengan mata yang tajam.
"Dari awal, ini semua salahmu!"
"Baik! Ini semua adalah salahku, karena telah menolong seorang gadis tidak tau diri sepertimu. Seandainya kau tidak terjatuh saat itu, mungkin kau dan Amanogawa akan selamat kemudian bergabung dengan kelompok lainnya. Akan tetapi, karena kebodohan yang kuperbuat sendiri, aku harus menolongnya dan ikut terjatuh bersamanya di dasar jurang ini. Seharusnya kau berterima kasih denganku, atau sebaiknya kubiarkan saja kau di sana waktu itu."
"S-siapa yang kau sebut gadis tidak tau diri?! Aku ini seleb terkenal, selain itu aku juga cantik dan mandiri. Bahkan, ibuku pernah bilang kalau aku ini anak yang baik!"
"Mau menyombongkan diri? Maaf saja, sampai kapanpun itu aku tidak akan pernah tertarik kepada gadis seperti kau!"
"Geh?!" Rin merasa suatu pukulan keras pada rohaninya. "Aku juga tidak akan pernah memaafkan lelaki seperti kau! Hmph!"
Ia memalingkan wajahnya dari Shin. Sementara itu, wajahnya Rin seketika memerah. Tampaknya ia menyadari bahwa Shin telah menciumnya sekali pada saat ia mulai sadar.
Di bawah gelap sana, Shin dan Rin malah bertengkar yang tidak menghasilkan apapun di sana. Justru karena suara mereka, tanpa mereka sadari bahwa mereka telah memanggil monster kelas menengah yang mengerikan di sana.
"Tunggu dulu, apa kau mendengarkan sesuatu?"
Itu adalah suara langkah kaki yang tampak besar. Shin bisa merasakan bahwa tanah di sekitarnya bergetar.
Mereka berdua pun gemetar, menolak memberi waktu untuk mereka bisa berbuat apa-apa. Ia memperdaya dengan napas besar, lalu mengeluarkan suara mengguruh nyaring, menandakan bahwa monster itu mendekat.
"...Grhrrrrrr."
Monster itu menggeram seolah telah melihat dua mangsanya yang tidak bergerak.