Sebagai bentuk dukungan kawan-kawan buat Light Novel That Time One Class Summoned in the Another World ini. Penulis berharap, tanpa paksaan, cukup melakukan dua hal ini.
1. Sempatkan pencet tombol LIKE sebelum membaca.
2. Sempatkan tinggalkan KOMENTAR setelah membaca, terserah mau komen kayak apa, ketik satu huruf "A" saja termasuk komentar kok(。•̀ᴗ-)✧
_________________________________________
Bersiap sebelum skenario terburuknya, Shin menyuruh Rin untuk mundur ke belakang sementara dia berada di depan.
Dari retakan itu, Shin bisa melihat sesuatu yang lembut, seperti bulu atau semacam rambut halus.
"Tunggu, apa itu?" Tanya Rin.
"...Sebuah bulu?"
Shin memiringkan kepalanya dengan bingung.
Retakannya meluas dan terbuka dengan suara pecah yang bisa terdengar di telinga mereka, dan wajah seekor monster keluar dari lubangnya.
"Apa-apaan itu.."
"Whaa!"
Shin terkejut dan Rin berteriak. Mereka termencalak saat melihat bola kristal di depan mereka pecah, menemukan makhluk yang kecil dan imut.
"Cuit!"
Itu seperti seekor anak ayam berwarna merah muda. Berbalut bulu-bulu halus, dan ada pecahan telur kecil yang menempel di kepalanya, seperti topi. Burung itu menatap, Shin yang menjadi perhatian pertama.
Jika itu adalah monster yang keluar dari bola kristal, pasti akan menjadi sesuatu yang membahayakan, akan tetapi kalau memang seperti itu, artinya benda ini adalah iblis berwujud hewan jinak (burung).
"Cuit?"
Hewan jinak itu memiringkan kepalanya dengan imut sambil menatap mereka bedua.
"....."
Shin dan Rin hanya berdiri diam di sana sambil melihat pemandangan yang aneh itu, sebuah perkembangan situasi yang tidak terduga.
Mereka bahkan tidak melihat satu sama lain, saat mata mereka terpaku pada bayi burung yang keluar dari bola kristal tersebut.
".... Cuuit!"
Sebagai respon dari kicauan yang ketiga kalinya, bola kristal yang telah terkelupas, sebagai gantinya, seekor burung keluar. Memang itulah wujud aslinya.
"Huh?"
Burung itu berusaha mengepakkan sayapnya yang kecil dan tiba-tiba terbang, lebih tepatnya seperti barusan meloncat ke arah Shin, dan menabrak wajahnya.
Memang nggak sakit, tapi dia terkejut burung itu begitu energik, padahal baru saja keluar dari tempat persembunyiannya.
"Dia menyerang!"
"Whaa!"
Shin berteriak, secara alami kakinya mundur ke belakang dan tampak salah mengambil tumpuan kemudian Shin terpeleset ke belakang, di belakangnya ada Rin juga ikut ditabrak olehnya, kemudian mereka jatuh ke lantai.
"Sakit…"
Untuk sesaat monster itu berpindah dan mendarat dengan lembut ke tubuhnya Shin yang terjatuh.
"Cuiiiiiit!"
Itu adalah suara kicauan yang keempat kalinya.
Keduanya terlihat membuat ekspresi kebingungan.
Kalau itu adalah seekor monster yang berbahaya, mungkin sedari mereka sehaursnya sudah diserang habis-habisan.
Jika mereka bertanya, mereka mungkin bisa mendapatkan jawabannya setelah merawatnya. Shin mengulurkan tangannya pada burung kecil itu, mencoba untuk menyentuhnya sekali.
"Ini lembut."
Shin menjadi keterusan mengelus-elus bulunya yang halus itu. Melihat itu, Rin menggembungkan pipinya dan berkata.
"Biarkan aku menyentuhnya juga!"
Burung itu terus berkicau dan menggosokkan wajahnya pada wajah Shin. Burung itu cukup lucu.
Tampaknya hal itulah yang membuat Rin juga ingin menyentuhnya.
"Tidak boleh. Aku yang pertama."
Namun, Shin tidak membiarkan seorang pun merebut sesuatu yang telah dimilikinya begitu saja. Akan tetapi, Rin yang memiliki karakter agak keras kepala tidak menyerah begitu saja, dan berpikir untuk merebutnya secara paksa.
"Kau curang! Kalau begitu…"
Dia dengan paksa merebut burung itu dari tangannya Shin.
"Hei, kembalikan padaku!"
"Bweh!"
Rin menjulurkan lidahnya keluar dengan ekspresi sedikit konyol. Hal itu membuat Shin terprovokasi dan cemberut, lalu menarik napas berat.
"Seperti biasa, kau sangat egois…"
Selain itu, dia masih belum tahu jenis monster apa burung itu. Dia bahkan tidak tahu ketika dewasa burung ini akan berubah menjadi monster seperti apalah itu. Tapi, satu hal yang perlu diingat, burung itu sangatlah imut.
"...Selain itu, ini semua terdengar aneh."
"Kenapa, apa yang terdengar aneh?"
"Kalau dipikir, darimana benda itu berasal? Dimana induk yang melahirkannya? Selain itu… apaan dengan ruangan ini? Serius dingin banget! Dengan suhu dibawah seperti ini, dan tanpa dierami seorang induk… sebuah telur tidak dapat menetas."
"Yah, aku tidak sepenuhnya yakin… tapi, siapa peduli dengan itu?"
"Aku peduli tau!"
Shin melipat kedua tangannya, melemparkan wajahnya ke arah lain dan bergumam.
"Percuma saja aku berbicara denganmu."
"Huh? Apa kau bilang?"
Rin sepertinya mendengar itu, namun tidak sepenuhnya.
"Cuit! Cuit!"
"Uh?"
Burung itu dapat membaca situasi, dan memecahkan kerunyaman diantara mereka ketika ia berkicau.
Shin mulai kepikiran sesuatu. Kalau burung ini betul hewan, itu artinya mereka masih bisa mendapatkan sedikit keuntungan— mengingat mereka tidak makan selama dua hari. Kalau dia betul.... Shin berpikir untuk menjadikan burung itu sebagai daging panggang.
"Ide bagus. Ayo kita rawat dia!"
"Eh? Serius?"
Namun, burung itu memperlihatkan reaksi tak terduga, seekor burung itu seperti dapat membaca pikiran jahatnya.
"Chit! Chit! Chit!"
"T-tunggu! Dia kenapa?"
Burung itu mengamuk dari genggaman tangannya (Rin) dan melompat ke bawah dan bersembunyi.
Rin segera mengalihkan pandangannya ke arah Shin, dan menyadari kalau dialah penyebabnya.
"Eh? Kenapa, kau melihatku seperti itu?"
Shin malah kebingungan, ketika dirinya dipandang terus oleh Rin.
"Shin, kau menakutinya!"
"Aku…?" Shin menoleh.
Burung itu jelas ketakutan sambil menatapnya.
"Bahkan, aku tidak melakukan apa-apa..."
Imut banget! Sepertinya...menjadikan dia makanan itu terlalu kejam.
Melihat reaksi tak terduga itu, Shin memutuskan untuk tidak memanggangnya.
Setelah itu, burung itu keluar dari persembunyiannya dan melompat ke atas pundaknya Shin.
"Whoa!"
Hmmm…merawatnya tidak salah juga.
"Cuit!"
Burung itu berkicau sambil bertengger di kepalanya.
"Omong-omong, apa yang dimakan monster ini?" Tanya Rin.
"Benar juga… sangat sulit mencari makanan di sini, bahkan selama ini kita tidak makan apapun," lanjut Shin. "Tapi, tunggu?"
"Apa?"
"Aku sudah lama kepikiran tentang ini, ada sesuatu yang ingin aku coba."
"Huh?"
Rin memiringkan kepalanya karena bingung apa yang ingin dilakukan Shin, sementara Shin mengambil sisa pecahan bola kristal yang ada di atas candi, dan mencoba untuk mengubahnya menjadi makanan dengan apa yang dipikirkannya.
"Konversi!"
Skill [Konversi], itu adalah sebuah kemampuan yang dapat mengubah suatu objek menjadi objek yang lain. Karena, dunia yang mereka sekarang adalah dunia dengan konsep fiksi. Hanya dengan membayangkan saja, Shin dapat mengubah apapun itu sesuai dengan keinginannya.
Sepertinya, percobaan itu berhasil.
"Ini… pasti bohong 'kan?"
Rin menyaksikan dengan rasa tidak percaya. Dia mencoba mengubah pecahan bola kristal itu menjadi sesuatu yang tak terduga.
Sebungkus roti berada di depan mata mereka.
"Ini berhasil!"
"Kenapa kau tidak mencobanya dari awal?!"
"Y-yah, mau bagaimana lagi, aku tidak punya kesempatan untuk berpikir jernih saat itu."
Namun, Rin tampaknya kurang puas karena di depannya bukan pizza melainkan roti.
"Tapi… kenapa harus roti?!"
"Apa masalahnya?! Aku bahkan masih ingat setiap pulang sekolah aku selalu mampir ke Humberg Saize untuk membeli roti di sana. Jadi, satu-satunya yang bisa terpikirkan olehku hanyalah sebuah roti."
"Itukan, masih banyak makanan di luar sana, contohnya seperti pizza!"
"Astaga, aku tidak mengerti pikiran orang sugih."
"Jadi begini, dengar." Rin mengangkat kedua tangannya dengan semangat.
Tidak didengerin!
"Di restoran Kyoto, mereka selalu menyediakan dessert, kayak Namagashi dan Dango… banyak lagi!"
Shin mengangguknya karena ingat bagaimana ia mencicipi dengan rasa terburuk di lidahnya, karena Dango itu adalah makanan manis.
"Oh. Imajinasimu benar-benar liar ternyata."
"Kan?"
Rin memegang kedua pinggangnya dengan bangga, yang justru membuat Shin terkekeh.
"Tapi sayang sekali, imajinasimu akan gagal."
"Hm?"
Rin menatapnya dengan heran.
"Karena aku tidak ingin membantumu."
"Hah?"
"Hah? Jangan malah heran. Kau dan aku sudah mengatakannya sejak dulu, bahwa kita berjanji tidak akan saling membantu satu sama lain. Bukankah… kau yang mengatakannya saat itu?"
"Aku tahu..." ucapnya lirih.
Mendengar hal itu barusan, sepertinya Rin merasa terpukul. Dia secara alami terdiam dan menundukkan kepalanya lebih rendah seolah menyesalinya.
"Tunggu? Dimana dia?"
Shin meraba-raba pundaknya, namun monster itu tidak ada.
Saat mereka berdua berdebat, burung yang berada di atas kepalanya tadi menghilang. Tampaknya, burung itu melompat ke lantai dan memakan semua roti yang ada di depan mereka.
"Gah?! Rotinyaaaaa!"
Shin berteriak histeris.
"Cuit?"
Burung itu justru menghabiskan semuanya tanpa sisa.