Sebagai bentuk dukungan kawan-kawan buat Light Novel That Time One Class Summoned in the Another World ini. Penulis berharap, tanpa paksaan, cukup melakukan dua hal ini.
1. Sempatkan pencet tombol LIKE sebelum membaca.
2. Sempatkan tinggalkan KOMENTAR setelah membaca, terserah mau komen kayak apa, ketik satu huruf "A" saja termasuk komentar kok(。•̀ᴗ-)✧
_________________________________________
Shin dan Rin meneruskan perjalanan mereka tanpa arah dan tujuan.
Setiap setengah jam, mereka selalu beristirahat dan meminum air seadanya. Secara perhitungan, sudah dua hari mereka tidak makan dan itu membuat keduanya merasa agak lemas.
Mereka bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, selama dua hari berlalu sejak mereka terjatuh, mereka tidak pernah lagi bertemu dengan monster.
Sepanjang lorong gua yang mereka lewati begitu gelap dan sunyi, sampai suara air yang menetes dan angin dingin yang berhembus pun terdengar di telinga mereka. Memang benar, ada suara lain yang tercampur dengan suara dari aliran air tanah. Itu terdengar seperti siulan sedih dengan nada yang naik dan turun.
Secara menyeluruh, gua itu memiliki panjang hampir setengah tiga kilometer yang di sepanjang lorongnya terdapat kristal biru yang gemerlap berkilauan. Gua itu memiliki tingkat kedinginan yang agak tinggi, dinginnya seperti berada di musim salju di Amerika.
Susunan batu yang berliku ini kelihatannya terus terbentang dengan terus menerus.
Dindingnya memperlihatkan cahaya biru keabu-abuan seolah-olah itu terlihat basah.
Terkadang, Shin khawatir dengan gerakan gemerisik yang kecil di bagian gelap dimana cahaya tidak mencapainya.
Tetapi, tidak peduli bagaimana Shin memfokuskan pandangannya, dia tidak dapat menemukan jalan keluar sama sekali. Meskipun terkadang ada sesuatu yang berwarna abu-abu yang terlihat seperti es yang tergantung di langit-langit, dia segera tahu bahwa itu batu hanya dengan memandangnya saja.
Rin terlihat menyelimuti seluruh tubuhnya dengan blazer miliknya (Shin) di bahunya hingga menutupi dadanya. Kemudian, Shin yang tanpa blazernya merasa bahwa tubuhnya menggigil dan menggosokan kedua tangannya secara bersamaan.
"Ah...…"
Shin mengeluarkan nafas dari mulutnya berwarna putih, seperti saat musim dingin.
Saat itu juga, Shin menoleh ke arah Rin yang berjalan di sampingnya, dia tampak kelihatan khawatir. Namun, entah kenapa kesunyian membuatnya sangat sulit untuk mengatakan sesuatu.
Apa yang mereka dengar, selain dari suara dari sepatu kulit mereka yang bersentuhan dengan batu, hanyalah suara dari aliran air tanah. Bahkan meskipun mereka telah mendekati sumbernya, aliran air itu sama sekali tidak melemah.
"Yuasa—"
Ketika, Shin benar-benar telah menyiapkan dirinya untuk berbicara, Rin sepertinya telah menginjak sesuatu. Tiba-tiba kakinya membuat suara yang aneh, dan Shin berhenti bicara. Itu adalah suara dari sesuatu yang pecah di bawah kakinya Rin.
"Lihat ini," kata Rin. "Bukankah… ini seperti air yang membeku, semacam es?"
Shin membungkuk rendah untuk melihatnya, namun Rin dengan reflek menghindar dan menutupi rok sekolahnya.
"Menjijikan!" teriak Rin. Kemudian ia menatapnya dengan ekspresi jijik. "Kau berusaha melihatnya 'kan?!"
Suaranya yang nyaring menggema ketika Rin berteriak. Shin kebingungan dan aneh dengan tingkah lakunya yang keluar secara tiba-tiba. Karena merasa terhina, Shin mengerutkan dahinya kesal dan membantahnya.
"Ha? Ada apa denganmu? Aku hanya ingin melihat apa yang kau injak."
"Ah."
Rin terlihat merasa bersalah.
Kemudian, Shin melihat ke arah tempat bekas injakan Rin itu. Dia menemukan pecahan es tipis yang transparan. Shin mengulurkan jarinya untuk mengambil bagian-bagian tipis yang transparan itu.
Setelah menaruh itu di telapak tangannya untuk beberapa detik, benda itu meleleh menjadi tetesan air, mereka berdua saling menatap satu sama lain dan tanpa sadar memperlihatkan senyuman.
"Ini es, tidak ada keraguan lagi. Itu artinya ini adalah titik akhir dari gua, kita pasti akan menemukan jalan keluar dari sini."
Shin kembali berdiri.
"Serius?! Yey! Kita menemukan jalan keluar!"
Rin melompat-lompat kegirangan.
"Hentikan, kau akan terpeleset jika kau melompat di tempat seperti ini."
"Aku tahu."
Lihat, kau masih persis seperti anak kecil.
Sebenarnya, Shin juga merasa senang karena akhirnya mereka bisa keluar dari jurang itu. Selain itu, dilihat dari manapun, sikapnya Rin yang sekarang, tampaknya ia telah kembali ke dirinya yang semula.
Berdasarkan waktu yang mereka tempuh, kelihatannya mereka telah berjalan sekitar ratusan mel dalamnya.
Tiba-tiba, dinding di bagian kiri dan kanan berakhir. Pada saat yang sama, pemandangan menakjubkan yang mendebarkan terlihat di depan mata mereka.
Luas. Itu sangat sulit untuk mempercayai bahwa mereka ada di gua bawah tanah, karena ruangan terbuka yang sangat luas. Luasnya sudah pasti beberapa kali lebih luas dari gedung yang ada di sekolah.
Dinding melengkung, yang hampir mengelilingi seluruh keadaan sekeliling, tidak lagi terlihat seperti dinding abu-abu basah yang mereka sampai sekarang, tapi tertutup oleh lapisan biru terang, tebal, yang transparan. Lalu, setelah melihat pada permukaan lantai.
Itu es. Dinding sekelilingnya, tanah yang ada dibawah kaki mereka, pilar aneh berbentuk segi enam, semuanya terbuat dari es. Dinding biru itu yang terbentang vertikal, dan menutupi jauh di ketinggian, seperti kubah gereja.
"Indahnya…"
Di saat Rin memperluas mimpinya di dunia es sementara masih berjalan, hidungnya menabrak bagian tubuh belakang Shin, yang tiba-tiba berhenti, dengan wajah merengut.
"Hei, jangan tiba-tiba berhenti seperti itu."
Tidak ada respon dari Shin. Sebagai gantinya, rintihan pelan keluar.
"…Apa itu?"
"Eh?"
"Batu kristal…? Seperti bukan. Ah, mungkin lebih tepatnya itu seperti bongkahan es kristal."
Shin bergumam, sedangkan Rin merasa bingung.
Di saat yang sama saat Rin berada di sampingnya, dan melihat ke depan dari samping Shin.
"Sebenarnya apa yang kau bica....."
Rin, yang melihat hal yang sama seperti Shin tidak dapat menyelesaikan kata-katanya.
Itu adalah bola kristal, yang diletakkan khusus seperti sebuah tahta dengan batu candi sebagai kursinya. Ada kain lembut yang menyelimuti seluruh bola kristal itu. Harapannya adalah mungkin itu semacam bola kristal yang bisa mengabulkan permintaan.
Shin dan Rin menatap satu sama lain karena mereka mempunyai pemikiran yang sama.
Mereka berdua pun mendekati bola kristal itu menaiki beberapa tangga kecil, hingga tiba di tempat seperti sebuah upacara evolusi.
"Ini jelas terlihat seperti bola kristal," ungkap Rin. "Aku pernah melihat ini di suatu film, katanya, di dalamnya ada sesuatu yang bisa mengabulkan segala permintaan."
"Kalau begitu, bagaimana kalau permintaannya adalah mengembalikan kita lagi ke Bumi?"
"Tapi… bagaimana dengan teman sekelasnya yang lainnya?"
Shin terdiam, dia tidak menyangkal perkataannya kali ini. Ia justru tertunduk, mengingat tragedi beberapa hari yang lalu. Rin pun memahaminya, dan mencoba untuk menyakinkan kembali ucapannya.
"Ah… maksudku, aku tidak bisa meninggalkan sahabatku, Nens, hal itu juga serupa dengan yang lainnya."
"Maafkan aku. Kau benar. Kita tidak bisa meninggalkan yang lain begitu saja."
Rin menatap ke depan dan kemudian tangannya tanpa sadar mengulur ke depan, seperti berusaha untuk menyentuh bola kristal itu. Sebelum menyentuh bola kristal itu, Shin justru memukul tangannya.
"Hei, sakit tau!"
"Tunggu sebentar! Apa yang sedang kau pikirkan?!" bentak Shin.
"Aku ingin menyentuhnya sekali saja!"
Tidak mungkin untuk mengetahui di balik semua jebakan semua dungeon ini sekarang, tapi situasi dapat berubah dengan drastis apakah bola itu memang bola kristal atau semacam jebakan.
Di tengah-tengah perdebatan mereka, Shin maupun Rin tidak menyadari kalau bola kristal itu mulai bereaksi.
"Biarkan aku menyentuhnya sekali saja!"
"Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya!"
Shin menahan kuat-kuat lengannya Rin agar tidak bisa menyampai bola kristal yang ia ingin sentuh.
Kemudian, Shin berkata. "Kau bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi setelah menyentuhnya 'kan!?"
"Umm… aku benar-benar menyesalinya."
Rin tidak bisa menemukan kata-kata yang bisa membalikkan perkataan Shin, sementara Rin menggumamkan permintaan maaf sambil menghindari kontak mata. Dan…
"...Tidak, ini tidak mungkin."
Rin terbelalak dan membeku di sana, ketika melihat bahwa bola kristal itu mulai retak.
Shin berdecak. "Lihat, ini semua salahmu!"
"Padahal… aku sudah meminta maaf. Kenapa kau baru menyalahkan aku sekarang?!"
"Kau berusaha menyentuhnya 'kan?"
"Itu… benar sih." Rin tidak dapat membantahnya lagi. "T-tapi, aku sudah meminta maaf barusan 'kan?"
Shin menghembus nafasnya berat.
"——?!"
Retakan untuk kedua kalinya terdengar jelas di telinga mereka.
"Ini berbahaya!"