Hal pertama yang semua orang rasakan begitu mereka melihat titisan pendeta agung itu adalah satu, dia sangat pemalu. Belum diajak bicara saja, orangnya sudah kelihatan panik sendiri dan langsung mencari pendeta lain untuk sembunyi di punggung mereka. Bukan cuma terlihat muda, perempuan itu hampir terlihat seperti anak kucing rumahan yang tidak pernah diajak keluar.
Tapi bukan bangsawan namanya kalau mereka tidak pandai bicara. Jadi betapapun perempuan itu kelihatan gelisah saat dikerubungi banyak orang, mereka sama sekali tidak membiarkannya pergi saat perayaannya dipindahkan ke kebun.
"Kami dengar kau berasal dari kota kecil ya. Kau dari keluarga mana? Kapan tepatnya tanda itu muncul di lehermu?" Semua orang terus saja menanyakan pertanyaan itu.
Effiria yang kikuk sudah akan menarik kakak pendeta lain untuk melindunginya. Tapi karena semuanya sedang pergi untuk mengobrol dengan yang lain, akhirnya dia cuma bisa pura-pura tertawa kecil sambil pura-pura mengunyah apel juga.
Sampai akhirnya seseorang muncul untuk menolongnya. "EHEM!" Sembari berdeham dan pura-pura mengambil stroberi di meja, Alex melotot kepada gerombolan bangsawan itu. Lalu dalam seketika, mereka semua pun langsung menciut dan pergi menjauh.
Dan begitu dia menoleh ke arah Effiria, dia langsung kembali mengembangkan senyumnya. "Mereka memang banyak bicara." Kata Alex akhirnya.
"Eh, ah, te-terima kasih banyak." Balasnya buru-buru yang segera membungkuk karena sadar kalau itu adalah pangeran yang tadi sempat menyambut mereka di gerbang. "Saya beri hormat pada pangeran. Saya Effiria, pendeta baru."
"Ya, tentu saja Aku tahu." Balasnya sambil menunjuk lehernya, seperti sengaja untuk kembali membuat perempuan itu tidak nyaman.
Alex melanjutkan percakapan kecil mereka untuk beberapa saat seperti sedang menjaganya dari bangsawan lain. Tapi sebenarnya dia melakukan itu hanya karena dia penasaran setengah mati bagaimana Arina bisa gagal membunuh perempuan yang jelas-jelas kelihatan lemah ini, mengingat dia belum mendengar cerita lengkapnya dari Arina yang sekarang masih mengurung diri di rumah.
Dan satu lagi, yah, dia juga tidak ingin kakaknya Felix mendekatinya duluan. Meski kalau diperhatikan, walaupun terus memandangi Effiria dari jauh, laki-laki yang tidak punya tangan kanan itu belum kelihatan berencana mendekatinya juga. Atau, entah. Sejak dulu ekspresi kakaknya itu memang sudah sulit dibaca.
'Hm, apa informasi yang kudapat salah…?'
Tapi sembari memikirkan itu, Alex kemudian menyadari kalau pandangan Effiria sudah teralihkan ke arah lain sejak tadi. Yang setelah dilihat ternyata mengarah ke arah kepala pendeta yang sedang mengobrol dengan orang lain.
"Kenapa? Kau ingin bicara dengan kepala pendeta?"
"Ah, tidak. Tadi tuan Heka sudah memperkenalkan saya pada beliau." Balasnya kemudian. "Tapi itu, wanita yang sedang bicara dengannya, tadi saya sempat dengar ada yang memanggilnya nyonya Anastasia… Apa jangan-jangan itu nyonya Anastasia Flesda?"
Tidak langsung menjawab, Alex sempat terdiam sejenak karena dia juga sudah lupa kalau itu adalah nama asli nyonya Anastasia dulu. Namanya sudah jadi Almira sejak Alex lahir, jadi palingan dia hanya pernah melihatnya di dokumen-dokumen lama.
"Ya, tapi sekarang namanya Anastasia Almira. Kau mengenalnya?"
"Benarkah? Tentu saja!" Balas pendeta itu dengan mata berbinar. "Dia adalah ahli tanaman yang sangat saya kagumi. Sebelum masuk sekolah pendeta, sebenarnya dulu saya ingin jadi ahli tanaman sepertinya. Siapa sangka ternyata beliau ada di sini."
Alex awalnya terdiam menilai situasi aneh itu, di mana orang yang hampir dibunuh Arina ternyata malah mengagumi ibunya. Tapi karena tidak ada ruginya, dia pun berkata, "Kalau begitu mau kukenalkan?"
"Oh! Apa boleh?" Tanyanya tidak percaya, tapi ternyata Alex sudah berjalan duluan ke arah sana.
"Kakek! Tidakkah kaki kakek terasa pegal?" Sapa Alex riang pada pria tua di samping nyonya Anastasia. "Kenapa kakek berdiri terus?"
BUK! Tapi sang pendeta malah memukul kaki Alex dengan tongkatnya begitu mendengar itu. "Kau sedang mengejekku? Aku belum setua itu!" Omelnya. Meski setelah itu matanya malah menangkap sosok Effiria yang muncul dari belakang Alex.
Karena sudah bertemu tadi, Effiria hanya membungkuk pelan ke arah kepala pendeta dan akhirnya langsung mengalihkan pandangannya ke arah nyonya Anastasia dengan pipi yang agak memerah.
"Itu, anu, perkenalkan. Nama saya Effiria Adries. Senang sekali bisa bertemu dengan anda!" Katanya agak malu sekaligus semangat.
Nyonya Anastasia sempat kelihatan bingung. Tapi sebelum dia angkat bicara untuk balas memperkenalkan diri juga, Alex ternyata malah menjelaskannya duluan. "Dia bilang dia mengagumi anda. Jadi tadi dia minta padaku untuk memperkenalkannya."
"I-iya, saya sudah mengagumi anda sejak dulu. Saya juga pernah membaca buku yang anda tulis. Cara anda membuat obat dari tanaman benar-benar yang paling mujarab!"
"A-aduh, Aku jadi malu. Siapa sangka pendeta hebat sepertimu ternyata pernah membaca buku resep jelek yang kutulis." Balas nyonya Anastasia yang mulai tersipu juga.
"Sama sekali tidak! Bahkan sampai sekarang saya juga masih mempelajarinya."
Tapi kemudian kepala pendeta pun ikutan menyela. "Kau suka meracik obat sendiri?"
"Ah, iya." Balas Effiria dengan senyum kecil. "Sebenarnya ibu saya adalah penjual tanaman obat. Jadi daripada beli buku dongeng baru, beliau lebih suka mengajari saya membaca dengan resep-resep yang dimilikinya di toko." Ceritanya agak tertawa.
"Haha! Sudah kuduga. Calon pendeta agung kita memang berbeda!" Puji kepala pendeta dengan tawa bahagia.
"...A-Anda berlebihan. Saya tidak sehebat itu…" Balasnya kikuk.
Nyonya Anastasia menyadari kalau Effiria mulai terlihat tidak nyaman, jadi dia pun kembali bicara. "Aku sebenarnya sempat khawatir kalau tidak ada pendeta yang tertarik dengan tanaman obat. Tapi kalau begini rasanya Aku bisa datang ke kastel minggu depan dengan tenang." Katanya.
Tapi karena Effiria menunjukkan ekspresi bingung, kepala pendeta pun menambahkan. "Aku pikir pendeta jaman sekarang terlalu ketergantungan pada sihir mereka. Jadi Aku minta Ana untuk memberikan beberapa pelajaran di kastel."
"Be-benarkah?!" Celetuk Effiria yang sudah hampir ingin melompat-lompat saking senangnya. "Betapa beruntungnya saya!"
Nyonya Anastasia tertawa kecil melihat pendeta manis itu kesenangan sendiri. Tapi saat dia sudah akan membalas lagi, ujung matanya malah menangkap sosok Arina yang sedang berjalan di pinggir kebun.
"Rina?" Celetuknya, sehingga semuanya pun ikutan menoleh untuk mengikuti pandangan Anastasia. "Dia datang rupanya. Rina!" Panggilnya lagi sambil melambaikan tangannya.
Arina jelas melihat ibunya. Tapi dengan ekspresi dinginnya, dia langsung mengacuhkannya dan pergi ke arah lain. "Hh, dia masih begitu…"
"Aku sudah tahu. Semakin besar sepertinya anakmu memang semakin kurang ajar." Komentar kepala pendeta, sepertinya pernah jadi korban sikap acuh Arina juga.
"Sama sekali tidak begitu." Bela nyonya Anastasia. "Hanya saja suasana hatinya memang sedang buruk belakangan ini."
"Itu putri anda?" Timpal Effiria yang penasaran.
"Ah, iya. Namanya Arina. Akan kukenalkan kapan-kapan… Kalau suasana hatinya sudah membaik." Balas nyonya Anastasia agak getir.
"Kalau begitu biar Aku coba bicara dengannya." Kata Alex yang kemudian lari pergi menyusul tunangannya, bahkan meski dia tahu kalau mungkin Arina akan langsung memukulnya. "Arina. Rina!"
Mendengar itu, Arina pun menghentikan langkahnya. Tapi ekspresinya jelas terlihat marah saat dia berbalik. "Sudah berapa kali kubilang, jangan memanggilku dengan sok dekat begitu." Gerutunya.
"...Itu cuma panggilan." Balas Alex sebisanya.
Dia sebenarnya tahu kalau Arina memang selalu memasang batas khusus tentang hal itu. Itulah kenapa dia juga tidak pernah memanggil Alex dengan namanya dan hanya menyebutnya dengan pangeran saja. Seakan menegaskan kalau pertunangan mereka adalah hubungan politik semata.
"Aku tahu kau tidak mau membicarakannya, tapi Aku minta maaf... Apapun yang terjadi padamu malam itu." Kata Alex kemudian.
Dan seketika itu urat-urat di wajah Arina langsung kelihatan menimbul tidak beraturan. "Aku mau saja mematahkan leher pangeran berkali-kali tapi rasanya itu juga tidak akan cukup." Umpat Arina.
Bahkan setelah memastikan kalau di sekitar mereka tidak ada orang, Arina tetap mendekatkan dirinya untuk berbisik langsung ke depan wajah Alex. "Kalau pangeran berani memerintahku seperti itu lagi, Aku akan mencongkel jantung pangeran dengan tanganku sendiri. Ingat itu baik-baik."
"..." Jauh di dalam hatinya, Alex tahu kalau Arina benar-benar mau dan bisa melakukan itu. Tapi karena tidak boleh terintimidasi oleh tunangannya sendiri—bahkan meski dia memang seorang monster, Alex tetap mempertahankan ekspresinya dan malah tersenyum kecil. "Aku bukan musuhmu, kau tahu. Tapi perempuan yang ada di sana."
Arina melirik ke belakang punggung Alex untuk melihat sosok pendeta kecil itu, tapi dia cuma mengerutkan alisnya.
"Dia bilang dia menyukai ibumu. Mungkin kita bisa memanfaatkannya." Kata Alex lagi.
Arina sempat memiringkan bibirnya seakan ingin mempertimbangkan itu, tapi kemudian dia mendesah pelan. "Aku bisa mengurusnya lain kali." Katanya kemudian. "Setidaknya untuk hari ini, urusanku bukan dengannya." Lanjutnya sambil berbalik pergi.
"Kau mau ke mana…?"
Tapi sebelum Alex bisa menyelesaikan pertanyaannya, orang yang menunggu Arina ternyata sudah berdiri di sisi lain kebun. Itu adalah kakaknya, pangeran Felix.