"Arina? Arina!" Panggil seorang perempuan saat Arina baru saja akan berjalan keluar kebun. Dengan gaun kuningnya yang melambai ke kanan-kiri, wanita bernama Olivia itu berlari mendekati Arina.
"Rupanya kau datang ke sini? Sudah lama sekali Aku tidak melihatmu. Kenapa kau jarang datang ke pesta yang kuadakan? Semua orang merindukanmu!" Ocehnya.
Arina sempat mendesah dan menggerutu dalam hati karena masih malas diganggu. Tapi setelah ingat kalau Olivia adalah orang yang suka keliling sana-sini untuk bicara dengan semua orang, Arina pun memutuskan untuk menyunggingkan senyumnya.
"Maaf ya, lain kali Aku akan datang. Daripada itu, sudah lama Aku tidak melihatmu, kelihatannya sekarang kau jadi lebih langsing ya?"
"Be-Benarkah? Sudah kuduga cuma kau yang menyadarinya!" Balas Olivia yang tersenyum kesenangan. "Ini semua berkat teh herbal yang belakangan ini kuminum. Aku masih punya banyak. Kalau kau mau, Aku bisa mengirimkan beberapa kotak ke rumahmu."
Baru setelah membiarkan Olivia mengoceh untuk beberapa saat, Arina pun akhirnya mulai bertanya pelan-pelan. "Omong-omong, apa kau tahu laki-laki yang sedang bicara dengan ayahku itu siapa? Kudengar dia seorang pedagang ya?"
"Ah, dia!" Seru Olivia yang mulai berbinar lagi. "Namanya Ergin. Sepertinya yang mulia raja bertemu dengannya di sebuah pertemuan beberapa waktu yang lalu dan jadi menyukainya."
"Walaupun masih muda, kelihatannya dia sudah banyak pergi ke banyak tempat dan cukup berpengalaman. Bahkan katanya mereka berencana memasukkannya jadi anggota resmi di asosiasi dagang kerajaan."
Lalu sembari memelankan suaranya, Olivia pun mendekatkan tubuhnya ke samping Arina untuk melanjutkannya dengan nada tersipu. "Dia tidak seperti bangsawan lainnya, tapi tidakkah menurutmu dia terlihat lebih 'macho' dari yang lain? Haha, tapi mungkin tidak seharusnya Aku menanyakan ini kepada tunangan pangeran." Candanya.
Arina sebenarnya masih menunggu apakah Olivia akan membicarakan hubungan laki-laki itu dengan si pendeta agung. Tapi karena dia sama sekali tidak kelihatan akan berbelok topik ke arah sana, akhirnya Arina pun menyimpulkan kalau semua orang belum mengetahui fakta bahwa mereka berdua sebenarnya saling kenal. Mungkin itu sebabnya mereka berdiri berjauhan juga.
Yah, sebagai pendeta agung, rasanya memang aneh kalau dia punya kenalan seorang ajin. Walaupun tidak sampai masuk ramalan seperti dirinya, makhluk yang tidak bisa mati tetap saja termasuk hal yang tabu.
"Kalau pendeta agung yang baru itu, kau sudah bertemu dengannya?" Tanya Arina lagi.
"Tentu. Dan seperti yang bisa kau lihat, dia baik dan… Sedikit cantik." Balas Olivia, yang agak kedengaran tidak rela saat mengatakannya. "Dia juga daritadi kelihatannya bicara dengan ibumu terus."
Arina terdiam agak lama seperti tidak yakin apa dia harus menghampirinya atau tidak. Tapi setelah dilabrak oleh pangeran Felix tadi, rasanya Arina akan mengalami insomnia lagi kalau dia pulang begitu saja dengan tangan hampa.
Sehingga dengan berat hati, dia pun akhirnya berjalan mendekati meja ibunya yang sedang duduk dengan kepala pendeta serta perempuan itu.
"Rina!" Sapa ibunya duluan begitu melihat Arina berjalan ke mejanya. "Kau ke mana saja? Kau harus bertemu dengan Effiria. Dia pendeta baru yang datang tadi."
"Ah, salam kenal, saya Effiria." Katanya yang langsung berdiri dengan hormat. "Nyonya Anastasia sudah cerita tentang anda."
Arina terdiam sejenak sambil melirik sekilas ke arah tanda yang ada di lehernya. Baru setalah itu dia pun mengulurkan tangannya. "Aku Arina."
Effiria menyambut tangan Arina dengan senang, tapi sebenarnya Arina sendiri agak khawatir kalau jangan-jangan tangannya akan langsung meleleh saat mereka bersentuhan. Tapi untungnya tidak.
"...Ah, maaf." Kata Arina yang kelihatannya menggenggam tangan Effiria terlalu lama. "Kau terlihat sangat cantik dari dekat, Aku jadi agak kaget." Celetuknya asal, meski ternyata lawan bicaranya langsung tersipu sendiri mendengarnya.
"Sa-sama sekali tidak begitu. Anda jauh lebih cantik." Balas Effiria panik dengan pipi yang memerah.
Dan selagi dua perempuan muda itu saling memandang, Anastasia yang kelihatan lega melihat suasana hati Arina sudah membaik pun mulai menoleh ke arah kepala pendeta. "Lihat kan, Arina juga bisa ramah kalau sedang baik." Katanya pamer.
Kepala pendeta cuma mendengus mendengarnya, tapi sejujurnya nyonya Anastasia juga sempat berpikir kalau sikap Arina yang ramah seperti itu--apalagi pada orang yang baru dia temui--sedikit tidak biasa.
Apalagi saat orangnya mulai kembali melebarkan senyumnya ke arah Effiria. "Omong-omong, apa kau sudah bertemu dengan ayahku? Dia juga bekerja di istana, jadi kau mungkin akan melihatnya sesekali." Katanya lagi.
"Eh? Ah, belum."
"Begitu? Kalau begitu biar kukenalkan." Kata Arina yang begitu saja melenggang pergi ke tempat ayahnya. Jadi walaupun agak canggung, Effiria pun terpaksa mengikutinya.
Arina melirik ke arah laki-laki dengan rambut panjang dan kumis tipis itu sekilas, tapi kemudian dia langsung menoleh ke arah ayahnya. "Ayah! Ini ayahku. Ayah, ini Effiria. Kalian belum bertemu kan?" Kata Arina langsung.
"Sa-salam kenal. Nama saya Effiria."
"..." Tuan Almira sebenarnya masih bingung karena dia tidak tahu kalau putrinya hadir di perayaan itu. Tapi di depan pendeta agung yang baru, dia pun memutuskan untuk mengabaikan kecurigaan itu dulu.
"Oh! Pendeta agung yang baru! Aku sebenarnya sudah ingin bicara denganmu sejak tadi." Balas tuan Almira. "Perkenalkan, saya Hendrick Almira. Saya bekerja sebagai perancang bangunan di kawasan istana. Tapi saya tidak dekat dengan raja, jadi jangan terlalu berharap pada saya. Haha!"
Arina biasanya akan memasang wajah jijik saat ayahnya melontarkan gurauan tidak jelas begitu. Tapi karena dia hanya ingin melihat interaksi antara Effiria dan laki-laki itu, Arina pun membiarkan ayahnya mengoceh sesukanya.
Dan memang, dengan lirikan mata yang agak canggung, keduanya kelihatan berusaha untuk tidak saling bicara. Mungkin itu sebabnya laki-laki itu kelihatan lebih memilih untuk meladeni candaan ayahnya. "Tapi kalau saya perlu buat rumah, sepertinya tuan bisa diharapkan." Candanya balik.
"Oh? Apa ini? Meski belum jadi anggota resmi, kau sudah berpikir untuk buat rumah di sini?" Tanya tuan Almira. "Jangan-jangan kau sudah bertemu dengan seorang wanita?" Candanya lagi meski laki-laki itu hanya tertawa.
Tidak cuma 'macho', laki-laki itu benar-benar kelihatan ramah. Bisa meladeni candaan ayahnya saja sudah merupakan bukti kuat. Tepat seperti saat Arina melihatnya 1-2 tahun lalu.
Dan sebaliknya, aura membunuh sekaligus aura kematian yang 2 hari lalu Arina temui malah sudah tidak ada bekasnya sama sekali, sama seperti semua lukanya.
"A-ah, benar. Kalian juga harus bertemu dengan Ergin." Kata tuan Almira kemudian yang menyadari pandangan aneh putrinya. "Dia adalah anggota baru di serikat perdagangan. Yah, calon."
"Saya Ergin." Katanya sopan. Laki-laki itu menunduk kecil ramah pada Arina, bahkan pada Effiria. Lalu melanjutkan, "Tuan tidak cerita anda punya putri yang cantik." Tambahnya lagi ke arah tuan Almira.
"Haha, dia sudah bertunangan dengan pangeran. Jadi Aku tidak bisa lagi memamerkannya ke banyak orang. Kau juga jangan coba-coba." Kata tuan Almira yang setengah tertawa, setengah serius.
"Pangeran? Mm, pangeran Alexander?" Tanyanya memastikan seperti perlu mengingat-ingat dulu jumlah pangeran yang ada di istana. Dan dilihat dari kesimpulannya, sepertinya dia tahu kalau tidak mungkin Arina bertunangan dengan pangeran yang pertama.
"Pangeran pasti beruntung sekali." Tambahnya kemudian.
"Tapi daripada Aku, bukankah pendeta Effiria juga cantik?" Balas Arina kemudian.
"Eh?! Ah, uh, sa-saya sama sekali tidak…" Timpal Effiria yang panik, membuat Arina hampir kesenangan melihatnya.
"Maaf, maaf, Aku hanya bercanda." Kata Arina kemudian sambil kembali memegang tangan Effiria, yang lagi-lagi malah tersipu melihat senyum Arina.
Sama seperti istrinya, tuan Almira juga merasa aneh melihat putrinya bisa seramah itu pada orang lain. Tapi tentu saja pendeta agung itu sama sekali tidak menyadarinya.
'Wah, dia benar-benar jauh lebih bodoh daripada Olivia!'