Sebagai pendeta baru di istana, keseharian pertama Effi di pagi hari sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kegiatannya yang dulu. Mulai dari bersih-bersih di sekitar kastel, bantu masak sarapan, sampai bantu sapu halaman juga sudah termasuk dalam daftar tugasnya.
Soalnya meski masih bagian dari daerah istana, daerah kastel untuk para pendeta sama sekali tidak punya pegawai tambahan. Bukan hanya tidak ada pelayan dan prajurit yang keliling di mana-mana, mereka juga harus menyiapkan semua makanan mereka sendiri.
Baru setelah menyelesaikan semua tugas mereka, semua pendeta pun akhirnya berkumpul di kastel untuk mendengarkan ceramah singkat. Dan karena kepala pendeta sudah terlalu tua untuk direpotkan terus, yang seringnya membimbing pendeta lain adalah tuan Heka , pendeta paling senior yang ada di kastel.
Mulai dari mempelajari aturan-aturan pendeta, nilai-nilai pendeta, dan esensi sesungguhnya jadi seorang pendeta istana, semuanya dipimpin olehnya.
Tapi saat pelajaran baru berlangsung selama satu jam, gangguan malah sudah datang duluan. "Tuan Heka!" Panggil seorang perempuan yang lari masuk begitu saja. Dia buru-buru mendekat untuk melapor dengan suara pelan. Tapi Effi yang duduk di kursi paling depan masih bisa mendengarnya.
"Di lapangan katanya ada banyak prajurit yang terluka. Sebaiknya kita segera ke sana." Kata perempuan itu.
"Memangnya ada apa?" Tanya tuan Heka.
"Pangeran Felix katanya mengamuk lagi." Bisiknya lebih pelan.
Tuan Heka sempat merengut kecil, tapi akhirnya dia pun menoleh pada para muridnya. "Mm, kalau begitu, Joy, Kilo, Maria, Via, lalu…"
Dia sempat melirik ke arah Effi, tapi kemudian dia langsung menggeleng kecil. Soalnya meski dia titisan pendeta agung, kerepotan dengan masalah pangeran Felix rasanya masih terlalu cepat untuk pendeta baru. "Dan Rui. Kalian semua ikut denganku. Sisanya lanjutkan saja baca bab selanjutnya di buku kalian." Lanjutnya, dan mereka semua pun pergi.
Effi agak gelisah dan penasaran dengan suasana itu. Tapi sebelum dia sempat bertanya pada siapapun, Dania, wanita yang juga merupakan pendeta baru ternyata menghampirinya duluan. "Sampai bawa pendeta sebanyak itu, apa segitunya buruk ya?" Celetuknya.
"Katanya itu ulah pangeran Felix kan? Sudah pasti buruk." Timpal Heidi, laki-laki yang kelihatannya merupakan senior mereka.
"Sejak kembali dari ekspedisi, tempernya sudah mulai membaik. Tapi sesekali dia memang masih suka begitu. Tiba-tiba mengamuk, entah untuk melampiaskan kekesalannya atau sekedar pamer kemampuan sihir dan berpedangnya." Ceritanya.
Tidak perlu tanya apa-apa lagi, Effi hanya perlu diam mendengarkan semua gosip dari mereka berdua. Bahkan setelah beberapa lama, sekarang dia juga jadi tahu banyak informasi lain seperti fakta bahwa kastel pangeran Felix ada di ujung wilayah istana, sampai gosip kalau bersamaan dengan kemampuan sihir barunya, dia juga jadi punya alergi wanita.
"Eh tapi kurasa itu tidak benar." Celetuk Dania. "Soalnya waktu hari penyambutan, Aku sempat melihatnya bicara dengan seorang wanita bangsawan. Entah siapa, tapi Aku ingat wanita itu memiliki rambut hitam dengan gelombang dan kilauan yang sempurna!"
"..."
Bangsawan yang punya rambut sempurna harusnya ada banyak. Tapi saat dikatakan seperti itu, entah kenapa Effi langsung teringat dengan wanita yang tempo hari bersikap sangat baik padanya, yaitu Arina. "A-anu, orang itu—"
Effi sudah akan bertanya, tapi sayangnya Kilo, salah satu pendeta yang tadi pergi bersama kepala pendeta malah terlihat berlari kembali. "Semuanya! Tinggalkan pekerjaan kalian dan ikut ke lapangan juga. Prajurit yang terluka jumlahnya ada puluhan!" Katanya.
Sehingga dengan ekspresi kebingungan, semua pendeta yang ada di situ pun akhirnya mulai mengikuti Kilo ke luar dan lari ke lapangan tempat para prajurit biasanya latihan.
"...!!" Dan betapa terkejutnya para pendeta itu begitu melihat keadaan yang terpampang di depan mata mereka. Karena di lapangan yang luas itu, puluhan prajurit kelihatan tergeletak sambil merintih-rintih kesakitan seakan mereka baru saja kembali dari medan perang. Ada yang berdarah, ada yang tulangnya patah, bahkan ada yang kulitnya terkena luka bakar.
Semua pendeta, terutama yang senior langsung sigap menolong semua prajurit itu. Tapi Effi yang masih kaget terus saja melayangkan pandangan tidak percayanya ke seluruh lapangan. Sampai kemudian dia menemukan sosok lelaki berlengan satu yang memegang pedang kayu berlumuran darah di tangannya.
Mata mereka bertemu. Tapi karena merasa jantungnya seketika mencelos, Effi buru-buru mengalihkan pandangannya dan berlari untuk membantu pendeta yang lain. Sama sekali berbeda dengan Felix yang justru sedang menyayangkan situasi itu.
"Hh, andai saja Aku bisa membunuhnya sekarang juga." Gumamnya pelan.
Tanpa kehadiran pengawalnya yang abadi, istana sebenarnya merupakan tempat yang ideal untuk membunuh pendeta agung itu. Tapi bersamaan dengan itu, sayangnya mata yang melihat juga jadi sangat banyak. Sehingga Felix yang tidak mau jadi buronan kerajaan pun cuma bisa memandangi mangsanya tanpa bisa melakukan apapun.
Tapi selagi memperhatikannya seperti itu, Felix kemudian menyadari sesuatu. Yaitu fakta bahwa tidak seperti kebanyakan pendeta lainnya, Effi terlihat memakai obat herbal sebelum menggunakan sihir penyembuhannya.
Kalau saja wanita itu tidak punya gelar pendeta agung, Felix pasti sudah berasumsi kalau Effi adalah pendeta lemah yang tidak bisa mengandalkan sihir sepenuhnya.
Felix ingin melihatnya lebih dekat untuk memastikan itu. Tapi karena dia tidak bisa mendekat begitu saja, dia pun menoleh ke kanan-kiri untuk mencari solusi lain. "Hei, ke sini sebentar." Panggilnya kemudian pada salah satu prajurit terdekat.
Pria yang beruntung tidak mendapat luka berat apapun itu langsung gelisah begitu Felix memanggilnya. Tapi karena Felix adalah pangeran, pada akhirnya dia pun berjalan mendekat.
"Tanganmu." Pinta Felix kemudian.
"Ta-Tangan saya?" Tanyanya balik. Tapi karena Felix masih saja mengulurkan tangan kirinya, dia pun ikutan memberikan tangannya. Meski tidak sesuai dengan kekhawatirannya, Felix ternyata malah menggenggam tangannya seperti salaman biasa--
Atau itu yang dia pikir. Karena setelahnya Felix langsung mengerahkan seluruh otot lengannya untuk meremas tangan pria malang itu.
"GAAAHH!!" Jadi tentu saja pria itu langsung memekik kesakitan sebelum akhirnya terjatuh ke tanah untuk meratapi tangannya yang remuk.
Selagi Felix tertawa, semua orang cuma bisa mematung terdiam melihat itu. Menolong saja tidak berani, apalagi menegur. Bahkan para pendeta juga malah pura-pura semakin sibuk seakan berharap bukan mereka yang harus pergi ke sana untuk mengobati prajurit malang itu.
Termasuk tuan Heka. "...Kilo, cepat pergi ke sana dan obati dia." Pintanya.
"Eh?! Ta-Tapi saya masih menyembuhkan luka bakar paman ini." Kilahnya.
"Maria--"
"Saya juga masih menyeka darah paman ini!" Kilahnya juga, dan begitu terus sampai orang keempat yang dia panggil.
Tuan Heka sudah akan menyerah dan memutuskan untuk membiarkannya saja sampai setidaknya pangeran Felix pergi dulu. Tapi kemudian matanya menangkap sosok Effi yang justru masih memandangi prajurit itu dengan kasihan.
"...Effiria." Panggilnya kemudian. "Bagaimana kalau kau yang mengobatinya?"
"Eh? Ah, baik."
Entah karena memang peduli atau tidak begitu paham apa yang dia lakukan, Effi langsung menurut begitu saja dan segera berlari ke pinggir lapangan untuk menghampiri pria yang tangannya remuk itu. Dia bahkan sama sekali tidak menoleh pada Felix yang jelas-jelas masih memandanginya dari samping.
"Biar saya lihat tangan anda." Katanya sambil hati-hati memeriksa tangan pria itu. Dan bukan hanya remuk, beberapa tulang jarinya bahkan sampai ada yang mencuat keluar.
Melihat itu, Effi langsung kembali mengeluarkan kantung obatnya dan mengambil sebuah botol kecil dengan cairan berwarna hijau di dalamnya. Dia langsung menumpahkan semuanya pada tangan pria itu. Dan begitu pria itu mulai meringis lagi, dengan cepat dia langsung membalut asal tangannya dan mulai menggunakan sihir penyembuhannya.
Dan seperti yang Felix curigai, sihir Effi memang tidak kelihatan kuat seperti yang harusnya orang harapkan dari pendeta agung, bahkan mungkin pendeta biasa. Cahaya sihirnya terlihat lebih lembut dibanding pendeta lain, tapi tetap saja kelihatan lemah. Bahkan waktu penyembuhannya juga terasa lebih lambat.
'Apa karena dia masih muda…?' Pikir Felix.
"Ini sudah. Apa masih terasa sakit?" Kata Effi akhirnya.
Pria itu mencoba menggerakkan jarinya dengan takut-takut, tapi sepertinya tangannya memang sudah sembuh. "Su-Sudah tidak apa-apa! Terima kasih banyak!" Katanya langsung.
Effi masih tersenyum lega melihat paman itu. Tapi tiba-tiba saja Felix yang daritadi menonton dari samping sudah tidak bisa menahan isi pikirannya lagi. "Untuk seorang pendeta agung, sihirmu kelihatan lemah ya." Komentarnya begitu saja.
"Tanpa obat itu, kelihatannya kau butuh waktu dua kali lipat lebih lama untuk menyembuhkannya."
"..." Tapi seakan sudah terbiasa dengan cibiran itu, Effi bahkan tidak merengut saat mendengarnya. "Iya, bagaimanapun saya memang masih belajar." Balasnya sesopan mungkin.
Effi sudah akan berdiri untuk kembali mengobati prajurit lain, tapi lagi-lagi Felix kembali bicara. "Kalau bukan karena tanda di lehermu, Aku berani taruhan kau tidak akan bisa jadi pendeta di istana." Cibirnya, dan kali ini Effi terlihat sedikit terpengaruh olehnya.
Sehingga Felix yang kesenangan pun memutuskan untuk berjalan lebih dekat padanya supaya dia bisa berbisik tepat di telinganya. "Dan kalau bukan karena pacarmu, kau juga mungkin tidak akan hidup seperti sekarang."
Kena serangan jantung, Effi spontan melebarkan matanya karena kaget.
Tapi sama sekali tidak membiarkannya membalas apapun, Felix langsung tertawa dan pergi meninggalkannya.