Saat matahari benar-benar mulai terbenam, Effi sebenarnya sudah kembali ke pusat kota. Tapi karena aneh kalau dia kembali dengan tangan kosong, dengan buru-buru dia pun mampir dulu ke sebuah toko obat yang hampir tutup dan membeli setidaknya beberapa kantong daun ini-itu dan bunga ini-itu. Bunga Alasnya tidak ada, tapi dia pasti bisa membuat banyak alasan pada Kilo.
Jantung Effi berdegup cepat karena buru-buru. Tapi dia sama sekali tidak tahu kalau Kilo sebenarnya sama sekali tidak sempat memikirkan apalagi mencarinya, karena dia sendiri sibuk dengan hal lain.
Soalnya berkat tumpukan kembang api yang meledak tidak karuan, sekarang ada puluhan orang yang menderita luka bakar ringan karenanya. Dan Kilo yang jelas-jelas memakai jubah pendeta tentu saja langsung diserbu semua orang untuk menyembuhkan mereka.
"Tapi dia sudah hampir selesai. Kenapa nona Arina belum juga kembali?" Gerutu Sei yang mulai gelisah karena kelamaan menunggu.
Arina sebenarnya tidak menyuruh Sei melakukan apa-apa dan hanya memintanya untuk menunggu di kereta selagi dia pergi mengikuti Effi. Tapi karena tadi Kilo terlihat akan berjalan ke arah yang sama dengan mereka, akhirnya Sei memutuskan untuk ikut campur dan memastikan Kilo tetap sibuk di kota.
Tapi bukannya Arina, Sei malah mendapati Effi kembali duluan ke kota. Pendeta kecil itu jelas terlihat bingung dengan situasi yang ada di alun-alun. Tapi setelah menyadari kalau ada banyak orang terluka di sana, dia pun langsung buru-buru menghampiri Kilo untuk mulai ikut membantu juga.
Baru tidak berapa lama kemudian, seseorang dengan jubah hitam mulai muncul perlahan dari gang yang gelap. Tidak perlu menunggu untuk melihat wajahnya, Sei sudah langsung tahu kalau itu ada majikannya. "Nona Arina!" Katanya sepelan mungkin.
Meski tidak sepertinya, begitu Arina menurunkan tudung jubahnya, sebuah lekukan senyum malah terlihat di wajahnya. "Ada apa di sini? Jangan bilang kau yang melakukannya?" Tanyanya sudah bangga duluan.
"Ha-Habisnya tadi pendeta itu sudah akan berjalan ke arah yang sama dengan anda, jadi saya pikir… Apa saya melakukan hal yang benar?"
"Kerja bagus." Puji Arina. "Kalau begitu kita pulang sekarang saja." Lanjutnya sambil berjalan ke arah kereta.
Sei mengikutinya masuk dan kereta pun mulai berjalan. Tapi tidak seperti dugaannya, Arina tidak mengatakan apa-apa lagi sepanjang perjalanan mereka. Majikannya yang aneh ini memang tidak selalu menceritakan segala hal, tapi di saat-saat yang seperti ini, Sei sangat yakin kalau Arina setidaknya akan mulai mengoceh.
Makanya melihat Arina malah diam begitu, Sei jadi agak khawatir. Dia ingin saja menanyakannya, tapi karena lebih dulu takut malah menyinggungnya, Sei pun memutuskan untuk diam saja.
"Haha…." Tapi bukan cuma diam, sekarang Arina malah mulai tertawa sendiri seperti orang gila.
"A-Anu… Apa nona Arina baik-baik saja?" Tanya Sei akhirnya.
Arina masih tersenyum tipis, tapi pandangannya ke arah jendela malah kembali terlihat hampa. "Yah, kalau Aku, tentu saja." Balasnya ringan.
Tapi setelah terdiam agak lama lagi, dia akhirnya menoleh ke arah Sei. "Omong-omong Sei, apa kau pernah punya pacar?"
"Eh? Sa-Saya??" Balas Sei yang semakin kebingungan. "Tentu saja tidak pernah!" Lanjutnya takut-takut.
"Begitu? Hmh, kalau begitu sayang sekali." Celetuk Arina sedih. "Karena Aku juga tidak pernah punya, Aku tadinya berharap kau mungkin tahu bagaimana rasanya."
"...Anda sedang membicarakan apa?"
Tapi alih-alih menjawabnya, Aria malah kembali bertanya. "Kalau sekedar menyukai seseorang bagaimana? Pernah?" Katanya lagi.
Bahkan sama sekali mengabaikan wajah Sei yang semakin kebingungan, Arina malah terus melanjutkannya. "Saat menyukai seseorang, kira-kira seberapa banyak hal yang bisa kau lakukan untuknya?"
"...Itu, anu, nona Arina, maafkan saya. Tapi saya benar-benar tidak tahu bagaimana harus menjawabnya." Jawab Sei akhirnya.
Arina kembali terkekeh. Tapi setelah memandangi Sei untuk beberapa saat, dia pun mulai menyandarkan punggungnya dengan santai. "Yah, Aku juga bukannya tidak paham sama sekali." Gumamnya sendiri.
Bagaimanapun konsep 'berkorban untuk orang yang kau cintai' adalah sesuatu yang cukup sering dia dengar dari ibu dan ayahnya sewaktu dia kecil.
Misalnya tentang cerita saat ayahnya harus melawan kakeknya saat dia berencana menikahi ibunya, atau saat ibunya hampir rela mati untuk menyembuhkan temannya yang kena penyakit menular. Atau meski tidak sama banget, Arina juga termasuk orang yang rela menghabiskan uangnya untuk membeli semua koleksi benda antik kesukaannya.
"Saat menyukai seseorang, sadar atau tidak, kau akan mulai melakukan hal-hal yang aneh untuk mereka." Ibunya pernah berkata begitu.
'Baiklah, tentu. Mungkin memberikan darahnya sendiri bukan hal yang aneh banget.' Pikir Arina lagi sambil berusaha menghapus ingatan tentang sosok pendeta agung yang rela digigit tadi.
Bagaimanapun yang penting memang bukan pertanyaan 'kenapa'-nya, melainkan pertanyaan 'apa'-nya. Felix memang berkata kalau dia akan jadi abadi kalau dia bisa memakan jantungnya, jadi sepertinya memang tidak aneh kalau darahnya juga punya efek yang mirip. Pasti itu sebabnya ajin itu meminumnya.
Tapi masalahnya adalah apa efeknya, dan sekuat apa.
Tidak bisa berhenti memikirkan itu, begitu kembali ke rumah, hal pertama yang Arina lakukan adalah pergi ke perpustakaan untuk mencari buku lain tentang pendeta agung dan ajin yang belum pernah dia baca. Bahkan meski Sei sudah membujuknya untuk istirahat, otak Arina yang sudah terlanjur berputar tidak bisa berhenti begitu saja, jadi dia pun mengusir pelayannya keluar.
Makanya saat dia tetap tidak menemukan sesuatu yang berguna, dia spontan melempar buku yang dia pegang ke lantai. "Tsk. Ketidaktahuan sungguh menyebalkan." Gerutunya kesal.
Arina sempat terduduk lagi untuk beberapa lama. Tapi saat memerlukan informasi, solusi lain selain mencari di buku cuma ada satu lagi. Yaitu bertanya pada orang lain.
Entah menyuruh Sei atau harus turun tangan sendiri, Arina bisa saja mengunjungi orang-orang yang kira-kira punya penjelasan untuknya. Tapi selain karena merepotkan, topik yang ingin dia ketahui juga merupakan masalah sensitif, jadi dia jelas tidak bisa asal pilih orang untuk ditanya. Sehingga pada akhirnya, Arina cuma punya dua pilihan saja.
Yaitu bertanya pada ayah atau ibunya.
Dibanding tuan Almira yang lebih pintar mengenai masalah kerajaan dan embel-embelnya, ibunya, nyonya Anastasia yang dulunya pernah keliling dunia sepertinya lebih memungkinan untuk tahu hal yang Arina inginkan.
Siapa yang tahu? Bisa saja dulu ibunya juga pernah bertemu dengan ajin atau makhluk terkutuk lainnya.
"Yah, lagipula ayah memang sedang pergi ke luar kota…" Gumam Arina lagi.
Kalaupun masih ada masalah yang tersisa, yaa, palingan Arina cuma harus menyiapkan wajah pembohongnya dulu kalau mau bicara dengan ibunya yang pandai menilik pikiran orang lain. Bagaimanapun juga dia adalah orang yang bisa menaklukan keluarga Almira dan memaksa kakek dan neneknya yang kolot untuk mengakuinya sebagai mantu .
Malah saking cerdiknya, bukannya pangeran Alex, Arina sebenarnya justru selalu berpikir kalau suatu saat ibunya yang akan memergoki identitasnya duluan. Tapi karena tidak terjadi juga, Arina sebenarnya mulai curiga kalau ibunya hanya tidak mau membicarakannya meski tahu. Atau tidak mau mengakuinya?
Mungkin itu sebabnya, entah sejak kapan jarak antara Arina dan ibunya jadi semakin jauh…
Tapi keadaan darurat tetap jadi prioritas. Jadi Arina pun mulai mengetuk pintu kamar ibunya--Atau tadinya berencana begitu. Tapi ternyata pintunya sudah melipir duluan.
"Hm…" Berpikir kalau ibunya mungkin pergi berkeliaran entah kemana, Arina tadinya sudah akan berbalik pergi lagi. Tapi dengan sangat samar, dia malah menangkap ada suara aneh dari kamar ibunya, jadi dia pun kembali mendorong pintu itu ke dalam. "Ibu…?"
Arina sempat ragu karena ruangan yang sangat gelap, tapi rasanya dia memang sedang melihat sosok ibunya sedang memegang pisau sambil bersimbah darah.
Ada orang mati di bawah kakinya.
"Oh… Rina…?" Celetuk ibunya yang seperti setengah mabuk. "Itu, ibu sedang sibuk, jadi bagaimana kalau kau tutup pintunya lagi?"
"...Itu siapa?"
"A-Aku juga tidak tahu. Dia tiba-tiba saja muncul, jadi Aku spontan…" Jelas Anastasia seadanya. "Itu, Rina, kau benar-benar tidak akan menutup pintunya?"
Arina membeku di tempatnya untuk beberapa lama, tapi akhirnya dia melangkah masuk dan menutup pintunya. Dan tanpa menunggu izin ibunya, dia pun mendekatkan dirinya untuk memeriksa mayat itu. Dan dilihat dari manapun, laki-laki yang masih memegangi pedang panjang itu memang terlihat seperti pembunuh bayaran.
Tapi yang paling menarik perhatiannya adalah fakta bahwa laki-laki itu terlihat memakai kalung matahari di lehernya. Yang artinya menunjukkan kalau dia adalah anggota kelompok Turix, yaitu salah satu kelompok pembunuh bayaran yang harganya paling mahal karena kredibilitas mereka yang tinggi.
'Tapi ibu berhasil membunuhnya hanya dengan spontan…' Celetuknya dalam hati, heran sekaligus kagum.
Arina sendiri sebenarnya sudah pernah dengar kalau ibunya pandai bertarung dan menggunakan pedang. Tapi karena dia tidak pernah melihatnya secara langsung, Arina juga sudah hampir melupakannya. "Mm, ibu baik-baik saja?"
Masih dengan wajah yang terciprat darah dan pisau di tangannya, gelagat ibunya yang gelisah malah mulai terlihat aneh. "Te-Tentu…?" Sahutnya kikuk. "Ka-Kau tidak kaget?"
"Kaget, tapi…" Terdiam sejenak, Arina seperti sedang mencari kata yang tepat. "Anehnya Aku agak senang." Katanya sambil mulai menyeringai.
"...Rina, kau harus tahu itu sama sekali tidak membuat ibu lega."