Meski tadinya Arina hampir ingin mati kalau memikirkan dirinya yang dimanfaatkan oleh 2 pangeran itu, anehnya perasaan Arina malah jadi lebih baik begitu dia pulang dari perayaan di istana. Habisnya, setelah memastikan betapa naifnya pendeta itu, Arina rasanya tidak perlu khawatir apapun. Soalnya kalaupun bukan dirinya, sudah ada 2 pangeran lain yang ingin membunuhnya.
Meski tentu saja masalah laki-laki yang bernama Ergin itu masih mengkhawatirkan. Membayangkan kalau dia perlu melawannya lagi saja sudah membuat Arina merasa lelah. Ditambah… "Aku penasaran tentang hubungan mereka." Gumam Arina.
Soalnya kalau sampai rela mati berkali-kali untuk melindunginya, sepertinya lebih aman untuk berasumsi kalau hubungan mereka lebih dari sekedar teman. Lalu fakta bahwa mereka pura-pura saling tidak kenal juga menunjukkan kalau mereka tidak akan gegabah untuk berkomunikasi di sekitar istana.
Yang artinya percuma kalau dia minta Alex untuk menyelidiki itu.
Lagipula Ergin masih seorang calon anggota asosiasi, jadi rasanya akan terlihat sedikit aneh kalau dia terlalu sering ke istana. Sehingga… Kalau mereka ingin berkomunikasi, sebisa mungkin mereka akan melakukannya di luar.
"Dan Aku jelas tidak bisa mengetahui kapan dan di mana mereka akan bertemu hanya dengan memikirkannya." Desah Arina.
Setahunya pendeta memang tidak dilarang keluar. Tapi kalau memang perlu keluar, tentu saja mereka harus ijin. "Sayang sekali Aku tidak punya kenalan pendeta. Yah, kecuali kakek itu. Tapi tentu saja Aku tidak bisa bertanya padanya."
"Sei, kau tidak punya ide?"
"Ehh, mana saya punya." Sahut Sei tanpa menoleh karena tangannya masih sibuk mencari-cari sesuatu di tumpukan rak.
"Itu, tepat di atas tanganmu." Kata Arina lagi.
Menurut, Sei pun menggerakkan tangannya ke atas dan mengambil sebuah kotak dari salah satu rak. Sebuah kotak dengan pahatan bulan di atasnya. "Nona Arina, ini." Katanya yang kemudian mengantarkannya pada Arina yang daritadi duduk menunggu.
"Taruh saja dulu." Kata Arina yang kelihatan masih sibuk membaca buku. Kelihatannya dia sedang mencari informasi tambahan tentang ajin.
Sesuai namanya, sifat utama seorang ajin adalah fakta bahwa mereka tidak bisa mati. Dengan cara biasa tentunya. Karena dengan benda sihir tertentu, atau malah pendeta dengan kekuatan tertentu, mereka harusnya bisa saja mati.
"Hm, menjadikan pendeta agung sebagai pacarnya… Ajin ini pintar juga."
Tapi bahkan dengan benda atau kemampuan khusus, membunuh seorang ajin jelas tetap tidak akan mudah. Karena selain tidak bisa mati, ajin juga biasanya punya kemampuan lain. Entah sihir, ataupun kekuatan lainnya.
Kalau dari yang Arina ingat, yang pasti laki-laki itu punya tenaga dan kecepatan yang tidak masuk akal. Dia seperti dikejar hantu waktu itu. Belum apa-apa, laki-laki itu selalu saja sudah ada di depannya. Dan Syat! Dalam sekejap pedangnya langsung meluncur ke depan wajah Arina.
"Tapi kalau bisa sihir lain, dia harusnya melakukannya saat Aku membunuhnya kan?" Tanyanya sambil menoleh ke arah Sei, meski tentu saja pelayannya cuma bisa diam. Lagipula meski hidup lagi, setidaknya saat itu bayangannya memang sudah berhasil membunuhnya.
Selama beberapa jam Arina terus saja bergumam sendiri dan sibuk dengan pikirannya. Sampai akhirnya saat hari sudah menjelang malam, Sei pun berkewajiban untuk mengingatkannya. "Nona Arina tidak mau istirahat? Nona kan belum benar-benar tidur sejak… 2 hari lalu."
Tapi tiba-tiba saja Arina malah menunjukkan senyumnya dan menyeringai lebar. "Aku mau keluar." Katanya sambil berdiri.
"Eh?! Eh?? Lagi? Sekarang? Jangan! Saya mohon."
"Kenapa sih? Kau kan cuma perlu tidur di kasurku saja, nanti juga tidak ada yang sadar."
"...Tapi ibu anda sadar!"
"..." Berbalik memandang pelayannya, Arina pun mengerutkan alisnya seperti akan marah. "Kau ketahuan oleh ibu tapi tidak bilang padaku?"
"Itu, tidak, maksud saya, ibu anda tidak benar-benar tahu, hanya sadar…" Jawab Sei belepotan. Tapi karena Arina malah menyilangkan tangannya, dia pun berusaha menjelaskan lagi. "Itu, hanya, saat ibu anda memberikan obat, beliau sempat mengelus kepala saya… Nyonya tidak mengatakan apa-apa, tapi entah kenapa, saya rasa beliau sadar…"
'Hmh, ibu memang sedikit merepotkan.' Pikirnya. Setelah berbohong ke sana-sini seumur hidupnya untuk menyembunyikan ini-itu, Arina sebenarnya sudah sampai tahap di mana dia tahu kalau kebanyakan orang normalnya mudah dibohongi. Tapi sejak dulu, ibunya memang termasuk yang susah ditipu.
Mendesah pelan, Arina pun kembali duduk di mejanya dan menoleh ke arah kotak yang daritadi cuma menganggur di sana.
Ia membukanya dan mendapati sosok belati hitam yang sama persis seperti yang dia ingat. Dengan pegangan hitam dan aksen benang merah, mata pisau belati itu melengkung gendut di pangkalnya dan meruncing tajam di ujung. Dan meski keseluruhan pedang pendek itu berwarna hitam, mata pisaunya justru malah memantulkan cahaya biru yang samar.
Arina ingat dia sempat keliling 4 kerajaan untuk mencari Belati ini. Belati Bulan yang bisa membunuh para makhluk terkutuk. Termasuk ajin dan dirinya sendiri.
Setiap mendengar ada benda sihir yang bagus, tanpa peduli rinciannya, Arina biasanya akan langsung memutuskan untuk langsung membelinya selama uangnya masih cukup. Tapi karena benda ini jauh lebih mahal dari perkiraannya, Arina tadinya sudah akan menunda rencananya pada lain waktu sampai dia bisa mengumpulkan semua tabungannya dulu.
Hanya saja… Suara hatinya berkata lain.
Habisnya bagaimanapun, itu adalah salah satu benda yang bisa digunakan untuk membunuhnya. Jadi kalau sampai benda itu jatuh ke tangan orang lain, skenario paling sialnya, benda itu bisa saja digunakan untuk melawannya. Jadi meski harus mengorbankan semua perhiasan yang menempel di leher dan tangannya, Arina memutuskan untuk langsung membelinya saat itu juga.
Tapi tentu saja Arina belum pernah menggunakannya. Dia sih pernah diserang oleh manusia serigala atau semacamnya. Tapi karena bayangannya masih bisa mengurusnya, Arina belum pernah sampai perlu menggunakannya. Dan tidak seperti dia selalu membawanya kemana-mana juga.
"Yah."
"No-nona Arina?!" Sela Sei yang langsung menahan tangan majikannya, karena dia malah kelihatan akan memotong tangannya sendiri. "Apa yang mau anda lakukan?!"
"Cuma mencobanya sedikit." Balas Arina santai yang langsung menyingkirkan tangan Sei. Baru setelah dia menggulung lengan bajunya, dia pun menyayat sebuah garis lurus di kulit mulusnya. Giginya kelihatan menggertak, tapi anehnya sisi bibirnya juga sedikit terangkat.
"Oh?" Tapi meski darahnya mengucur, anehnya sensasinya tidak berbeda dengan sayatan pisau biasa.
Sei mulai sibuk menyeka darah di lengan majikannya, tapi orangnya sendiri malah kembali sibuk memandangi belati itu. Padahal Arina tahu jelas kalau belati itu memang punya aura sihir yang asli. "Tapi kenapa tidak bekerja…?"
'Mungkin Aku harus menggunakan bayanganku?'
"Sei, mundur sedikit." Kata Arina yang kali ini berdiri dari bangkunya. Dan kali ini dia pun melepas kalungnya dan mulai mengeluarkan bayangan hitam yang mengepul membentuk salinan dirinya sendiri.
Hanya saja saat Arina akan memotongnya, bayangannya malah menjauh dengan ogah. "Hei, cuma sedikit!" Omel Arina. "Jangan jadi penakut!"
Sei merasa agak merinding melihat majikannya bicara dengan bayangannya sendiri. Tapi jantungnya lebih terasa deg-degan saat dia merasa kalau bayangan Arina menoleh ke arahnya. 'Hiiii…!!'
Tapi setelah dibujuk, bayangan Arina akhirnya menurut dan diam anteng saat belati itu menyayatnya. Dan seperti yang diduga, seakan berubah padat, bayangan itu memperlihatkan luka bakar yang tidak bisa langsung sembuh. Bahkan setelah melakukan itu, Arina juga kembali menyayat lengannya, dan kali ini sensasinya memang terasa lumayan panas. "Ack…"
Sei yang melihat itu juga akhirnya memberanikan diri untuk mendekat supaya dia bisa kembali menyeka luka Arina--meski dia masih harus mengalihkan pandangannya saat bayangannya ada tepat di sampingnya.
Tapi sembari menaruh belatinya di meja, Arina jadi sedikit terperangah. "Uwah, kalau benda ini sampai jatuh ke tangan orang lain, rasanya Aku memang tidak akan bisa tidur nyenyak setiap malam." Gumamnya.
"Dan Aku harus memberikan ini ke Felix kalau mau menyuruhnya mengurus Ergin itu??"
Arina kembali melihat bayangannya seperti minta jawaban. Dan setelah beberapa detik, keduanya pun mengangguk setuju. "Jelas tidak…"