Chapter 8 - De Javu

Arina sendiri sebenarnya sudah hampir melupakannya—karena sibuk stres dengan percobaan pembunuhannya yang gagal, tapi dia memang mendapatkan surat dari pangeran Felix beberapa hari lalu. Yang isinya mengatakan bahwa dia ingin membeli salah satu koleksi barang antik milik Arina, dan ingin membicarakannya sekalian saat mereka bertemu di hari penyambutan pendeta di istana.

Hanya saja, sejujurnya bukan cuma pangeran yang mengirimkan surat seperti itu padanya. Jadi saat suasana harinya memburuk karena masalah kemarin, Arina langsung melupakan semua keperluan itu dan lebih memilih untuk di rumah saja supaya dia bisa menenangkan jiwa raganya yang serasa ingin meledak sejak kemarin.

Tapi saat Arina sedang sibuk meditasi sendirian di kamarnya, tiba-tiba saja seekor burung merpati hinggap di jendelanya. Membawa sebuah surat yang isinya singkat.

'Kenapa kau tidak datang? Apa perlu kubunuh dulu ibumu supaya kau bisa datang ke istana sekarang? Kau tahu Aku tidak pandai bercanda.'

"Persetan?!" Kaget dengan surat di tangannya, akhirnya Arina pun langsung teriak-teriak memanggil Sei untuk menyiapkan semuanya supaya dia bisa ke istana secepat mungkin.

Sehingga di sinilah Arina, datang hanya untuk meladeni pangeran yang gila ini.

BUK! Tapi begitu pintu ruangan tertutup, tidak pakai basa-basi, Arina langsung mengangkat tangannya untuk memukul pangeran itu. Meski sayangnya tangannya keburu ditahan. "Lain kali kalau pangeran mau membeli sesuatu…" Tapi Arina tetap saja menggertakkan giginya ke depan Felix. "Pastikan pangeran tidak menambahkan ancaman seperti ini kalau anda memang menginginkannya!"

Membalas pandangan Arina, laki-laki dengan rambut dikuncir itu malah menaikkan sisi bibirnya. "Tapi itu berhasil membuatmu ke sini dengan cepat." Katanya.

Tapi karena Arina malah kelihatan semakin ingin mencekiknya, dia pun menurunkan senyumnya kembali. "Perangaimu benar-benar lebih buruk dari yang kudengar… Baiklah, kalau begitu kita anggap saja surat ini tidak ada." Lanjutnya sambil merebut surat itu dan membakarnya dengan api kecil di jarinya. "Nah, kau bisa duduk sekarang."

Tapi Arina masih mengerutkan alisnya kesal. "...Percaya padaku, pangeran tidak mau cari gara-gara denganku." Ujarnya, meski pangeran Felix cuma tertawa mendengarnya.

Sudah lebih dari 3 bulan sejak Arina terakhir kali melihat pangeran itu saat dia kembali dari ekspedisi hutan Lavit. Tapi seperti yang rumor katakan, sikap Felix yang sekarang memang sudah berbeda dengan Felix yang biasa. 'Atau lebih tepatnya, dia seperti kembali jadi Felix yang lama…' Pikir Arina heran.

Sejak kecil, pangeran Felix memang selalu dielu-elukan karena kemampuan fisik dan berpedangnya yang tinggi. Tapi satu hal yang paling menonjol darinya adalah egonya yang sangat tinggi sebagai putra mahkota. Dan yang lebih buruk lagi, dia membanggakan itu. Selain dua saudaranya, anak bangsawan yang berani menatapnya balik palingan cuma Arina.

Tapi semenjak kehilangan tangannya, dia mungkin mengalami trauma yang lumayan berat. Bukan cuma jadi jarang bicara, tempernya juga jadi semakin sulit ditebak dan suka membuat kekacauan. Bahkan sebelum pergi ke ekspedisi hutan Lavit, sejujurnya Felix seperti sudah tidak keberatan kalau dia tidak kembali hidup-hidup.

Tapi setelah kembali dengan kemampuan sihir barunya, kelihatannya egonya juga jadi kembali.

"Aku cuma punya satu tangan, jadi tolong jangan minta kopi." Kata Felix yang akhirnya duduk di kursi dekat jendela dengan santai.

Setelah mendecakkan lidahnya dengan kesal, Arina pun akhirnya duduk di depannya. "Benda apapun yang pangeran inginkan, Aku tidak akan memberikannya." Katanya langsung.

"Kenapa? Karena Aku tidak menyediakan kopi?"

"Tidak, tapi karena pangeran belum menyebutkan ingin benda apa." Balas Arina serius. "Kebanyakan orang biasanya akan langsung menuliskannya di surat. Tapi fakta bahwa pangeran tidak langsung menyebutkannya, artinya kemungkinan besar pangeran punya maksud tersembunyi dan Aku tidak mau kerepotan dengan itu."

"Mm, setengah benar, setengah salah." Balas pangeran. "Aku memang sengaja tidak menuliskannya, tapi Aku tidak berniat menyembunyikannya juga. Itulah kenapa Aku memanggilmu ke sini, supaya kita bisa bicara langsung."

Keduanya kembali terdiam seperti berusaha membaca pikiran masing-masing.

Sampai akhirnya Felix malah kembali terkekeh. "Dan kau pikir memangnya Aku tidak bisa menyuruh orang untuk mencurinya langsung darimu? Kau harusnya berterima kasih Aku tidak menghancurkan rumahmu."

Tidak mau kalah, Arina pun ikutan menyeringai. "Coba saja kalau pangeran bisa."

"Haha! Kenapa? Karena kau seorang penyihir hitam, kau pikir tidak ada yang bisa melukaimu?"

Dan dalam seketika, Arina merasa jantungnya jatuh mencelos ke perut.

"Pfft, kau bahkan tidak mencoba untuk menyangkalnya." Tambahnya mengejek.

"Aku melihatmu dua hari lalu, kau tahu. Saat kau berencana membunuh pendeta itu." Lanjut Felix. "Wah, kau benar-benar terlihat keren saat itu! Sebenarnya Aku selalu suka wanita yang bisa menggunakan senjata. Dan saat melihatmu, Aku benar-benar hampir jatuh cinta!" Serunya semangat.

'Ugh, persetan!' Kutuk Arina dalam hati yang spontan merasakan dejavu menyebalkan. Berurusan dengan adiknya saja sudah merepotkan, tapi sekarang dia juga harus meladeni kakaknya? 'Haruskah Aku langsung bunuh saja mereka berdua?!'

Tapi selagi dia terpaksa mendengarkan Felix mengoceh seperti itu, Arina akhirnya menyadari sesuatu. "Pangeran sendiri… Apa yang pangeran lakukan di kota sebelah?" Tanyanya heran. Soalnya kalau dia memang melihat semuanya, kenapa dia tidak melakukan apa-apa?

Felix mengulum senyumnya. "Kau belum dengar? Padahal semua orang selalu membicarakannya belakangan ini. Kalau Aku sedang mengincarnya karena Aku bisa jadi putra mahkota lagi kalau menjadikannya pasanganku." Balasnya santai. "Atau yaa, kalau saja dia tidak semanis itu, Aku mungkin akan benar-benar mempertimbangkannya."

Melihat Arina memasang ekspresi heran, laki-laki itu semakin melebarkan senyumnya sebelum kembali melanjutkan. "Tidak perlu kebingungan begitu. Sama sepertimu, intinya Aku juga mau perempuan itu mati." Katanya kemudian.

"..."

"Aku tidak ingin banyak. Cuma, kau tahu, Aku hanya berharap kau memberikan mayat perempuan itu saat kau sudah selesai membunuhnya." Lanjutnya lagi.

Merasa agak muak, Arina spontan mengerutkan seluruh otot di wajahnya dan membuat ekspresi jijik.

Tapi pangeran Felix masih saja melanjutkan. "Aku sudah pernah mengirim 4 pembunuh bayaran sejak bulan lalu untuk membunuhnya, tapi semuanya gagal. Jadi kalau seorang penyihir hitam sepertimu memang berniat membunuhnya, Aku mungkin punya harapan kali ini."

Arina terdiam lumayan lama setelah mendengarkan itu. Tapi sebelum bertanya kenapa Felix ingin membunuh pendeta itu juga, bahkan sampai menginginkan mayatnya, ada hal penting yang perlu dia tanya lebih dulu. "Kenapa bisa gagal semua begitu?"

Tapi lagi-lagi Felix malah terkekeh. "Kau sudah mencobanya sekali. Tidakkah kau tahu?" Katanya. "Dia punya pengawal yang merepotkan kan?"

"...Ya, tapi dia sudah mati."

"Kau yakin?" Balas Felix sambil melayangkan pandangannya ke luar jendela, di mana keramaian pesta kebun itu masih kedengaran samar.

Dengan perasaan tidak enak, Arina pun mengikuti arah pandangan Felix. Dan di sanalah dia melihatnya. Si pedagang muda yang harusnya sudah dia injak-injak dua hari yang lalu. "...Apa?! Bagaimana—"

"Laki-laki itu namanya Ergin, seorang Ajin. Aku yakin kau tahu apa itu." Jelasnya saat Arina masih belum berhenti melebarkan matanya kaget ke luar. "Aku tidak yakin mereka cuma berteman atau apa, tapi dia selalu melindunginya."

Felix membiarkan Arina untuk kaget selama yang dia butuh. Baru setelah orangnya kembali terduduk lemas di kursi, dia pun kembali bicara. "Aku tidak menuliskan benda yang kubutuhkan karena ingin menyembunyikannya. Tapi karena kupikir mungkin kau yang lebih tahu benda apa yang bisa kita gunakan untuk mengurus ajin sepertinya."

Masih dengan tatapan tidak senang, Arina pun akhirnya menatap Felix lagi. "Kita?"

"Apa? Kalau kau tidak mau, tentu, Aku yang akan mengurusnya untukmu asal kau berikan Aku senjata yang berguna." Balas Felix santai. "Tapi sebagai gantinya berikan Aku mayatnya--"

"Untuk apa??" Sela Arina yang tidak mau mendengar itu lagi untuk kedua kalinya.

Pangeran Felix sempat terdiam lama seakan dia tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Tapi setelah beberapa saat, dia kembali mengulum senyum tipisnya. "Karena kudengar kau bisa jadi abadi kalau makan jantung seorang pendeta agung."

Arina hampir kembali memasang wajah jijik. Tapi daripada jijik, dia lebih merasa heran mendengarnya. 'Abadi? Hanya itu?' Pikirnya agak tidak percaya. Soalnya di kepalanya, dia sama sekali tidak merasa ada yang bagus dari hal tidak berguna begitu.

"Pangeran tahu Aku bisa melakukan semuanya sendiri kalau sudah tahu semua itu kan?"

"Oh? Kau mau melakukannya sendiri? Tentu. Kalau begitu Aku cuma perlu menunggu sampai kau selesai membunuh mereka semua."

"..."

'Dasar sialan.'

"Ayolah, sama sekali tidak ada ruginya untukmu berteman dengan seorang pangeran sepertiku." Kata Felix lagi. "Tidak seperti kau bisa minta bantuan Alex untuk membunuh mereka."

"...Ya, tentu saja."