Jantungnya terus berdegup kencang saat melihat langkah gadis itu lurus menuju mejanya. Kendrik mengangkat pandangan dan menatap gadis yang tersenyum kecil itu.
Apakah gadis itu tahu dia sedang diintai? Tak membalas senyumannya, wajah Kendrik malah menegang. Keringat bercucuran, kira-kira seember jika ditampung.
Aku bakal digampar? (Kendrik).
"Permisi Kak, kecap di meja saya habis. Boleh pinjam punya Kakak?" kata gadis itu sembari menunjuk botol kecap di meja Kendrik.
"Gampar! Eh maksudnya bo-boleh, silahkan."
Gadis itu mengambil botol kecap di meja Kendrik dan beranjak ke mejanya sendiri.
Kecap aja? Hatiku nggak? (Kendrik).
Tiba-tiba gadis itu berbalik dan kembali ke meja Kendrik.
Dia dengar kata hatiku? Shitt, dia pasti bisa baca pikiran. (Kendrik).
"Maaf, Kak, saosnya juga ya."
"I-iya, ambil aja."
"Makasih, Kak."
Jangankan kecap dan saos, seluruh hidupku juga boleh kamu ambil. Pasrah, mletre, mleyot. (Kendrik).
Gadis itu kembali ke mejanya dan duduk. Beberapa detik berselang, gadis dan lelaki berseragam SMA itu menengok ke arah Kendrik dan tersenyum kecil.
Tak siap dengan serangan pandangan mata tandem itu, Kendrik hanya bisa membalas senyuman mereka dengan tatapan canggung.
~
Gangga berbisik, "Kakak itu agak aneh, tadi aku minta kecap malah dia bilang 'gampar'."
Bisma dan Gangga kemudian menoleh ke arah Kendrik dan tersenyum. Lelaki yang tengah mereka bicarakan itu membalas dengan senyuman dan ekspresi yang aneh.
"Iya bener, Mbas, aneh ya," bisik Bisma.
"Mungkin dia menderita semacam anxiety disorder?"
"Atau mungkin dia lagi nahan kebelet. Kamu ingat kan waktu ulangan matematika, aku dikira nyontek karena gerak-gerak nggak karuan. Padahal aku lagi nahan kebelet."
"Buahahah." Tawa Gangga meledak.
Kendrik masih memasang telinga dan perhatiannya kepada dua orang itu. Tidak ada sentuhan di antara keduanya. Tidak ada genggaman tangan atau belaian sayang seperti pasangan-pasangan muda pada umumnya.
Bolehkah aku berharap kalau mereka itu nggak pacaran? Berarti aku masih punya kesempatan kan? (Kendrik).
(Rebel mind voice: Ingat umur Ken!)
Heit, suara siapa berani nyenggol masalah umur? Aku 23 tahun, gadis gambas bermata amber itu kira-kira 18 atau 19 tahun. Masih masuk akal! (Kendrik).
(Rebel mind voice: Serah lu dah!)
Tapi kalau aku mau masuk ke circle mereka, aku harus ganti namaku jadi nama buah atau sayuran. Ken- siapa ya? (Kendrik).
(Rebel mind voice: Kedondong, kelapa, kelengkeng?)
Hah, diem lu! (Kendrik).

~
Gangga dan Bisma telah menyelesaikan makan siang mereka. Mereka pun berdiri dan bersiap keluar dari taman kuliner di kompleks rektorat Universitas Vanguard itu.
Kendrik juga ikut beranjak pergi. Lebih tepatnya mengintil mereka dari belakang. (Kalau kecil itu mengintil, kalau besar apa hayo? Nggak usah dijawab! Jangan!)
"Mbas, Mbas, itu si kakak aneh kok kayaknya ngintilin kita ya," bisik Bisma.
Gangga tidak berani menoleh. Dia hanya melirik dengan sudut matanya. "Apa dia itu orang jahat ya?"
"Mungkin juga. Dari tadi dia ngelihatin kita terus. Lebih banyak ngelihatin kamu sih."
"Apa dia, predator?"
"Bisa juga. Gimana kalau kita melakukan jurus pamungkas keadaan kepepet?"
"Apaan?" Gangga membayangkan perkelahian.
"L-A-R-I."
Gangga mengangguk. Mereka berdua pun berlari sekencang-kencangnya dari sana, meninggalkan Kendrik.
Kendrik ternganga sendiri melihat kedua orang itu berlari tunggang langgang. Pasalnya, meski pun dia tertarik kepada si gadis gambas bermata amber itu, dia sebenarnya sedang berjalan menuju area parkir.
Dia pun berbelok ke kiri untuk mengambil motornya. Dia memacu kendaraan roda duanya perlahan meninggalkan kampus.
Melewati shelter bus, dia melihat si gadis gambas bermata amber sedang menunggu bus sembari bercanda dengan si kubis. Senyum kecil tersungging di bibirnya.
Dia semakin yakin bahwa pemuda dan pemudi SMA itu tidak terikat hubungan percintaan.
~
Sampai di rumah...
Kendrik masuk ke dalam rumah dengan terburu-buru. Instingnya menuntun untuk menggali informasi tentang si gadis yang menawan hatinya itu.
Dia langsung mencari akun media sosial si gadis. Dengan minimnya informasi yang dia punyai tentang gadis itu, dia kesusahan memasukkan keyword di kolom pencarian.
Satu-satunya nama yang dia tahu hanyalah 'Gambas'. Dia pun memulai dengan Outstagram, aplikasi media sosial berbasis foto.
Hasilnya nihil, gadis itu tidak menggunakan kata gambas sebagai usernamenya. Malah, hasil pencarian menampilkan beberapa akun diet dan akun kuliner. Akh, memang gambas adalah nama sayuran.
Dia melanjutkan pencarian. Kali ini, dia mencari tahu tentang sahabat lelaki yang bersama Gambas, yaitu Kubis. Jika dia dapat menemukan Kubis, pasti akun Gambas akan berada di list followernya, dan mungkin ada dalam tag foto.
Hasilnya, masih nihil.
Apa mereka nggak pake media sosial ya? (Kendrik).
Kendrik memejamkan mata, mengingat-ingat kembali apa yang didengar dan apa yang dilihat. Seragam yang dikenakan dua anak SMA itu nampak asing.
Begoo, dia tadi deketin mejaku dan jarak kami deket, kenapa nggak baca badge sekolahnya. (Kendrik).
Kendrik mengutuki dirinya sendiri yang tidak sigap menangkap informasi. Saat gadis itu mendekatinya, dia malah tenggelam dalam perasaan gugup bercampur terpesona yang menghasilkan ekspresi kurang presisi di wajahnya.
Dia memandang ke arah jendela kamarnya yang mendadak tergambar wajah manis si gadis gambas bermata amber itu...
Bu Puri, mama Kendrik, masuk ke kamarnya dengan membawa beberapa baju pesta.
"Ken, lihat nih, nanti di wisuda kamu, Mama pake kebaya. Bagus nggak?"
"Bagus, Ma," jawabnya sembari matanya masih ke arah jendela.
"Kalau ini nih, gaun brukat. Bagus nggak?"
"Cantik," balas Kendrik sembari membayangkan wajah gadis asing yang telah menancapkan panah ke dadanya itu.
"Kalau Mama pakai bikini gimana Ken?"
"Bagus, cantik."
Bu Puri geram melihat anaknya yang sama sekali tidak melihat ke arahnya. "KENDRIK, masak iya Mama pakai bikini di acara wisuda kamu?!"
"What?! Apa?! Ya jangan lah, Ma. Mama kan bukan Kim Kadarkasihan atau Sendal Jenner. Hanya mereka yang boleh pakai baju dalam ke pesta."
"Kamu dari tadi diajak ngomong malah ngelamun aja. Mikirin apa? Kerjaan? Nggak usah dipikirin, nanti pasti ada."
"I-iya Ma, mikirin kerjaan. Aku bingung mau kerja apa dan di mana."
"Pelan-pelan aja. Yang penting tunggu kakakmu lahiran dulu. Oh iya, kamu juga nggak perlu khawatir-khawatir amat. Bisa juga buka usaha kayak kakakmu."
"I-iya Ma, nanti aku pikirin mau usaha apa dan kayak gimana."
"Nah, terus Mama ini bagusnya pakai baju yang mana, Ken?"
Kendrik melirik baju yang dibawa ibunya. Dia mengambil satu kebaya. Kebaya yang digantung di hanger itu dia angkat tinggi-tinggi.
Tiba-tiba, kebaya yang sedang dia angkat itu berubah menjadi gadis gambas yang ditemuinya tadi.
"Hai Kakak, boleh minta kecap dan saosnya?"
"Hoah! Gambas!" teriak Kendrik sembari membanting kebaya dari tangannya. Ajaib, gadis polos yang ditemuinya tadi seakan memiliki jalan pintas masuk ke alam bawah sadar Kendrik.
"Kenapa, Ken? Gambas apaan?" tanya Bu Puri, cemas.
"Oh, akh, hahah, nggak apa-apa Ma. Tadi aku lewat warung sayuran, lihat gambas jadi kepikiran sayuran gambas."
"Mau Mama masakkin gambas?"
"Uhm, ya, boleh, Ma."
"Oke lah, nanti Mama cari dan masakkin gambas."
Bu Puri pun keluar dari kamar anak lelakinya itu.
~
Gangga dan Bisma, Kota Praga
1,5 jam perjalanan dari Koja ke Praga membuat sepasang sahabat ini lelah. Meski tadi semangkok bakso telah mereka makan, rasa lapar kembali menghampiri.
"Perjalanan cuma lintas kota deket aja bisa bikin perut dangdutan lagi."
"Keroncongan."
"Aku lebih suka dangdutan tuh. Mampir di Indomacet ya, Mbas."
"Siap!"
Mereka singgah di minimarket Indomacet yang ada di daerah tersebut. Mi instan dengan kemasan gelas menjadi andalan pemadam kelaparan.
Sembari menikmati mi itu, mereka berbincang di teras luar minimarket.
"Mbas, kamu nanti harus hati-hati. Jangan mudah percaya sama orang. Terus, kamu sebagai cewek musti kuat dan bisa membela diri."
Gangga menatap Bisma dengan mulut ternganga. "Kubis, kamu kok ngomongnya kayak kakek-kakek begitu?"
"Bukannya gitu, tadi kita habis ketemu orang aneh. Dan orang aneh nggak cuma dia. Banyak lagi orang aneh di luar sana. Apalagi di kota besar kayak Koja."
"Iya iya Mbah Kakung!"
"Kamu mendingan ikut bela diri. Oh, dan kamu harus bisa jaga kehormatan diri. Kalau kamu lagi mau khilaf, pikirin orang tua kamu."
"Hahah, 'orang tua' kamu bilang? Aku justru pengen banget bikin mereka malu."
"Hush, ya udah bukan buat orang tua deh, tapi buat kamu sendiri. Kamu harus bisa jaga diri."
"Iya iya, kamu kok jadi bawel gini sih Bis?! Nggak asyik akh," jawab Gangga sembari mendengus kesal menyaksikan sahabatnya itu tiba-tiba bijaksana dan bijaksini.
Bisma menatap Gangga lekat sembari tersenyum. Itu adalah senyum termanis yang pernah diberikan Bisma kepadanya. Biasanya, mereka menghabiskan waktu untuk saling meledek satu sama lain. Kali ini, Bisma bersikap sangat manis.
"Sekarang, aku pesen sama kamu juga, nggak cuma kamu aja yang kasih wejangan ke aku. Kamu nanti kalau udah dibeliin motor, aku harus jadi orang pertama yang bonceng. Oke?!"
"Haish, kirain mau kasih pesan moral."
"Di sini nggak bisa pesan moral, bisanya pesan mi," kata Gangga sembari menunjuk mi-nya. []
bersambung...
Jogja, 20 September 2021