29 Mei 20xx (2 bulan kemudian)
SMA Pura Mahardika, Kota Praga
Gangga, Bisma dan seluruh siswa di SMA Pura Mahardika telah lulus. Dua sejoli itu juga sudah menjalani ujian masuk Universitas Vanguard. Mereka berdua pun telah diterima sebagai mahasiswa baru di universitas impian mereka.
Bisma juga telah menyanding motor baru yang dibelikan ayahnya ketika dia diumumkan lulus dari ujian.
Hari ini adalah jadwal cap 3 jari pada ijazah. Semua mantan siswa sudah berkumpul di sekolah.
Gin, salah seorang teman yang akrab dengan mereka, memberikan sebuah gantungan kunci kepada Gangga.
"Mbas, ini buat kamu," katanya.
"Wow, makasih banget ya, Gin."
Gin juga memberikan sebuah gantungan kunci kepada Bisma.
"Lhoh, Kubis juga dapet? Kirain aku doang yang dapet, udah GR," sungut Gangga.
"Semua dapet, aku bikin banyak," timpal Gin sembari memamerkan gantungan kunci di tasnya. Dia pun berlalu untuk membagikan gantungan kunci itu ke teman-teman yang lain.
Bisma tergelak. "Jangan baper, Mbas Mbas!"
Bisma dan Gangga yang sedang duduk di depan kelas itu memandangi gantungan yang diberikan oleh Gin.
Gangga pun menengadahkan tangannya.
"Apa?" tanya Bisma keheranan.
"Gin itu temen yang baik. Dia ngasih kenang-kenangan. Kamu? Bukannya kita sahabat? Kamu nggak ngasih apa-apa ke aku?"
"Heh Mbyak, kamu juga nggak ngasih apa-apa ke aku. Jadi jangan protes dong!"
Gangga mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sesuatu yang akan membuat skor mereka 1-0 karena ketidaksiapan Bisma memberikan kenang-kenangan.
"Nih buat kamu." Gangga mengulurkan sebuah kalung tali berwarna hitam berliontin seperti uang kuno dari negeri tirai bambu.
Bisma menerimanya. "Right, kamu ngasih kenang-kenangan kalung dogo buat aku."
"Dari pada kamu, nggak ngasih apa-apa. Sahabat apa itu namanya?"
"Kenapa sih kita musti kasih kenang-kenangan? Aku nggak mau dikenang. Lagian kita bakal 1 kampus. Meski beda jurusan, kita masih bebas ketemu. Ngasih kenang-kenangan kayak gini berasa kayak besok udah nggak ketemu lagi."
Gangga mengangkat wajahnya untuk menatap Bisma. "Bis, mulutmu masih suka ngomong sembarangan kayak gitu ya?! Ya pasti kita ketemu lagi. Tapi kasih apa gitu buat aku biar aku ngerasa agak istimewa dikit gitu lho."
"Haish..."
Bisma memandangi bunga melati tumpuk di taman kecil yang tepat berada di hadapan mereka. Dia memetik bunga itu.
"Nih, buat kamu. Habis ini jangan nagih-nagih lagi ya. Hutangku udah lunas sama kamu."
"Yah, bukan bouquet bunga yang bagus dan gedhe sih. Tapi bunga kenang-kenangan low budget ini aku terima deh."
~
Setelah menyelesaikan urusan cap tiga jari, mereka pun pulang. Mendadak Bisma meminggirkan motornya di minimarket Indomacet.
"Beli apa, Bis?"
"Ada deh, kamu duduk aja di situ," jawabnya sembari menunjuk teras toko.
Bisma keluar dari Indomacet membawa 2 mi instan gelas yang telah diseduh, kemudian kembali lagi ke dalam untuk mengambil 2 botol air mineral dan coklat batang merk Silverkingkong.
"Wowowow, big day baby. Ulang tahun kamu masih bulan agustus dan sekarang udah pesta duluan."
Makan, nggak usah banyak ngomong. Udah untung digratisin. (Gangga).
Itulah jawaban yang ditebak oleh Gangga di pikirannya. Biasanya, setiap sahabatnya itu melakukan kebaikan dan dia memprotes, jawabannya seperti itu. Dia sudah hafal segala model dialog Bisma hingga titik komanya.
Pemuda itu tersenyum. "For my best friend."
Berbeda...
Biasanya Bisma tidak seperti ini...
Semanis ini...
Apakah perasaan cinta kembali tumbuh antara mereka berdua? Apakah setelah lulus SMA, hubungan mereka tidak lagi menjadi sahabat tetapi menjadi sepasang kekasih?
Gangga tak berani bertanya apa pun. Dia hanya menikmati mi di hadapannya. Dia khawatir akan memberi kekecewaan kepada Bisma.
"Kok diem aja, Mbas?"
Gangga memberanikan diri bertanya, "Apa kamu naksir aku lagi? Bukannya kamu lagi ngincer Fita?"
"Enggak tuh, aku nggak naksir kamu. Dan udah nggak ngincer Fita juga."
"Fyuh," Gangga menghembuskan napasnya lega.
"Nanti agak siang, aku mau survey pantai di Gunung Timur yang mau kita jadiin arena camping minggu depan. Meski besok terus senin udah sibuk-sibuk di kampus, usahain bisa camping akhir minggu depan ya. Itu kumpul-kumpul terakhir kita sama anak-anak. Habis itu nggak tahu bakal ketemu lagi apa nggak."
"Kok gitu sih ngomongnya?"
"Ya kan kita kuliahnya nyebar. Kita aja besok udah mulai tinggal di kos."
"Ada reuni, Kubis! Kita tiap tahun bisa ngadain reuni."
Bukannya menjawab atau menyanggah, lelaki itu malah menatap Gangga sembari tersenyum. Bisma merogoh kalung yang diberikan oleh Gangga di sekolah pagi tadi. Dia memakainya.
"Not bad lah. Keren nggak gue?" tanya Bisma sembari menarik kerah bajunya. Sok keren.
"Gue? Mentang-mentang besok mau pindah ke kota yang lebih besar terus pake bahasa gahol anak metropolitan getoh? Koja itu belum sebesar Jacatra. Masih belum umum pake bahasa lu-gue."
"Itu kan di khalayak umum, kalo sama sahabat kan pengecualian."
"Oke kalo gitu. Gueh mau pulang, yuk ah. Takut nyokap nyariin."
"Buahahah, ternyata kalau kamu yang ngomong gaul jadi nggak enak di kuping."
Sekali lagi Gangga meminta mereka segera pulang. Dia harus mengepak barang-barangnya untuk esok pagi pindah ke kos di Koja. Meski jarak Praga-Koja hanya 1,5jam perjalanan, rasanya tidak bisa jika harus pulang-pergi setiap hari. Tenaga akan habis di perjalanan dan kesulitan untuk konsentrasi belajar.
Akan tetapi, sahabatnya masih enggan beranjak.
"Kenapa sih Bis, kok males-malesan? Ayo, aku belum packing. Terus kamu juga katanya mau ke Gunung Timur."
Akhirnya, dengan enggan, Bisma berdiri dan menuju motornya.
Sesampainya di depan rumah Gangga, dia mengulurkan coklat Silverkingkong yang dibelinya di Indomacet.
"Lhoh, buat aku?"
Bisma mengangguk. Gangga hendak mengambilnya, namun gerakan Bisma lebih cepat menangkupkan coklat itu di tangan Gangga.
Genggaman itu tak segera dilepas oleh empunya tangan.
"Bis? Jadi ini ikhlas buat aku nggak? Kok malah dipegang gini?" Gangga merasakan genggaman tangan Bisma malah semakin erat menangkup tangannya beserta coklat di tengahnya.
"Thanks for being such a good friend, Ganggadara Widi. I'll miss you."
"Heh dodol, kamu kayak mau kuliah di Amerika aja. Orang kita sekampus ini, kos juga deketan. Besok sore, aku tunggu di kos. Kamu harus ke kosku, bantuin beberes."
"Hahahah, oke oke." Bisma melepaskan genggaman itu dan pergi.
Gangga memasuki rumah. Bu Rasti, ibunya, sudah pulang dari bekerja dan telah sedikit membantu mengepak barangnya.
"Kamu pulang sama siapa Ngga?"
"Biasa, sama Bisma."
"Lhoh, Bisma?"
"Iya, Bu. Kenapa?"
"Kira-kira setengah jam yang lalu, Ibu lihat dia lewat di halaman rumah sini. Kirain kalian nggak barengan."
"Ya nggak mungkin lah, sedari pagi di sekolah kok."
"Oh, mungkin cuma mirip."
Mereka melanjutkan packing.
~
Pukul 15.00, barang-barang Gangga sudah rapi dan siap untuk dibawa ke kos keesokan harinya.
Sebuah motor masuk ke halaman rumahnya.
Siapa tuh? Bisma? Nggak capek bolak-balik Gunung Timur-Praga? (Gangga).
"Permisi, Gangganya ada, Bu?" kata pemuda itu yang ternyata bukan Bisma.
Bu Rasti mempersilahkan duduk dan memanggil Gangga.
"Lhoh, Gustyo, ada apa ada apa? What happen nyariin aku padahal tadi pagi kita udah selesai urusan sama sekolah. Aku nggak kelupaan SPJ (Surat Pertanggungjawaban) apa pun kan?"
Gustyo menggeleng lemah. "Begini Ngga, ehm, Bisma kecelakaan."
"Hah! Di mana Gus? Terus sekarang dirawat di rumah sakit mana?"
"Nggak dirawat di rumah sakit, di rumah," kata Gustyo dengan sangat pelan dan berhati-hati.
"Fyuh ya ampun leganya. Jadi dia nggak apa-apa kan?"
Gustyo memandangi Gangga dengan wajah yang sangat datar. "Sorry, Ngga."
"Lhoh kok 'sorry' sih? Kamu nggak salah apa-apa, dia tuh yang salah nggak langsung ngabarin aku lewat chat kek biar nggak ngrepotin kamu gini."
Gustyo diam membisu sejenak. Dia ragu bagaimana mengatakannya, tapi harus. Dia memulai lagi dengan sangat perlahan.
"Gini, Ngga. Bisma
.
.
udah nggak ada."
Gangga menatap Gustyo dengan tatapan menyelidik. Apakah ini candaan? Prank? Karena demi apa pun itu, sungguh tidak lucu.
"Ma-maksudnya?"
"Meninggal dunia."
Gangga tak merespon, hanya terpaku dengan mulut yang sedikit menganga.
"Gangga..." panggil Gustyo yang terdengar samar di telinganya.
Semakin lama, suara di sekitar ikut tersamar...
Mengecil dan mengecil...
Saturasi warna dalam penglihatannya berkurang drastis...
Memudar...
Bahkan warna di sekelilingnya tinggal kuning...
Seluruh ruangan terus menguning, temaram, kemudian gelap gulita...
Hening...
~
Bu Rasti sibuk mengoleskan minyak kayu putih di hidung Gangga, berharap putri keduanya itu segera bangun.
"Gangga, bangun, bangun..." panggil Bu Rasti sembari mengguncangkan badan Gangga.
Gangga membuka mata.
"Minum dulu, Ngga," Bu Rasti membantu Gangga meminum air hangat. Dia meminum sedikit.
Matanya pun panas. Kelenjar air matanya dengan segera mengalirkan buliran bening. Sejenak proses keluarnya air mata yang pertama membuat matanya sedikit perih.
Berikutnya hanya mengalir dan mengalir tanpa dia mampu menghentikannya. Bu Rasti mengelus bahu putrinya yang belum berhenti menangis itu. []
Bersambung ....
Jogja, 21 September 2021
***
Tokoh Aditya Bisma Wibowo, author dedikasikan kepada sahabat baik author yang bernama Aji (wafat 22 Mei 2002).
Semoga amal dan ibadahnya diterima di sisi Allah, dan diampunkan segala dosanya.
Aslinya, kejadian tersebut terjadi saat kelulusan SMP. Namun dalam cerita, author fiksikan menjadi SMA.
Beberapa scene yang terinspirasi dari kejadian nyata:
- cap 3 jari untuk STTB (surat tanda tamat belajar), pemberian ganci oleh tokoh Gin,
- pemberian bunga melati oleh tokoh Bisma,
- surat cinta palsu dari Gangga untuk Bisma,
- ngambek selama 1 tahun dan nggak saling bicara (padahal kami pengurus kelas, kami berinteraksi hanya saat ambil buku paket, penarikan iuran LKS dll, tidak mengobrol sama sekali), kelas 3 rekat kembali.
- ibu Gangga menyaksikan kelebat Bisma di halaman rumah.
(Hal-hal selain dari yang disebutkan di atas merupakan adegan fiktif).
He was my first crush...
But in the end, we had a beautiful friendship ever...
Terimakasih sudah mengajarkan banyak hal...
Terimakasih sudah ngajarin pake internet dan komputer (dulu author belum bisa ngetik pake komputer dan browsing2, dia yang ngajarin)...
Terimakasih selalu jadi teman diskusi fisika...
Terimakasih selalu menyemangatiku ketika aku down (dia selalu bilang "Ndut, hidup cuma sekali, gunakan sebaik-baiknya)...
Terimakasih untuk tamasya di pantai Trisik bareng-bareng...
Terimakasih untuk tamasya di Gembiraloka (ber 6)...
Terimakasih untuk kado ulang tahun buku diarynya...
Untuk sahabat gesrekku Ajibon, dariku si Gendut