Chereads / Simfoni Temaram Takdir / Chapter 5 - 5. Life Must Go On

Chapter 5 - 5. Life Must Go On

30 Mei 20XX

Sore hari setelah pemakaman

Group chat di aplikasi Chatsapp ramai berbincang masalah camping perpisahan yang akan diadakan Minggu depan di sebuah pantai di Gunung Timur. Beberapa tidak setuju acara itu tetap dilanjutkan. Beberapa yang lain mengatakan bahwa itu adalah moment mengenang Bisma.

Gangga hanya menyimak pesan chat di group itu. Baginya, meski acara itu tetap diadakan, dia tidak akan datang. Hatinya tak akan kuat.

Pukul 15.00

"Ngga, kamu ke kos hari ini kan? Udah jam 3!"

Gangga terkejut. "Astaga! Jam 3?!"

Besok dia harus mengikuti serangkaian kegiatan orientasi di kampus dan sudah sore dia belum juga beranjak.

Bu Rasti mengangsurkan amplop coklat kepadanya. "Ini untuk biaya bulanan."

Gangga mengangguk. "Makasih, Bu. Aku berangkat dulu, takut kehabisan bus."

"Ya, hati-hati."

Pamit yang cukup singkat dan dingin. Tapi memang begitulah hubungan Gangga dengan ibunya, dingin. Meski ayahnya telah meninggalkan mereka karena wanita lain saat Gangga kelas 2 sekolah menengah pertama, hubungan Gangga dengan ibunya tetap dingin.

Padahal, di kisah-kisah lain, para keluarga yang ditinggal oleh ayah demi wanita lain, akan lebih sayang satu sama lain. Namun, karakter ibu Gangga memang keras. Dia wanita tangguh, mandiri dan bukan wanita menye-menye.

Tapi ketangguhan dan kekuatannya itu menjadikannya keras dan galak. Nada bicara ibunya sering menyalak membuat Gangga enggan berbicara kepada ibunya sendiri. Juga, kediktatoran ibunya atas segala pilihan hidupnya membuatnya ingin segera pergi dan tinggal merantau di kota sebelah.

Gangga mengambil barang-barang yang telah dia siapkan sebelumnya. Dia memesan ojek online untuk menuju ke terminal bus.

~

Rumah sakit Keluarga Bahagia, Koja

Bangsal Lavender

Kendrik menggendong seorang bayi mungil yang hari sabtu kemarin baru dilahirkan oleh Karen, kakaknya. Di sampingnya berdiri, terbaring kakaknya yang masih dalam keadaan lemah.

"Dedek Darren, dari tadi anteng digendong sama Om. Mulai sekarang kita CS. Tunggu mamamu sembuh terus kita pulang dari sini ya." Ken berbicara lirih kepada keponakannya yang dia gendong.

Daniel, suami Karen, memasuki ruangan itu sembari membawa beberapa makanan dan barang keperluan istrinya.

"Ken, makan dulu," kata Daniel.

"Oh iya Kak. Aku makan di luar aja, tolong Dek Darren, Kak."

Kendrik mengalihkan gendongan kepada kakak iparnya kemudian keluar dari ruangan itu menuju teras bangsal.

"Ken," panggil Bu Puri yang baru saja datang.

"Iya, Ma."

Bu Puri duduk dan memperhatikan putra bungsunya yang sedang menikmati makanan itu. "Ehm, Karen udah melahirkan. Sekarang waktunya kamu mikirin diri kamu sendiri."

"Iya, Ma. Aku udah ada planning untuk kerjaan. Tadi pagi aku udah masukkin berkas lamaran ke Vanguard."

Bu Puri mengangguk. "Mama doakan semoga diterima."

Pak Wardiman memanggil...

๐Ÿ“ž"Halo Pak, ada apa?"

๐Ÿ“ž"Halo Mapala, udah masukkin lamaran belum? 1 jam lagi ditutup lho!"

๐Ÿ“ž"Udah Pak, tadi pagi."

๐Ÿ“ž"Owalah, fyuh. Kirain kamu nggak jadi daftar. Kamu ini ya, sukanya di jam-jam terakhir melulu."

Beberapa kali Kendrik menyelesaikan urusan memang di detik-detik terakhir. 2 bulan yang lalu dia mendaftarkan yudisium di menit-menit terakhir. Lulus pun di kloter terakhir. Memang dia senang segala sesuatu di tingkat akhir.

๐Ÿ“ž"Nanti pengumumannya jam 6 sore," kata Pak Wardiman.

๐Ÿ“ž"Cepet amat Pak."

๐Ÿ“ž"Kan diseleksi sistem. Sekedar menghitung persyaratan administrasi. Makanya yang teliti, banyak yang kesandung di masalah ini lho, padahal urusan sederhana."

๐Ÿ“ž"Iya Pak, beres. Udah aku pastiin nggak ada yang lupa kok."

~

Kos putri 'Seruni', Koja

Gangga telah sampai di tempat tinggal barunya. Dia memandangi papan nama di depan kos itu.

"Nah ini bagus, strategis, Mbas. Deket kampus, jadi kamu nggak perlu naik bus atau ngojek kalau ke kampus."

"Kalau aku perlu kendaraan kan tinggal minta tolong kamu."

"Hahah, eh aku emang bakalan siap anter kamu kemana-mana. Tapi harus realistis juga dong. Kita beda fakultas, beda jurusan. Kalau jadwal kuliah kita nggak singkron, susah mau berangkatnya."

"Oke oke, aku kos di sini. Tapi kamu juga kos deket sini ya Bis."

"Beres lah, situ inceranku," kata Bisma sembari menunjuk ke arah utara, selisih beberapa bangunan dari kos putri Seruni. Terpampang sebuah papan nama kos putra 'Aligator'.

"Bahahah, aligator. Isinya buaya semua ya."

"Mbak, Mbak." Suara Mbak Wati, pengurus kos Seruni, membuyarkan lamunan Gangga.

"Oh, maaf, eh Mbak Wati. Saya yang 2 minggu lalu booking kamar kos di sini. Udah lunas. Inget kan?"

"Inget dong, saya sih selalu ingat penghuni dan calon penghuni kos Seruni. Bu Wijaya (pemilik kos) juga udah pesen katanya Mbak Gangga bakal pindah ke sini dalam waktu dekat. Soalnya Ibu lihat itu para penjual barang-barang ospek udah pada buka lapak, pastinya anak kos baru pada gemruduk pindahan."

Gangga mengangguk kemudian memasuki kos. Barang bawaannya diangkat oleh Mbak Wati.

Setelah membereskan barang, dia memeriksa uang yang diberikan oleh ibunya.

"Hah?! 1 juta?! Yang bener aja!"

Gangga membanting amplop itu.

Belum beli buku, belum ongkos ke rental komputer kalau ada tugas, buat makan, belum beli meja buat belajar. Astaga! (Gangga).

Dia kesal sekesal-kesalnya. Pasalnya, kakak laki-lakinya mendapat uang saku yang lebih banyak darinya. Gangga hanya pasrah saja. Karena kalau tidak pasrah, mau jungkir balik sampai pinggang kecetit pun uang itu tidak bertambah. Malah berkurang untuk membeli obat kesleo.

Gangga memegangi kepalanya yang sebenarnya tidak pusing, dia hanya takut copot.

"Fyuh..."

Dia mencoba membuat kalkulasi anggaran selama satu bulan hidup di Koja.

Sekali makan 15.000. Sehari 3 kali. Sehari 45.000. Sebulan 45.000x30=1.350.000. Astaga, kurang 350.000. (Gangga).

Gangga mendengus mengamati coretannya sendiri. Biaya tersebut adalah biaya konsumsi saja. Biaya rental komputer, printing, tiket bus untuk pulang dan lain-lain belum dihitung. Tapi tidak perlu dihitung karena sudah pasti minus.

Untunglah paling tidak di kos itu sudah tersedia kasur dan almari. Jika tidak, dia pasti pusing mengisi ruang kosong itu.

Dia membuka almari dan mencari-cari sprei di tumpukan bajunya yang baru tadi sore dia letakkan di sana.

Hyah, lupa nggak dibawa. (Gangga).

Dia meraih tas, mengeluarkan kalung hitam milik Bisma, bunga melati dan coklat pemberian Bisma. Bunga melati yang mulai berwarna coklat itu diletakkan di dalam plastik.

Dia merebahkan diri di atas kasur kapuk tanpa sprei sembari memeluk 3 benda kesayangannya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya mengetik pesan chat dari ponselnya.

๐Ÿ“ฑGangga: Bis, aku lupa nggak bawa sprei. Aku pinjem punyamu satu ya. Aku jalan ke kos barumu yang namanya kayak penghuninya itu hihi.

Sudah tidak terkirim...

๐Ÿ“ฑGangga: Bis, duitku kurang buat sebulan. Kayaknya aku musti kerja. Menurut kamu, aku kerja di mana ya?

๐Ÿ“ฑGangga: Bis, badanku gatel karena tidur nggak pake sprei. Pinjemin punyamu Bis. Jawab :(

Tak pernah ada lagi jawaban...

Takkan pernah ada...

***

Senin, 31 Mei 20xx

GOR Universitas Vanguard

Jam 7 pagi, Gangga telah siap mengikuti Ospek (Orientasi Study dan Pengenalan Kampus). Ospek dibagi ke dalam beberapa bagian. Hari pertama adalah Ospek universitas.

Dalam ospek universitas, semua mahasiswa baru dari seluruh jurusan yang ada bergabung dan bercampur menjadi satu untuk mengikuti kegiatan bersama.

Gangga berkenalan ala kadarnya dengan maba lain yang tak langsung dia ingat namanya karena saking banyaknya.

~

Hari ini Kendrik mengikuti tes kompetensi untuk pekerjaan yang dilamarnya. Dari kejauhan, dia melihat GOR yang berjubel dengan mahasiswa baru berbaju hitam putih.

Sedangkan dirinya pun mengenakan baju hitam putih.

Ini gimana sih, berasa maba lagi. Dresscode maba sama kandidat pegawai nggak ada bedanya. Lain kali pink kembang-kembang, atau gambar tengkorak kek. (Kendrik).

Kendrik menggeleng pelan menyingkirkan pikiran jahilnya. Dia memasuki ruangan yang sudah ditata untuk ujian pagi ini.

"Eh, kamu Kendrik kan?"

"Iya, kamu. Ehm, kamu bukannya karyawan Kak Ren?" tanya Kendrik yang sedikit mengenali orang yang menyapanya.

"Iya, setahun lalu keluar. Si Bos apakabar?"

"Kak Ren baru aja melahirkan beberapa hari yang lalu."

"Oh, jadi habis keguguran itu, nggak lama hamil lagi ya?"

"Iya, nunggu beberapa bulan setelah itu sih baru hamil lagi," jelas Kendrik. "Ehm maaf Bang siapa ya? Saya lupa."

"Haih, nggak usah panggil Bang. Panggil nama aja, kita paling selisih 3 tahunan."

Lha ya siapa namamu, dodol! (Kendrik).

"Oke. Nah, panggilnya siapa? Kan aku lupa namamu."

"Oh iya, haha. Maaf lupa," katanya, meminta maaf.

Astaga, minta maaf tapi belum juga sebutin nama. Minta diglepak nih orang. (Kendrik).

"Ehem, nama?"

"Oh, aku Linggom. Bapakku raja minyak dari pulau seberang."

"Kalau bapak kau raja minyak, ngapain kau ngelamar kerja di sini kawan?!" kata Kendrik, sudah agak emosi dengan lawan bicaranya yang sok kaya itu.

"Minyak yang dia rajai cuma seliter dua liter, jadi aku harus bekerja Bro."

"Buwahahahahah, jutawan malang rupanya."

~

Memasuki sore hari, pembina memberikan instruksi dengan megaphone-nya.

"Perhatian, untuk fakultas bahasa dan seni atau FBS, silahkan menggunakan slayer ungu seperti yang sudah diumumkan kemarin. Sekali lagi, maba dari FBS silahkan mengenakan slayer berwarna ungu."

"Apa?! Slayer ungu apaan?" bisik Gangga pada maba di sebelahnya.

"Itu lho ada di list barang yang harus dibawa di hari pertama."

"Aduh aku nggak bawa, gimana dong?"

"Itu banyak lapak di luar. Kamu keluar sebentar, nanti balik lagi ke sini. Cepet. Mumpung pembinanya lagi ngumumin di sayap sebelah sana."

Gangga berlari keluar GOR untuk membeli slayer yang dimaksud. Ternyata para pembuka lapak sudah siap dengan slayer berbagai warna. Dia selamat.

Dia pun tak sendiri. Banyak yang tidak membawa slayer.

"Mas, beli slayer yang ungu."

"Ini Mbak, 25.000."

"Apa?! 25.000?!"

"Iya Mbak, kenapa Mbak?"

"Boleh kurang nggak?"

"Maaf, harga pas itu. Ini barang darurat lho, Mbak nggak mungkin kan ke pasar buat beli ini sekarang?"

Iya juga. Akh, nanti malam aku makan mi instan aja. (Gangga).

Bersamaan dengan itu, seorang mahasiswi dari fakultas lain datang ke lapak yang sama.

"Saya yang merah, Mas," katanya, sembari mengulurkan uang pecahan 50.000.

Mahasiswi itu membarengi langkah Gangga kembali menuju GOR.

"Untung banyak lapak barang ospek ya Mbak, kalau enggak, berabe kita."

Gangga tersenyum dan menjawab sekenanya. "Iya."

Bagi yang lain mungkin gampang, tapi bagiku 25.000 itu lumayan mahal. Salahku juga sih nggak teliti lihat catatan. Kalau aku beli di pasar, harganya paling 10.000. Melayang sudah 15.000 jatah makan nanti malam. (Gangga). []

Bersambung ....

Jogja, 24 September 2021