29 Mei 20XX, malam hari
Gangga sudah sedikit tenang berada di kamarnya yang berukuran 3x3 meter, dengan cat dinding yang sudah terkelupas di sana sini. Dia hanya duduk di tempat tidur, diam.
Dunia seolah berputar begitu lambat. Metabolisme tubuhnya juga seolah berhenti. Dia tidak mampu bergerak cepat, lututnya terasa lemas.
Kamu jahat Kubis! Tega banget ninggalin aku. (Gangga).
Dia membuka tas sekolah yang tadi digunakannya. Dirogohnya 2 benda pemberian Bisma, bunga melati putih dan sebatang coklat.
Diletakkannya dua benda itu di dadanya. Buliran bening di matanya menetes lagi meski tak sederas tadi.
Bisma bodohh. Kenapa ngasih aku barang yang dua-duanya berumur pendek kayak gini. Melati ini dalam beberapa jam sudah layu. Coklat ini dalam beberapa bulan sudah tak layak dikonsumsi. Kenapa kamu nggak ngasih sesuatu yang bisa aku simpan lama? (Gangga).
Dia bingung, akan diapakan kedua benda itu. Akan diletakkan di toples dan ditambahkan formalin? Atau hanya akan dibuang? Dan bagaimana dengan coklatnya? Akan dia makan atau ditunggu hingga berjamur?
Suara ponsel mengaburkan imajinya. Diusapnya layar benda berbentuk balok pipih itu. Dengan hati yang perih, dia membaca pesan demi pesan yang membuat matanya kembali berair.
📱Erlin: Besok kita bareng ke pemakaman Bisma ya.
📱Yunda: Pemakaman Bisma jam 13.00
📱Group kelas:
Telah meninggal dunia dengan tenang teman seperjuangan kita, Aditya Bisma Wibowo pada tanggal 29 Mei 20XX dan akan dimakamkan besok hari Minggu, 30 Mei 20XX di pemakaman umum Neglo, kecamatan Sentul, Kabupaten Praga.
Diharap kehadiran teman-teman di rumah duka di Neglo, kecamatan Sentul, Kabupaten Praga.
📱Gin: Ngga, tadi Gustyo udah ke rumah kamu kan?
📱Gustyo: Ngga, gimana keadaan kamu? Maaf tadi nggak bisa nunggu sampai kamu sadar, aku harus kabarin teman lain dan guru sebelum bikin pengumuman di grup kelas.
Gangga menyesal kenapa tadi pagi dia terburu-buru untuk pulang. Padahal, Bisma terlihat enggan untuk beranjak dari duduknya.
Dia berharap ini semua hanya mimpi. Dia berharap segera bangun dari mimpi buruk ini.
Ini mimpi buruk...
Sangat buruk...
~
Minggu, 30 Mei 20XX
Dengan pakaian gelap, Gangga berangkat ke rumah duka tempat Bisma disemayamkan. Dalam perjalanannya dengan sebuah bus, dia terus berpikir apa yang nanti akan dia ucapkan jika bertemu dengan ayah ibu Bisma.
Sampai di sana, Gangga menempati kursi di luar rumah beratap tenda. Teman-teman lain sudah berada di sana, namun Gangga tidak ingin bergabung dengan mereka. Dia menyendiri di deretan belakang.
Tidak seperti yang dibayangkannya, ayah ibunya bahkan tidak nampak di sana.
Beberapa menit kemudian, terdengar jeritan keras. Ibunya.
Tak pernah ada kata 'mudah' dalam melepas kepergian seseorang apalagi itu anak tercinta. Begitu pula dengan dirinya. Meski dia tidak terikat darah dengan Bisma, rasanya berat.
Saat ini yang dirasakan oleh Gangga adalah penyesalan tiada tara.
Andai saja kemarin dia mengajaknya mampir lebih lama...
Andai saja kemarin dia melarangnya pergi...
Andai saja...
Namun pertanyaan juga bermunculan.
Misalnya benar dia mengajaknya mampir lebih lama, akankah Bisma terhindar dari musibah ini?
Misalnya benar dia melarangnya pergi, Bisma akan hidup hari ini?
Ataukah, Bisma terhindar dari kecelakaan namun tetap akan meninggal dalam kejadian yang versinya sama sekali berbeda?
"Mbak Gangga."
"Oh, ya?" Gangga menoleh ke arah datangnya suara. "Nuria?!"
Gadis yang lebih muda dari Gangga itu langsung menghambur ke pelukan Gangga. Nuria adalah adik sepupu Bisma yang juga bersekolah di Pura Mahardika, 1 tahun di bawah Bisma dan Gangga.
Dengan berlinangan air mata, Nuria berkata, "Maafkan segala salah Mas Bisma."
Gangga tak mampu menjawab, hanya anggukan disertai air mata yang menetes.
Setelah keduanya tenang, Nuria mulai bercerita.
"Kemarin Mas Bisma pamit ke Gunung Timur. Terus siangnya, kami dapat kabar kalau dia kecelakaan. Dan nggak tertolong. Utamanya karena gegar otak. Tapi tubuhnya juga udah remuk."
"Sssttt, nggak usah diceritain detailnya kalau nggak kuat, Nur."
Sembari menyeka air mata, Nuria tetap bersikeras melanjutkan. "Nggak, Mbak harus denger semua karena ini amanah."
Gangga mengernyit.
"Dia bilang, kalau suatu saat ada apa-apa lalu dia nggak bisa hubungin Mbak Gangga, aku harus cerita."
Gangga akhirnya mengangguk.
"Keadaanya, menyedihkan Kak. Perutnya..."
Gangga mengangguk kemudian memeluk Nuria lagi.
"Mbak mau lihat jenazahnya?"
"Entahkah Nur, aku takut nggak kuat."
"Kalau gitu, kita ke kamarnya ya."
Gangga menggeleng. "Jangan Nur, ada bapak ibunya."
"Mereka ada di kamar mereka sendiri kok, nggak di kamar Mas Bisma. Setelah ini, mungkin Mbak nggak akan ke sini lagi kan? Nggak mungkin muncul di depan Budhe Harsi (ibu Bisma), pasti dia bakal ingat lagi sama Mas Bisma kalau ketemu Mbak Gangga."
Gangga pun mengikuti langkah Nuria. Dan untuk yang pertama kali, dia memasuki kamar Bisma. Selama ini, dia hanya di ruang tamu jika mengunjungi sahabatnya itu.
"Nur, aku boleh ambil kalung ini?" Gangga mengambil kalung hitam berliontin uang kuno di atas meja belajarnya.
Nuria mengangguk. "Ambil aja Mbak, itu kemarin yang dipakai pas kejadian. Kalau bajunya lagi dipelukin sama Budhe dan Pakdhe."
Terdengar kembali jeritan ibunya dari kamar sebelah yang tertutup rapat. Terdengar pula suara orang yang berusaha menenangkan.
Gangga melanjutkan tur di kamar Bisma. Di cermin, tertempel sebuah foto berenam saat bertamasya bersama. Wajah Gangga menghiasi foto itu juga.
Terlalu, aku bahkan nggak punya foto ini. (Gangga).
Dia mengeluarkan ponsel dan memotret foto itu. Dia juga merekam suasana kamar Bisma dalam foto dan video.
"Nur, aku keluar dulu. Aku nggak kuat," kata Gangga sembari terisak.
Dia kembali duduk di deretan kursi beratapkan tenda. Sembari menatap kalung hitam kenang-kenangan yang dia berikan pada Bisma.
~
Jenazah pun memasuki waktu untuk dimakamkan. Kepala pemerintah setempat memberikan kata pengantar. Tak lupa, dia menyebutkan prestasi-prestasi Bisma selama di sekolah.
Pada ujian kelulusan, nilai Bisma sangat bagus. Dia bahkan meraih ranking 2 kelas paralel.
Gangga tersenyum bangga mendengar prestasi sahabatnya disebutkan.
That's my man. (Gangga).
Ketika peti mulai diangkat oleh 6 bapak-bapak, suara ibu Bisma dari dalam kamar semakin meraung, menyayati hati setiap pelayat yang datang tak terkecuali dirinya.
Rasanya tak ikhlas melepas kepergian orang terkasih. Namun, bukankah setiap yang berjiwa memang suatu saat menemui waktunya?
Time will heal
Time will heal
Time will heal
Gangga yakin akan kuat menghadapi. Ini bukan pertama kalinya dia kehilangan. Telah banyak saudara yang mendahului. Meski saat ini dia masih lemah menghadapi kenyataan, suatu saat pasti dia bisa melupakan peristiwa ini.
Tapi tidak dengan kenangan indah. No one heals or erases good memories. Bisma akan selalu hidup di hati Gangga. Pun di hati orang tuanya yang pastinya tak akan sedetik pun melupakan Bisma.
Selamat jalan sahabat. Tenang di sana. []
~
Sunday is gloomy, my hours are slumberless
Dearest, the shadows I live with are numberless
Little white flowers will never awaken you
('Gloomy Sunday', Composed by Rezco Seress/ Sung by Billie Holiday)
Minggu yang suram, waktuku tanpa terlelap
Sayang, bayangan yang hidup bersamaku tak terhitung
Bunga putih kecil takkan pernah membangunkanmu
Bersambung ....
Jogja, 22 September 2021