Chereads / ANGEL BABY / Chapter 3 - BAB 3: MISSCARRY

Chapter 3 - BAB 3: MISSCARRY

Sejak saat itu, Apo pun lebih menerima kehidupan yang telah dipilih. Dia fokus pada pendidikan juga Atamai, walau tidak selalu bisa merawat sendiri. Bagaimana pun kuliah selalu menggempur waktu. Mile pun membiarkan istrinya terbang tinggi, walau tetap memberikan batasan. Dia melarang Apo yang ingin ikut praktik ekonomi di tempat yang jauh. Semua karena harus meninggalkan Atamai lama. Dan Mile juga memperkirakan kesehatan Apo.

"Sekarang kuat, tapi bagaimana nanti-nanti?" tanya Mile. "Tubuh yang habis melahirkan itu sangat rawan."

"Tapi Ata sudah dua tahun. Aku merasa baik-baik saja," bantah Apo pada awalnya. Dulu mungkin Mile mengalah, tapi kali ini sang suami tidak mau. Dia langsung tidur di ruang tamu untuk meninggalkan Apo, tapi malah memberikan uang saku lebih keesokkan hari.

Apo paham dia didiamkan. Jadi, apa gunanya kalau Mile memperlakukan dia seperti orang lain? Apo pun minta maaf lewat memasakkan brownies dalam cup-cup mungil. "Mile, aku benar-benar menyesali," katanya. "Tolong jangan seperti ini."

Secara fisik, bolehlah Apo sangat-sangat laki. Dia juga punya bekas kenakalan seperti tato, tapi sangat menghargai sang suami. Sebab sosok itu satu-satunya yang selalu ada saat dia sendiri. Apo takkan pernah lupa darimana dia berasal, maka Mile memang tidak terganti.

"Jadi minta maafnya serius?" tanya Mile yang belum mau duduk juga dari sofa panjang. Sepertinya lelaki itu sangat ahli dalam mendiamkan, karena sudah seminggu betah tidur di sana.

"Iya, serius. Jadi tolong makan jajan buatanku," kata Apo yang berjongkok dengan muka melas di sebelahnya. "Aku belajar sungguh-sungguh semingguan ini."

"Baiklah," kata Mile. Namun bukannya mencicip brownies, lelaki itu malah melahapi bibir Apo. Dia sepertinya sudah menahan diri cukup lama, maka brownies pun ditinggal. Sementara Apo ditarik ke ranjang kamar.

BRUGH!

"Mile?"

Tanpa menunggu persetujuan, lelaki bermarga Romsaithong itu langsung melepas kemeja. Dia juga meloloskan sabuk di depan mata sang istri, lalu menyodorkan penisnya yang sudah tegang.

"Aku sudah memaafkan, tapi harus mendapat hadiah," kata Mile. "Jadi, apa kau akan memberikannya?"

Halus sekali, bukan?

Apo mana mungkin tidak mau. Dia yang sudah terbiasa dengan seks sebelum hamil, takkan merasa aneh jika langsung melahap penis. Namun, ukuran suaminya paling besar diantara semua yang pernah dia cicipi. Pipi Apo sampai gembung dalam elusan Mile, sementara sang suami senyum tipis karena tatapan seksi yang dia rindukan.

"Aku akan buatkan toko saja untukmu. Bisnis sendiri. Langsung praktik nyata dekat rumah daripada di luar sana," kata Mile. Dia mengecup kening Apo dalam satu tundukan, sementara Apo sempat memejamkan mata. "Oke, Sayang? Suamimu sangat butuh kau di sini."

"Hahh ... hahh ... hahh ... hahh ...." Napas Apo tersengal setelah penis itu keluar dari mulutnya. Ada cairan yang tercurah dari ujungnya ke dada Apo, dan Apo mencicipnya sedikit lewat ujung jari.

Tentu saja masih dalam keadaan menatap Mile. Itu keahliannya sejak mengenal dunia intim. Maka siapa pun partner-nya di masa lalu, mereka pasti suka dengan jenis mata yang ekspresif itu.

"Terima kasih," kata Apo dengan nada manis. Lelaki itu tidak tersenyum, tapi matanya begitu tulus. Membuat hati Mile meleleh karena kesungguhan di dalamnya. "Aku akan menjalankan tempat itu dengan baik."

"Bagus."

Mereka berciuman lama sebelum saling menimpa. Sejak awal, Mile sudah menduga Apo beda dengan kekasihnya dulu. Lelaki ini berani memimpin seks keduanya, bahkan sejak awal dimulai. Dia menduduki Mile, tapi lepas-lepas sendiri. Dia juga menyobek kondom dengan giginya sendiri. Lalu melonggarkan lubang di belakang sana dengan jarinya sendiri.

Ah, jangan lupa. Jemarinya sangat terampil saat menggosok dan meremas penis Mile. Apo melakukan itu dalam waktu bersamaan, lalu memasukkan batang tebal berat kencang itu ke dalam dirinya.

"Ahh," desah Apo.

Mile tak perlu membimbingnya untuk bergerak seperti apa. Dia cukup bersantai menikmati pemandangan perut kejang dengan penis yang memantul-mantul. Sementara Apo naik turun menungganginya secara mandiri.

Selalu seperti itu. Dalam berbagai gaya pun Apo yang sering memberi petualangan baru. Mile tak masalah selama Apo tidak menggunakan keahliannya pada orang lain lagi, walau kabar suatu siang yang dia dengar seperti sambaran petir.

DEG

"Apa? Keguguran?" bingung Mile yang berdiri di atas bangunan setengah jadi. Dia memegang gulungan desain arsitektur. Lalu menyumbat sebelah telinga agar percakapan lebih jelas.

"Iya, keguguran. Anda tidak salah dengar. Mungkin Tuan Apo hari ini sangat kecapek-an. Karena pelanggan toko tidak seperti biasa. Ramai sekali, Tuan. Jarinya juga sempat tersayat pisau karena buru-buru membuka kotak krim."

"Ya ampun, bagaimana bisa. Apo tidak pernah bilang dia hamil," kata Mile dengan wajah stress yang amat kentara. Lelaki itu bahkan tak peduli debu pembangunan, hanya mengipas-ngipas dengan jari yang ada di depan muka.

"Tuan Apo sepertinya juga tidak tahu dia hamil. Beliau kaget karena tiba-tiba ada darah yang mengalir di pahanya," terang karyawan toko brownies Apo. "Tapi kami langsung membawa beliau ke RS kok. Sekarang masih tidur tapi sudah baik-baik saja."

"Oh, Tuhan. Oh, Tuhan," kata Mile dengan menjambak rambutnya sendiri. Helm proyek yang dipakai sampai miring karena bingung, tapi ada setitik lega karena Apo baik-baik saja. "Baiklah. Siang nanti aku langsung ke sana. Kuusahakan selesai lebih awal. Aku harus pastikan dulu pembangunan tidak salah karena rumit."

"Baik."

"Semoga dia belum bangun saat aku sampai," kata Mile sambil mengecek arloji sekilas. Lelaki itu mungkin tidak sadar matanya berkaca-kaca, tapi wanita di sana paham perasaan dia. "Kalau masih keduluan juga. Bilang suaminya pasti akan datang. Sebentar. Tolong sabar sedikit dan ini bukan berarti aku tak sayang padanya."

"Baik, Tuan."

Tuuuutttssssss!!

Mile pun meneriaki pekerjanya bahkan teman dari Teknik Sipil yang keliru langkah. Dia lumayan uring-uringan lebih dari biasanya, tapi tak ada yang sanggup protes. Bagaimana pun, marahnya orang baik itu lebih menggetarkan jiwa. Semua pun menurut dalam arahan Mile, untungnya Apo masih menutup mata saat dia datang.

"Sayangku," kata Mile yang terengah-engah. Tas selempang hitamnya jatuh ke lantai saat memeluk Apo. "Sayangku, Sayangku," sebutnya berulang kali.

Apo yang pura-pura tidur sampai tertawa saat balas memeluk. "Aku baik-baik saja," katanya dengan senyum hambar. Bukan karena tak tulus, tapi rasa sakit di perut bawah melilitkan sesuatu hingga naik ke air mukanya. Semua itu membuat Apo jadi makin pucat, tapi Mile tetap mengesun hidung dan kening sang istri sepenuh hati.

"Kata dokter bagaimana? Bayinya sudah berapa bulan?" tanya Mile dengan mata berkaca-kaca. Dia hampir saja memeluk darah dagingnya sendiri, tapi pucuk harapan tersebut sirna. Apo pun tampak menyesal, tapi dia hanya perlu mengatakan apa adanya.

"Dua hampir tiga bulan? Maaf aku ceroboh karena mereka tidak terlihat," katanya sembari memeluk perut. Mile sendiri juga tidak sadar, karena bagian itu sangat ramping seperti tak ada nyawanya.

"Oh ...." desah Mile, lalu memindah kecupannya ke sana. Membuat Apo kegelian dengan anak-anak rambut, tapi tidak protes karena Mile terlihat sedih. Ya, setidaknya hingga lelaki itu sadar sesuatu. "Tunggu, mereka?" tanyanya. "Jadi isinya lebih dari satu?"

"Maaf," kata Apo dengan tatapan sama sedihnya. "Iya, ada dua. Setidaknya kata dokter. Tapi mereka gagal semua. Aku benar-benar tak masalah kalau kau memarahiku."

DEG

"Mana ada, mana mungkin," kata Mile. Meski air matanya bercucuran kali ini. Kesedihannya makin bertumpuk-tumpuk, sehingga lelaki itu tak berani menyentuh Apo hingga nyaris 5 bulan.

Kata Apo, "Tidak apa-apa, Mile. Aku sudah bisa sekarang--" Tapi Mile selalu pamit ke kamar mandi untuk menuntaskan hasrat jika sudah tak tahan. Dia benar-benar hati-hati dengan tubuh Apo, walau Apo sendiri jadi iba melihatnya. Oh, lihat dia. Lelaki yang memiliki kasih seperti mata air. Dia pantas mendapatkan hadiah dari Apo lagi, jadi lelaki itu menunda S2.

Apo juga rutin mengecek test-pack meski negatif berulang kali. Itu terjadi setelah tujuh bulan Mile berani menyentuh, walau diam-diam selalu kecewa. "Kenapa tidak datang ketika kami sudah siap? Apa rahimku ada masalah?" pikir Apo yang mulai rendah diri. Dia sampai pada titik pasrah. Bahkan menangis saat Mile mengajaknya berhubungan intim. Padahal selama ini tak pernah begitu.

"Hei, Apo ... Apo ... apa sakit? Aku keterlaluan padamu malam ini?" tanya Mile yang syok karena istrinya terisak-isak. Dia sampai berhenti menghentak liang basah milik istrinya, lalu mengecek dua kaki Apo yang terbuka lebar. Tidak ada yang lecet, sungguh. Mile sudah memastikan dia tidak sekasar dahulu, tapi Apo tetap terisak manis.

"Apa dia memang preman cilik yang kubawa pulang ke pernikahan?" pikir Mile sangking herannya. "Rasanya ada yang tidak beres ...."

Apo pun jujur soal kegelisahan yang dia rasakan, tapi Mile ternyata tidak keberatan dengan wajah menangis sang istri. Malahan suka. Apo jadi lebih memperlihatkan sisi bergantung padanya, apalagi jarang keluar hingga hari ini.

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa," kata Mile sembari mendekap Apo. Dia pun berbisik "tak masalah kalau hanya Ata" dan "Aku akan menyayanginya seperti putera dariku sendiri." Semua agar Apo makin tenang, karenanya mereka tak menyangka ada kabar baik dua minggu kemudian.

DEG

"Serius, dokter? Istriku hamil?" tanya Mile yang kali ini menyempatkan waktu sebisa mungkin. Dia bahkan cuti sehari untuk mengantar Apo ke dokter kandungan, karena pagi tadi muntahnya parah sekali.

"Benar, Tuan. Dan janinnya sehat sekali," kata Dokter. "Tinggal jaga saja lebih baik untuk kali ini."

Mile dan Apo pun berpandangan sembari tersenyum. Membuat siapa pun tahu mereka pasangan, walau tak perlu memberitahukannya secara lisan.

"Baik," kata Mile. "Kami pasti akan pastikan kelahirannya siap pada tanggal. Terima kasih, Pak Dokter."