Kursi roda Apo didorong seorang babysitter waktu itu. Di sebelahnya ada babysitter lain yang menggendong Ata, dan Mile merasa lelahnya hilang seketika.
"Apo ...." kata Mile sembari menghambur memeluk istrinya. Dia berlutut dan menyentuh pipi si baby hati-hati. Lalu mengesunnya perlahan (Oh, Mile tak benar-benar menyentuhkan bibir karena khawatir tak steril).
"Ha ha ha, senang?" tanya Apo. "Dia adiknya Ata ...."
Mile pun mengangguk seperti bocah. "Senang, senang! Tentu saja senang sekali ...." katanya. Mile pun menamainya Daw, lalu pulang dan menimang-nimang bayi itu seharian.
Mungkin karena darah dagingnya sendiri, Mile merasa lebih antusias daripada dulu. Dia bahkan jarang membiarkan babysitter ikut andil, karena menyentuh Daw rasanya dipenuhi syukur (Tolong biarkan dia bersama si bayi setelah tak menemaninya hingga lahir).
Mulai mengganti popok, memandikan, memakaikan baju padanya ... Mile belajar sendiri, bahkan meski itu sedikit susah. Bagaimana pun badan bayi itu lembut sekali. Jadi dia harus hati-hati.
"Ha ha ha, Daw ... kau ini bau sekali! Eek lagi? Sini Daddy bersihkan dirimu!" kata Mile sembari membaringkan boneka hidupnya ke ranjang.
Dulu, saat Ata lahir jujur saja Mile masih sangsi. Pertama karena bayi itu bukan darinya, kedua Apo tidak punya rasa padanya, dan ketiga belum nyaman dengan bentukan keluarga baru mereka. Tapi, Mile tetap berusaha jadi Ayah yang baik. Dia menekan diri sendiri karena semuanya terasa asing, belum lagi Mile masih berusaha merelakan Gulf pergi. Yang pasti, campuran rasa itu membuat Mile menyerahkan semuanya kepada babysitter, walau kadang dia juga merasa menyesal.
"Halooo, Sayang. Sedang apa di sini?" sapa Mile kepada Ata yang tadi bengong di depan rumah. Bocah itu main kelereng, meski sendiri. Lalu tersenyum kepada Daddy-nya.
"Main, Dad. Aku menunggu Papa pulang ...." kata si bocah 4 tahun. Dia cerita kalau dijanjikan es krim, tapi miris karena Apo tiba-tiba harus ketemu dosennya lagi.
Ya, benar. Apo langsung lanjut kuliah setelah 2 bulan rehat di rumah. Dia ingin buru-buru selesaikan skripsi, wisuda, lalu fokus keluarga. Lelaki itu mengirimkan pesan ke ponsel Mile, meminta sang suami menggantikan janji.
"Oh, ya ampun ...." kata Mile, saat baru sempat membuka ponselnya. Padahal itu sudah dikirimkan sejam lalu, pantas saja Ata menunggu lama di sini. "Tapi Papa tidak bisa, Sayang. Dia pulangnya nanti sorean."
"Yah ...." kata Ata dengan bibir mengerucut.
Mile pun segera menepuk kepalanya. Lengkap cubitan di pipi gembil. "Ya sudah, ayo pergi sama Daddy? Ke mini market. Mau beli es krim yang besar pun tidak masalah, oke?"
Bola mata Ata langsung berbinar-binar. "Whoa, seriusan, Dad?" tanyanya. Refleks langsung berdiri. "Mau! Mau! Aku mau yang warnanya tiga!"
Mile pun langsung melebarkan lengan. Sementara Ata menghambur ke pelukannya. "Baiklah, ayo! Kita berangkat sekarang ...."
BRUGH!
"Asyik!" seru Ata. Bocah 4 tahun itu pun langsung digendong Mile, walau bobotnya tak main-main. Oh, lihatlah. Ata yang tampan dan manis seperti Apo. Dia tinggi dengan rambut yang hitam lebat, dan dua bulan lagi ulang tahun yang ke-5. Mile pun mengesun pipinya, dengan coretan rasa keliru--bagaimana bisa sosok semenggemaskan ini tak mencuri hatinya?
Ata hanya pihak tak bersalah. Dia jiwa murni yang hanya tahu soal keluarga harmonis, maka tidak perlu lagi membuka masa lalu ayah kandungnya. Cukup biarkan Earth rasakan penjara juga. Dan Mile akan melindungi bocah ini seperti ksatria berkuda.
"Ata, Daddy mau bertanya sesuatu, boleh?" tanya Mile setelah mereka duduk di kursi taman. Bocah itu membuka semua wadah es krim yang dia beli, sangat menikmati tiap rasa yang disendok gantian.
"Apa, Daddy?" tanya Ata. Sesekali bocah itu menyuapi Mile, padahal ayahnya sudah berkali-kali menggeleng.
"Daripada sering sendiri di rumah, apa tidak bagus kalau ikutan sekolah?" tanya Mile. "Ikut playgroup, ya? Nanti dapat banyak teman sekalian belajar membaca."
"Aku kan sudah jago membaca."
"Eh? Iyakah?"
Sumpah Mile tidak tahu karena jarang perhatian dengan rumah hingga ambil cuti banyak. Bahkan bulan ini hanya menerima dua proyek. Biasanya, Mile mau menggarap lima sampai tujuh, tapi pemasukan yang penting tidak kurang. Dia pikir, waktunya dengan keluarga harus lebih lagi, meski harus berhemat dalam beberapa segi. Dia rasa itu tidak masalah.
Mungkin, Mile juga stress karena sempat di balik jeruji besi. Dia ingin bebas satu sampai dua bulan, maka memang baru kali ini tahu soal Ata.
"Hu-uh," kata Ata sambil mengangguk. Dia mengangkat salah satu wadah es krim. Lalu menunjuk judulnya. "H-o ho ... ho. M-e-me ... home. Home." Dia mengeja dengan percaya diri. Rautnya seperti Apo karena alisnya bergerak saat serius, jadi Mile bisa melihat gambaran istrinya yang versi kecil. "Li-li ... Li. Tt--hah? Tel? Litt--tel? Benar kan Dad? Bunyinya ... Home Lit--tel?"
Mile pun tersenyum tipis karena kepolosan Ata. "Iya, home little fairy," katanya membenarkan ejaan. Walaupun susunan Inggris-nya sedikit aneh, tapi memang begitulah yang tertulis pada kemasan. "Kau bisa lebih jago lagi kalau nanti ikut sekolah .... hm?"
Meski sempat bahagia, wajah Ata langsung berganti sedih. "Wah, iya ...." katanya. "Tapi aku maunya kan sama Pa Po. Papa enak kalau mengajari. Aku suka."
Tapi kan--
"Halo halo! Kelihatannya asyik sekali ... Papa tidak diundang dalam pesta es-krim kalian?" tanya Apo yang mendadak muncul. Lelaki itu membuat Ata dan Mile menoleh, lalu ditabrak peluk puteranya.
DEG
"WOAAAAH! PAPA!" teriak Ata dengan mata dengan mata yang berbinar-binar. Dia memeluk kaki Apo penuh sumeringah. Bahkan mendusel-duselkan wajahnya. "Uuuuu! Papa! Papa! Ata kangen ...."
Kangen, huh? Padahal baru seharian tidak bertemu. Apo pun tertawa dan gantian menggendong Ata, lalu mengajak Mile sekalian pulang. Dia ternyata menyusul dengan sebuah taksi, padahal tadinya sudah sampai ke rumah.
Apo pikir, kemana dua orang tercintanya ini? Padahal sudah hampir pukul 4. Mile juga tidak menjawab teleponnya karena benda itu ketinggalan di mobil, jadi Apo sempat bingung. Untung lokasi mereka bisa dilacak lewat GPS. Jadi, mumpung Daw masih tidur ... lelaki itu pun langsung ke taman.
"Ya ampun ... dia sudah lelap? Padahal jarak dengan rumah tidak ada 15 menit," kata Mile tak habis pikir. Dia menoleh ke kursi sebelah, menyaksikan Ata sudah merebahkan kepala di dada Apo. Bocah itu menghambur dalam pelukan Papanya, dan rambutnya berantakan kesana kemari.
"Ha ha ha, iya. Mungkin sudah kelelahan bermain," tawa Apo sembari mengelus punggung Ata. "Kutebak kau pasti tidak perhatian jam tidur siangnya juga. Ya kan?"
DEG
Oke? Mile tak bohong jika dia berdebar keras. Bagaimana pun dia sering kehilangan detail seperti ini, tahunya hanya membujuk dan menyenangkan. Apo pun mengulum senyum karena melihat pantulan ekspresi suaminya di kaca depan, lalu merebahkan kepalanya ke bahu lelaki itu.
"Tak masalah, Mile ...." kata Apo yang ikut memejamkan mata. "Kau tidak perlu takut begitu, karena menurutku ... kau tetap yang terbaik hingga sekarang."