Chereads / Completely Vacant / Chapter 2 - Titik Temu: Part 2

Chapter 2 - Titik Temu: Part 2

"Olive adalah orang yang baik." Keenan menatap langit-langit kamarnya, "Dia adalah orang yang tidak akan pernah mampu aku raih hatinya."

Alice memandang foto kakaknya, tatapan matanya terasa sangat suram. Keenan membenarkan duduknya, ia melirik sekilas layar ponsel Alice.

"Pak Ethan ternyata. Situasinya sedikit sulit ya?" Keenan berkata ambigu. Dia kembali bersandar pada ujung tempat tidurnya, menatap langit-langit.

Alice menatap Keenan nanar, "Iya, kamu benar, dialah kakakku. Kami dibesarkan di lingkungan yang sama, dia selalu melindungiku ketika aku di-bully karena aku tidak mempunyai ayah. Dulu teman-temanku selalu mengataiku anak yang tidak diinginkan, dan dia selalu pasang badan. Dia selalu berkata bahwa ayah dia adalah ayahku, dan ibuku adalah ibunya."

"Tapi kamu tidak akan pernah menyangka kan kalau orang yang selama ini kamu sukai ternyata tidak menyukaimu?" Tanya Keenan.

"Aku tau kok." Jawab Alice, "Selamanya dia hanya menganggapku adik kecilnya, adik yang selalu butuh tubuh tegapnya untuk bersembunyi dibelakangnya. Aku tau kok. Dia takkan pernah menganggapku sebagai wanita."

"Kuatkan hatimu." Pungkas Keenan singkat.

Alice menyeka air matanya yang hampir terjatuh, "Bagaimana denganmu?"

"Apanya?" Keenan menoleh kearah Alice.

"Olive."

Keenan mengangguk kecil, "Seperti yang aku bilang tadi, dia adalah orang yang takkan pernah mampu kuraih hatinya. Dia bagai kunang-kunang kecil malam yang selalu membuatku kesal, namun mampu membuatku senang karena ia selalu membuatku penasaran, begitulah."

"Aku ingin mendengar tentangnya lebih banyak." Kata Alice.

"Biar kuingat jelasnya." Keenan memejamkan matanya, "Dia adalah kakak kelasku saat SMP, sering kali aku meminta dia untuk mengajariku beberapa mata pelajaran karena dia adalah murid yang terkenal paling pintar di sekolahku. Dan karena kepintarannya itu, dia beberapa kali sempat menjadi juara olimpiade dan itu menarik perhatian beberapa sekolah di kota ini."

"Lalu?" Tanya Alice.

"Dia bilang kalau ada beberapa SMA yang mau menerima dia jalur undangan dan menyediakan fasilitas akselerasi kalau dia mampu menempuh beberapa tes yang mereka sediakan, dan Olive menerima itu. Aku kurang tahu bagaimana kehidupannya setelah lulus SMP, hanya itu yang ku tau." Jawab Keenan.

"Hubunganmu dengannya?" Alice masih kurang puas seolah semua yang dikatakan Keenan tidak menjawab pertanyaannya.

"Entahlah, aku sendiri juga tidak bisa menjelaskan bagaimana rincinya. Selain pintar, dia juga sangat cantik, banyak sekali lelaki yang mengejarnya." Keenan membuka matanya, "Kurasa dia hanya mengagumi dan menginginkan fisikku saja."

Alice mengernyitkan dahinya, "Fisik dalam arti?"

Keenan beranjak dari duduknya, "Semakin sedikit yang kamu tau, semakin baik. Lagipula, kamu gak takut?"

"Takut apa? Datang ke apartemen seorang lelaki yang baru aku kenal?" Tanya Alice.

"Yep." Sahut Keenan.

"Aku percaya kamu gak bakal macem-macem ke aku kok." Perempuan itu bangkit dari duduknya, "Dimana kamar mandimu?"

"Sulit dipercaya kamu lebih memilih menggunakan kalimat 'aku percaya kamu gak bakal macem-macem ke aku kok' daripada kalimat 'aku percaya kamu orang yang baik kok'. Kamar mandinya disebelah dapur." Kata Keenan sembari menghidupkan komputernya.

Alice berjalan menuju kamar mandi ketika Keenan mendapati ponsel Alice bergetar. Keenan melirik sekilas, terpampang nama Kak Ethan disana.

'Sebenarnya, bagaimana pandangan lelaki ini terhadap Alice?'

Keenan mengangkat bahunya, "Sudahlah, biarkan saja."

Lelaki itu menghubungkan stick game ke CPU komputernya, ia meraba-raba belakang CPU untuk mencari lubang soket. Setelah ketemu, ia mengotak-atik layar komputernya dan bersiap memainkan game kesukaannya, GTA V.

Tak berapa lama, Alice keluar dari kamar mandi. Ia menebah belakang roknya, melicinkan kembali bagian yang kusut. Ia mengedarkan pandangannya, "Kurasa ada baiknya kamu cari pacar."

"Tuh mulut enak banget ya ngomongnya." Sungut Keenan.

"Kamarmu bener-bener gak mencerminkan kehidupan manusiawi." Sahut Alice sembari mengambil ponselnya yang tergeletak, "Eh? Kak Ethan tadi nelfon?"

Keenan mengangkat bahunya acuh, "Entah."

"Kenapa kamu gak bilang? Minimal teriak kek." Alice cemberut, jari mungilnya sibuk mengetik layar.

"Sepenting itukah?" Sahut Keenan, "Mungkin dia cuma khawatir."

"Keenan."

"Hm?"

"Kalau seorang lelaki menelfonmu, tandanya apa?" Tanya Alice.

"Gabut." Sahut Keenan singkat.

Alice menatap layar ponselnya, "Sesederhana itu kah?"

"Realita. Lelaki bisa dengan mudahnya membuatmu berfikir kalau mereka mencintaimu padahal tidak." Keenan menghentikan permainannya.

Ia memutar kursi komputernya, kini ia berhadapan dengan Alice, "Aku gak tau ini ide yang bagus atau malah sebaliknya."

"Apa?" Alice menoleh kearah Keenan.

"Bagaimana kalau kita saling memanfaatkan?"

*****

"Kamu gila, Keenan!" Alice memekik.

Keenan menutup kedua telinganya, "Suaramu keras sekali, gendang telingaku hampir pecah."

"Ih, padahal itu udah hampir dapat loh! Makanya jangan sok ngide deh." Sungut Alice. Perempuan manis itu cemberut, ia menempelkan wajahnya pada dinding kaca claw machine. "Aku pengen boneka tapir itu."

"Iya iya, jangan nangis. Aku top up saldo kartu dulu. Kamu jangan kemana-mana, tunggu disini. Bawa ponselku, sekali lagi, jangan kemana-mana!" Keenan mengambil tasnya yang tergeletak di lantai. Pria itu beranjak pergi meninggalkan Alice yang masih mematung meratapi boneka tapir yang nyaris dia dapatkan.

"Bawel." Sungut Alice. Ia celingak-celinguk, mencoba mencari tempat duduk yang nyaman didekat claw macine.

Alice mengedarkan pandangannya. Hiruk pikuk orang yang berlalu-lalang di mall benar-benar sebuah euphoria bagi Alice. Ia suka mengamati kegiatan orang lain. Disudut sana ada anak kecil yang menangis meminta bermain airsoft gun tetapi ayahnya melarang, disudut sini ada ABG SMP yang bermesra-mesraan.

Sejurus kemudian, Alice menangkap pemandangan stand Ice-Cream terkenal yang ramai dikerubungi muda-mudi. Mata perempuan itu berbinar. Tanpa pikir panjang, ia lari menghampiri stand tersebut, lupa akan perintah Keenan yang menyuruhnya untuk menunggu didepan claw machine. Ia meninggalkan tas, dompetnya, serta ponsel mereka berdua ditempat duduk yang tak jauh dari claw machine tersebut.

Beberapa menit kemudian Keenan kembali ke tempat claw machine. Sesuai dugaannya, perempuan itu pasti sudah menghilang. Keenan duduk ditempat duduk yang tak jauh dari claw machine yang mereka mainkan. Ia merogoh tasnya, mencari ponselnya untuk menghubungi Alice. Nihil. Ia mencoba merogoh saku celananya juga tidak ada.

"Oh iya, tadi ponselku kutitipkan pada Alice." Gumam Keenan.

Keenan menatap jam tangannya, sudah 5 menit ia menunggu tapi Alice belum juga kembali. Ia tampak gusar karena khawatir kalau-kalau ada yang menangkap basah ia disini. Dia dan Alice membolos karena mereka terlambat, dan entah bagaimana mereka tiba-tiba terdampar di mall paling besar di kota ini.

Keenan menghela nafas, "Kalau aja tadi Alice gak rewel minta boneka tapir, mungkin aku sekarang lagi santai makan mie ayam Bu Emuy di kantin."

Pria itu melirik sekilas permainan pump-it-up yang berdiri gemerlap disudut ruangan. Ia menghampiri permainan itu.

"Aku selalu pengen main ini, tapi gak pernah ada waktu dan temen." Keenan mendekatkan wajahnya pada mesin permainan itu, mencoba membaca tulisan kecil yang tertempel dibawah layar, "Swipe 1x untuk 1 pemain, swipe 2x untuk 2 pemain."

"Swipe 2x."

"Buat siapa? Kan aku mau main sendiri?" Sahut Keenan. Ia menoleh ke belakang.

"Alo, lama gak jumpa ya, Keenan Dylandraya!" Sapa perempuan itu. Ia tersenyum manis.

"Rei? Ngapain kamu disini? Sama siapa kesini? Ada urusan apa?" Cerocos Keenan. Lelaki itu nampak kaget bercampur panik mendapati perempuan itu tiba-tiba muncul dihadapannya.

Perempuan yang disapa Rei itu menyahut, "Sendirian. Aku memang berencana untuk menemuimu, tapi karena aku ketinggalan kereta pagi, jadi aku sampai disini agak siang. Niatnya sih aku mau ke sekolahmu sore ini ketika jam pulang sekolah, jadi aku berkeliling dulu di mall ini, tapi tak kusangka kita malah ketemu disini."

Keenan nampak gagap, "Me-menemuiku untuk apa?"

"Untuk apa? Untuk menuntaskan urusan kita." Rei menarik dasi Keenan, kini muka mereka saling berhadapan, "Sayangku ini, apakah sudah lupa?"

Sejurus kemudian, Keenan nampak dingin. Ia menatap perempuan itu dengan datar. Mata yang tadi ketakutan kini nampak biasa saja.

"Urusan kita sudah selesai, Edreiya, jangan kamu pikir aku takut dengan gertakanmu. Saat ini, aku bisa saja melumat bibirmu tanpa melibatkan perasaan atau bahkan menutup mataku."

"Wow, lihat, sekarang anak anjing yang lugu telah berubah menjadi sangat arogan. Apakah jalang itu yang mengajarimu?" Perempuan itu bertepuk tangan. Ia berkacak pinggang, "Aku bahkan tidak sadar kalau Keenan-ku berubah banyak setelah insiden itu."

Keenan merenggut kasar dagu perempuan itu, "Berhenti panggil aku Keenan-mu, aku bukan peliharaan." Ia menatap perempuan itu dengan tajam, "Urusan kita sudah selesai. Jangan cari aku lagi."

"KEENANNN...!!!"

Alice berlari kearah Keenan, ia memeluk erat lelaki itu, "Keenan, Keenan. Aku dikejar abang yang jual eskrim, tolongin aku. Sembunyikan aku dibalik tubuhmu yang menjulang tinggi dan besar bak raksasa."

Keenan mengangkat kepala Alice dari dadanya, "Kenapa dia bisa kejar kamu?"

Alice terisak, "Tadi kan, aku antre beli eskrim, terus pas pesananku udah jadi aku lupa kalau dompetku ada disini, jadi aku bilang 'Bentar ya bang, aku minta uang dulu ke Keenan' gitu, tapi abangnya marah karena katanya dia gak kenal kamu terus dia bilang aku bakal dilaporin ke satpam."

"Hush, hush, udah tenang dulu. Sekarang, mana dompetmu?" Keenan mengusap air mata perempuan itu.

Alice menyeka air matanya, ia mengedarkan pandangannya. Panik. Ia tidak menjumpai dompet, ponsel, bahkan tasnya. Alice menghampiri tempat duduk dimana ia meletakkan semua barangnya.

"Keenannn..." Alice kembali terisak.

"Pacar barumu ini cengeng sekali." Rei merogoh sakunya untuk mencari ponselnya. Ia mengotak-atik ponsel tersebut.

"Aku coba lacak pakai nomormu." Rei menyodorkan ponselnya pada Alice, "Ini, isi nomormu disini."

Alice melepas pelukannya dari Keenan, ia menerima ponsel itu dan mengetik nomornya, "Emang bisa ya?" Kata Alice sembari mengembalikan ponsel Rei.

"Bisa, gak ada yang mustahil di dunia ini." Rei tersenyum puas, "Oke, sudah ketemu. Jaraknya gak jauh dari sini, ada disebelah utara gedung ini, tadi kalau gak salah ada pos satpam disana, mungkin ada yang bawa barang-barangmu ke pos satpam."

Alice tersenyum senang, ia memeluk Rei erat-erat.

"Dasar gadis kecil yang cengeng." Rei membelai lembut rambut Alice.

Keenan mengusap belakang tengkuknya, "Sebenernya Alice gak secengeng itu, dia lagi PMS aja." Seloroh Keenan yang kemudian disambut tatapan tajam nan pedas dari Alice.

Alice melepas pelukan Rei, "Oh iya, ngomong-ngomong kita belum kenalan. Namaku Alice Challiandra, kamu?" Alice menjulurkan tangan mungilnya.

Rei menjabat tangan itu dengan hangat, "Evangeline Edreiya, biasa dipanggil Rei. Senang berjumpa denganmu."

Alice melepaskan jabatan tangan itu, ia melirik sekilas Keenan yang buang muka, "Lalu, apa hubungan kalian?" Tanya Alice.

Keenan yang tadinya acuh tak acuh mendadak menatap tajam Alice, sorot matanya menandakan ketidaksukaannya terhadap pertanyaan Alice yang terkesan privasi, "Itu sesuatu yang tidak perlu kamu ketahui, semakin..."

"Semakin sedikit yang aku tau, semakin baik. Iya, aku paham." Potong Alice sambil memutar bola matanya, "Kapan kamu bakal berhenti bersikap sok misterius?"

"Itu pak orangnya!" Teriak seseorang tak jauh dari mereka. Ia datang berbondong-bondong bersama dua satpam yang berbadan kekar. Kedua satpam itu dengan sigap menghampiri Alice dan yang lain.

Salah seorang satpam yang berbadan lebih tinggi dan berkumis menatap mereka tajam, "Apa benar salah satu dari kalian telah mencuri eskrim di stand kakak ini?"

Alice gelagapan, "Ahh.. sa-saya bukan mencuri pak."

"Memangnya berapa harga eskrim yang diambil sama dia, pak?" Keenan mengeluarkan dompet dari sakunya, "Biar saya yang bayar."

"Ta-tadi saya sudah bilang, pak, kalau saya ambil uang dulu, tapi abang eskrimnya gak percaya. Terus pas saya balik kesini, barang-barang saya malah menghilang, gimana sih kinerja bapak sebagai satpam? Tidak profesional sekali." Alice mencerocos panjang lebar. Dia cemberut sembari berkacak pinggang.

"Playing victim." Sahut Keenan dan Rei berbarengan.

"Aduh sudah ya, saya cuma mau eskrim yang mbaknya ambil tadi tuh dibayar. Saya harus balik kerja lagi, kasian temen saya pasti kewalahan melayani pelanggan sendirian." Lelaki berseragam eskrim itu mengalihkan pandangannya dari Alice ke Keenan, "Totalnya 20 ribu mas."

Keenan membuka dompetnya, mengambil dua lembar 10 ribuan, lalu menyerahkannya pada penjual eskrim itu. Setelah basa-basi berterimakasih, lelaki berseragam eskrim itupun pergi.

"Dah kan, udah kelar masalah eskrim. Terus gimana ini pak masalah barang-barang kami yang hilang?" Sungut Alice.

Satpam yang lebih kecil dan muda pun menyahut, "Semua barang yang hilang dan ditemukan oleh kami, kami bawa ke tempat informasi barang hilang yang berada di samping pos satpam. Mari saya antarkan."

"Aku aja yang ambil, kalian tunggu disini." Kata Alice, ia lalu berlari kecil mengikuti kedua satpam itu. Ia meninggalkan Keenan dan Rei yang saling bertatapan dengan dingin.

Setelah berjalan cukup lama, akhirnya Alice tiba di pusat informasi barang hilang. Alice menghampiri perempuan muda yang sedang berjaga dikantor itu.

"Selamat siang kak, nama saya Alice. Saya baru saja kehilangan tas, dompet, dan dua ponsel. Apakah ada yang menemukannya dan membawanya kesini?"

Perempuan muda itu tersenyum, "Bisa dibantu menyebutkan ciri-ciri barangnya kak? Dan juga identitas kakak?"

"Oke, pertama tas berwarna hitam dan ada gantungan kunci berbentuk apel, lalu dompet putih-biru muda, kemudian ponsel Redmi warna hitam dan Realme Navy." Alice mencoba mengingat-ingat, "Dibelakang case-nya ada selembar uang 100 ribu. Di dompetnya juga ada KTP saya, atas nama Alice Challiandra."

"Baik tunggu sebentar ya kak." Penjaga itupun pergi kebelakang.

Alice mengedarkan pandangannya, di sudut kantor ada perempuan paruh baya yang sedang memainkan ponselnya, disebelahnya ada anak laki-laki imut yang sedang bermain mobil-mobilan, ia tampak sibuk bermain di sudut ruangan.

"Kei, jangan nabrakin mobil mainanmu ke pot itu, nanti kalau pecah mama harus ganti." Perempuan itu menegur anaknya dengan lembut.

"Iya, ma." Sahut anak lelaki itu, namun ketika ibunya kembali sibuk dengan ponselnya, anak laki-laki itu kembali membenturkan mobil mainannya ke pot bunga.

Alice tertawa kecil melihatnya. Hal itu mengingatkan dia pada ibunya yang sering kali melarangnya ini itu tapi tetap ia lakukan. Tanpa ia sadari, tawanya itu diperhatikan oleh ibu anak itu. Wanita itu melemparkan senyum kecil kepada Alice, yang lalu dibalas dengan senyum manis gadis itu.

"Kak, ini barang yang kakak cari bukan?" Penjaga itu datang kembali dengan membawa beberapa barang.

Alice memeriksa barang-barang itu, "Iya kak, bener ini barang-barang saya. Terima kasih banyak ya." Alice tersenyum lega, setidaknya saat ini benda berharganya aman ditangannya.

"Kakak harus berterimakasih pada ibu yang duduk disudut ruangan itu, beliau yang membawanya kesini beberapa saat yang lalu." Kata perempuan muda itu sembari melambaikan tangan kearah ibu yang dimaksud.

Alice menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangannya hendak berjabat tangan, uluran tangan tersebut disambut hangat oleh ibu itu, "Bu, terima kasih banyak telah mengamankan barang saya dengan membawanya kemari, saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika barang-barang ini sampai hilang." Kata Alice sambil tersenyum.

"Sama-sama nak, ibu tadi cuma kebetulan lewat di arena bermain dan melihat barang-barang ini tergeletak tapi tidak ada yang menjaganya, jadi ibu bawa kesini kalau-kalau yang punya mencari, eh ternyata bener kan." Ibu itu tertawa kecil, "Lain kali hati-hati ya nak, jangan ninggalin barang sembarangan."

"Iya bu, sekali lagi terima kasih banyak atas bantuannya."

Ibu itu melepaskan jabatan tangannya, "Eh? Kamu sekolah di SMA Perwira Bangsa ya? Anak saya juga sekolah disana loh." Kata ibu itu setelah melihat badge yang terpampang di lengan Alice.

Alice mengangguk, "Iya bu, saya sekolah disana, tapi karena beberapa alasan, saya tidak diizinkan masuk kelas hari ini, jadi saya jalan-jalan kesini. Kalau pulang ke rumah nanti kena marah ibu saya."

Ibu itu kembali tertawa, "Haha, nak, seorang ibu pasti memarahi anaknya bukan tanpa sebab, kalau kamu nakal dan suka bolos ya pasti kena marah ibumu." Katanya, menyentuh lembut ujung hidung Alice dengan telunjuknya, "Makanya jangan nakal, biar gak dimarahi ibumu."

Alice tersenyum lugu, "Iya bu. Oh iya, saya pergi dulu, teman-teman saya sudah menunggu saya diluar. Sekali lagi terima kasih ya bu, saya pamit dulu."

"Iya nak, hati-hati." Sahut ibu itu.

Alice melenggang keluar dari kantor pusat informasi barang hilang. Roknya yang selutut itu berkibar-kibar menampar pahanya saat dia berjalan.

"Ma, kakak itu cantik ya? Mama gak mau bikinin Kei kakak perempuan yang cantik kayak kakak itu?" Kata Kei tanpa menoleh dari kesibukannya bermain mobil-mobilan.

"Nanti kalau kakakmu menikah, kamu juga dapat kakak perempuan kok, mama carikan kamu kakak perempuan yang cantik dan bisa ngajak kamu main mobil-mobilan, gimana?" Ibu itu mengusap puncak kepala anaknya.

"Mau, ma." Sahut Kei, "Ayo kita pergi, mama udah ketemu sama yang punya barang tadi kan, Kei mau jajan eskrim."

Ibu itu tersenyum, "Rasa vanilla atau coklat?"

"Vanilla, ma."