Chereads / Completely Vacant / Chapter 3 - Ingin Lebih

Chapter 3 - Ingin Lebih

"Keenan, kamu paham yang nomor 3 ini? Aku kurang paham rumus yang ini, bisa ajari aku? Tadi aku kurang memperhatikan." Tanya Eleana yang tiba-tiba muncul dan duduk di bangku di depan Keenan. Gadis itu memandang Keenan dengan penuh arti. Rambut ikalnya yang berwarna coklat itu jatuh disamping wajahnya yang cantik. Bibirnya yang tipis dan pink merona mengulas senyum yang paling indah di dunia, senyum yang akan memabukkan siapapun yang melihatnya.

Kecuali Keenan.

Keenan menghembuskan nafas kasar, ia menggeleng pelan. Ia hanya mengeluarkan bukunya dan memberikannya pada Eleana.

Eleana membuka buku pemberian Keenan. Buku yang dipenuhi tulisan berantakan khas anak laki-laki. Ia menelusuri buku itu, mencari hal yang dia inginkan.

"Aku gak paham, aku nyontek Gao. Kalau mau, salin aja." Kata Keenan. Dia mencoba membuang pandangannya, pria itu mengambil ponsel dari dalam sakunya dan memainkannya.

Eleana menatap Keenan dengan tatapan tidak suka tapi ia tetap mempertahankan senyumnya. Gadis itu belum pernah merasa semalu ini karena diacuhkan. Perempuan yang haus perhatian seperti Eleana memang sangat mudah terpancing emosinya saat ia tidak mendapat apa yang ia inginkan.

Sedari awal Keenan tau bahwa niat Eleana datang hanyalah menginginkan perhatiannya. Eleana tidak benar-benar meminta untuk diajari, mereka sama pintarnya, bahkan bisa dibilang Eleana lebih pintar daripada Keenan.

"Oh iya, kamu ada waktu gak hari sabtu? Aku mau minta tolong temenin beli buku. Temen-temenku pada sibuk, jadi mereka gak bisa pergi sama aku." Eleana berusaha bersikap manis. Dia menyangga dagunya sembari tersenyum. Matanya mengedip perlahan, berusaha membuat eye-contact dengan Keenan.

"Gao mungkin ada. Aku sibuk, aku harus kerja part-time." Sahut Keenan ketus. Bukan tanpa alasan, dia tidak ingin banyak terlibat dengan Eleana karena Keenan tau apa yang akan terjadi jika dia mengizinkan Eleana terlalu dekat dengannya.

Gaorine menoleh, dia yang sedari tadi diam saja mulai bereaksi. Dia menatap tajam Keenan seolah matanya berbicara jangan-seret-aku.

"Ya udah kalo gitu, mungkin next ti.." Ucapan Eleana terpotong oleh suara yang terdengar sangat nyaring dari ambang pintu kelas.

"Keenan, ayo pulang bareng!" Teriak Alice dari pintu.

"Tuh, tuan putri sudah memanggil." Goda Gaorine. Laki-laki itu mengedipkan sebelah matanya sembari menyikut lengan Keenan. Keenan melempar pandangannya ke Alice yang sedang melambaikan tangannya.

Keenan menyilangkan kedua jarinya, "Aku ada piket." Diam-diam pria itu melirik teman-temannya yang satu tugas piket dengannya, ternyata mereka juga sedang menatap Keenan dengan tatapan mengancam. Keenan bisa dibilang tidak pernah piket kelas, dia sering sekali diam-diam pergi atau mencari-cari alasan.

Gaorine merangkul pundak sohibnya, "Udah sana, masalah piket nanti aku bantuin. Tenang aja."

"Iya deh." Kata Keenan sok menyesal, padahal didalam hatinya dia sangat girang. Ia senang karena dua hal. Satu karena ia bisa terbebas dari piket, kedua ia bisa menghindar dari Eleana. Pria itu membereskan barang-barangnya dan bersiap pulang. Dia menatap Eleana yang sedari tadi memperhatikan mereka dengan tatapan tidak suka.

"Bukuku." Kata Keenan, dia hendak mengambil bukunya dari tangan Eleana. "Kamu bisa foto jawabanku kalau mau."

Eleana menggeleng, "Enggak usah, gapapa. Lain kali kalau kamu udah ngerti, ajarin aku ya." Eleana menunjukkan senyum palsunya lagi. Cemburu.

"Oke, tunggu ya." Sahut Keenan singkat, ia mengambil buku yang disodorkan Eleana. Dia melangkah keluar diiringi tatapan-tatapan tajam tetapi laki-laki itu tidak peduli.

"Mereka serasi banget ya. Kira-kira kapan ya mereka bakal jadian?" Ucap Gaorine. Dia melirik sekilas Eleana yang telah melepas topengnya.

Raut muka perempuan itu sangat masam, dia memukul Gaorine menggunakan tangannya, "Anjing lo, bukannya bantuin."

"Ih, jadi cewe jangan kasar-kasar. Lagian gua udah bilang dari awal buat gak usah terlalu berharap sama Keenan, dia tuh susah." Kata Gaorine sembari mengusap lengannya yang terasa panas akibat pukulan Eleana.

Keenan dan Alice berjalan melewati lorong kelas yang ramai. Banyak sekali siswa yang berlalulalang disana, beberapa ada juga yang berdiri di sepanjang lorong sembari mengobrol.

Alice menatap mata Keenan yang sedikit turun, perempuan itu tau betul bahwa Keenan sedang badmood.

"Perempuan tadi..?" Alice mengawali percakapan, ia sengaja menggantung ucapannya untuk melihat reaksi Keenan.

"Eleana. Entah kenapa dia sering banget cari perhatian ke aku. Manusia yang tidak pernah merasa puas, padahal di sekolah ini banyak yang suka dan ngasih dia perhatian." Keenan memutar bola matanya.

"Bagus dong, berarti dia tertarik sama kamu." Kata Alice polos, dia memandang Keenan tidak mengerti.

"Gak masalah kalau cuma tertarik, tapi dia itu menganggu banget. Aneh, aku gak suka." Sahut Keenan ketus, "Lagian, dia itu lebih pintar dari aku, aku gak ada apa-apanya kalau dibanding dia, aneh banget kan kalau dia minta ajarin aku."

"Tapi kamu memang pintar. Emang dia minta diajari apa?" Tanya Alice.

"Tau deh. Aku gak perhatiin tadi, aku kasih jawabanku aja ke dia, aku bilang kalau aku nyontek Gao." Jawab Keenan sekenanya.

"Tapi bukannya Gao gak lebih pintar dari kamu?" Perempuan itu cengo. Seorang Keenan menyontek Gaorine? Sangat tidak mungkin.

"Boongan aja itu. Aku gak mau ajarin dia, ribet, buang-buang waktu."

Alice memainkan ujung rambutnya, "Ilmu tuh gak boleh disimpan sendiri, harus berbagi."

"Udah lah, males aku bahas dia." Pungkas Keenan.

Mereka berdua terdiam. Percakapan tentang Eleana selesai begitu saja walau masih banyak yang ingin Alice tanyakan.

Alice melirik sekilas, "Aku ke apartemenmu dulu ya? Gabut banget, soalnya ibuku bilang kalau hari ini bakal pulang larut malam." Bohong.

Keenan mengangguk, "Biasanya juga mampir dulu."

*****

Suasana kamar saat itu sangat sunyi. Hanya suara hujan diluar yang sedikit gemerisik menggelikan telinga. Penghangat ruangan kamar yang sedang rusak membuat kedua insan manusia itu harus meringkuk dibalik selimut.

Irama musik yang mengalun melalui earphone yang dipakai Alice dan Keenan seolah menjadi lagu pengantar tidur bagi keduanya. Mereka bersenandung lembut mengikuti musik yang mereka dengarkan. Lagu-lagu yang terputar random seakan mengisyaratkan mereka untuk tetap waras.

"Give me a sign

Take my hand, we'll be fine

Promise I won't let you down

Just know that you don't

Have to do this alone

Promise I'll never let you down."

Keenan dan Alice menggumam pelan. Keduanya berbaring diatas kasur menghadap langit-langit kamar yang gelap. Hawa dingin membuat mereka malas untuk melakukan hal apapun.

"Keenan." Alice memutar badannya, kini ia menghadap kearah Keenan yang sedang menatap langit-langit kamar.

"Hm?"

"Menurutmu, apa suatu saat Kak Ethan bakal suka sama aku?" Kata Alice menerawang.

Gadis itu memejamkan matanya, ia membayangkan jutaan hal menyenangkan yang bisa ia lakukan jika ia bisa berpacaran dengan Ethan.

Keenan termangu, ia tidak tau harus menjawab apa, "Entahlah, menurutmu sendiri gimana?"

"Kayaknya enggak." Pungkas Alice singkat.

"Nah, padahal kamu yang paling tau gimana dan sejauh apa hubunganmu sama Pak Ethan. Kalau kamu sendiri aja gak yakin dia bakal suka kamu, gimana sama aku?" Sahut Keenan.

Alice mengangguk, "Kamu bener. Tapi aku takut kalau Kak Ethan lebih milih si Olive daripada aku. Aku gak tau apa aku bisa ikhlas kalau lihat dia jalan sama Olive."

"Aku gak takut sih." Keenan memejamkan matanya, "Toh, aku sudah sering lihat yang seperti itu."

"Berarti perasaanmu ke Olive belum sebesar perasaanku ke Kak Ethan." Alice menghela nafas berat, "Kita gak bakal tau gimana keadaan seseorang sampai kita berdiri di sepatu mereka."

Keenan tersenyum sarkastik, "Iya, dan kakimu gak akan muat di sepatuku."

Suasana kamar kembali sepi. Alice menatap wajah Keenan yang nyaris sempurna. Ia menjelajahi semua sudut muka Keenan yang tanpa cela. Rahang yang tegas, hidung yang mancung, bibir yang merah alami seperti cherry, alis yang tebal, serta kulit yang putih dan semulus bayi.

Alice mengaitkan rambut Keenan kebelakang telinga pria itu, "Ini sudah bulan ketiga semenjak kamu bilang ada baiknya kita saling memanfaatkan."

"Terus?" Keenan memutar badannya, "Kamu gak nyaman?"

Saat ini Keenan berhadapan langsung dengan Alice. Nafas gadis itu menderu ketika ia menelusuri bola mata Keenan yang secoklat kayu Eboni dan dipenuhi rasa percaya diri. Dia tidak menemukan apapun disana.

"Hubungan kita ini.. gak banyak yang tau kan?" Alice tersenyum kecut, "Selama ini yang kita lakukan hanyalah berpelukan sembari membayangkan siapa yang kita cintai."

Keenan menghela nafas, "Kamu bosan?"

Alice menggeleng pelan, "Belakangan aku tidak bisa membayangkanmu sebagai Kak Ethan lagi."

"Jadi? Kamu mulai menaruh perasaan ke aku?" Keenan merenggut kasar pinggang ramping Alice, ia mendekap gadis kecil itu dengan erat.

"Lebih cepat dari dugaanku." Gumam Keenan.

"Jangan suka sama aku, itu cuma bakal nyakitin kamu. Kamu kan yang paling tau gimana dan untuk siapa perasaanku." Tangan kekar Keenan menelusuri punggung Alice, ia menekan lembut belakang kepala Alice agar gadis itu masuk semakin dalam ke dada bidangnya.

Alice tidak melakukan perlawanan, ia menikmati momen itu. Perempuan itu membalas pelukan Keenan. Dia hanya diam seribu bahasa, tingkahnya seolah membenarkan ketakutan Keenan selama ini. Keenan takut Alice jatuh cinta padanya. Keenan takut karena ia yang paling tau bahwa perasaan mereka tidak akan pernah saling melebur dan melengkapi.

Keenan mungkin bisa menggantikan raga Ethan. Keenan tau dia bisa membahagiakan Alice asalkan gadis itu tetap membayangkan Ethan saat ia bersentuhan dengan Keenan. Apapun akan Keenan lakukan untuk membahagiakan Alice. Bukan karena Keenan menyukai Alice, tetapi karena dari Alice, Keenan dapat menyalurkan perasaannya pada Olive yang tak pernah tersampaikan. Mereka berdua hanya saling memanfaatkan.

"Aku bohong, dan jujur aku gak bisa nafas." Kata Alice singkat, ia menjauhkan wajahnya dari dekapan Keenan. Perempuan itu tertawa terbahak-bahak ketika mendapati ekspresi Keenan yang seperti kebingungan.

"Kamu polos banget. Mana mungkin aku segampang itu suka sama kamu, lagipula kamu bukan tipeku tau." Ujar Alice sembari tertawa kecil.

Sejurus kemudian Keenan melepas pelukannya, dia juga ikut tertawa karena menyadari kebodohannya, setelah puas tertawa, ia menatap Alice dengan senyuman yang sedikit bergairah, "Apa yang sebenarnya mengganjal dipikiranmu?"

"Sebenarnya belakangan aku berpikir, 'Kenapa kita gak pacaran aja sekalian?', tapi aku selalu takut buat utarain itu ke kamu." Kata Alice pelan.

Keenan menatap Alice dengan penuh tanda tanya, "Kenapa harus pacaran?" Tangan Keenan membelai lembut rambut Alice.

"Aku ingin sesuatu yang bisa kupamerkan. Aku pengen semua orang tau kalau aku pacar kamu, dan kamu pacar aku. Aku pengen sesuatu yang bisa seenaknya aku sentuh. Aku pengen sesuatu yang bisa kujadikan objek perhatian. Aku ingin sesuatu yang lebih dari ini." Kata Alice dengan lembut dan menggairahkan. Alice menggenggam telapak tangan Keenan, ia membuka tangan Keenan dan menggambar bintang di telapak tangan pria itu.

"Tapi ini tetap dalam konteks dimana kita saling memanfaatkan, ya." Sambung Alice, dia tidak ingin Keenan salah paham.

"Boleh. Tapi, dengan syarat." Keenan mengeluarkan jari kelingkingnya, "Kalau salah satu dari kita akhirnya cintanya terbalas, hubungan kita harus berakhir."

Keenan bangun dari baringnya, ia menyamankan diri untuk duduk diatas kasurnya yang berantakan. Alice mengikuti Keenan. Mereka duduk sembari beradu pandang. Perempuan itu tidak peduli dengan keadaan rambutnya yang urakan, ia menatap dalam-dalam mata Keenan, menunggu apa yang akan Keenan katakan.

"Kamu boleh miliki semua yang aku miliki, kamu boleh sentuh apapun, kamu boleh katakan apapun. Semua yang ada di diriku adalah milikmu, kecuali perasaanku." Keenan memajukan kelingkingnya, mempertegas kalau dia bersungguh-sungguh dalam mengatakan hal itu.

Alice menatap lama kelingking itu. Batinnya bergejolak. Tawaran Keenan sebenarnya jauh meleset dari yang diharapkan Alice. Tapi Alice menyadari bahwa dia tidak dirugikan dalam hal ini. Seperti yang dia bilang sebelumnya, dia hanya ingin sesuatu yang bisa ia sentuh, tetapi dia tidak memungkiri jika seandainya suatu saat akan tiba masa dimana Alice menaruh perasaan pada Keenan. Perasaan manusia tidak ada yang tau, begitu juga diri sendiri.

Keenan tersenyum simpul, "Kamu ragu ya? Atau kamu takut sesuatu?"

Gadis itu menggeleng, "Bagaimana kalau akhirnya aku jadi cinta sama kamu atau sebaliknya?"

"Itu artinya kamu kalah. Kamu bakal selamanya menunggu didalam ketidakpastian. Ragaku tetap milikmu sampai cintaku ke Olive terbalas. Tapi kalau untuk perasaan, aku sendiri gak tau bakalan sampai kapan. Begitu juga sebaliknya." Kata Keenan.

Alice tidak bergeming, ekspresi wajahnya sulit dibaca oleh Keenan. Perempuan itu diam seribu bahasa, memikirkan keputusan apa yang harus dia ambil.

"Keraguanmu membuatku takut."

Alice menatap mata Keenan dalam-dalam. Perempuan itu seolah memberi isyarat bahwa dia sedang memproses sebuah hal yang akan menjadi keputusan terbesarnya.

Setelah lama menatap Keenan yang kikuk, akhirnya Alice menjabat kelingking Keenan yang telah melemas.

"Sentuhan tanpa batas ya? Apapun yang ada di dirimu adalah milikku kecuali hatimu, ya kan?" Ulang Alice memperjelas. Sebenarnya ia sendiri masih ragu dengan keputusannya karena ini adalah pertama kali ia berpacaran, Alice tidak ingin salah langkah.

Keenan tersenyum, "Setuju."

"Jadi sekarang kita resmi pacaran ya, bukan friends with benefit lagi." Ujar Alice sembari memeluk Keenan. Pria itu menyambut pelukan gadis yang kini menjadi pacarnya.

*****

Rooftop siang itu cukup sepi. Hari ini semua anak lebih memilih makan siang di kantin atau di kelas karena cuaca hari ini cukup terik. Biasanya rooftop sangat ramai saat jam makan siang karena disini adalah tempat dengan pemandangan paling bagus di SMA ini. Dari sini para siswa bisa melihat hamparan savana yang luas yang terletak di belakang gedung sekolah. Di rooftop ini juga menjadi tempat favorit para siswa untuk berpacaran karena guru-guru jarang sekali sidak ke tempat ini.

"Gimana?"

"Enak. Kamu bisa masak ternyata." Keenan memakan dengan lahap isi dari kotak bekal merah jambu yang dia dapat dari pacarnya.

Alice tersenyum bangga, "Pasti bisa dong. Ibuku jarang bikinin aku bekal karena dia sibuk kerja, jadi aku sering bikin bekal sendiri."

"Udah lama aku gak makan masakan rumahan, biasanya aku makan diluar atau pesan online, itupun pasti makanan cepat saji." Keenan menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.

"Ijazah SMA perlu banget gak sih? Pengen cepet-cepet nikah." Alice berandai-andai, "Kayaknya asik ya, bangun pagi nyiapin suami dan anak-anak bekal, terus bersih-bersih rumah, habis itu nyantai seharian, ga perlu pusing mikir tugas, praktek, dan apalah itu."

"Cita-citamu pendek." Sahut Keenan sembari mengunyah.

"Ih, jadi ibu rumah tangga itu cita-cita paling mulia tau." Alice menangkat kepalanya tinggi-tinggi, ia menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa mukanya.

"Kenapa bisa?" Tanya Keenan yang masih tetap fokus makan. Ia seperti tak terlalu menghiraukan ocehan Alice.

"Iya lah, jadi ibu itu harus mengurus suami dan anak tanpa pamrih, dengan hati yang tulus. Apalagi kalau misal suamiku itu Kak Ethan, ahhh.. aku pasti bahagia banget." Jawab Alice, gadis itu menempelkan kedua tangannya ke pipi.

"Kayaknya ibu yang begitu cuma ibumu aja deh." Keenan mengelap bibirnya, dia sudah selesai menghabiskan sekotak penuh nasi goreng sosis dan ayam bakar buatan Alice, "Minta minum dong."

Alice memberikan botol air minumnya yang sisa setengah. Keenan menerima botol itu dan menegaknya dengan brutal sampai beberapa airnya menetes melalui sudut bibirnya dan mengalir ke tenggorokannya. Alice tertegun melihat itu.

"Kenapa?" Tanya Keenan saat ia menyadari bahwa Alice terdiam mematung. Pria itu meletakkan botol minumnya diatas totebag bekal.

"Aku takut kamu keselek aja sih." Jawab Alice singkat. "Back to topic, ya. Pokoknya, jadi ibu rumah tangga itu seru."

"Apanya yang seru? Kalau cuma bebersih rumah, ngurus anak, ngurus suami kayak katamu tadi itu seru ya mending jadi ART aja, malah dapet duit." Kata Keenan, dia menutup kotak bekal yang kini kosong dan memasukkannya kedalam totebag kecil milik Alice yang tergeletak dibawah botol minumnya.

"Hah. Kaget aku kamu ngomong gitu, aku gak suka ya kamu merendahkan profesi ibu rumah tangga." Alice memegang dadanya, mendramatisir keadaan. Ekspresi mukanya dibuat seakan dia benar-benar tersakiti oleh kata-kata Keenan.

"Aku bukan merendahkan." Kata Keenan sembari membuang nafas kasar.

"Sekarang aku tanya." Keenan meletakkan botol yang ada ditangannya ke lantai, "Cerminan ibu mana yang kamu maksud? Ibumu? Ibumu adalah wanita baik-baik, makanya dia bisa kasih kamu contoh ibu yang baik. Diluar sana banyak ibu yang moralnya rusak, bejat, gak tau malu, menelantarkan anaknya. Berbicara banyak seolah-olah dia adalah yang paling tersakiti padahal dia sendiri yang 'sakit'." Kata Keenan dengan nafas yang menderu.

"Ibu yang seperti ibumu itu cuma 1:100. Jarang ada ibu yang lembut, penuh kasih sayang, selalu bertutur kata yang baik, selalu mengerti kondisi anaknya, tidak membanding-bandingkan anaknya, tidak banyak menuntut, dan penuh perhatian pada keluarganya. Ibu yang seperti ibumu itu adalah ibu impian bagi banyak anak." Sambung Keenan, ia kembali meneguk air dalam botol itu sampai habis. Ia mulai mengatur pernafasannya agar lebih teratur.

"Oh iya, dan inget, gak ada manusia apalagi ibu yang sempurna. Ibumu mungkin adalah ibu yang paling lembut di dunia, tapi ibumu jarang memiliki waktu bersamamu karena dia harus bertanggungjawab atas hidupmu." Lanjutnya. Dia menatap kosong perempuan yang sedang diam dan tidak bisa berkata-kata itu.

Melihat diamnya Alice, Keenan menjadi merasa bersalah. Dia menyadari ada beberapa kata yang mungkin menyakiti Alice.

Keenan menepuk pundak Alice, "Maaf, aku gak bermaksud.."

"Enggak. Kamu bener." Potong Alice. Perempuan itu membuang muka, tidak sanggup menatap Keenan.

"Selama ini aku buta akan sosok ibuku. Aku terlalu tergila-gila menganggap dia sebagai idolaku. Kata-katamu barusan benar-benar menyadarkanku kalau sebenarnya ibuku belum sesempurna yang aku bayangin dan aku inginkan, tapi ibuku sudah berusaha semampu dia dalam menjadi ibu yang baik buatku." Kata Alice sembari tersenyum samar.

Keenan menggaruk belakang kepalanya, kikuk. Dia merasa tidak seharusnya dia berkata seperti itu. Topik tentang orang tua selalu menjadi topik yang sangat sensitif dikalangan banyak orang. Tetapi tidak dengan Keenan, dia sudah berada dalam fase muak.

"Aku minta maaf kalau kata-kataku menyakitimu." Keenan membelai lembut kepala Alice. Ia berusaha menenangkan gadis yang membisu itu. Alice memang tidak mengatakan apapun, tetapi siapapun yang melihatnya pasti tau kalau dia sedang bersedih.

"Aku memang sakit. Tapi itu bukan karena kata-katamu, itu karena ekspektasiku sendiri, gak usah kepedean." Alice tertawa kecil, ia tak ingin Keenan terus menerus merasa bersalah.

"Udah, sekarang kan aku punyamu. Kita bisa saling melindungi dan mengasihi." Keenan mengacak-acak ujung puncak kepala Alice.

Gadis itu tersenyum. Keenan merasa lega melihatnya.

"Nah, gitu kan manis."