Chereads / Completely Vacant / Chapter 8 - Salah Paham: Part 2

Chapter 8 - Salah Paham: Part 2

"Aku takut."

Suara parau Keenan memecah lamunan Alice. Seketika gadis itu membuka matanya dan bangkit dari sandarannya. Ia mengamati lelaki yang duduk termenung di sampingnya dengan seksama, ia melihat kerisauan dibalik mata itu. Sorot mata tak pernah salah. Alice membelai lembut rambut Keenan, berharap hal itu dapat sedikit menenangkan Keenan dan membuatnya nyaman untuk bercerita lebih lanjut.

"Takut apa?" Tanya Alice hati-hati. Ia menjaga agar suaranya tidak terlalu tinggi dan menyakiti Keenan tanpa sadar.

Pria itu terdiam cukup lama. Dalam hatinya, ia takut perkataannya akan menjadi kenyataan. Keenan merasa dirinya sedang kehilangan keberanian yang selalu ia banggakan itu.

Setelah terdiam cukup lama, pria itu hanya bisa menghela nafas berat, "Karma."

Alice menatap Keenan tak mengerti, matanya seolah meminta penjelasan akan pernyataan pria itu barusan.

'Karma apa?'

'Memang apa yang pernah dia lakukan di masa lalu sampai dia takut sama karma?'

Keenan melirik sekilas gadis di sampingnya. Gadis itu terlihat seperti sedang berperang dalam batinnya.

"Maksudku, aku takut kalau suatu saat kamu jauhin aku kalau semisal kamu tau masa laluku." Jelas Keenan sembari bangkit dari duduknya. Ia meralat perkataannya agar Alice tidak terlalu memikirkannya. Otak gadis itu memang agak lambat.

Pria itu berjalan mendekati ujung gedung. Ia melongok ke bawah untuk melihat apa yang ada dibawah sana. Dari atas sini, ia masih bisa melihat dengan jelas anak-anak dari klub olahraga sedang bermain basket di lapangan. Point plus, Keenan tidak minus walau sering bermain game didepan layar komputer selama berjam-jam.

Di tepi gedung itu, Keenan menghirup oksigen dalam-dalam. Ia memenuhi paru-parunya dengan udara agar hati dan pikirannya bisa rileks. Pria itu menengadahkan kepalanya, menatap langit dengan bebas.

"Aku gak bakal jauhin kamu cuma karena masa lalumu, bodoh." Cibir Alice polos. Ia memandangan Keenan dengan tatapan mengejek.

"Bagus kalau gitu." Sahut Keenan singkat. Matanya kembali teralih ke bawah gedung. Namun kali ini, beberapa anak yang sedang bermain basket menyadari bahwa ada dia disana yang berdiri memperhatikan mereka.

Ada dua anak yang berlari masuk kedalam, yang lain sibuk berteriak-teriak sembari menengadahkan kepalanya.

"HEYY! TURUN!!"

"JANGAN LOMPAT DARI SANA!"

Mendengar teriakan-teriakan itu, Keenan terdiam sesaat. Ia mencari siapa yang di maksud oleh anak-anak di bawah sana. Ia celingukan. Alice hanya bisa menatapnya dengan penuh kebingungan.

Namun sejurus kemudian, Keenan tersadar bahwa yang dimaksud oleh mereka adalah dirinya sendiri. Seperti tersambar petir di siang bolong, ia mendadak menjauhi tepi atap dan berlari masuk kedalam sembari menggeret Alice.

"ADA APA SIH?!" Teriak Alice kaget, kendati demikian, ia tetap terus berlari bersama Keenan.

Tidak ada jawaban dari Keenan. Ia hanya diam dan membisu, pandangannya terus menghadap ke depan, menabrak apa saja yang menghalangi mereka.

Mereka berdua terus berlari menyusuri lorong dan menjauhi jalan menuju kearah rooftop. Ketika sampai di lantai 3, mereka mulai mengurangi kecepatan berlari mereka dan mulai berjalan cepat untuk mengelabui anak-anak yang mengejarnya dari bawah. Benar saja, di tangga yang menghubungkan lantai 2 dan 3 mereka berpapasan dengan kedua anak laki-laki itu.

"Kenapa kalian berlarian begitu?" Tanya Keenan dengan muka kebingungan.

"Kayaknya ada yang mau bunuh diri di atas rooftop, jadi kami mau kesana. Kami sudah lapor guru juga, jadi mungkin nanti ada beberapa guru yang nyusulin." Kata salah satu dari mereka yang berbadan pendek dan kekar. Sekilas Alice dapat mencium aroma rokok dari nafasnya.

Anak yang berbadan tinggi dan kurus menimpali, "Semoga dia belum lompat." Kaosnya yang longgar nampak basah akibat keringat.

"Sudah dulu ya. Kami harus segera kesana." Lanjutnya.

Keenan melirik sekilas wajah panik mereka. Kedua anak itu terus berlari melewati mereka.

Alice hanya bisa melongo melihat kejadian yang secepat itu. Ia masih belum mengerti ada apa sebenarnya.

"Ada apa sih?" Tanya Alice dengan kebingungan. Nafasnya masih belum beraturan karena kelelahan saat berlari. Gadis itu menyeka keringatnya yang berjatuhan dari dahinya.

"Tadi ada yang sadar kalau kita menerobos ke rooftop itu. Parahnya, karena aku berdiri di tepi rooftop, anak-anak tadi mengira kalau aku mau bunuh diri. Jadi aku ajak kamu lari keluar, karena kalau sampai mereka liat wajah kita, mereka pasti bakal lapor ke guru. Paham gak?" Jelas Keenan. Nafas pria itu pun masih belum kembali normal namun ia berusaha mengaturnya.

"Oh jadi kalian yang bikin keributan?" Sahut seseorang dibawah tangga. Orang itu berkacak pinggang dan menatap mereka dengan tajam.

Keenan tertegun, "Olive?! Bukan... bukan gitu maksudku."

"Keenan, Alice, temui aku diruang guru. Tunggu disana, aku mau bilang ke temen-temenmu yang diatas dulu kalau biang keroknya udah ketemu." Suara Olive meninggi.

Olive berjalan menaiki tangga dan melewati pasangan itu. Alice sekilas melihat mata Keenan yang tertunduk lesu.

'Apa dia kecewa karena udah bikin Olive marah?'

'Sesimpel itu kah?'

"Ayo, Alice. Kita tunggu dia di ruangannya." Suara lemah Keenan membujuk Alice untuk mengikutinya. Perempuan itu menurut. Mereka berdua berjalan sembari bergandengan. Menyelinap kembali ke topeng kemesraan mereka.

Sepanjang jalan, Keenan hanya membisu. Alice juga diam seribu bahasa. Apakah ini salahnya? Apa hukuman yang akan mereka terima karena telah menerobos daerah terlarang?

Sesampainya di ruang guru, mereka pun masih tidak saling berbicara. Keenan hanya diam dan menunduk. Tangannya dikepal dengan erat seolah dia sedang gugup. Hatinya tak karuan. Ia tau bahwa akan ada kejadian buruk yang menimpa mereka, terutama dirinya.

Ia mungkin tak masalah jika yang memergokinya adalah guru lain. Tapi Olive? Dia pasti lebih buruk daripada Kepala Sekolah sekalipun.

Alice mengambil salah satu kursi guru yang ada didekatnya dan duduk di sebelah Keenan. Ia mendekat dan mencondongkan dirinya pada pria itu.

"Maaf." Bisik Alice lirih. Ia menjaga agar suaranya tidak terlalu keras.

Keenan menggeleng, "Bukan salahmu."

"Tapi, kalau aja aku gak lemot dan tanya-tanya ada apa, mungkin dia gak bakal denger. Ah enggak, kalau aja aku gak kesana sama kamu, mungkin ini gak bakal terjadi." Ujar Alice menyalahkan dirinya sendiri. Ia merasa bersalah. Pikirannya kalang kabut memikirkan nasib mereka.

Apakah mereka akan di denda? Atau di hukum pelayanan sosial? Atau mungkin mereka akan di skors? Atau malah langsung di keluarkan?

Banyak sekali hal yang ingin Alice tanyakan, tapi tentu itu hanya akan memperburuk suasana.

Keenan menyahut dengan datar dan dingin, "Udahlah." Matanya masih belum teralih dari tangannya yang terkepal diatas lututnya.

Alice mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang guru yang sudah sepi itu. Ia mencari keberadaan Ethan.

'Apakah dia sudah pulang? Apakah dia akan ikut menghukum kami? Apakah dia akan kecewa karena aku bersikap kelewatan?' Tanya Alice dalam hati. Ia takut kalau kelakuannya ini dilaporkan pada ibunya. Ibunya tentu tak akan suka mendengar kenakalan macam ini.

"Permainannya hampir dimulai." Racau Keenan tak jelas.

Alice menanggapinya dengan kebingungan, ia sama sekali tidak mengerti apa maksud Keenan. Alisnya bertautan karena saking ia kesulitan menangkap arah pembicaraan itu.

"Maksudnya?" Tanya Alice.

Keenan menghembuskan nafas berat, "Nanti juga tau sendiri."

Ingin sekali Alice bertanya lebih lanjut, namun pembicaraan mereka terhenti karena seseorang tiba-tiba masuk ke ruangan itu.

"Alice? Kenapa ada disini? Kok belum pulang?" Sapa Ethan sembari menutup kembali pintu ruangan itu.

Alice hanya tersenyum kecut, "Gapapa kak, eh, maksud saya gapapa pak."

Ethan menepuk lembut kepala Alice menggunakan buku yang ia bawa. Gadis itu hanya terkekeh geli dengan perkataannya sendiri.

"Keenan juga? Ada apa?" Tanya Ethan sembari berjalan menghampiri meja kerja miliknya yang kursinya telah menghilang. Rupanya kursi yang Alice ambil dan pakai adalah milik Ethan.

Keenan hanya membisu. Ia sama sekali tak memiliki daya untuk menjawab apapun lagi.

"Maaf pak, ini kursinya saya ambil." Ujar Alice dengan salah tingkah, ia berdiri dan berupaya mengembalikan kursi itu tapi ditolak oleh Ethan.

"Pakai aja. Saya bisa pinjam kursi yang ada disebelah meja saya." Kata Ethan sambil tersenyum.

Pria itu benar-benar melakukannya. Ia mengambil kursi yang ada di sebelahnya, yang entah milik siapa, dan duduk disana, di depan mejanya yang sangat bersih dan rapi. Sangat tidak wajar. Apakah Ethan mengidap OCD?

Ethan membuka laptopnya. Ia menghidupkan benda berwarna hitam itu dan duduk bersandar sembari menunggu loading screen. Sesekali ia membuka buku yang tadi ia bawa. Ternyata buku itu bukan sembarang buku, buku itu adalah buku catatan tentang semua yang ingin dicatat oleh Ethan. Jelasnya, buku itu adalah buku diary Ethan yang memuat seluruh data yang mungkin Ethan sendiri sudah lupa.

Beberapa kali Ethan menggaruk belakang kepalanya ketika membaca buku itu. Alice mengamatinya. Sudah tiga kali ini Ethan berdeham setelah melihat buku dan laptopnya secara bergantian. Rasanya ingin sekali Alice mengobrol dengannya, walau hanya sekedar berbasa-basi menanyakan ada perihal apa yang membuat Ethan nampak kesulitan. Namun lagi lagi, hal seperti itu ia urungkan dengan alasan dia tidak ingin mengganggu Ethan.

Dan itu bagus.

Pandangan Alice kembali tertuju pada Keenan. Lelaki itu kini menatap langit-langit seolah sedang merenungi sesuatu. Berkali-kali ia menghela nafas dengan berat, seakan-akan ada sesuatu yang menyumbat pernafasannya.

'Ada apa sih sebenernya? Kenapa dia keliatan kayak resah banget?' Batin Alice mencemooh. Ia mendengus gusar melihat tingkah Keenan yang lain seperti biasanya.

'Sekuat ini kah pengaruh dari Olive? Gak Keenan, gak Kak Ethan, semua yang berhadapan dengan wanita itu seolah menjadi kehilangan kontrol atas dirinya sendiri, sampai-sampai mereka bereaksi berlebihan.'

Kini gadis itu kembali menatap Ethan.

'Kak Ethan ini kenapa juga harus suka Olive? Aku gak suka kalau dia salah tingkah pas ada Olive. Memuakkan. Dia bahkan jauh lebih tua dari Olive, namun sikapnya benar-benar tak terkontrol. Andai aku bisa, aku pasti bakal curi mata Kak Ethan biar aku bisa liat apa istimewanya perempuan itu.'

Sorot mata gadis itu perlahan mengendur. Ia mulai mempertanyakan kepentingan eksistensi dirinya di dunia ini. Tidak ada. Ayahnya mati, ibunya sibuk dengan urusannya sendiri, cintanya tak berbalas, dia dengan sukarela dimanfaatkan. Apa yang sebenarnya dia kejar?

Perlahan ia mulai merasa tenggorokannya tercekik. Gawat. Ini tanda-tanda kalau dia akan menangis. Tapi, dia tidak ingin terlihat seperti gadis idiot yang tiba-tiba menangis tanpa sebab. Namun sulit baginya untuk menahan air matanya yang meluncur dengan bebas di pipinya. Alice berusaha keras untuk tidak bersuara, apalagi terisak. Jangan sampai mereka tau.

Gadis itu menunduk dalam tangisnya. Hatinya yang tersayat oleh alur kehidupannya kembali menganga, padahal tadinya, seiring berjalannya waktu, lubang itu hampir tertutup dengan sendirinya. Ia bingung harus berterimakasih pada siapa akan hal tersebut, jadi dia sering berterimakasih pada diri sendiri.

Disaat gadis itu berupaya untuk menyembunyikan tangisnya, sebuah uluran tangan menghapus air matanya dengan lembut. Jemari hangat itu mengusap kedua mata Alice secara bergantian. Alih-alih menengadah dan mencari tau siapa pemilik tangan itu, Alice semakin menunduk. Sengaja ia lakukan hal itu agar tak ada yang bisa melihat mukanya yang berantakan.

"Jangan nangis disini, nanti Ethan lihat." Bisik Keenan dengan lembut sembari tersenyum.

Alice mengangguk pelan. Dalam tunduknya, ia tersenyum kecil. Ia merasa belakangan ini Keenan sangat pengertian dengan perasaannya. Dan entah kenapa, ia merasa Keenan mulai bersikap seolah pacar aslinya, memang secara teori dia pacarnya, namun sikap yang dia tunjukkan seolah dia benar-benar pacarnya.

Disaat yang seperti itu, tiba-tiba pintu ruang guru terbuka dengan keras, dan hal itu mengejutkan mereka. Mengherankan, apakah guru-guru di sekolah ini gemar sekali membuka pintu secara mendadak dan tanpa aba-aba?

"Kalian keterlaluan." Gerutu Olive sembari berjalan menuju sofa yang ada di dekat pintu masuk. Ia mengomel sepanjang jalan sebelum mendudukkan pantatnya di kursi panjang nan empuk itu.

"Aku belum pernah lihat lelucon yang lebih parah dari ini. Teganya kalian mengerjai teman kalian sendiri dengan berpura-pura bunuh diri?!" Cerocos Olive, tatapan matanya memandang tajam kearah Alice yang tertunduk.

"Ini gak seperti yang kam-, Kak Olive kira." Bela Keenan. Pria itu berdiri dan mendekati Olive, lalu ia duduk di sofa yang berseberangan dengan wanita itu.

Alice mengekor, ia menghampiri Keenan dan duduk disebelahnya.

"Oh, gitu? Apa pembelaanmu?" Tanya Olive sarkastik. Perempuan itu memicingkan matanya, menatap bergantian kedua muda-mudi yang ada dihadapannya.

"Ya kami tau kami salah karena menerobos kearah rooftop. Tapi saya sama sekali tidak berniat untuk mengerjai teman dengan berpura-pura bunuh diri. Saya hanya berdiri ditepi gedung untuk menghirup udara segar, cuma itu." Kata Keenan dengan tenang. Namun kendati demikian, matanya tak bisa menatap dengan lugas perempuan yang duduk diseberangnya.

Olive menghardik, "Terus kalau sampai kamu benar-benar jatuh dari sana gimana? Apa yang pihak sekolah harus laporkan sama orang tuamu? Bilang kalau anaknya sendiri yang sengaja menerobos masuk ke rooftop dan gak sengaja jatuh dari sana, iya?" Nada suaranya naik, menandakan kesiapannya untuk berdebat.

Keenan dan Alice lebih memilih diam. Mereka tau tak ada gunanya berdebat dengan guru, Alice juga sepenuhnya sadar bahwa bisa jadi ia akan dicap buruk oleh Kak Ethan karena sudah jelas saat ini pasti pria itu mendengarkan obrolan mereka.

Alice melirik sekilas pemuda yang ada dibelakangnya. Jarak sofa itu dengan meja para guru cukup jauh, jadi Alice tak bisa melihat dengan jelas wajahnya. Hanya saja, pria itu seolah seperti berusaha keras untuk fokus pada pekerjaannya dan mengabaikan urusan mereka bertiga.

Ethan tak ingin ikut campur. Sudah terlalu banyak kejutan yang ia dapat seharian ini. Ia berfikir bahwa mengabaikan urusan mereka adalah yang terbaik. Pekerjaannya masih banyak. Ada banyak sekali hal yang belum ia selesaikan.

Obrolan mereka terus berlanjut hingga setengah jam lebih. Ethan melirik sekilas jam tangan coklatnya yang gelangnya terbuat dari kulit asli, hadiah pemberian ayahnya ketika ia berhasil masuk universitas yang ia incar. Hebatnya, barang tersebut masih awet hingga sekarang. Walau memang, sempat beberapa kali jatuh dan kehabisan batterai.

Ethan menatap gerombolan orang yang sedang sibuk berdiskusi itu.

'Wah, masalah yang benar-benar besar ya.'

'Aku gak nyangka kalau Bu Olive segalak itu.'

'Alice juga kenapa ya semenjak pacaran sama Keenan jadi kayak terbawa pengaruh buruk gitu? Padahal dia anak yang baik.'

Ethan menghela nafas, 'Yah, itu bukan urusanku. Aku harus segera pulang, kasihan ayah kalau pulang kerja gak ada makanan dirumah. Kira-kira beli apa ya?' Batin pria itu. Ia mengemasi barang-barangnya dan bersiap untuk pulang. Beberapa kali ia sempat melirik kearah tiga orang yang sedang duduk disudut ruangan itu.

Ia berperang dengan batinnya, ia ingin pulang, namun ia segan untuk melewati mereka. Ethan terus menerus mengulur waktu, berharap mereka segera selesai berbincang dan pergi dari sana, baru ia bisa pulang dengan tenang. Tak enak rasanya pulang dan meninggalkan mereka dalam keadaan seperti itu, terutama Alice.

Jauh dari dalam lubuk hatinya, Ethan pernah memiliki ketertarikan pada Alice. Namun saat itu, pria yang tak lagi muda itu menyadari bahwa ia takkan pernah bisa bersama dengan gadis mungil yang sudah ia asuh sejak kecil. Banyak sekali hal yang ia harus pertimbangkan. Namun jelasnya, ia tetap akan melindungi Alice apapun masalah yang dihadapi oleh gadis kecilnya itu sampai kapanpun. Walau sebenarnya, pria itu juga tak tau dampak apa yang ditimbulkan oleh perlakuan-perlakuan manisnya terhadap Alice, ia kurang peka pada hal yang seperti itu.

Pria itu kembali terduduk setelah berpura-pura meregangkan badan. Ia kembali melirik orang-orang itu.

"Aku anggap masalah ini selesai dan gak akan terdengar sampai ke kepala sekolah kalau kalian mau berjanji untuk tidak mengulangi lagi. Dan sebagai hukumannya, kalian membuat 50 soal matematika beserta jawabannya, paling lambat dikumpulkan hari Jumat sore sebelum pulang, mengerti?" Tegas Olive, ia menatap kedua muridnya itu secara bergantian.

Alice tak terima, "Kak, tapi hukuman itu tidak berkorelasi dengan perbuatan kami. Kami bukannya tidak mengerjakan tugas atau apa, tapi kenapa kami dilimpahi tugas segini banyak?" Ia membela dirinya sendiri. Ia tau betul seperti apa karakter Keenan, pria itu hanya akan diam dan menurut. Pertama, karena ia menyukai Olive. Kedua, dia pintar, tugas ini bukanlah apa-apa untuk Keenan. Terlebih tenggat waktunya cukup lama.

Keenan memegang tangan Alice dengan kuat, seolah memberinya sinyal untuk tidak khawatir, "Iya kak, kami terima tugas itu." Jawabnya dengan pelan. Ia tak ingin berlama-lama. Jujur, ia tidak nyaman dengan situasi ini.

"Bagus. Tidak ada komplain. Kalau sudah mengerti, silahkan kalian pulang." Ujar Olive melembut, "Keenan, ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan, nanti aku hubungi." Lanjutnya. Wanita itu beranjak berdiri dan meninggalkan mereka berdua yang masih duduk dan termenung.

"Kamu gila? Aku bodoh kalau soal matematika." Bisik Alice dengan tajam. Ia menatap Keenan dengan pandangan tak suka.

Keenan hanya terdiam. Pria itu menghembuskan nafasnya dengan berat dan beranjak pergi. Alice memandang pria itu dengan sinis, tak mengerti apa isi kepalanya sehingga dia bersikap seperti itu.

'Mencurigakan.'