Chereads / Completely Vacant / Chapter 7 - Salah Paham: Part 1

Chapter 7 - Salah Paham: Part 1

Suasana kelas yang sedang kosong dan sunyi adalah hal yang paling disukai oleh Alice. Menyenangkan dan menenangkan. Disaat seperti itulah dia dapat mendengar suara Ethan yang menari-nari dalam benaknya.

'Hadiah spesial untuk orang yang spesial.'

'Aku suka kesunyian.'

'Karena dengan menjadi guru, kakak bisa belajar untuk mengenal semua karakter manusia.'

'Kakak rasa, kakak gak perlu khawatir tentang Keenan ya?'

'Iya, adik kecil. Kamu emang yang paling ngertiin kakak.'

Gadis mungil itu berdansa ditengah ruangan dengan iringan lagu dari anak-anak klub musik yang suaranya mulai menggema diseluruh penjuru lorong kelas. Kakinya berjinjit, tubuhnya berputar-putar bak pebalet yang sedang gundah gulana.

Hatinya dingin. Dia sedang tidak merasakan apapun selain perasaan resah. Matanya yang sendu seakan membeku disetiap tariannya. Lagu 'Rewrite The Stars' yang mengalun secara akustik itu seolah menyihir hatinya dan menggerakkan tubuhnya kesana kemari dengan lihai.

Disela tariannya, ia memutar kilas balik kejadian hari itu. Ethan dengan hadiah yang ia bawa, kejutan pesta ulang tahun yang sederhana, obrolan panjang mereka saat beranjak pulang. Seakan tidak ada hal yang bisa lebih baik dari hal itu.

Alice menolak untuk mengenakan gelangnya ke sekolah. Ia takut gelang cantik itu jatuh ke tangan guru bimbingan konseling, atau rusak tergesek oleh sesuatu, atau yang lebih buruk, jika gelang itu hilang karena gelang tersebut cukup longgar. Memikirkannya saja sudah membuat Alice bergidik ngeri. Dia tidak ingin mengecewakan dirinya sendiri, maka dari itu dia lebih memilih menyimpan barang berharganya itu di rumah.

Tepat saat lagu terhenti, keseimbangan gadis itu oleng. Dia tidak bisa menyelesaikan bagian akhir dari tariannya dengan sempurna. Dia sempat beberapa kali berusaha menjaga keseimbangannya dan mencoba berdiri dengan benar namun gagal. Tubuhnya hampir saja terjun bebas ke lantai jika tangan itu tidak mengulur dengan cepat dan menangkap tubuh kecilnya.

"Wah, hampir saja." Sahut pria itu dengan suara berat.

"Kak Ethan?" Alice membelalakkan matanya, "Kakak sejak kapan disini?"

Gadis itu mencoba berdiri, ia menepuk-nepuk belakang roknya untuk merapikan penampilannya sekaligus penyampaian hasrat salah tingkahnya. Saat ini Alice tengah malu bukan kepalang karena pasti Ethan melihatnya menari sekaligus jatuh, secara jarak pintu dengan posisinya sekarang cukup jauh, mustahil bagi Ethan memiliki reflek secepat itu.

"Lumayan lama sih, tadinya kakak gak mau ganggu kamu bersenang-senang, jadi kakak tunggu sampai kamu selesai." Sahut pria itu tanpa dosa.

Alice tersenyum kecut, "Harusnya kalau kakak datang tadi langsung panggil aku, bukannya malah berdiri didepan pintu sambil lihatin aku nari kayak gitu, kan aku jadi malu." Ia cemberut, nada bicaranya sengaja ia buat ketus untuk menutupi rasa malunya.

"Iya iya maaf. Oh iya, ini buku yang mau kamu pinjam." Ethan menyodorkan sebuah dengan sampul tebal berwarna biru tua.

Alice menerima buku itu, ia membuka satu-persatu halamannya untuk menghirup aroma buku usang itu yang semerbak mengecup cuping ujung hidungnya ketika buku itu di buka. Sekilas ia membaca isi dari buku-buku itu, buku yang nampak sudah sangat tua namun masih bagus, sesekali ia berhenti untuk melihat gambar-gambar ilustrasi dari buku itu yang kebanyakan berwarna hitam putih.

"Kalau misal ada lagi buku yang mau kamu pinjam, bilang aja, atau langsung ke rumah ya." Kata Ethan sembari tersenyum.

"Iya kak, makasih banyak ya. Waktu kakak bilang kalau mungkin buku ini udah hilang rasanya aku sedih banget, soalnya buku ini udah langka dan udah gak dicetak lagi, bakalan susah buat nemu diluar sana. Pasti kakak kerepotan banget kan waktu cari buku ini?" Tanya Alice. Gadis itu menimang-nimang benda itu dengan tangan kanannya.

Tidak ada jawaban. Sejenak keheningan mulai merayap, terlebih lagi alunan lagu di ruang klub musik tak lagi terdengar. Mungkin mereka istirahat sejenak lalu pergi ke kantin untuk membeli sekaleng minuman, atau ke kamar mandi untuk menghilangkan hasrat ingin buang air kecil, tidak ada yang tau.

Karena merasa diabaikan, Alice mengalihkan pandangannya dari jendela kearah Ethan yang tengah sibuk memainkan ponselnya. Pria itu sesekali berdeham sembari mengerutkan dahi.

Pria itu melirik sekilas Alice yang tengah berdiri disampingnya. Ia menyadari bahwa sedari tadi perempuan itu mengamatinya, "Ah bentar ya, sinyal ponselku lemot banget." Ucap Ethan merasa bersalah, sesekali ia menggaruk belakang kepalanya dengan kikuk.

"Emang kenapa kak?" Sahut Alice kebingungan.

"Ah, enggak, ini kakak cuma mau tunjukkin situs website dimana kamu bisa dapetin buku yang udah berhenti cetak atau buku langka dengan harga murah, ya walaupun kebanyakan buku bekas atau buku tiruan, yang penting isinya sama, ya kan?" Kata pria berkacamata itu sembari nyengir, ia mengusap belakang tengkuknya. Dibalik kacamatanya yang tebal, matanya menyipit dan menyihir Alice.

Alice tertawa kecil, "Ah ya ampun kak, gak perlu segitunya. Gak baik tau beli buku tiruan, kalau bekas sih ya gapapa. Tapi makasih ya kak infonya, ngomong-ngomong alamatnya websitenya ap--?"

"Pak Ethan?"

Pandangan Alice tiba-tiba tertuju pada suara lembut yang memotong perkataannya. Begitu juga dengan Ethan, mendadak ia menjadi salah tingkah dan pipinya memerah saat matanya berhasil menangkap sang pemilik suara yang saat ini tengah berdiri diambang pintu dengan senyum manisnya serta rambut hitam lebat yang terurai panjang menutup punggungnya.

"Bu Olive?" Sapa Ethan gelagapan.

Perempuan muda nan cantik itu mengenakan rok span selutut yang warnanya senada dengan blazer beige kuno miliknya. Bentuh tubuhnya yang ramping seakan menjadi manekin paling cantik untuk pakaiannya. Angin yang berhembus merdu itu menerpa rambut panjangnya seakan memamerkan keelokan visual dari gadis tersebut.

Olive menyelipkan rambutnya kebelakang telinga, "Ah, ada Alice juga ya disini."

Alice menatap dingin perempuan itu. Berbeda dengan Ethan yang menatap Olive dengan mata yang berbinar, namun juga berulang kali berusaha mengalihkan pandangannya dari perempuan itu.

Olive berjalan memasuki ruangan dan mendekati Ethan yang tengah mematung disamping Alice. Sesekali gadis muda itu melirik pria disampingnya dengan tatapan kesal, lalu melempar tatapannya pada wanita didepannya dengan tatapan jengah.

"Pak Ethan, Alice, maaf mengganggu waktunya, tadi saya dimintai tolong oleh Pak Awan untuk mencari Pak Ethan. Beliau menunggu anda di ruangannya." Kata Olive dengan lembut. Wanita itu mengulas senyum, sesekali ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga ketika helai-helai yang berkilauan itu menggelitik wajahnya.

Melihat sikap Olive yang seperti itu membuat Alice merasa kesal. Rasanya ingin sekali ia meninju muka sok cantik itu. Terbesit di hati kecilnya untuk melukai wajah manis wanita itu, tapi mana mungkin ia sanggup melakukannya. Melihat hewan terluka saja batinnya menjerit dan menangis. Ia hanya sanggup melempar tatapan dingin dan tak suka kepada Olive, berharap perempuan menyebalkan itu tau bagaimana perasaannya.

Namun, alih-alih menyakitinya, Alice lebih memilih pergi. Gadis itu berjalan keluar dari ruang kelas tersebut dengan gusar. Hatinya kalut melihat bagaimana Ethan bereaksi terhadap Olive. Sumpah demi apapun, tatapan itu adalah tatapan yang sangat didambakan oleh Alice. Bertahun-tahun dia menunggu untuk tatapan itu. Bahkan jika diperbolehkan, ia rela menukar apapun yang ia punya demi mendapatkan perasaan Ethan.

Namun semua sudah terlambat. Bunganya hampir mekar, pantang jika dipetik disaat seperti itu. Hal itu hanya akan membuat dirinya sendiri kecewa.

Karena sibuk bertengkar dengan pikirannya sendiri, tanpa sadar Alice menabrak seseorang saat ia berjalan di lorong depan kelas. Spontan gadis itu mendongakkan kepalanya dan bersiap untuk meminta maaf, namun ia mengurungkan niatnya saat ia melihat siapa yang ia tabrak.

"Ah, mereka ya?" Bisik pria itu. Telinganya menangkap suara tertawa dari sepasang manusia didalam kelas, dan matanya mendapati seorang gadis dengan raut muka yang sungguh menyedihkan dihadapannya.

"Kalau mau tau, kenapa gak liat sendiri aja?" Tanya Alice dengan suara yang tajam, sorot matanya seakan menggambarkan perasaannya.

Keenan tersenyum mengejek, "Sedih ya?"

"Aku gak secengeng itu ya." Cibir Alice sembari melipat tangannya kedepan dada dengan angkuh.

"Ayo, ikut aku." Ujar Keenan sembari menarik tangan Alice dengan sedikit tekanan. Ia berjalan cepat menyusuri lorong yang sepi itu. Beberapa kali langkahnya tersendat karena Alice tak sanggup menyamai langkahnya.

Alice mengaduh, "Pelan-pelan dong, kenapa buru-buru banget sih? Emang kita mau kemana?"

"Aku mau tunjukin kamu sesuatu." Keenan tersenyum tipis, kendati demikian, Alice tetap dapat melihatnya dengan jelas karena Keenan jarang sekali tersenyum seperti itu.

Lorong yang sepi, dinding yang dingin, dan tangga yang menjulang berlapis-lapis seolah menjadi saksi betapa berisiknya mereka saat berlarian di lorong.

Perjalanan panjang mereka terhenti disebuah pintu diujung tangga yang paling tinggi. Pintu tua itu nampak seperti gerbang misterius menuju dunia lain. Kalau saja cahaya orange sore itu tidak mengintip dari celah-celah engsel pintu, mungkin Alice sama sekali tak ingin membuka pintu itu dan melihat apa yang ada dibaliknya.

"Kita gak boleh kesini, Ken." Kata Alice mengingatkan. Ia berusaha keras untuk menelan ludahnya karena ia terlalu takut jika ada orang yang memergoki mereka sedang menerobos daerah terlarang di sekolah ini.

Keenan menyentil dahi Alice, "Gak usah takut, kan ada aku."

Tangan kekar Keenan menggenggam erat gagang pintu itu dan membukanya secara nekat. Matanya mengerling genit ke arah Alice, menggoda gadis itu agar ia tak lagi ketakutan.

Pintu itu terbuka dengan cepat. Spontan Alice menutup mata karena silau dengan cahaya yang tiba-tiba membanjiri matanya.

Ketika ia membuka matanya untuk membiasakan diri dengan sinar itu, ia terpesona. Sungguh, matanya membulat sempurna karena takjub dengan pemandangan yang ia lihat didepannya.

Ternyata pintu itu adalah pintu menuju rooftop sekolah yang tidak ada pembatasnya, mungkin sebab itulah pihak sekolah menutup akses menuju tempat ini dan melarang keras siapapun untuk menerobos masuk kesini. Pihak sekolah mungkin takut jika ada siswanya yang terjatuh atau sengaja menjatuhkan diri dari rooftop. Ya, tau sendiri bagaimana kesehatan mental remaja zaman sekarang. Pikiran mereka sangat sulit ditebak.

Namun, bukan itu yang menarik perhatian Alice. Hal yang membuatnya memandang kagum tempat ini adalah pemandangan belakang sekolah yang selama ini tidak ia sadari.

Lembah yang terhampar luas, sungai kecil yang airnya sejernih bola kristal, sapi-sapi yang diarak pulang oleh anak gembala, cahaya senja yang melukiskan warna-warna pastel di langit yang membentang.

Gemerisik daun dari pohon beringin tua yang ada dibelakang sekolah sore itu menjadi melodi pelengkap keajaiban yang baru mereka temukan.

Alice menatap Keenan dengan bahagia, "Aku baru tau ada tempat sebagus ini di sekolah kita."

"Iya, aku juga baru tau tadi gara-gara Eleana yang ajak aku kesini, terus kupikir, pasti kamu bakalan suka sama tempat ini, jadi aku ke kelasmu buat cari kamu. Ya, gak taunya kamu lagi lari sambil nangis gara-gara mereka." Keenan mengacak-acak rambut Alice.

"Aku gak lari apalagi nangis, jadi jangan fitnah." Cibir Alice, "Tapi, terima kasih ya. Aku seneng kamu masih inget semua cerita omong kosongku tentang aku suka ini itu termasuk suka liat pemandangan." Lanjutnya sembari tersenyum manis.

Sejenak pria itu terdiam mendengarnya, "Ya, aku pikir pemandangan sebagus ini harus aku bagi sama kamu, itu aja sih." Ucap Keenan salah tingkah, ia mengusap belakang tengkuknya dengan kikuk.

Mendengar hal itu membuat hati Alice terasa hangat. Ia berjinjit dan mengecup pelan dahi Keenan yang sedikit berkeringat setelah berlarian bersamanya.

'Manis.'

'Kenapa dia semanis ini?'

Keenan merenggut dagu gadis itu. Ia mengecup bibir ranum Alice dengan lembut. Hatinya turut merasa hangat saat ia bersentuhan dengan gadis itu, seolah perasaan mereka telah terhubung melalui kecupan ringan itu.

Gadis itu melepas ciumannya. Ia menatap Keenan penuh arti. Tangannya bergerak memainkan rambut depan Keenan yang berjatuhan diatas matanya.

"Kamu jangan sedih, kamu punya aku." Alice meringis lucu. Jauh di lubuk hatinya ia tau bahwa perasaan Keenan tak jauh berbeda dengannya. Namun sebenarnya, ia mengatakan hal tersebut hanya demi menenangkan hatinya sendiri. Ia berharap Keenan juga akan melakukan hal yang sama sepeti dirinya. Menghiburnya.

Pipi Keenan memerah mendengar hal itu. Malu. Ia

menoyor kepala Alice dengan keras.

"Aku gak secengeng kamu, bayi. Hal kayak tadi bukan apa-apa buat aku. Aku gak bakal sedih cuma karena Olive ngobrol sama cowo lain." Kata Keenan sembari memasang muka datar. Ia menyembunyikan pipi merahnya dibalik sorot matanya yang dingin, walaupun begitu, bohong jika ia tidak dibuat salah tingkah oleh perkataan Alice.

Perempuan itu terhenyak. Ia menerawang jauh kedalam pikirannya. Ia mengira bahwa perasaan pria dan wanita itu tidak jauh berbeda. Ia pikir semua orang mudah tersulut rasa cemburu jika orang yang disukainya dekat dengan orang lain. Alice tak berpikir bahwa ia salah perkiraan, tapi Keenan sendiri sulit dipercaya. Walaupun dia orang yang cukup terbuka, Alice tidak sepenuhnya tau tentang Keenan.

Ada kalanya lelaki dihadapannya ini menjadi dingin, lalu berubah menjadi usil, tak jarang juga dia penuh perhatian. Hal-hal seperti itu menimbulkan tanda tanya besar di dalam benak Alice. Apakah Keenan mulai menyukainya? Ataukah ini hanya sekedar bagian dari hubungan mereka yang saling memanfaatkan itu? Ataukah ini hanya murni sifat dia yang mampu memperlakukan perempuan dengan baik? Atau apa? Ada ribuan pertanyaan yang terlintas di hati dan pikirannya tapi tak sanggup ia lontarkan. Alice merasa hubungan mereka belum seakrab itu untuk mempertanyakan hal sesensitif ini.

"Kamu inget gak cewe yang kita temui di arcade game waktu kita bolos sekolah?" Tanya Keenan membuyarkan lamunan Alice.

Gadis itu menoleh dan menatap Keenan dengan seksama, "Hm... ya, aku inget, kenapa emang?"

Keenan menghela nafas berat, "Yah, aku gak tau sih harus ngomong ini atau enggak."

Mendengar hal itu, Alice mengerutkan dahinya penasaran, "Ih... apa sih? To the point aja, aku gak suka ya dibuat penasaran gini."

"Dia ngajak aku sama kamu buat main kerumahnya. Ya, aku bilang ke dia kalau aku ngikut kamu aja, kalau kamu gak bisa ya aku juga gak bakal kesana." Kata Keenan.

"Ngapain dia ngundang aku sama kamu kerumahnya?" Alice semakin mengerutkan dahinya, saking seriusnya, kedua alisnya hampir menyatu.

Keenan mengangkat bahunya, "Gak tau. Aku gak nanya juga. Aku menghindari percakapan yang intens sama dia."

"Sebenernya kamu ada hubungan apa sih sama dia? Kok kayak musuhan gitu, tapi dia gak ada angin gak ada hujan ngajak aku sama kamu kerumahnya." Tanya Alice terheran-heran. Dia menatap pria dihadapannya dengan tatapan penuh curiga.

"Gak ada sih. Gak ada hubungan yang istimewa." Keenan berjalan mendekati sebuah tempat duduk panjang yang ada ditengah rooftop, "Gimana ya jelasinnya, ya intinya dia cuma temen lamaku, tapi jujur aja, dia banyak bantu aku waktu aku susah."

Alice mengekor. Ia berjalan mendekati kursi itu duduk disebelah Keenan dengan tenang.

"Jadi, dengan kata lain, dia berjasa di hidupmu dong? Jasanya apa?" Tanya gadis itu dengan polos.

"Ya bisa dibilang gitu." Keenan menggumam pelan, matanya menerawang jauh ke masa lalunya. Ke masa dimana mereka saling memanfaatkan.

Alice mengangguk kecil, "Rei kan ya namanya? Dimana rumahnya?"

Keenan terdiam. Ia sama sekali tak mengindahkan pandangannya dari pemandangan yang terhampar di hadapannya.

Sedikit banyak ada ketakutan didalam hati Keenan. Ia takut Rei akan membeberkan masa lalunya pada Alice. Gadis polos yang sedang duduk disampingnya tidak pantas mendapatkan perlakuan sekeji itu. Keenan dapat bertaruh jika Alice sampai mengetahuinya, Alice akan mulai menatapnya dengan tatapan jijik.

Keenan menarik nafas berat. Ia sama sekali tidak mengira bahwa Rei akan datang kembali ke kehidupannya dan menghancurkan dirinya yang mulai berbenah dan memperbaiki diri.

Semua kejadian yang terjadi secara beruntun ini adalah suatu kebetulan yang sangat dihindari dan ditakuti oleh Keenan. Munculnya Olive, kembalinya Rei, hubungannya dengan Alice, hubungan Ethan dengan Olive.

Semua ini diluar perkiraannya. Keenan tau betul, cepat ataupun lambat, ia akan menanggung semua karma dari perbuatannya di masa lalu. Tapi, dengan alur seperti ini, kerusakan yang akan terjadi pasti lebih besar dari apa yang ia pikirkan selama ini.

'Sesusah itu ya menghindari karma?'

'Apa gak ada cara lain buat menebus dosa selain karma atau mati?'

'Aku cuma mau hidup tenang, tidak bisa kah semesta ini membiarkanku sendirian?'

Keenan melamunkan kehidupannya yang akan segera menemui rollercoaster-nya. Matanya menembus jauh kearah masa depan, ia berusaha memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan ia hadapi setelah ini. Hatinya gugup dan kalut.

'Kalau ternyata Rei kembali hanya untuk mengacaukan atau sengaja menggangguku, aku gak masalah. Yang jadi masalah adalah ketika dia memiliki niat untuk membalas semuanya.'

'Yang kedua, kalau memang Olive memperlakukan Ethan hanya demi melakukan hal yang biasa dia lakukan, aku juga gak bakal terlalu mikirin. Itu memang tabiat dia. Tapi kalau ternyata sampai diluar dugaanku, aku terpaksa harus berusaha mati-matian menghibur Alice dan menjauhkan Alice dari Rei.'

'Ah... Sialan!'

Keenan mendengus kasar. Ia marah oleh prasangkanya sendiri. Tangannya terkepal dengan kuat diatas pahanya, berusaha keras untuk menahan dirinya agar tidak menghajar apapun yang ada didepan matanya.

Namun, ada sebuah tangan mungil yang terjulur kearah kepalan tangannya dan membungkusnya dengan hangat. Tangan yang bahkan tidak sepenuhnya muat untuk membungkus tangan Keenan itu bahkan mengusap-usap punggung telapak tangan Keenan dengan jarinya yang lentik.

Keenan menoleh cepat kearah Alice, ia menatap kedua bola mata gadis itu yang dipenuhi rasa iba sekaligus rasa ingin tau yang besar.

Keenan tersenyum kecut, "I'm okay. Aku cuma..."

"Gapapa. Take your time, aku ada disini kok. Ingat? Kita kan saling memanfaatkan. Aku bakal nemenin kamu kalau kamu butuh seseorang untuk cerita, tapi gak usah buru-buru, gapapa, aku ngerti." Potong Alice sembari membalas senyuman Keenan dengan senyuman paling manis yang gadis itu pernah keluarkan.

Sejenak Keenan tersihir. Kata-kata Alice barusan berputar-putar dalam piringan hitam yang ada di ingatannya. Manis.

Keenan tersenyum lalu menganggukkan kepalanya dengan pelan. Ia menatap tangannya yang masih diselimuti oleh kedua tangan kecil Alice.

Tidak satupun dari mereka membuka suara. Semuanya sedang sibuk menikmati genggaman tangan mereka dengan suguhan pemandangan senja yang melekat dalam ingatan masing-masing. Kicauan burung-burung yang hendak pulang setelah penat beraktivitas seolah menjadi lagu latar belakang dari kisah mereka yang entah akan dibawa kemana.

Anginnya segar. Bisa Alice rasakan kalau angin-angin itu hendak mengecup ringan pipinya. Rambutnya yang terurai itu berkibar dengan anggun disebalik telinganya.

Perempuan itu menyandarkan kepalanya di bahu pasangannya yang duduk termanggu disampingnya. Ia mencari tempat terenak di sana dan berusaha menyamankan diri.

Alice memejamkan matanya, mengulang kilas balik tariannya di ruang kelas beberapa saat yang lalu. Ia tersenyum geli ketika ia sampai di bagian dimana ia terjatuh dan Ethan menangkapnya dengan sigap. Tidak bisa Alice bayangkan, bagaimana ekspresinya saat itu? Terlihat jelas kalau dia malu? Atau malah terlihat jelas kalau dia senang? Ah, pikirannya rancu.

Ditengah kegundahan Keenan, Alice tersenyum geli. Dua hal yang bertentangan, disatukan oleh genggaman tangan mereka yang semakin erat.