Chereads / Completely Vacant / Chapter 6 - Hadiah

Chapter 6 - Hadiah

"Dari sekian banyak manusia, kenapa harus dia?" Ditengah keheningan, gadis itu angkat bicara. Pelupuk matanya memandang tajam lawan bicaranya seolah ingin menelanjanginya bulat-bulat.

"Karena gak ada yang kayak dia." Lelaki muda yang duduk dihadapannya memutar bola matanya jengah. Ia menyangga dagunya di tepi kursi menggunakan telapak tangannya yang kekar.

Gadis itu mendecih, "Tapi kan masih banyak yang lebih baik dan cocok buat kamu daripada dia. Dia cuma mempermainkan kamu."

"Eleana, kalau tujuanmu kesini cuma buat jelek-jelekin Alice, mendingan kamu pulang aja." Keenan mengemasi barang-barangnya, "Aku pikir ada hal penting apa sampai minta ketemuan di perpustakaan."

Eleana menahan tangan Keenan, "Tapi aku punya bukti kalau dia selingkuh."

Keenan terdiam seribu bahasa. Pria itu kembali terduduk.

"Kamu punya waktu 5 menit." Ucap pria itu dengan serius.

Eleana mengambil ponselnya dari saku kemejanya, ia membuka galeri dan menunjukkannya pada Keenan. Disana terpampang foto Alice yang sedang berjalan dengan Ethan.

"Foto ini kuambil kemarin malam waktu aku mau ke minimarket, terus aku gak sengaja ketemu Alice sama Pak Ethan lagi jalan keluar. Coba kamu pikirin apa yang dilakuin sama seorang guru dan muridnya tengah malam begini? Ini bakal jadi skandal besar sih." Racau Eleana sembari menggeser-geser layar ponselnya untuk menunjukkan 'bukti' yang lain.

"Kamu tau mereka pergi kemana?" Tanya Keenan.

"Aku sempet ikutin mereka sebentar, kayaknya sih mereka masuk ke salah satu rumah di komplek perumahan deket minimarket itu. Mereka sempat ngobrol-ngobrol gitu didepan rumah, aku gak mau ambil resiko ketauan jadi aku buru-buru pergi." Jawab Eleana lugas seolah dia menceritakan apa adanya.

Pria itu memasang muka muram. Ia menunduk lemas, "Aku gak percaya Alice ternyata begini." Keenan menggaruk kepalanya frustasi.

Eleana tersenyum tipis, namun sejurus kemudian ia menyelinap dibalik topengnya, "Makanya Ken, aku kan udah bilang kalau dia itu cewe yang gak baik."

Keenan menoleh kearah Eleana yang menepuk-nepuk lembut punggungnya. Ia menatap Eleana dengan tatapan sedih namun ia memaksakan diri untuk tersenyum.

"Makasih banyak ya, kamu udah selalu peduli sama aku. Oh iya, aku boleh minta tolong satu hal?" Tanya Keenan.

"Boleh, minta tolong apa?" Sahut Eleana. Ia merasa sedang berada diatas angin. Bibirnya mengulas senyum manis yang siap menelan Keenan kalau dia lengah.

"Kirim semua foto-foto itu ke aku, aku bakal selesaiin apa yang perlu kuselesaiin. Dan tolong hapus semua foto itu dari ponselmu, kasihan Pak Ethan, aku yakin dia gak tau apa-apa." Keenan tersenyum getir.

Eleana mengangguk, "Iya, nanti aku kirim."

"Sekarang." Pungkas Keenan singkat.

"I-iya aku kirim sekarang." Sahut gadis itu gelagapan. Ia menekan kontak Keenan dan mengirim semua bukti yang ia punya pada pria itu. Keenan mengawasi semua pergerakan jari Eleana dengan seksama. Bahkan ia meminta gadis itu untuk turut menghapus file back up foto-foto itu di trash bin.

Setelah semua urusannya dengan Eleana selesai dan ia sudah memastikan dengan benar kalau foto-foto itu sudah dihapus oleh Eleana, Keenan pamit. Ia ingin segera pulang karena moodnya menjadi buruk setelah ia mendengar kabar itu. Pria itu berjalan keluar perpustakaan dengan gusar.

Eleana menatap punggung Keenan sembari tersenyum penuh kemenangan. 'Kini aku selangkah lebih dekat dengannya.' Batin gadis itu polos. Ia tidak tau bahwa dirinya sedang dalam masalah besar.

*****

Derit pintu kamar yang terjadi beberapa waktu lalu seolah menjadi suara terakhir yang terdengar menggema diruangan itu. Untuk beberapa saat, dunia bak berhenti. Hening, bisu, sunyi. Semua kata itu seakan belum bisa menggambarkan suasana ruangan itu dengan sempurna.

Sepasang mata menatap tajam lawan bicaranya, sementara itu lawannya menatap balik mata itu dengan tatapan kebingungan.

Alice menarik nafasnya dengan berat, "Kenapa?" Tanyanya. Sungguh, suasana canggung ini sulit dimengerti olehnya. Matanya yang polos meminta penjelasan.

"Semalem kamu jalan sama Ethan?" Tanya Keenan balik.

Alice mengerenyitkan dahinya, "Kamu cemburu aku jalan sama Kak Ethan?"

"Pamali pertanyaan dijawab dengan pertanyaan." Sahut pria itu gusar.

"Aku sama Kak Ethan cuma habis makan bareng dirumahku, itupun ibuku yang mengundangnya untuk merayakan ulang tahunku. Gak kusangka itu menyulut emosimu." Kalimat terakhirnya seolah menyindir Keenan yang kepalang kalut.

"Kamu kemarin ulang tahun?" Tanya Keenan.

Alice melipat kedua tangannya kedalam dada, "Iya, kamu bukannya ngucapin atau ngasih kado malah marah-marah gak jelas gini. Lagian aku jalan sama Kak Ethan loh, kamu harus tau tempatmu."

"Maaf. Aku gak tau." Keenan menatap perempuan itu dengan perasaan bersalah.

"Jadi?" Alice menatap Keenan dengan datar.

"Aku gak marah, ataupun cemburu. Aku juga tau batasan kita. Aku cuma mau kasih tau kamu kalau rumor tentang kalian berdua mungkin sudah mulai tersebar." Ujar Keenan.

Alice menurunkan tangannya, "Maksudmu?"

"Eleana. Dia diam-diam merekam kamu dan Ethan berkeliaran tengah malam lagi jalan berdua. Dia curiga kalau diantara kalian mungkin terjadi sesuatu. Bakal jadi skandal yang heboh kalau sampai pihak sekolah tau." Jelas Keenan dengan tatapan dingin.

"Kenapa?" Tanya Alice masih belum mengerti.

Keenan mendengus kasar, "Guru dan murid tidak boleh menjalin hubungan percintaan. Kalau sampai ketahuan pihak sekolah, salah satu diantara kalian bakal dikeluarkan. Mudah bagimu mendapat sekolah baru, tapi enggak buat Ethan. Gak bakal ada sekolah yang mau nerima guru yang pacaran dengan muridnya."

"Tapi kami gak pacaran. Seluruh murid di sekolah kita juga tau kalau aku pacaran sama kamu, bahkan Kak Ethan juga tau." Sahut Alice polos.

"Iya, tapi bukti berbicara lebih kuat daripada mulut. Eleana merekam kalian, bahkan dia berasumsi kalau kalian masuk berdua kedalam sebuah rumah." Keenan mengambil ponselnya dari atas meja komputernya. Ia mencabut charger dari ponsel itu dan memberikannya pada Alice.

Alice mengambil benda itu dan mulai mengamati satu-persatu seluruh gambar dan video yang ada di folder yang isinya sudah disortir dengan baik oleh Keenan.

"Aku gak sadar kalau waktu itu aku diikuti." Gumam Alice. Dahinya berkerut seiring detik demi detik video itu berputar.

"Huh. Aku sampai harus akting sedih dan frustasi seolah-olah aku cemburu tau!" Protes Keenan.

"Kamu mau minta aku buat bayar jasa aktingmu itu?" Seloroh Alice.

"Aku cuma berharap kamu mulai berhati-hati. Kalau satu sekolah tau tentang perasaanmu ke Ethan, kamu gak cuma bakal dijauhi sama teman-temanmu, tapi Kak Ethan juga pasti bakal jaga jarak sama kamu. Dan kemungkinan terburuknya, kalau sempat ada gosip kalian berpacaran, salah satu dari kalian pasti bakal dikeluarin dari sekolah." Keenan menatap tajam gadis itu. Sungguh, ia tidak berbohong. Semua perkataan yang keluar dari mulutnya memang benar adanya. Pun tidak ada untungnya juga baginya jika ia berbohong.

Alice menghela nafasnya, "Jadi aku harus gimana, Ken?" Tanya gadis itu lemah. Ia melempar tubuhnya keatas ranjang yang dingin. Gadis itu menutup kedua matanya menggunakan lengannya.

Pria itu beranjak dari duduknya. Ia berjalan mendekati ranjang itu dan duduk di tepinya, tepat disamping Alice.

"Entahlah, aku juga gak tau. Aku tau betul tujuan Eleana memberitahuku tentang hal ini, dia pasti pengen aku jauhin kamu. Tapi kalau aku jauhin kamu, itu berarti seakan-akan aku mengiyakan gosip itu." Sahut Keenan gundah, "Dan kalau semisal sampai seluruh murid sekolah ini tau kita cuma pura-pura pacaran, habis kita. Aku juga pasti bakal dicurigai kedepannya karena aku cukup dekat dengan Olive."

"Rumit." Kata Alice singkat.

Keenan menyangga dagunya menggunakan telapak tangannya, "Liat aja nanti gimana deh. Aku juga lagi bingung."

Kamar itu kembali sunyi. Masing-masing dari mereka pasti memiliki prasangka-prasangka tersendiri dalam benaknya. Bukan perkara mudah untuk menyelesaikan sesuatu yang berhubungan dengan prasangka.

Keenan mendengus gusar, ia malas terjebak dalam situasi seperti ini. Ia merasa akal mereka serasa diperas untuk tetap berpikir jernih, karena satu langkah yang salah akan merusak semua yang telah mereka bangun. Ilusi maya tentang dunia fantasi, istana-istana, malaikat yang bersedia menari untuk mereka, serta euphoria abadi yang telah mereka ciptakan dalam ilusi itu bisa runtuh sewaktu-waktu. Keduanya menolak dengan tegas hal tersebut.

Keenan menatap Alice yang tengah gundah, sama seperti dirinya. Berulang kali gadis itu menghela nafas berat.

Keenan menaiki kasur itu. Ia menindih badan Alice yang terlentang. Hal itu mengejutkan Alice hingga ia membuka matanya, "Apa-apaan? Ada apa?"

Tidak ada jawaban. Mata pria itu menatap Alice dengan nanar. Sungguh bukan pemandangan yang sempurna jika dilihat dari sudut pandang Alice. Namun, bohong jika Alice tidak menyukainya. Tangan mungil itu mengulur ke pipi Keenan yang sedikit berkeringat.

"Mau mencobanya?" Gadis itu menggumam ambigu. Tangannya menari dengan elok di pipi pria itu. Sejengkal demi sejengkal bagiannya ia telusuri.

Keenan hanya diam dan mengangguk. Ia tidak sanggup menatap mata Alice, berulang kali ia berusaha membuang pandangannya. Entah kenapa, saat ini Alice bisa merasakan dengan jelas titik lemah Keenan. Tak dapat di pungkiri jika gadis itu mencoba memanipulasinya.

"Kali ini, aku pastikan kita akan melakukannya dengan benar." Suara parau pria itu seolah menusuk telinga Alice. Gadis itu terdiam mendengarnya, hati kecilnya memiliki ribuan pertanyaan.

'Jadi, selama ini kita belum melakukannya dengan benar?' Batin Alice, namun pertanyaan itu tak sanggup ia lontarkan. Mulutnya membisu seiring dengan memanasnya ruangan itu.

Alice salah tingkah ketika Keenan mulai sanggup menatap bola matanya, "Kamar ini panas banget ya? Gimana kalau kamu hidupin AC-nya dulu?"

"AC-nya udah nyala." Sahut pria itu dingin. Ekspresinya saat ini sangat datar. Sorot matanya sangat sulit ditebak.

Nafas Alice sedikit memburu seiring dengan terbangunnya chemistry diantara mereka. Nafsu mereka perlahan bangkit dari tidur panjangnya. Dalam benak gadis itu, ada segudang hal yang ia perdebatkan dengan dirinya sendiri.

'Aku tidak mengerti apakah aku benar-benar menginginkan ini.'

'Apakah aku benar-benar akan melakukannya? Melakukan hal yang tidak akan pernah dan tidak mungkin akan dilakukan oleh Kak Ethan denganku?'

'Kali ini bisakah aku membayangkan Keenan sebagai Kak Ethan?'

Alice menatap bola mata Keenan dengan penuh keraguan. Hati kecilnya memang menginginkan ini, tapi bukan pria ini yang dia inginkan. Namun, ini memang sudah menjadi konsekuensi dari hubungan mereka sejak awal, mereka saling memanfaatkan. Dan kali ini ia gundah, apakah ia memanfaatkan Keenan atau justru Keenan yang memanfaatkannya?

"Julurkan lidahmu." Perintah Keenan.

Gadis itu tak bergeming. Ia menatap Keenan gamang. Secercah kekhawatiran membisik telinganya. Pelan tapi pasti, lidah gadis itu terjulur sedikit demi sedikit. Bibirnya yang ranum menjadi basah dan terlihat sangat menggoda.

Keenan mendekatkan bibirnya pada bibir Alice, lidahnya bertaut pada milik perempuan yang tengah menatapnya dengan cemas. Pria itu menutup paksa mata Alice menggunakan tangannya yang kekar.

'Awalnya aku cuma iseng.'

'Aku mencoba menyingkirkan bayang-bayang Olive ketika bersamanya.'

'Tapi entah kenapa, semakin lama aku benar-benar semakin tidak bisa membayangkan Alice sebagai Olive.'

'Jauh di lubuk hatiku, aku ingin memandang dia sebagai Alice seutuhnya.'

'Namun, gadis ini benar-benar mirip dengan cinta pertamaku.'

'Aku takut.'

Keenan mengunci kedua pergelangan tangan Alice keatas ranjang menggunakan telapak tangan yang satunya. Tangan yang lain masih sibuk menutup mata gadis itu.

Lumatan-lumatan yang dominan dilakukan oleh Keenan itu mulai bisa diimbangi oleh Alice. Gadis itu mulai belajar untuk menautkan lidahnya dengan benar. Desahan pelan, kuluman manja, lidah yang saling beradu, geliatan-geliatan yang menambah panasnya suasana saat itu seolah menjadi penghibur bagi para hati yang menginginkan pelampisan.

'Bibir ini adalah bibir Kak Ethan.'

'Lidah ini adalah lidah Kak Ethan.'

'Tangan ini adalah tangan Kak Ethan.'

'Sentuhan ini adalah sentuhan Kak Ethan.'

'Ah.. benar, ini hanya Kak Ethan.'

'Seharusnya aku senang.'

Perlahan, tangan yang menutup mata Alice tersebut turun kebawah pipinya. Membelai lembut pipi halus yang belum pernah dijamah oleh siapapun. Ibu jarinya menelusuri semua bagian dari wajah wanita tersebut.

Alice menggeliat pelan. Dia merasakan sensasi geli yang luar biasa. Ada sesuatu dalam dirinya berusaha bangkit. Bulu kuduknya meremang ketika tangan Keenan menjajaki tengkuk kecilnya.

Tautan bibir itu terlepas. Keenan menatap Alice dengan tatapan yang diselimuti nafsu yang membara, tatapan itu seolah mengisyaratkan bahwa pria itu sanggup menelan bulat-bulat gadis mungil dihadapannya ini kapanpun ia mau. Bibir Keenan tersenyum meremehkan.

"Lehermu pas dengan cengkramanku." Bisik Keenan.

Sejenak Alice merasa aliran darah dalam tubuhnya terhenti. Ia merasa dirinya sudah berada di ujung tanduk. Dirinya tak sanggup melanjutkan permainan ini, ia khawatir kalau dia akan melewati batas jika ia terus bermain.

'Gawat.'

'Aku gak bisa.'

'Aku terlalu takut buat natap dia.'

'Aku pikir bakal gampang kalau aku berusaha menganggap semua sentuhan Keenan adalah sentuhan Kak Ethan.'

Gadis itu membalikkan tubuhnya kesamping. Kini ia menghadap ke tembok, bukan tanpa tujuan, ia ingin menghindari kontak mata dengan Keenan yang menatapnya berbeda dari biasanya.

Keenan mengerti. Ia mengikuti Alice dengan menjatuhkan tubuhnya ke ranjang dan menghadap Alice yang sedang membelakanginya. Keenan memeluk gadis itu dengan hangat, berbanding terbalik dengan ciuman-ciuman membara tadi. Aman, nyaman, pelukan yang seperti ingin melindungi.

Namun, semua itu ternyata hanya permulaan.

Tangan Keenan mulai membuka kancing-kancing kemeja sekolah Alice dari belakang. Ia juga turut melepas dasi gadis itu dan membuangnya sembarangan.

Alice menahan nafasnya. Terlalu sesak baginya untuk bernafas. Dapat ia rasakan bahwa Keenan mulai menjamah pinggangnya yang ramping dan menelusurinya. Tangannya terus bergerak keatas hingga menyentuh buah dadanya.

'Ah gawat.'

'Bayangkan kalau ini adalah perbuatan Kak Ethan.'

'Ini hanya Kak Ethan kok.'

'Nah benar, seperti itu. Sentuhan Kak Ethan memang luar biasa.'

Alice menutup matanya karena ia merasa air matanya hampir jatuh. Ia tidak ingin menangis dihadapan Keenan.

'Ah, perasaanku campur aduk.'

'Gimana ini? Aku gak mau liat mukanya.'

'Aku gak yakin apa aku bisa meneruskan ini.'

Seiring dengan permainan tangan Keenan, gadis itu mulai merintih perlahan. Ia menutup kedua matanya menggunakan tangannya. Hati kecilnya berharap jangan sampai Keenan membalikkan tubuhnya dan melihat dia dalam kondisi semenyedihkan ini.

Namun Keenan peka. Pria itu merengkuh dagu Alice dan melumat bibirnya sembari tetap memainkan tangannya.

'Baguslah, dengan begini dia gak akan bisa liat mukaku.' Batin Alice dengan mata yang terpejam.

Lambat laun, Alice mulai terbiasa dengan permainan Keenan. Ia mulai lihai dalam membalas lumatan Keenan, bahkan ia kini juga mulai memainkan tangannya ke dada bidang Keenan yang masih terbungkus seragam sekolah. Perlahan dia membuka kancing baju Keenan dan membuang kemeja itu ke segala arah.

Ditengah panasnya suasana saat itu, tiba-tiba ponsel Alice berbunyi.

TRINGG...

Seketika mereka terhenti. Alice menatap Keenan tak enak.

"Ah.. siapa itu ya? Ahaha, bentar ya." Kata Alice. Ia benar-benar merasa tak enak dengan Keenan karena tiba-tiba menghentikan permainan mereka. Gadis itu mengambil ponselnya dari atas meja yang ada disebelah kasur dan membukanya.

Ethan: 'Makasih ya buat yang kemarin, ayahku seneng banget pas dibawain lauk dari ibumu, dia bilang kapan-kapan mau berkunjung kerumahmu. Oh iya, kakak udah nemu buku yang kamu minta, kemarin keselip di gudang, besok kakak bawain ya.'

Keenan bangkit dari tidurnya, ia melirik sekilas layar ponsel Alice yang menampilkan roomchat Alice dengan Ethan, "Hentikan saja."

Alice menoleh kearahnya, "Maksudnya?"

Keenan menatap Alice dingin, "Mau dilanjut? Atau mau dihentikan saja? Anggaplah ini hadiah dari aku."