Chereads / Completely Vacant / Chapter 5 - Sesuatu: Part 2

Chapter 5 - Sesuatu: Part 2

"Alice." Suara berat Ethan membuyarkan lamunan Alice. Gadis itu menoleh kearah Ethan dengan cepat. Disana ia melihat Ethan yang tengah tersenyum penuh arti.

"Iya kak?" Sahut Alice. Ia mulai merapikan alat makannya. Gadis itu menumpuk piring-piring kotor sisa makan mereka dan menepikannya. Ia menyangga dagunya diatas meja seakan melempar isyarat siap mendengarkan perkataan Ethan.

"Selamat ulang tahun ya." Kata Ethan.

"Hah?" Alice cengo. Dia masih tidak mengerti. Dahinya berkerut menandakan kebingungan.

Ibu beranjak dari duduknya dan berjalan menuju lemari pendingin. Dengan hati-hati ia mengambil kue brownies yang diatasnya penuh dengan parutan keju dan remahan oreo, kue kesukaan Alice, disana tertancap lilin merah dengan angka 17 yang permukaannya terlihat samar akibat dinginnya suhu kulkas.

Ethan mengambil korek api dari dalam sakunya dan menyalakan lilin tersebut. Ia mengambil alih kue itu dari tangan ibu. Pria itu menutup telapak tangannya kearah lilin untuk menjaga agar apinya tak padam karena angin.

"Selamat ulang tahun, ayo make a wish!" Kata Ethan, ia mendekatkan kue itu ke hadapan Alice yang masih bingung.

Walau penuh kebingungan, Alice menutup kedua matanya. Ia berdoa dengan khidmat dan bersungguh-sungguh, bibirnya yang mungil berkomat-kamit dengan lihai seolah doanya adalah doa template yang selalu dia rapalkan setiap malam, kemudian ia meniup lilin itu.

Ethan tertawa kecil dengan ekspresi Alice yang masih setengah sadar. Laki-laki itu menjentikkan kedua jarinya di hadapan Alice seolah ia ingin menyadarkan Alice dari hipnotis.

"Kamu kan hari ini ulang tahun, kamu lupa?" Ethan merogoh sakunya, ia mengeluarkan kotak yang berlapis kain beludru hitam dengan detail perak ditengahnya, kotak itu adalah kotak yang tadi ia timang-timang di ruang tamu.

Ethan menyodorkan kotak itu kearah Alice, "Ini hadiah buat kamu, semoga kamu suka ya."

"Oh iya, aku sendiri malah lupa. Terima kasih ya, kak." Alice menerima kotak yang disodorkan oleh Ethan. Pelan-pelan dia membuka kotak itu sembari berharap cemas. Ia senang sekaligus takut. Takut kalau hadiahnya akan membuat dirinya sendiri kecewa walau dia tidak berharap apapun. Alice hanya tidak terlalu suka kejutan.

Ketika kotak itu terbuka, mata Alice membulat dan berbinar. Sebuah gelang emas putih dengan liontin clover hitam yang sangat berkilau. Gelang cantik yang tidak pernah ia sangka akan menjadi miliknya karena ia dan keluarganya tidak begitu mampu untuk membeli barang seperti itu. Alice mengambil gelang itu dari kotaknya dengan sangat hati-hati lalu mengangkat gelang tersebut hingga sejajar dengan matanya.

"Ihh.. cantik banget! Ya ampun, kak, kakak gak perlu beliin aku barang semahal ini." Alice menutup mulutnya. Ia sangat terharu sampai ia tidak bisa berkata-kata. Dia masih mengagumi barang pemberian Ethan tersebut.

"Barang spesial untuk orang yang spesial." Ethan melipat kedua tangannya ke dada dengan bangga. Ia tersenyum sumringah.

Alice turut tersenyum, "Makasih banyak kak! Aku bakal jaga ini baik-baik." Pipinya memerah, ia tampak malu-malu bahagia dengan perkataan Ethan sebelumnya.

"Maaf ya Alice, ibu belum bisa kasih kamu apa-apa. Ibu cuma bisa berharap semoga bahumu semakin kuat, nalarmu semakin matang, dan hatimu semakin lunak. Semoga kamu sukses dalam kehidupanmu dengan atau tanpa ibu." Ibu tersenyum, ia nampak bangga melihat anaknya tumbuh dewasa dengan baik dan penuh pengertian.

Ibu menghampiri Alice dan memeluk putri semata wayangnya itu dengan erat, ia menciumi puncak kepala Alice seolah dia adalah harta yang paling berharga baginya.

"Sekolah yang pintar ya! Kakak bakal selalu awasin kamu di sekolah." Ethan mengacak lembut rambut Alice.

"Eh? Maksudnya?" Potong ibu cepat. Ia melepas pelukannya dari Alice.

"Iya bu, maaf kalau Ethan sebelumnya gak bilang dimana Ethan kerja. Sekarang ini Ethan jadi guru di SMA-nya Alice. Jadi Ethan bisa awasin Alice sampai dia lulus." Kata Ethan. Ia memandang Alice dengan genit.

"Terus kalau aku udah lulus, kakak bakal awasin siapa lagi?" Tanya Alice.

"Gak ada. Pasti bakal bosen dan repot banget ya kalau kamu udah lulus, gak ada yang bantuin kakak lagi selama mengajar. Alice ini banyak bantu loh bu, kalau di sekolah. Dia cerdas dan cekatan." Tatapan Ethan berpindah dari Alice ke ibu.

Ibu tersenyum lega, "Syukurlah kalau begitu. Ibu kaget sekaligus seneng dengernya. Baik-baik ya kalian, semoga kalian terus akur. Tolong jaga Alice ya, Ethan, ibu percayakan dia sama kamu."

Ethan mengangguk mantap, "Pasti selalu akur kok, bu!"

"Oh ya, Ethan, ibu udah siapin air hangat untuk kamu mandi." Kata ibu sembari mengangkati piring-piring kotor. Ia membawanya menuju wastafel untuk dicuci.

"Gak usah repot-repot bu, tapi, terima kasih." Ethan beranjak dari duduknya dan melangkah menuju kamar mandi.

"Ambilkan handuk bersih di kamar ibu dulu buat Ethan." Kata ibu, ia sedang sibuk mencuci piring saat Alice berdiri dan pergi menuju kamar ibu.

Alice menyelinap masuk ke dalam kamar ibunya dengan tergesa-gesa. Ia menutup pintu dengan sedikit kencang. Gadis itu melempar dirinya kedalam kasur empuk yang langsung menelan badannya bulan-bulat.

"Astaga, astaga. Mimpi apa aku semalem?! Kak Ethan kasih aku gelang, mana cantik banget lagi." Racau Alice. Gadis itu mengayunkan kakinya menampar-nampar kasur dengan senang.

Gelang emas yang berkilauan itu terus ia pandangi dengan kagum. Senyumnya mengukir senyum yang paling manis. Alice memutar badannya menghadap langit-langit. Dia memutar kilas balik kejadian beberapa menit yang lalu. Ethan, kejutan, hadiah. Semua hal baik terjadi dalam satu waktu. Hal-hal yang hanya selalu bisa ia angan-angankan.

Tidak mudah untuk menciptakan momen seperti ini. Dan beruntungnya, hari ini terjadi tanpa disengaja. Semacam kebetulan, namun lebih bermakna daripada sesuatu yang direncanakan.

Namun, jauh dari dalam lubuk hati Alice, ia bertanya-tanya, kejadian buruk apakah yang akan terjadi setelah ini? No offense, Alice adalah tipikal manusia yang selalu berfikir bahwa ada sesuatu dibalik sesuatu. Dan dia mau tau.

*****

"Terima kasih ya, udah mau repot-repot antar kakak pulang." Kata Ethan memecah kesunyian jalanan sepi malam itu.

Alice menggeleng, "Gapapa, aku juga terima kasih sama Kak Ethan buat hari ini. Kejutan hari ini pasti rencana kakak."

"Rencana ini rancangan ibumu. Beberapa hari yang lalu, ibumu sempat cerita sama kakak kalau beliau merasa kurang memperhatikan kamu belakangan ini karena terlalu sibuk sama kerjaan, jadinya ibumu berinisiatif meluangkan waktu buat bikin kejutan ulang tahunmu." Ucap Ethan, ia menatap lurus jalanan lenggang yang terhampar dihadapannya. Malam ini begitu sunyi.

Gadis itu tersenyum samar, "Padahal aku sendiri lupa kalau hari ini aku ulang tahun."

Mereka berdua tertawa kecil. Disela-sela tawanya, Alice menolehkan pandangannya pada Ethan. Dia menelusuri senyum Ethan yang sedikit meragukan.

Bahasa kesunyian. Bahasa Ethan yang hanya bisa dimengerti oleh Alice, sejauh ini. Alice bisa merasakan apa yang ada dibenak Ethan hanya dengan melihat sorot matanya atau ukiran senyumnya. Terdengar seperti sebuah berkat, namun ternyata tidak. Dari sana, Alice bisa mengerti isi hati Ethan tanpa harus dijelaskan. Dalam hal yang baik hasilnya pasti akan terdengar menyenangkan, namun jika tidak, itu terasa seperti sebuah petaka.

Seperti kali ini.

"Kak, kakak sudah beranjak dewasa ya. Pasti punya keinginan untuk menikah dalam waktu dekat dong?" Pancing Alice. Tak lupa ia menyisipkan tawa kecil agar Ethan tidak terlalu curiga dengan pertanyaannya.

"Ya. Kakak udah berhasil menggapai mimpi kakak sebagai guru. Kakak juga udah berhasil mewujudkan cita-cita dari ibu kakak dengan hidup mapan. Apalagi yang harus kakak tunggu, ya kan?"

Alice tertawa, "Wah, tapi pasti kakak belum ketemu sama perempuan impian kakak, ya kan? Makanya jangan terlalu banyak memilih kak, hahaha."

Ethan menggeleng mantap, "Mungkin kamu salah. Tapi bukan berarti itu membuktikan kalau kakak benar. Doakan saja ya, kakak selalu pengen membangkitkan lagi sosok ibu kakak di dalam kehidupan kakak."

Alice menghela nafas berat. Benar, pria ini, ah tidak, semua pria menyukai seorang perempuan yang mirip dengan ibunya. Dalam hal ini, tidak lain dan tidak bukan adalah Olive. Perempuan cerdas yang penuh dengan kelembutan. Alice tau betul kalau saat ini perempuan itu memiliki tempat yang spesial di hati Ethan.

Gadis itu diam-diam mengutuk dirinya sendiri. Cari penyakit. Dia jelas sudah tau jawaban Ethan namun ia terus menerus dipaksa oleh rasa penasaran dan haus validasi. Bodoh.

'Mungkin benar, Kak Ethan sudah punya rencana untuk menikah suatu hari nanti, dalam waktu dekat. Biasanya jika dia ditanya tentang pernikahan, dia selalu menjawab dengan perkataan "Aku ingin fokus mengejar cita-citaku dan ibuku terlebih dahulu.", namun kali ini lain. Dan entah mengapa, firasatku berkata kalau dia tidak bercanda.' Batin Alice. Gadis itu menendang kecil batu-batu yang ada dibawahnya, sesekali ia menjejalkan batu kedalam tanah menggunakan telapak kakinya. Ia nampak gusar.

"Aku suka kesunyian." Gumam Ethan. Perlahan ia menghembuskan nafasnya.

"Kalau suka sunyi, kenapa jadi guru? Kan setiap hari jadi harus mendengar hiruk pikuk manusia." Tanya Alice.

"Karena dari sini kakak bisa belajar untuk mengenal semua karakter manusia." Jawab Ethan mantap.

"Bukan alasan yang terdengar keren bagiku." Sahut Alice.

"If you know, you know." Kata Ethan sembari mengangkat bahu. Ia mengedipkan sebelah matanya.

Alice memutar bola matanya, "Mungkin kakak harus mengurangi bersikap genit kalau mau dapat cewe. Bertingkahlah natural."

"Kakak cuma berani gini sama kamu." Ethan menyikut pelan Alice. Gadis itu sedikit oleng karenanya. Pria itu hanya tertawa kecil melihat Alice yang begitu lemas.

"Ya, semoga impian kakak yang satu ini bakal segera terwujud, kakak udah gak sabar." Gumam Ethan. Pria itu tersenyum dan menengadah, menerawang langit. Bintang-bintang yang gemerlap seolah memberi validasi terhadap permohonan Ethan.

Alice terdiam, ia tau betul kemana arah percakapan ini. Semua perandaian yang selama ini dia buat seolah runtuh. Rencana-rencana manis yang sudah ia rancang jikalau Ethan mulai memandangnya pun seakan-akan hancur lebur. Dia tidak tau harus berbuat apalagi.

"Mungkin sebaiknya kakak harus bersabar sedikit lebih lama lagi. Kan kayak yang kakak bilang, 'Kesabaran selalu berbuah manis'." Sahut Alice sembari tersenyum kecut. Semua perkataannya hanya untuk menghibur dirinya sendiri, semua itu ia tujukan untuk dirinya sendiri. Ia menyembunyikan wajah muramnya di balik rambut yang menjulur indah dari samping. Gadis itu tidak ingin mengacaukan senyum bahagia Ethan di malam itu. Senyum yang terlalu indah untuk dirusak. Senyum yang menyakiti hati kecil Alice.

"Ya, kamu benar." Pungkas Ethan.

"Kakak tau kamu lagi pacaran sama Keenan Dylandraya dari kelas sebelah." Ethan memecah keheningan mereka. Pernyataan itu sukses membuat Alice gelagapan dan mati kutu.

Ethan menoleh kearah gadis itu, "Ceritain tentang dia dong. Kamu jarang banget cerita tentang kehidupan percintaanmu."

'Gimana bisa aku curhat tentang orang yang kusuka ke dirinya sendiri?' Gerutu Alice dalam hati.

Perempuan itu berusaha mengulur waktu, ia berusaha memberi isyarat jika dia tidak menyukai topik ini dengan cara lambat dalam memberikan jawaban berharap Ethan akan mengalihkannya ke topik pembicaraan yang lain.

Namun tidak.

"Dia baik." Sahut Alice.

"Kamu berpacaran dengan dia karena dia baik?" Tanya Ethan.

"Bukan, dia tidak sebaik itu." Jawab Alice.

"Apa yang bikin kamu mau berpacaran dengannya?" Tanya Ethan lagi.

"Karena kurasa kami sama dan kami saling memahami." Pungkas Alice. Dia tidak ingin percakapan ini terus berlanjut. Sayang rasanya jika pertemuan mereka yang terhitung jarang ini diisi oleh topik pembicaraan tentang seorang yang menjadi objek pelarian.

"Kakak rasa, kakak gak perlu khawatir tentang dia ya? Kakak yakin dia gak bakal nyakitin kamu." Sahutnya, Ethan menepuk pelan pundak Alice seakan ia ingin berusaha meyakinkan dan menguatkan Alice.

"Seenggaknya gak akan bisa." Kata Alice jutek. Dia mengalihkan pandangannya agar Ethan tidak bisa melihat pipinya yang memerah.

Keheningan kembali menyelimuti. Kedua insan itu kini saling membisu, menikmati terpaan angin malam yang mengecup wajah mereka. Ethan menarik nafas dalam-dalam, berusaha untuk menjejal semua angin kedalam rongga paru-parunya.

"Malam yang indah." Kata Alice. Ia memandang langit dengan kagum. Bintang-bintang bertebaran tak karuan, bulan yang melengkung itu bersinar sangat terang.

"Alice." Panggil Ethan. Suaranya yang parau memecah fokus Alice.

"Iya kak?" Sahut gadis itu seraya melempar pandangannya pada lelaki tinggi yang berjalan tepat disampingnya. Matanya yang bulat bersinar karena membias cahaya bulan.

Ethan menarik nafasnya, "Kalau kamu mengalami kesulitan selama di sekolah, jangan segan buat minta tolong sama kakak ya. Jangan tanggung semuanya sendiri. Kakak sayang sama kamu, dan kakak gak mau kamu mengalami kesulitan tapi kakak gak bantuin kamu."

Alice tersipu malu. Mati-matian ia menjaga kewarasannya setelah Ethan mengatakan kalau pria itu menyayanginya walau siapapun tau rasa sayang di maksud adalah rasa sayang antara seorang kakak ke adik.

"Iya kak, aku pasti mengandalkan Kak Ethan." Jawab Alice. Ia menunduk menatap tanah. Matanya sudah tidak sanggup untuk menatap Ethan.

Jalan yang mereka lalui itu berakhir disebuah komplek perumahan yang kecil nan sepi. Alice mendengus pelan, begitu cepat waktu berlalu. Ia merasa belum puas dengan percakapan mereka. Didalam hatinya tiba-tiba muncul gejolak besar dimana ia ingin sekali mengungkapkan perasaannya.

"Sampai sini saja. Makasih udah mau repot-repot antar kakak. Kakak udah bilang gak usah tapi kamu tetep maksa. Sekali lagi, makasih ya buat hari ini. Masakan ibumu selalu enak." Kata Ethan.

"Gapapa kak. Aku juga mau cari udara segar. Ini, tadi ibu titip ini untuk ayah kakak." Alice menyodorkan totebag yang berisi kotak makan.

"Terima kasih banyak, Alice." Ethan tersenyum manis, ia menerima totebag itu dengan antusias, "Ayah juga pasti kangen banget sama masakan ibumu."

Alice tersipu malu, "Kak, saranku, kurangi melempar senyum seperti itu ke semua orang. Gak semua orang menangkapnya dengan pikiran positif." Dia memalingkan wajahnya dan memasang muka cemberut.

"Iya, adik kecil. Kamu emang yang paling ngertiin kakak." Ethan mengacak-acak ujung kepala Alice. Pria itu tertawa kecil. Matanya yang lebar menyipit membentuk busur panah yang indah.

Pada dasarnya, Alice tidak suka jika kepalanya disentuh, apalagi jika rambutnya diacak-acak. Dia tidak pernah membiarkan siapapun menyentuhnya kecuali ibunya, Ethan, dan belakangan ini Keenan. Gadis itu selalu merasa bahwa pusat dari semua syaraf yang ada di tubuhnya bersumber dari rambutnya. Sensitif. Ia bisa dengan mudah terpicu jika rambutnya disentuh.

Pria itu menurunkan tangannya. Ia memberikan salam perpisahan pada Alice.

"Sampai ketemu di sekolah." Katanya dengan datar. Ia mengangkat totebag yang ada ditangannya, "Sekali lagi, makasih ya."

Alice mengangguk. Gadis itu melambaikan tangannya saat Ethan mulai berjalan mundur ketika memasuki pagar. Ethan menyambut lambaian tangan itu, setelahnya ia berbalik membelakangi Alice dan berjalan masuk ke dalam rumahnya.

Malam yang dingin seolah menjadi saksi betapa sedihnya Alice saat ini. Gadis itu berjalan lunglai kembali menuju rumahnya. Ia menghela nafas berat, sangat berat. Nafasnya tak teratur. Perasaan kesal, sedih, marah, cemburu yang sedari tadi dia sembunyikan kini serasa mencekik. Air matanya mulai tak terbendung. Dalam sunyinya jalanan malam itu, ia berbisik lirih.

"Bodoh."

"Kenapa bukan aku?"