Chereads / Completely Vacant / Chapter 1 - Titik Temu: Part 1

Completely Vacant

🇮🇩cardianova
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 6.7k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Titik Temu: Part 1

Bel kelas berdering nyaring dari sudut-sudut lorong yang panjang. Para murid bergegas masuk kelas dengan berlarian. Derap langkah mereka lebih keras dari suara bel yang berhenti tepat setelah dering ketiga yang lalu disusul dengan pemberitahuan dimulainya kelas pertama.

Suasana kelas saat itu sedikit riuh. Para murid sedang mengobrol satu sama lain. Yang pintar membahas pelajaran, yang cantik membahas make up dan skincare, yang gaul membahas tongkrongan, dan laki-laki membahas game.

Riuh kelas itu terpecah saat derit pintu kelas terdengar menggema. Detik berikutnya terdengar suara ketukan high heels, deru nafas risau yang samar, dan detik jam dinding beradu dalam suasana panas saat itu. Sepasang mata terbelalak melihat apa yang ada didepannya. Dia merasa mendadak ada yang mencekik tenggorokannya.

Saat ini, didepan kelas berdiri Pak Kepala Sekolah bersama dengan seorang perempuan cantik yang mungkin seumuran dengan mereka. Nampaknya ia sedikit kerepotan karena sedang menenteng buku-buku tebal bertuliskan MATEMATIKA, dilihat dari gelagatnya, sepertinya dia adalah guru matematika baru menggantikan guru sebelumnya yang pensiun.

Pak Gunawan, yang kerap disapa sebagai Pak Awan, sang kepala sekolah, melonggarkan dasinya, ia berbincang-bincang kecil dengan perempuan itu. Di sela-sela obrolan itu, mereka tertawa kecil seolah mereka membicarakan hal yang menarik. Setelah puas mengobrol, pria paruh baya itu lalu mengedarkan pandangannya kedalam kelas untuk meminta atensi. Seluruh kelas mendadak hening.

"Baiklah, perkenalkan, ini adalah Bu Olive, guru baru kalian untuk mata pelajaran matematika. Untuk lebih lengkapnya, bapak persilahkan beliau untuk memperkenalkan dirinya." Ujar Pak Awan.

Pria itu menatap Olive sejenak, "Waktu dan tempatnya dipersilahkan, Bu Olive. Nanti selesai jam pelajaran, tolong langsung ke ruangan saya ya bu, ada yang mau saya bicarakan." Lanjutnya.

Olive membungkuk untuk memberi hormat lalu tersenyum basa-basi, "Terima kasih banyak, Pak Awan. Baik pak, nanti saya langsung ke ruangan bapak setelah pelajaran ini selesai." Ucapnya, mereka berdua sempat saling melempar pandang basa-basi sebelum akhirnya Pak Awan keluar dari ruangan tersebut.

Olive meletakkan buku materi ajarnya diatas meja, lalu ia berjalan menuju depan kelas. Dia mengamati satu persatu muridnya.

"Halo, perkenalkan nama saya Clarissa Olive, biasa dipanggil Olive. Karena umur kita tidak berbeda jauh, jangan panggil bu ya, panggil kak saja." Perempuan itu mengedarkan senyumnya, "Saya baru saja lulus S1 tahun ini dan puji Tuhan langsung diterima menjadi pengajar kalian sesuai pada bidang yang saya pelajari yaitu matematika. Karena saya tidak memiliki banyak pengalaman tentang mengajar, mohon pengertiannya ya kalau nanti saya ada salah dan jangan segan untuk memberi kritik dan saran."

Suasana yang tadinya tegang, perlahan mulai mengendur karena kelihaian Olive dalam mencairkan suasana dengan pembawaan dirinya yang santai dan bersahabat.

"Ulang tahun Bu Olive kapan, bu?" Celetuk seorang murid laki-laki barisan belakang.

"Ahh jangan panggil bu, kak saja. Umur saya dengan kalian mungkin hanya selisih 2 atau 3 tahun. Saya lahir tepatnya tanggal 19 Oktober, tapi tahunnya tebak sendiri ya." Pipi Olive memerah.

"Muda banget, kenapa semuda ini sudah bisa jadi guru?" Celetuknya lagi.

Olive tersenyum dan tersipu malu, "Ah tidak, aku hanya berusaha semampuku, eh tidak apa-apa ya kalau pakai aku-kamu, soalnya agak canggung kalau pakai bahasa formal." Pernyataan tersebut disambut suasana riuh dari para murid yang merasa girang karena menemukan guru yang menyenangkan.

Orang itu, disudut ruangan sana. Dia terus mengetuk pelan mejanya menggunakan jari telunjuk. Berulang kali dia berusaha membuang muka, mendengus kasar. Dia tidak sanggup menatap guru barunya.

'Hentikan, hentikan sikap sok manismu, aku tidak tahan.' Batinnya. Dia berusaha keras untuk tidak menatap perempuan itu. Dia memejamkan matanya dan menyandarkan dagunya pada tangannya.

'Aku tau dia sengaja, kumohon jangan lagi hukum aku seperti ini, biarkan aku hidup tenang.'

'Membosankan. Menyebalkan. Merepotkan.'

'Kapan hal ini akan berakhir?'

"Nah baiklah, apakah ada pertanyaan dari kalian sebelum aku mulai kelasnya?" Olive berseru, pandangan matanya menembus atmosfer kelas yang hangat menyambut dirinya dengan penuh suka cita.

"Riwayat sekolahnya Kak Olive gimana? Menempuh sekolah dimana saja? Kok bisa lulus cepat?" Seorang murid perempuan dibarisan depan bertanya.

Olive meletakkan telunjuknya di dagu, seolah ia sedang berpikir, "Hmm.. SD dan SMA sih di sekolah di kota ini, tapi waktu SMP aku sekolah di SMP Cendekia Nusantara, itu berada di daerah timur yang agak jauh dari sini. Aku lulus cepat karena ikut program akselerasi."

"Oh SMP yang terkenal itu ya, yang dulu sempat menang lomba matematika tingkat nasional itu kan? Ada beberapa murid dikelas ini yang berasal dari SMP itu loh kak." Imbuh murid itu.

"Wah iya kamu benar, btw itu aku dan timku loh yang menang lomba. Siapa aja yang dulu dari SMP itu? Excited banget nih mau ketemu adik kelas yang jadi muridku, haha." Gurau Olive.

'Hentikan.'

"Ada Keenan, Xavier, sama Yola."

Olive mengedarkan pandangan, "Yang mana aja sih, coba angkat tangan dong."

Ketiga orang yang disebut namanya tadi angkat tangan, ada perasaan bangga karena satu almamater dengan orang yang keren seperti Olive.

Sudut mata Olive menangkap pemandangan barisan paling belakang. 'Ah, dia berusaha mengalihkan pandangannya lagi.' Batinnya.

"Wah, aku harap kalian semua sukses ya di masa depan. Jangan menyerah dalam mengejar impian kalian ya, semangat belajar itu penting." Olive menangkupkan kedua tangannya. Matanya berbinar melihat murid-murid barunya. Dia sangat menantikan hal ini sejak lama. Hal yang membuatnya bersemangat. Hal yang membuatnya hidup.

'Klasik.'

Olive kembali ke mejanya, dia membuka buku paket tebal yang ia bawa sebelumnya, "Baiklah, kita mulai ya pelajaran hari ini, buka buku kalian bab 2."

*****

Bel dering pelajaran selesai. Semua murid kelas itu berkemas memasukkan buku matematika mereka dan menggantinya dengan buku pelajaran selanjutnya.

"Nah, sekian dulu ya pertemuan kita hari ini, kalau kalian ada yang belum mengerti atau belum paham tentang pelajaran kita hari ini, jangan sungkan untuk mampir ke ruanganku ya. Sampai jumpa minggu depan!" Kata Olive sembari menutup bukunya. Sepintas dia melirik jam tangannya. Dia harus segera keluar untuk menemui Pak Awan di ruangannya.

Olive mengemasi barangnya dan bergegas keluar dengan sedikit buru-buru. Karena ceroboh, ujung lengan bajunya tersangkut pada gagang pintu. Buku-buku yang ia bawa jatuh berserakan di bawah kakinya. Dengan malu, ia segera memungut buku-bukunya sampai pada akhirnya ia tersadar bahwa ada tangan yang membantunya.

Perempuan itu mendongak, ia mendapati ada seraut wajah ceria yang tersenyum manis kepadanya. Orang itu memberikan buku yang ia pungut pada Olive.

"Anda pasti guru baru yang mengampu pelajaran matematika untuk anak kelas 11 ya?" Laki-laki itu tersenyum seraya mengulurkan tangannya.

Olive menjabat veins hand yang terulur padanya, "Benar, saya guru baru untuk pelajaran matematika kelas 11. Nama saya Clarissa Olive, panggil Olive saja."

"Saya Ethan Haddad, saya juga guru baru disini, baru satu bulan. Saya mengampu mata pelajaran Bahasa dan Budaya kelas 11."

Olive tersenyum, "Wah, ternyata ada guru baru selain saya. Terima kasih Pak Ethan sudah membantu saya, senang berjumpa dengan anda."

Ethan tersipu, belum pernah ia melihat perempuan secantik Olive. Olive mirip sekali dengan ibunya. Rambut yang lurus dan panjang tergerai, bibir yang merah natural, mata bulat yang selalu berbinar, tangan yang putih dan mungil. Sayang, ibunya meninggal karena kecelakaan sewaktu Ethan masih kecil.

"Pak Ethan kenapa melamun?" Sapa Olive.

Ethan memalingkan wajahnya kearah lain, pipinya memerah, "Ah, maaf ya. Tidak ada apa-apa kok. Saya hanya mengagumi Bu Olive yang sangat cantik, mirip sekali dengan ibu saya."

Olive kembali tersenyum, "Terima kasih banyak atas pujiannya, saya senang sekali dipuji seperti itu. Oh iya, maaf ya pak, saya sedang terburu-buru karena saya disuruh menghadap Pak Awan sesegera mungkin." Ujarnya.

Ethan mengangguk, "Iya, silahkan bu."

Sepasang mata itu terus menerus memperhatikan mereka. Ia menghela nafas lega.

'Setidaknya selesai untuk hari ini.'

'Aku selalu merutuki diriku sendiri atas kesalahanku, aku sudah memaafkan semua orang yang menyakitiku, tapi kenapa kamu selalu menghukumku? Apakah kamu tidak pernah merasa cukup?'

'Aku muak, aku lelah.'

'Biarkan aku sendiri, kalau kamu terus seperti ini, aku tidak akan pernah bisa lepas darimu, Olive.'

*****

Perempuan itu meregangkan tangan dan punggungnya. Semua pelajaran ini membuatnya lapar. Pagi ini dia juga tidak sempat sarapan. Dia mengambil tasnya dan mencari kotak bekal yang tadi pagi disiapkan ibunya. Nihil. Benda itu menghilang.

"Hahh..?! Aku yakin aku udah masukin kotak bekal ke tasku kok! Kemana sekarang?"

"Alice, mungkin kamu lupa, soalnya tadi pagi kamu bilang kalau berangkat sekolahnya buru-buru." Hibur teman sebangkunya.

"Mungkin kamu bener, Sarah. Tadi aku kesiangan. Ah, aku jadi harus jajan ke kantin, padahal aku lagi nabung buat nonton konser, hmpp.." Alice cemberut, dia menyenderkan kepalanya ke meja.

Sarah menepuk pundaknya, "Ayo aku temani ke kantin kalau kamu mau."

"Gak usah, Sarah. Aku bisa ke kantin sendiri kok, lagian kamu juga bawa bekal." Alice bangkit dari duduknya dengan malas. Sarah ingin mengikutinya tapi tidak jadi.

Alice berjalan lunglai disepanjang koridor. Dia merasa sangat sedih akhir-akhir ini. Tapi dia senang. Sedih tapi senang. Senang karena 'Kakak' yang disukainya menjadi gurunya, tapi dia sedih karena ketika disekolahan, dia tidak bisa dekat dengan kakaknya seperti ketika mereka diluar sekolah. Kakaknya tidak ingin ada fitnah diantara mereka. Terlebih lagi, Alice merasa sejak adanya Olive, kakaknya terasa sedikit berbeda.

"Akhhh.." Alice jatuh terjengkang saat menabrak seseorang. Dia memegang pantatnya yang sakit karena bersinggungan langsung dengan lantai koridor yang keras.

Perempuan dihadapannya itu bergegas memungut kertas ulangan yang berserakan dilantai. Badannya yang membungkuk seolah memperbolehkan semua yang ada dihadapannya mengintip masuk kedalam bajunya karena kerah baju yang ia kenakan begitu longgar.

"Maaf ya, tadi aku melamun." Kata perempuan itu.

"Biar aku bantu." Sebuah tangan menjulur dari belakang Alice, ia membantu memungut kertas-kertas tersebut.

Olive tersenyum, "Makasih ya Keenan, dari dulu kamu selalu bantu aku."

Keenan tersipu, "Itu membuktikan kalau dari dulu kamu selalu ceroboh." Jawabnya kikuk, ia mengusap tengkuknya malu. Ia berusaha keras untuk membuang pandangannya.

"Ah, bukan begitu! Tadi aku lagi jalan sambil berfikir, terus gak sengaja nabrak dia. Eh, kalau gak salah namamu Alice kan? Kamu gapapa kah? Aku minta maaf ya." Kata Olive pada Alice yang sudah berdiri disebelah Keenan.

Alice menatapnya sejenak, "Iya gapapa, aku juga minta maaf." Sahutnya datar.

'Siapa pria ini? Darimana ia muncul? Apakah dia salah satu fans perempuan itu?' Batin Alice. Gadis itu mengamati Keenan dari atas hingga bawah.

"Kamu mau kemana?" Tanya Keenan pada Olive.

"Ini mau ke ruang kepala sekolah, tadi Pak Ethan menyuruhku mengantarkan proposal untuk lomba ini ke Pak Awan." Jawab Olive sembari menunjukkan map hijau yang tadi jatuh bersama kertas-kertas ulangan para siswa.

Keenan tak menjawab apapun. Ia membisu sembari menelusuri mata Olive yang cantik dan berbinar seperti biasanya. Senyum gadis itu seolah menyihir dirinya untuk tetap menyelam masuk kedalam matanya. Mata yang sedingin dan sedalam samudera. Mata yang siap menenggelamkan Keenan. Mata yang akan menjadi malapetaka bagi siapa saja yang menaruh hati padanya.

"Olive..." Pria itu memanggilnya dengan suara yang parau. Ia nengusap belakang lehernya dengan kikuk.

Olive masih mengulas senyumnya yang cantik, "Ya, Keenan?"

"Apakah kamu masih melakukannya?" Tanya Keenan dengan ambigu. Ia menatap Olive semakin dalam, menelusuri mata itu dengan seksama, mendeteksi apakah ada gerak-gerik yang mencurigakan dari dalam benak Olive.

Olive terdiam, setelah sekian lama tidak pernah bertegur sapa di kelas, Keenan menanyakan hal itu padanya. Hal yang bahkan hampir dilupakan Olive. Hal yang seharusnya tidak di dengar siapapun.

"Apa sih maksudmu haha, aku tidak mengerti. Sudah dulu ya Keenan, Alice juga, aku harus segera ke Pak Awan sekarang." Jawabnya sembari tersenyum.

Olive melangkah pergi melewati Keenan yang masih terdiam. Mata perempuan itu sekilas melirik ekspresi Keenan yang menyedihkan. Ia tersenyum tipis, ia sama sekali tak menduga jika pria itu masih mengingat semuanya. Olive tau betul bahwa Keenan pasti membutuhkan keberanian yang sangat besar untuk menanyakan hal seperti itu.

Keenan masih terpaku. Ia sama sekali tak berbalik untuk menatap Olive yang melenggang pergi. Ia tau ia takkan sanggup menatapnya.

'Apa sih? Gak jelas. Kelihatan banget kalau dia menghindariku.'

Setelah sekian lama merenung dan mengumpulkan niat, akhirnya Keenan menoleh ke belakang dan menatap punggung kecil Olive yang bergerak berirama dengan kibasan rambut panjangnya. Pria itu menatapnya dengan penuh arti.

'Hah, aku tau tatapan itu.'

'Tatapan penuh rasa putus asa itu bukanlah tatapan seorang penggemar.'

'Tatapan itu, adalah tatapan yang mirip seperti milikku.'

"Hey." Kata Alice. Dia menepuk pundak Keenan yang tidak bergeming setelah sekian lama.

Keenan membalikkan tubuhnya, ia beradu pandang dengan Alice.

"Kamu.. pernah ada hubungan dengan Kak Olive?" Alice meremas ujung roknya, "Bisakah kamu menceritakan padaku tentang dia?"

"Kenapa?" Tanya Keenan.

"Kakakku mungkin menyukainya." Jawab Alice dengan menunduk. Suaranya parau seakan menahan perasaan sedih yang mendalam.

Keenan terbelalak dengan pernyataan itu. Dia tidak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut perempuan ini. Dia tahu jelas apa yang akan terjadi setelah ini.

'Menarik.'

Keenan mengusap belakang kepalanya, "Kamu.. mau main ke apartemenku?"