Pallermo, Sisilia, Italia.
"Laura ...." panggil Domenico beberapa kali. Lelaki itu merupakan tangan kanan Mossimo Torrecelli. Namun, sejak Laura jadi ratu bagi sang mafia, fungsinya pun menjadi banyak. Kadang jadi sopir, kadang jadi bodyguard, kadang jadi tukang angkat belanjaan ... bahkan bisa juga jadi chef dadakan.
"Laura, wake up, girl," ulang Domenico lagi. Seperti sekarang, lelaki itu tidak lagi menggunakan jasnya, melainkan apron. Dia membawa sebuah nampan berisi makan siang dan senyumnya mengembang begitu manis.
"Ummmmhh ...." geram Laura malas. Wanita itu pun membuka mata. Dia duduk dengan mata mengantuk, lalu menatap meja di depannya sudah penuh. "Padahal sudah kubilang, kalau aku sedang bersantai di taman, jangan sampai menggangguku, Dom."
Namun, diprotes tidak membuat senyum Domenico luntur. Dia tetap menarik kursi khusus untuk sang majikan, lalu mempersilahkannya duduk. "Ini demi kesehatan Anda, Nona," katanya mendadak sopan. Itu pun karena dia mau dituruti cepat.
"Hmm, kelihatannya cukup lezat," puji Laura.
Domenico lantas meletakkan secangkir lagi dengan keramik favorit Laura. "Yang ini jangan lupa diminum lebih dahulu," katanya. "Tonik demi pesona abadi! Semoga kecantikan Nona awet hingga 1000 tahun."
"Ck ck ck, kau ini," gumam Laura dengan celengan kepala yang bangga. Dia pun mengabulkan permintaan Domenico sebelum mulai menyantap hidangannya. "Oh, iya. Bagaimana kabar suamiku? Dia sudah pulang dari Irak?" tanyanya.
"Hmm, Tuan dalam perjalanan pulang," kata Domenico. "Sebelum kemari beliau mengabari kalau sudah turun dari pesawat."
"Bagus, bagus," kata Laura. "Kuharap dia tidak lupa saja apa yang kuminta, hmm ...."
Alis Domenico pun naik sebelah. "Memang kau menginginkan apa, huh?" tanyanya. Formalitas pun kembali hilang karena mereka berteman sejak hubungan Mossimo dan Lautan belum resmi.
"A painter?" kata Laura dengan santainya. Dia berkedip gemas saat Domenico tampak penasaran. "Aku mendadak ingin dilukis. Telanjang, fresh, ukuran besar, dan hasilnya akan kupajang di kamar kami. Ha ha ha."
"Ya ampun ...." desah Domenico tak menyangka.
"Why not? The Greatest Don akan sangat menyukainya, huh?" kata Laura. "Kemarin dia bilang ingin mengingat sisi menawanku."
Suara kebahagiaan Laura bersahutan dengan dentingan lembut sendoknya. Dia menyelesaikan makan siang hari itu dengan baik, dan Domenico pun tampak puas karenanya.
"Ya, bagus juga," kata Domenico. "Tapi, sebelum itu kau harus ingat punya tugas."
"Yang mana?" Lirikan Laura menyebar ke segala arah. "Perasaan sudah kuselesaikan untuk tiga hari ini?"
"Kau ini lupa soal Mario?" tanya Domenico. Ekspresi bahagia Laura pun luntur beberapa persen mendengar nama sang paman ipar. "Dia juga menyusul pulang nanti sore. Katanya ingin bicara denganmu soal bisnis bawah akhir-akhir ini.
"Ah, fuck, stary człowiek znowu poszedł w jego ślady." (*)
(*) Ah, si tua itu ikut-ikutan lagi.
Keluhan Laura justru membuahkan tawa Domenico. Bagaimana pun, Laura sudah jarang menggunakan bahasa ibunya. Hanya jika dia kesal, marah, atau merasa terancam ... wanita itu pasti menjadi murung dalam sekejap saja. "Sabar saja, Nona. Bagaimana pun Mossimo sangat mengandalkannya, huh?"
"Ya, ya, terserah," kata Laura dengan mengibaskan tangan. Mood-nya langsung hilang, tetapi itu tidak menghentikan otaknya untuk berpikir. "Kalau begitu, Dom ... bisa kau lakukan sesuatu untukku?" pintanya.
"Huh, apa?" tanya Domenico.
"Pindah saja lelaki Thailand itu ke bangsal dalam," kata Laura dengan tatapan mata yang lurus. "Usahakan jangan biarkan jejaknya ada, dan hentikan juga siksaannya. Aku tidak mau repot-repot menjawab pertanyaan Mario kalau dia sudah datang nanti."
"Ho, baiklah."
"Dan kalau dokterku datang, persilahkan saja dulu. Aku mau ke kamar sebentar untuk menelpon Olga," kata Laura lagi.
"Yeps, ok,"
Wanita itu pun mengangguk kecil sebelum beranjak pergi. Bukan ke dalam untuk menelpon seperti katanya, melainkan ke sisi lain taman. Dia tampak sedikit emosi, tetapi segera melampiaskannya seperti biasa.
"Arrghhh! ARRRGHHH! ARRRRRGH!" teriak Laura bersamaan dengan pisau-pisaunya tertancap sempurna di target.
CRAP! CRAP! CRAP!
"AAARRGGHHH! BRENGSEK! TUA BANGKA! SEMOGA KAU CEPAT TUTUP USIA!" bentak Laura untuk lemparan-lemparan yang berikutanya.
CRAP! CRAP! CRAP! CRAP!
Dan sempurna. Mungkin karena Laura biasa begitu untuk melepas emosi, tanpa sadar, kemampuannya setiap hari pun semakin bagus.
"Kau bisa menggunakannya untuk bela diri juga lain kali," puji Mossimo saat awal mereka menikah dulu. Sebagai yang menyarankan, dia cukup senang melihat hasil Laura meningkat seiring waktu. "Dan jangan kehilangan ketajamanmu sampai kapan pun, dear. Karena aku pun tidak tahu kapan terjadi hal buruk padamu lagi tanpa sepengetahuanku."
Sambil mengadu mata, mereka bicara saat mandi bersama waktu itu. "Hm, tak masalah. Aku mulai menyukainya," kata Laura dengan senyuman kecil. "Dan akan kupastikan, penculikanku Minggu lalu itu yang terakhir, Babe."
Sejak hari itu, yang awalnya dia wanita Polandia biasa, Laura pun merubah diri semakin pantas jadi pendamping sang suami. Dia tidak ingin lagi menunggu untuk dilindungi. Karena baginya, Mossimo juga akan cacat, jika dirinya lemah.
"Nona Laura?" panggil seorang dokter tiba-tiba. Namanya Jirayu, dan lelaki Thailand itu tersenyum sopan saat Laura menoleh padanya.
"Oh, kau ...."
"Ya, Nona."
Meskipun gayanya non-formal, Jirayu merupakan dokter pribadi keluarga Torrecelli, dan bertugas menangani Laura sejak syok traumanya dalam penculikan beberapa tahun lalu. "Anda sudah siap diperiksa sekarang?"
***
"Ahh, ini tetap saja merepotkan sekali," keluh Domenico. Lelaki itu menatap pintu masuk menuju ruang bawah tanah milik Keluarga Torrecelli.
Tadinya dia ingin santai sedikit sambil menghisap rokok, tetapi tidak lagi saat menghadapinya.
Puntung itu pun dilempar ke tanah. Domenico tidak lupa menginjaknya sebentar, sebelum menemui lelaki Thailand yang Laura perintahkan untuk dipindah.
"Bangun, HEI!" bentak Domenico keras. Dia lebih suka membuat lelaki itu terbangun, daripada harus menepuk-nepuk dulu seperti bayi hanya untuk menyadarkan. "Buka matamu, Bung. Waktunya kita pindah tempat sekarang."
"Uh, huh?" gumam lelaki itu bingung. Ah, sudah lupa namanya, Domenico sekarang juga sulit mengenali wajah itu karena sudah 70% rusak.
Mungkin wajah lelaki ini kemarin diseret di bebatuan sekitar, atau mungkin juga diinjak ke tanah. Yang pasti, dia sekarang tampak seperti anjing buduk daripada manusia.
Telanjang, memakai kalung peliharaan yang terikat dengan rantai, dan hanya bisa merangkak karena tenaganya belum pulih.
"Kubilang bangun."
"Aarrrhhh!"
Refleks, lelaki itu pun terpaksa berdiri karena Domenico menjambak rambutnya. Kakinya gemetaran. Bulu-bulu betisnya berdiri, dan dia diseret keluar dari sana tanpa dapat tutup sehelai benang pun.
"Tunggu, tunggu--ugh ... mau kemana?"
"Tidak perlu bertanya!"
DEG!
"T-tapi, tidak! Arrrgh! Tunggu! Aku ingin bertemu Laura! Tidak!"
KACRAK!
"Tutup saja mulutmu," kata Domenico. Kali ini, sepenuhnya raut manisnya hilang karena malas menghadapi situasi tersebut. Namun, hanya hanya sekejap. Saat melihat nama yang tertera pada kalung, kedua matanya pun melebar perlahan. ".... oh, jadi kau yang bernama Jom?"
"...."
"Kupikir dia akan menyimpanmu lebih lama daripada yang lain," cibirnya. "Ya sudah, JALAN!"
***
Negara lain, orang asing, bahasa tidak familier, budaya tak tersentuh, dan Porche tidak pernah ke sana ... ketika menyadari semua itu, perasaan menjadi orang tolol baru merasuki semua relung dadanya saat ini.
Porche pun memutuskan beristirahat setelah melajukan mobil sekitar dua jam. Tak tentu arah. Hanya mengikuti GPS tempat paling dekat dengan ibu kota otonomi Pallermo, lalu diam sambil menahan lapar.
"Jadi itu bangunan katedral, huh?" pikir Porche saat menatap keluar jendela. Dia tidak membuka sedikit pun kacanya, karena memang saat ini lebih aman untuk waspada. Meskipun begitu, perlahan hatinya goyah.
Porche ingin berdo'a di sana, tak peduli apakah orang-orang di dalamnya akan menatap aneh.
Dia pun turun dan masuk ke dalam, meski jadi satu-satunya orang Asia. Langkahnya pelan, kakinya gamang. Dan meski Porche tidak memikirkan apapun, perlahan entah kenapa air matanya mengalir. Dia sampai nyaris saja tersandung, tetapi kemudian segera bersandar pada balkonnya.
"Aahhhh ...." desahnya lelah. Kombinasi tidak tidur, tidak makan, stress dan panik berhari-hari membuat kepalanya pening saat ini.
Porche pikir, dia salah arah terlalu jauh. Tadinya, dia bahkan berpikir tempat ini akan dipenuhi orang muslim, tetapi hatinya sedikit tenang saat beberapa biarawati melewatinya dengan senyum segan penghormatan.
Mungkin, karena raut wajah Porche benar-benar tak ingin diganggu, mereka pun memilih pergi daripada menambah beban hatinya.
"Nam, apa kau minum susu dengan baik?" gumam Porche sembari memijit keningnya. "Aku tahu kau masih tak mampu, tapi bisa jaga Kinn untukku di sana? Aku janji akan melakukannya dengan baik mulai besok pagi."
...
....
"Sungguh, aku benar-benar janji ...." batin Porche dengan napas putus-putus.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Pandangan Porche pun mulai kabur hingga suara teriakan orang dari kejauhan tidak bisa dia dengar lagi.
BRUGH!
"...!!!!"
Nngiiiiiiiiiiiiiiiing .....
Hanya gerombolan orang-orang yang berlari, suara desingan mesin entah dari mana, dan bulat-bulat hitam aneh yang mendekat dengan kecepatan serbu lah yang Porche tangkap.
Kemudian, semuanya berubah hitam.
Bersambung ....
Bab selanjutnya update besok. Diedit dulu, ya!