Porche benar-benar tidak tenang dalam tidurnya. Semenit sekali, dia mengigau entah apa, bergumam-gumam, dan suhu badannya semakin panas. Para bodyguard sampai bingung menangani lelaki itu, tetapi langsung lega begitu Kinn tiba.
"Tuan Kinn, selamat datang!" seru Faye bersamaan dengan bawahannya yang berjejer. Sang boss hanya mengangguk. Lalu langsung lewat untuk menemui seseorang yang dirindukannya. "Dimana dia? Aku harus melihatnya."
Faye pun sigap memandu ke kamar Porche. Letaknya tidak di tempat tertinggi, atau terbagus dalam kapal itu. Hal tersebut sempat membuat Faye sungkan kepada Kinn, tetapi dia juga prihatin karena kemarin tidak tega memindahkan badan Porche yang malah nantinya sakit semua.
Bagaimana tidak? Sehari infus saja bisa habis 4-5 kantung. Porche pasti kehilangan banyak tenaga selama dia bersikeras kabur dari negaranya beberapa hari lalu.
"Porche?" Kinn pun duduk di sebelah lelaki tercintanya. Dia menyentuh kening Porche, mengecek deru napasnya, lalu melirik kepada Faye dan yang lain. "Kalian sudah memanggil dokter? Kenapa kondisinya bisa separah ini? Panasnya tinggi sekali!"
"Sudah, Tuan. Beliau saya minta kembali mengecek setiap hari," kata Faye takut-takut. "Tapi, hari ini tiba-tiba tidak bisa datang. Ada urusan. Jadi, kami berusaha mengompresnya saja--"
PLARRRRR!!
Demi apapun, Kinn tidak pernah semarah ini sebelumnya. Panas emosi bahkan mendidihkan darah di sekujur tubuhnya, sehingga jemarinya gemetar girang ketika menghajar wajah Faye sekali lagi.
PLARRR! PLARRRR!! PLARR!!!
"Katakan itu lagi giliran kucongkel nyawamu!" bentak Kinn. "Bukankah kau bilang bisa bahasa sini?! Kenapa harus dokter itu, HAH?! APA OTAKMU BISA DIPAKAI?! Panggil dokter mana pun yang ada! Apa begitu saja perlu kuajari?"
Untuk sejenak, dia pun kembali menjadi Kinn yang dulu. Tangannya mampu membuat bekas merah di mana-mana, dadanya bahkan naik turun heboh, dan itu persis sekali dengan saat menghajar Tawan. Bedanya, kali ini Kinn bisa menguasai diri saat Porche meraih jari-jarinya.
"Kinn, aasshh ...." keluh Porche. "Eih ... ugh ... itu kau?" tanyanya dengan mata yang masih tertutup.
Refleks, Kinn pun menoleh ke sumber suara. "Hei, Porche?" bingungnya.
Tanpa aba-aba, Faye pun segera menggiring bawahannya untuk keluar dari kamar itu. Dia juga mohon undur diri, tetap sopan dan patuh, meski kedua matanya sudah berair dengan sudut bibir yang terluka.
"Maaf, Tuan Kinn."
Porche meremas lengan Kinn lebih kuat demi memastikan apakah jas itu benar-benar punya tekstur seperti yang biasa sang suami pakai. "Kinn, kau kenapa di tempat ini?" tanyanya dengan kelopak mata mengayun.
Fuck!
Ingin sekali Kinn mengumpat, tetapi dia hanya sempat mengepalkan tangan. Beberapa detik kemudian, emosinya langsung redam saat menarik tengkuk Porche dan menciumnya.
DEG
Kinn!
Kelopak mata Porche pun melebar karena sentuhan mendadak itu. Dia hanya memejamkan mata, bingung membalasnya bagaimana, dan Kinn menguasai mulutnya.
Tunggu, Kinn! Aku bau! Kinn! Bisa jangan melakukan ini--
"Ahh ... mnhh ... ughf ...."
Lain di hati, lain juga di sela-sela bibirnya. Porche cukup kewalahan menanggapi ciuman beruntun itu. Dia mendesah dan megap-megap, tetapi Kinn tetap menyisir tiap jengkal gigi-giginya dengan liukan lidah yang lincah.
Oh, shit! Sang suami rupanya sungguhan marah kali ini. Dan Porche mungkin bisa saja pingsan bila saja Kinn tidak menyudahinya, lalu merengkuh sekuat mungkin.
BRUGH!
"Bodoh! Tolol! Naif! Aku ingin sekali menghukummu!" kata Kinn separuh jengkel separuh gemas. Dia remas rambut lepek Porche yang beraroma keringat, dia jambak bagian itu hingga Porche merintih sakit, tetapi Porche diam saja saat Kinn memandangi kedua matanya. "PUAS KAU SEKARANG, HAH?!" bentaknya. Tak peduli bila Porche bisa tersinggung dengannya. "Puas bermain-main tanpaku? Benar-benar keras kepala sekali."
Entah apa yang dia pikirkan, yang pasti Porche balas memeluk waktu itu. Dia menggurat jas Kinn dia dengan kuku-kukunya meskipun lemas. Bibirnya terbuka dan tertutup seolah ingin mengatakan sesuatu.
Kinn, aku sebenarnya ...
"Khhh--"
Hanya saja, Kinn justru menatap wajahnya dengan raut keras kali ini. "Berisik," desisnya, lalu memposisikan tangannya seolah ingin mencekik di leher Porche. "Jangan melawanku sekarang, Porche. Aku sedang tidak ingin bicara denganmu."
"Ah, Kinn mungkin tak bisa mengendalikan dirinya lagi sekarang," batin Porche.
Dengan raut yang tertekan, Porche pun tidak bergerak. Dan selama Kinn membuka bajunya satu per satu, dia hanya berpegangan ke lengan Kinn yang bertengger di depan tenggorokannya.
Benar-benar sangat kekar, kokoh ... Porche sampai merasa dia terlindungi dari apa saja dengan merasakan gurat-gurat lintang otot di sekitar sana. "Kinn ...." desahnya.
Porche tidak tahu pasti apa yang terjadi setelah itu. Sebab seluruh badannya sakit dan kebas. Dia lebih fokus pada rasa pusing di kepala daripada menghiraukan sentuhan Kinn di tubuhnya.
Mau digigit, dihisap, atau dipenuhi di lubangnya. Porche hanya membiarkan Kinn melakukan apapun yang dia mau.
Tahu-tahu, tubuh sang suami sudah telanjang di atas dirinya. Sambil menatap, lelaki itu merobek kondom dan menungganginya dengan raut sulit dijelaskan. Bahunya naik turun. Penisnya juga masih begitu keras, padahal benda itu sudah menyemburkan cairan beberapa kali ke perut Porche yang mengejan tegang.
Keringat mengucur deras diantara kulit keduanya. Dan saat kesadaran Porche sudah timbul tenggelam, Kinn baru mengecup keningnya begitu lama.
"Tunggu--Porche, ... tetap sadar--bernapas ... rupa--lihat aku ... datang--pasti, sebentar lagi ...."
Suara Kinn jadi patah-patah kali ini. Lelaki itu mengangkat tengkuknya agar bernapas lebih leluasa. Dan menelpon seseorang tanpa peduli sperma di tangan akan mengotori ponselnya.
Seseorang, entah siapa. Yang pasti, saat Porche bangun lagi, panasnya sudah turun dan ada kompres yang terpasang di keningnya.
Pluk!
"Lembab ...." gumam Porche. Dia mencemplungkan kembali handuk kompres itu dalam baskom. Kemudian duduk untuk melihat situasi lebih jelas.
Oh, ternyata dia ada di kamar ... dengan elektrokardiogram di sisi ranjangnya. Tit ... tit ... tit ... Tit ... tit ... tit ... Detak jantungnya terdengar stabil, tetapi Kinn tidak menghiraukannya meski ada di sana.
"Apa aku masih sedang bermimpi?" pikir Porche.
"Tuan Kinn," panggil Faye, yang sisi wajahnya agak babak belur dan membuat kening Porche berkerut dalam. Bodyguard-nya kini memberikan penghormatan pada Kinn sebelum memberikan sebuah berkas. "Ini data profil Tuan Jirayu yang Anda minta."
Kinn memandang Faye dengan alis naik sebelah. "Kau yakin ini sudah semuanya?" tanyanya sembari membolak-balik file tersebut.
"Ya, Tuan," kata Faye. "Beliau terdaftar sebagai dokter pribadi Nona Laura selama dua tahun terakhir."
DEG
"Laura?"
"Kinn?" panggil Porche tanpa sadar. Dia pun menepuk-nepuk badan sendiri karena baru sadar ini benar-benar nyata, lalu segera turun dari ranjang. "Aduh!"
Porche pun merasa bodoh saat baru menyadari tangannya terhubung dengan selang infus. Dia pun nyaris mencabut benda itu, tapi tidak lagi saat Kinn meliriknya dengan tatapan meneror.
"Masih saja berulah, Porche?"
Seolah-olah Kinn baru mengatakan hal itu, dengan tanpa kesabaran yang tersisa di dadanya
Porche pun diam. Dia menunggu hingga Faye undur diri dari ruangan itu dan Kinn hanya menggeleng-gelengkan kepala melihatnya.
"Oi, Kinn! Sejak kapan kau ada di sini?" tanya Porche. "Dan apa yang terjadi padaku? Kita dimana? Tolong jangan diam saja!"
"...."
"KINN!" bentak Porche dengan raut yang penuh kekecewaan. "Awas jika kau membawaku pulang! Kinn!"
Kinn malah menghela napas panjang. "Kemari," katanya sambil meletakkan file itu kembali. Lelaki itu menepuk pahanya, tetapi Porche membalasnya dengan menahan kepalan tangan.
"Aku tidak sedang bercanda denganmu."
Mereka bertatapan lurus.
"Orang bjiak bilang pasangan berkualitas itu mengedepankan komunikasi sebelum emosi," kata Kinn. Dia kembali menepuk pahanya, bahkan mengayunkan tangannya juga kali ini. "Tidakkah kau penasaran bagaimana rasanya?"
"Ck, jangan main-main denganku."
"Kita masih ada di Sisilia," kata Kinn. Pada akhirnya, lelaki itulah yang mengalah dan menghampiri Porche. Namun begitu duduk di tepi ranjang, dia juga menarik Porche paksa untuk duduk di pangkuannya.
BRUGH!
"HEII, BANGSAT--"
"Dan kau pikir kenapa aku datang kemari?" tanya Kinn. Dia menyeruduk leher merah-merah Porche tanpa aba-aba, lalu menghirup aroma khas dari sana meski pasangannya tampak tidak nyaman. "Apa kau tahu tempat seperti apa yang akan kau tuju? Jika tidak, fokus saja untuk pulih. Lalu kita bicarakan bagaimana selanjutnya."
Porche pun memandangi badannya yang terbalut baju ala pasien. "Aku tidak akan minta maaf," katanya, meski tahu sudah berbuat salah. "Dan aku takkan setuju jika kau ingin menunda niatku lebih lama."
SSSSAKKKH!
DEG
"Memang seperti apa niatmu, huh?"
Merasakan cekikan menekan di lehernya, Porche pun refleks terbatuk-batuk. "Kinn?!"
"Bunuh diri dengan konyol, atau mendengarku sesekali?" kata Kinn. Entah kenapa, dia sekarang sudah jengkel. Takkan dia biarkan Porche semaunya 100% kali ini. "Hilang dua hari saja begini. Masih untung mereka belum mengendus kedatanganmu hingga sekarang."
"--Kkkhhh ..." Porche pun mendelik dan mencakar tangan Kinn kali ini. "Akhh--uhuk! Uhuk! Rrhhhh ...."
Di otaknya, secara ajaib tiba-tiba muncul sebuah bayangan. Bagaimana hari-hari Kinn saat memperlakukan Tawan seperti ini? Apakah dulu suaminya juga pernah menyiksa lelaki itu?
..
... sebelum berakhir mencabut napasnya.
PLAKH!
"BUNUH SAJA! LAKUKAN! BUNUH AKU, KINN!" teriak Porche setelah dia berhasil menarik tangan Kinn. Kedua matanya begitu pekat, tetapi menyala jauh di dalam sana.
Bukannya panik diprotes, Kinn malah menembak tiba-tiba ke dinding kamar mereka.
DOR!!!
KACRAK!
"Jadi itu sungguhan maumu?" tanya Kinn, lalu mengarahkan moncong pistol itu ke dada Porche. "Atau kita sebaiknya mendinginkan kepala, berbaikan, lalu cari cara untuk memenggal kepala wanita itu."
Porche pun termenung diam seketika. "...."
"Sudah sampai seperti ini, kau justru yang masih meragukanku, Porche," kata Kinn. Lalu melempar pistolnya ke lantai.
PRAKH!
Benda itu pun tergelincir ke kolong ranjang, lalu tergeletak diam begitu saja.
"...."
"Dan kau hanya ingin dimengerti, tapi sulit memahami maksud tindakanku," tegas Kinn. "Tidakkah kau tahu seberapa menyebalkan rasanya?"
Merasa kalah telak, Porche pun membuang muka. "Apapun itu aku tidak akan minta maaf," katanya. Meski raut merasa bersalah tampak jelas pada wajahnya sekarang, dan itu cukup membuat Kinn lega.
"Tapi syukurlah kau tidak kenapa-napa," kata Kinn. Suaranya memelan. Lalu mengecup telapak tangan Porche selayaknya kepada pangeran.
Ah, shhhhh ....
Kalau sudah begini, Porche pun jadi benci pada dirinya sendiri. Sebab Kinn benar-benar memujanya, tak peduli apapun yang dia perbuat. Maka meski kurang rela, Porche pun setuju berbaikan sore itu.
"Ahhh ... unh, tunggu dulu--"
Dan, yeah ... tentu saja. Bukan Kinn kalau tidak mencumbunya jika sudah punya kesempatan. Jadi, menyesal atau tidak, Porche tetap harus menanggung resiko pilihannya kapan pun itu.
Bersambung ...