Porche benar-benar jadi samsak seks untuk Kinn malam itu. Dia tidak dilepaskan oleh sang suami, bahkan setelah lima atau enam ronde. Namun, dia juga menyanggupi semuanya, meski Kinn selalu memberikan jeda yang hanya sebentar.
"Jangan bilang kau sudah lemas, huh?" tantang Porche dengan senyum binalnya. Dalam posisi berdiri di dinding, justru dialah yang mendempet Kinn dalam kurungan. Satu lututnya menempel, dan giginya menggurat kulit rahang sang suami hingga ke batas dagunya.
"Siapa bilang? Aku yang akan membuatmu susah berdiri untuk besok pagi, paham?" kata Kinn sembari mempercepat tusukannya kembali. Dia menampari bokong liat Porche gemas, karena lelaki itu sudah kembali seperti Porche yang dia kenal.
Kenapa, hah? Apa Porche sudah lega setelah mengungkapkan isi hati? Dia bahkan menghirup aroma tidak sabaran dari ubun Porche meski pahanya sudah sangat berantakan.
Bagian itu basah karena lelehan sperma, becek. Kinn bisa merasakan kaki-kaki mereka ikut ribut mencari tempat kering karena cairan kental mereka berceceran dimana-mana.
"Ahhh ... ahh ... Porche ....!!"
"Kinn, fuck ... ahhh ... harder ... ahhh ...!!"
Daripada pasangan yang sedang bercinta, mereka lebih seperti dua orang yang saling memangsa. Tiap kali Porche menggigit, maka Kinn akan balas meraup kulit cokelatnya bulat-bulat. Dan tiap kali Porche menguasai Kinn, maka berikutnya lelaki itu lah yang akan dilemparnya kemana pun.
BRAKH!
"Mmmhhh ... ohh ...." desah Porche dengan menjilat bibirnya sendiri. "Agak ke bawah, shit! Ya di sana! Ahhh ...."
Ranjang, sofa, dinding, lantai--Kinn membuat kamar itu berantakan bersama Porche yang melolong ribut diantara garmen-garmen mereka.
"Sebentar, Porche--"
"Aku tidak mau pindah!" bentak Porche sembari meremas tengkuk Kinn. "Cukup masukkan barang besarmu itu lebih dalam, Kinn!"
Padahal awalnya hanya Porche yang telanjang di pangkuannya, tetapi kini Kinn sendiri malah menginjak-injak jasnya sebelum menggempur Porche kembali.
Lelaki itu mungkin sangat buas, tetapi saat punggung Porche menggesek lantai, Kinn pun sigap menjadikan lengannya sebagai bantal. Mungkin, apa ya ... kalau saja dia tahu di lantai akan terasa se-chaos ini, Kinn pasti memilih menyeret Porche kembali ke ranjang saja.
"Aku mencintaimu, Kinn. Aku ini benar-benar belum ingin mati ...." kata Porche di akhir. Lelaki itu terpejam ngantuk dan nyaris tidur, tetapi Kinn masih menciumi punggung tangannya seolah itu makanan manis. "Kinn, c'mon ...." ulang Porche menegaskan.
Namun, daripada menyatakan cinta, kali ini Porche lebih seperti protes. Dia ingin Kinn cepat-cepat menyudahi seks tersebut. Karena tak peduli seberapa bersemangat dia, insting liar Kinn tetap takkan terkalahkan.
"Really?" tanya Kinn setelah melepaskan kecupannya. Dia memandangi wajah Porche, tetapi lelaki itu bahkan sudah tidak kuat membuka mata.
"Aku akan memukulmu lain kali," kata Porche.
Kinn pun tertawa karena dialah pemenangnya. "Baiklah, baiklah," katanya. Lalu mengeluarkan penis dari tubuh Porche yang sudah kehilangan tenaga.
Namun, melihat tiap kekacauan pada tubuh itu, Kinn malah makin merasa hebat. Dia pun memeluk Porche hingga terduduk, lalu membawanya ke kolam agar bisa membersihkan mereka bersamaan.
Angin laut menerpa rambut dan tubuh mereka malam itu. Namun, karena letak kamar keduanya di lantai tertinggi kapal, tidak banyak keramaian dek yang mereka dengar. Seks yang hebat pun menjadikan suhu dingin tidak terlalu berpengaruh buruk.
Kinn lega melihat Porche bernapas normal di pelukannya, dan wajah tampan itu bersandar pada dadanya. Dia yakin, Porche masih sepenuhnya sadar, tapi lelaki itu memilih tidak peduli lagi akan diapakan.
Percayalah, kembang kempis irama Porche merupakan musik yang lebih mudah menenangkan Kinn daripada apapun, dan seringai puasnya muncul tiap kali menyentuh bekas-bekas merah darinya di tubuh Porche.
Seolah-olah itu merupakan bukti klaim, dan Porche takkan bisa dijangkau siapa pun lebih dari dirinya sekarang.
Atau, ralat. Mungkin ada yang menggesernya sesekali. Dan itu adalah Nam. Sebab pagi buta saat baru bangun, Porche bukan memberi Kinn ciuman pagi, justru membuka ponsel hanya untuk melihat bagaimana kondisi bayi tersebut.
"Ah, Nona Namsie tadi sudah bangun," kata Naayoung yang kini sedang menepuki paha si mungil. "Tapi barusan tidur lagi, Tuan. Sepertinya dia sangat kenyang. He he."
"Bagus," kata Porche dengan senyuman. "Lalu bagaimana dengan Porchay? Apa dia ada peningkatan?"
"Ah, kalau Tuan Porchay ... umnn ... beliau masih belum bangun," kata Naayoung. "Kata Dokter Poi pemulihannya lambat sekali, Tuan."
"Ah, begitu." Porche pun mengakhiri panggilannya daripada terlihat kecewa. Dia langsung meletakkan ponsel Kinn kembali ke atas nakas, tanpa tahu sang suami sudah miring menghadapnya siap mendengarkan apapun. "Oh, Kinn ... kau sudah bangun rupanya."
Kinn pun memandangi Porche lebih jeli. Dari ujung rambut yang acak-acakan, wajah bangun tidurnya yang segar, bibir penuhnya yang seakan minta digigit, dan dadanya telanjangnya yang penuh tanda.
Kinn bersumpah dia tidak mau membagi Porche dengan seorang pun andai bisa, tetapi tentu saja tidak mungkin.
"Apa-apaan aku ini? Cemburu pada keluarga? Mungkin aku sudah mulai sinting ...." batin Kinn.
Cup.
"Pagi," kata Porche tiba-tiba. Lelaki itu mengulangi kecupannya pada hidung Kinn, tapi dia langsung akan turun dari ranjang begitu saja.
"Hei, Porche," kata Kinn refleks. Dia bahkan tidak tahu kenapa menahan perut lelaki itu dengan pelukan.
"Hmm?"
"Kau tidak lagi penasaran alasanku datang?" tanya Kinn.
Porche tampak berpikir sebentar. "Bukankah kau mencemaskanku?" katanya dengan cengiran. "Atau hanya ingin memasuki bokongku. Ckckck ..."
Suasana serius pun jadi hilang seketika.
"Ha, ha ... dasar." Bahu Kinn pun bergetar karena tawanya.
"Apa? Kau mau menyangkal? Gara-gara semalam pinggangku jadi sakit semua," kata Porche. Meskipun begitu, dia tetap berjalan santai mendekati meja untuk minum air putih satu gelas.
"Kalau begitu kau harus melihat ini," kata Kinn.
"Huh?"
Porche pun memeriksa file Jirayu dari tangan Kinn. Keningnya sempat berkerut, tetapi kemudian rautnya menjadi datar. Sebab masuknya Jirayu dalam daftar orang penting Laura merupakan bukti bahwa wanita itu memiliki relasi istimewa dengan Thailand selama ini.
Lebih-lebih Jirayu dipercayai mengontrol kesehatan Laura. Bila dia tak bisa meyakinkan Mossimo, mustahil lelaki itu bisa bertahan di sana cukup lama.
"Jadi, kau curiga dia adalah Ken yang sebenarnya?" tanya Porche. Lelaki itu duduk lagi di sisi Kinn, dan membiarkan dagu sang suami bertengger pada bahunya.
"Hmm, benar tapi tidak sepenuhnya," kata Kinn. "Bagaimana pun dia sudah bekerja di tempatku selama bertahun-tahun, tapi informasi ini malahan ada. Mana mungkin aku mengabaikannya?"
"Ohh ...."
"Dan jika dia memang berkhianat hanya untuk berada di sini, kau ...." Mereka berpandangan dari samping. ".... jangan bertindak sendiri lagi, Porche."
"...."
"Akan kubuatkan jalan masuk ke dalam rumah Laura, tentu saja. Tapi pastikan untuk waspada, oke? Lebih-lebih kepada lelaki ini," kata Kinn.
Mendengar Kinn, Porche justru tampak heran. "Tunggu, Kinn. Kau pikir aku kemari ingin melakukan apa, huh? Penyusupan?"
"Memang apa lagi jika tidak?" tanya Kinn. "Aku melihatmu diteror wanita itu lewat informasi yang Arm berikan. Bayi Nam, pelayan Ran, adikmu Porchay, dan hal lain yang mungkin aku tidak tahu ... kau pasti sangat-sangat ingin membunuhnya."
"Benar."
"...."
"Tapi sebelum itu, aku ingin bertemu dengannya langsung, Kinn. Hanya untuk bicara dan memastikan," kata Porche.
"Apa?" kaget Kinn.
"Kau pikir aku tipe yang menghadapi sesuatu lewat belakang?" kata Porche tersinggung. "Maaf saja jika itu prasangkamu. Karena di mataku, daripada orang yang jahat, Laura itu lebih seperti wanita yang kesepian."
"Aku benar-benar tak mengerti."
Porche pun menampik tangan Kinn yang nyaris meraih pipinya. "Kau pun harus memahami tindakanku, Kinn," katanya. "Tapi, tentu saja. Aku punya cara sendiri untuk memberinya pelajaran. Karena itulah senjata dan mobil itu kubawa. Jadi jika situasi tidak memungkinkan--"
"Kalau begitu biar aku saja yang datang," sela Kinn tiba-tiba. "Aku akan bicara padanya, Porche--"
"Lalu membakar uangmu lagi?" sela Porche balik. "Ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan uang, Kinn. Lagipula wanita itu tidak lagi menginginkanmu."
"Apa?!"
Meski Kinn semakin bingung, Porche tetap tidak menjelaskan lebih detail. Dia hanya memberikan ciuman yang berikutnya, lalu berbisik perlahan. "Nanti susul aku mandi kalau ingin," katanya. "Dan tunggulah waktu hingga aku memutuskan untuk melibatkanmu."
***
1 hari sebelumnya ...
BRAKH!
"KELUARKAN SEMUA ISI TASNYA!!" bentak Laura kasar. Domenico pun tidak menunggu iblis wanita itu keluar. Dia langsung bergerak, lantas menjambak kerah si dokter berkacamata yang mereka tangkap hari ini.
"Tunggu, jangan! Itu berkas pasienku! Jangan!" Jeritan si dokter tak berguna. Sebab meski makin dia memberontak, bodyguard berbadan besar tetap membatasi pergerakan di kanan kiri.
"Ini benda yang kau minta, Laura," kata Domenico sembari menyerahkan hasil rekam medis bermapkan warna kuning tersebut.
Kodenya adalah 654AGH2210. Itu tertera di halaman sampul, dan Laura benar-benar tidak habis pikir kalau nama "Porche Pachara Kittisawasd" sungguh tertera di dalam sana.
"Jadi, dia benar-benar sudah sampai di sini," desah Laura dengan seringai tipis. Dia lantas melempar dokumen itu ke wajah si dokter. Brakh! "Bagus, bagus. Ini barangmu kukembalikan," katanya. "Untung saja kau kutangkap terlebih dahulu. Padahal kupikir kabar kedatangannya itu tak benar. Ha ha ha. Bisa susah percaya aku bila tidak begini."
Dokter itu pun dilepas. Dan sesuai kode etik profesinya, dia segera memunguti rekam medis itu terlebih dahulu sebelum barang yang lain.
Demi mengamankan informasi! Sebab, bisa bahaya kalau ketahuan orang luar tahu. Dia akan dituntut penjara, dan itu bisa mengakibatkan penyalah gunaan data terkait penyakit yang diderita pasien--
Drrrt ... Drrrt ... Drrrt ....
Tiba-tiba, sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya.
"Siapa yang menelponmu?" tanya Laura. Refleks, wanita itu melirik ponsel si dokter melalui ekor matanya. Dia nyaris menginjak tangan benda tersebut, tetapi tidak lagi saat melihat judul kontaknya. "Oh? Faye Ruppanippat? Kedengaran seperti nama Thailand di telingaku."
"Ahh, iya, itu ... dia--"
"Siapa, huh? Apa dia orang yang dibawa pasien itu?" Laura mengambil dagu si dokter, lalu meremasnya hingga nyaris mencekik. "Jawab atau kupatahkan lehermu!"
Takut luar biasa, si dokter pun melirik pistol yang menyerbu kepalanya dari kanan dan kiri. Dia masih belum ingin mati! Maka meski harus mengangguk setuju, Laura pun memberikan kesempatan padanya untuk bicara. "Maaf, Tuan Faye. Hari ini aku tidak bisa datang," katanya setelah mengangkat telepon. "A-Ada ... ada urusan mendadak. Aku tahu ini tidak bijak, tapi semoga kondisi beliau semakin membaik."
"Oh, oke," kata Faye dari seberang sana. Namun, dia juga panik karena bahkan sebelum sambungan berakhir, seorang bawahannya datang dengan wajah panik.
"Tuan Kinn sudah dekat menuju kemari, Phi!"
"Astaga, ini terlalu cepat! Aku belum memanggil dokter yang lain!" batin Faye. Meskipun begitu, dia tetap menyambut Kinn dengan hormat yang sempurna. "Tuan Kinn, selamat datang!" serunya bersama para bawahannya yang berjejer-jejer.
Bersambung ....