"Tok Tok Tok..." Suara ketukan terdengar dari balik pintu tepatnya pukul 13.45 WIB.
"Sei! Kok gak bilang? aku bisa jemput di stasiun. Kenapa seharian kemarin kamu ga bisa dihubungi?" Juna kaget Seikha sudah ada di depan rumahnya.
"Mau suruh aku berdiri di sini? Tidak boleh masuk?" Tanya Seikha datar.
"Sorry. Masuk, masuk. Sini tasnya," ucap Juna sambil mengambil ransel berat yang Seikha bawa.
"Istirahat dulu. Bunda ada liputan. Sudah makan? Aku buatkan carbonara ya? Tunggu sebentar." Juna bergegas ke dapur, memasak untuk kekasihnya yang baru tiba dari Jogja.
"Iya, aku lapar," suara Seikha pelan namun terdengar oleh Juna.
Juna tersenyum mendengarnya, kemudian dengan sigap membuka kulkas dan mulai memotong bahan. Seikha mengambil jus di meja makan yang sudah dituangkan Juna untuknya.
"Tunggu sebentar ya, gak lama." Juna memasak dengan cepat.
Seikha memandang Juna dalam. "Tampan sekali," ucap Seikha dalam hati.
"Ini makan dulu, Sei..." Juna menyodorkan makanan yang baru saja ia masak.
"Makasih Jun," ucap Seikha segera melahap pasta itu.
Juna hanya memandangi kekasihnya makan dengan lahap. Wajahnya sedikit lebih tirus dari sebelum berangkat ke Yogyakarta. Padahal hanya beberapa hari saja Juna tidak bertemu Seikha. Mata Seikha terlihat lebih cekung, lingkaran bawah matanya lebih gelap.
"Sei, ada apa? Kamu tidak terlihat sehat." Juna mengkhawatirkan Seikha.
"Gak apa-apa. Cuma kurang tidur mungkin." Jawab Seikha.
"Jun, tolong simpan buku diary-ku baik-baik, dan ini....." Seikha memberikan laptop dan beberapa berkas di dalam map plastik.
"Apa ini?" Juna penasaran.
"Tolong simpan," ucap Seikha memegang tangan Juna, menatapnya tajam.
Setelah selesai makan, Seikha langsung berpamitan dengan Juna. Sekarang ranselnya terasa lebih ringan. Seikha melanjutkan perjalanannya menuju tempat kedua yang ingin ia datangi. Juna yang curiga dan khawatir, diam-diam mengikuti Seikha dari belakang.
Seikha pergi menggunakan taksi, begitu pula Juna yang memesan jasa transportasi online untuk mengelabui. Juna penasaran dengan maksud dan tujuan Seikha, lalu menyadari Seikha berhenti di sebuah rumah sakit.
Seikha terlihat turun dari taksi, berjalan dengan cepat menuju lobby. Juna mengendap-ngendap menggunakan topi, jaket kulit serta masker dan syal mengikuti Seikha. "Lantai 8, ruangan apa di lantai itu?" Tanya Juna dalam hati penasaran melihat Seikha menaiki lift.
Juna berlari menaiki tangga darurat menuju lantai 8 yang sama seperti Seikha. Nafasnya terengah-engah, Juna berusaha sembunyi dari pandangan mata kekasihnya.
Seikha terlihat buru-buru mendatangi dokter Samuel, psikiaternya. Sesampainya di depan ruangan psikiater favoritnya itu, dada Seikha panas, perasaannya tidak enak.
"Hahaha....." Suara tawa dokter Samuel yang terdengar dari balik ruangan kerjanya.
"Boleh, boleh. Haduh Pak Kento ini bisa saja, ujarnya ramah.
"Kento?" Seikha mungkin salah dengar.
Seikha mengintip dari celah kaca yang ada di pintu ruangan dokter Samuel, namun pasien tersebut hanya terlihat dari belakang. Seikha berjaga di seberang pintu karena tidak memiliki janji temu.
Suara mereka tidak terdengar, seakan berbisik, saling berbicara pelan di dalam ruangan. Setelah selesai, pasien itu bersiap keluar dari ruangan dokter Samuel. Seikha pun berusaha sembunyi di seberang area tersebut dengan duduk di salah satu bangku yang kosong.
Wajah dan sosok yang sangat familier dengannya. Pasien itu adalah Kento, Paman Seikha. Kepala Seikha mendadak sakit, bertanya-tanya, penasaran. Tidak ingin pikiran buruknya menghantui, Seikha bergegas mendatangi ruangan dokter Samuel.
Juna yang melihat kejadian itu dari jauh, bingung mengapa Seikha membuntuti Kento. Juna salah paham akan maksud Seikha datang ke sana. Juna pun bersembunyi kembali, kali ini duduk di tempat Seikha sebelumnya bersembunyi. Memperhatikan dari balik bangku rumah sakit.
"Seikha?" Dokter Samuel kaget Seikha tiba-tiba menerobos masuk ke ruangannya.
"Mbak, mohon maaf harus mendaftar dulu," perawat yang bertugas di ruangan dokter Samuel berusaha menghalangi Seikha yang memaksa masuk.
"Tidak, tidak apa-apa. Ini pasien saya," ucap dokter Samuel pada perawat itu dan menyuruhnya keluar dari ruangannya.
"Ada apa Seikha?" Dokter Samuel bertanya-tanya memperhatikan wajah Seikha yang memerah.
"Apa ada masalah?" Tambah Dokter Samuel kembali.
"Siapa tadi pasien terakhir?!" Seru Seikha dengan meruncingkan matanya.
"Apa Seikha mengenalnya?" Tanya Dokter Samuel pada Seikha yang sepertinya dibakar api amarah.
"Tidak perlu pura-pura tidak tahu. Ternyata selama ini dokter kerjasama dengan dia?!" Seikha berteriak menuduh dokter Samuel.
"Bekerjasama? Dengan siapa? Seikha, dokter sungguh tidak mengerti....." dokter Samuel menghentikan penjelasannya, terbatuk-batuk, memegang lehernya dengan kedua tangannya.
Seikha kebingungan. "Dokter, dok, kenapa?" Mata Seikha terbuka lebar karena mulut dokter Samuel mengeluarkan darah, Seikha terpaku sejenak melihat dokter Samuel kejang-kejang, tidak tahu harus berbuat apa.
"Tolong! Tolong....!!!" Seikha memanggil bantuan.
Tidak lama seorang perawat masuk ke dalam ruangan, terkejut dengan dokter Samuel yang sudah bersimbah darah. Perawat itu berteriak, sedangkan Seikha masih diam membisu.
Tangan Seikha sudah berlumurah darah karena membantu memegang dokter Samuel saat akan terjatuh. Tidak lama para petugas rumah sakit berbondong-bondong datang, memberikan pertolongan pada dokter Samuel.
Juna yang mendengar dan melihat ada keributan, berlari menuju ruangan dokter Samuel dan mendapati Seikha sedang berdiri melihat para dokter dan perawat sibuk mengangkat dokter Samuel.
"Ini, dia orangnya. Tadi Mbak ini tiba-tiba masuk ke dalam ruangan dokter Samuel. Sudah saya larang tapi dia tetap memaksa, sebelum itu dokter baik-baik saja! Ini jelas tanda-tanda keracunan!" Perawat yang datang menunjuk Seikha sambil menangis.
Semua orang di sana memperhatikan, memberi pandangan sinis dan curiga pada Seikha. Tangannya berkeringat bercampur darah, badannya kaku. Seikha ingin keluar dari situasi ini, namun sulit sekali baginya untuk bergerak pergi. Semua orang semakin memperhatikannya.
Dengan langkah yang berat, Seikha perlahan berjalan menjauhi ruangan dokter Samuel dengan semua mata tertuju padanya. Langkah kaki Seikha semakin cepat, lalu berlari. Kakinya menuntunnya untuk pergi dari situasi ini.
Seikha semakin cepat berlari, hingga terasa ada yang mengejarnya dari belakang. Langkah Seikha lebih cepat lagi. Mendadak tangan Seikha digenggam erat, sehingga Seikha menghentikan langkahnya.
"Juna?!" Sambil terengah-engah Seikha tidak percaya bahwa itu adalah Juna. Refleks Seikha memeluknya, menenangkan dirinya.
"Sudah, tidak apa-apa, Sei. Mari bersihkan ini dulu." Juna mengeluarkan tisu basah yang selalu ia bawa, mengelap dan membersihkan tangan Seikha dari darah.
"Ayo kita pergi dari sini," ucap Juna menarik tangan Seikha dan berlari keluar dari rumah sakit.
Juna memegang tangan Seikha yang gemetar dengan erat, memberikan jaketnya saat mereka sedang berada di lift. Mereka berlari masuk ke dalam taksi, menuju rumah Juna kembali. Tempat teraman untuk Seikha saat ini.
"Sudah tidak apa-apa. Tarik nafas, keluarkan, Sei ayo..." Juna berusaha menenangkan Seikha yang sedari tadi diam saja, tubuh Seikha tegang dan kaku.
Seikha mengambil nafas sesuai instruksi Juna, kini lebih tenang. Seikha masih cemas dengan apa yang terjadi dengan dokter Samuel dan berharap tidak terjadi hal buruk pada dokter kesayangannya itu.
"Jun, bagaimana bisa kamu....?" Seikha penasaran karena Juna ada di rumah sakit bersamanya.
"Nanti saja," ucap Juna memberitahu Seikha akan menceritakannya nanti.
Sesampainya mereka di rumah Juna, Seikha mandi membersihkan jejak darah yang berada di tubuhnya. Lalu Juna memberinya susu hangat. Seikha masih shock, ia hanya diam.
Juna menyalakan televisi, lalu terlihat breaking news yang memberitakan tentang dokter Samuel. Seikha lantas mengambil remote dari Juna, meninggikan volume suaranya.
"Baru saja terjadi sebuah peristiwa menggemparkan, di mana seorang dokter senior collapse saat sedang praktek di salah satu rumah sakit terbesar di Jakarta. Korban yang merupakan salah satu psychiatrist senior di rumah sakit tersebut, saat ini telah dikonfirmasi tewas setelah sebelumnya mengalami kondisi kritis."
"Korban mengalami kejang-kejang dan memegangi lehernya sebelum terjatuh ke lantai. Berdasarkan keterangan sementara dokter yang menangani, korban tewas karena racun mematikan. Baik kronologi maupun jenis racun yang digunakan semuanya masih belum terkonfirmasi dan menjadi misteri. Kepolisian masih menyelidiki kasus ini."
Juna dan Seikha terkejut dengan berita yang disiarkan oleh salah satu TV Nasional. Mereka memandang satu sama lain. Terlebih Seikha yang melihat dokter Samuel meregang nyawa di hadapannya langsung.
"Sei, kamu gak apa-apa?" Juna khawatir akan kondisi Seikha.
"Jun, aku melihat dokter Samuel saat itu. Dia kesakitan dan memandangku seolah meminta tolong." Seikha cemas dan takut mengingat peristiwa yang baru saja terjadi.
"Buat apa kamu ke rumah sakit? Apa membuntuti Om Kento?" Tanya Juna pada Seikha.
"Tidak sama sekali. Aku ke sana ingin menemui dokter Samuel. Meminta bantuannya," ucap Seikha menjelaskan pada Juna.
"Lho, berarti kebetulan saja Kento ada di sana? Kamu kenal dokter itu? Juna penasaran.
"Dokter Samuel adalah psikiaterku sejak SMA. Tapi sepertinya bukan kebetulan...." Sambil berpikir, Seikha merasa kejadiannya sangat janggal.
"Aku pun kaget saat mengetahui Kento ada di sana. Bahkan ak menuduh dokter Samuel, sudahlah. Semoga dia tenang di sisi Tuhan." Seikha mendoakan dengan tulus, sangat kehilangan sosok yang menjadi penenang dirinya, oase di hidupnya.
"Sei, istirahat dulu. Kamu dari Jogja terus kesana kesini, pasti lelah. Tidur di kamar Bunda," ujar Juna sembari menarik Seikha dari kursi menyuruhnya beristirahat.
"Oke." Seikha tampak lelah, terpukul. Kejadian tadi membuatnya merenung, menyalahkan diri.
Juna pun beristirahat di sofa depan televisi. Ia tidak banyak bertanya karena melihat kondisi Seikha. Namun Juna terus memikirkan peristiwa menyedihkan itu. Sampai akhirnya Juna tertidur. Saat terbangun jam menunjukan pukul 18.41 WIB. Juna melompati sofa karena menyadari belum sempat sholat maghrib.
Juna belum pernah melihat Seikha tertidur nyenyak sebelumnya, namun saat ini Seikha lelap sekali. Mungkin karena kelelahan atau belum cukup tidur dari kemarin.
Juna kembali menyalakan televisi, tidak sengaja menonton berita sela malam hari ini.
"Selamat malam. Breaking News hari ini. Peristiwa VIRAL di media sosial yang terekam di beberapa ponsel pengunjung rumah sakit. Dalam video tersebut menunjukan seorang wanita yang masuk dengan paksa ke ruangan dokter meski di larang oleh perawat."
"Saat mereka sedang berargumen, dokter memegang lehernya seperti sesak dan kesakitan. Wanita tersebut terlihat mundur beberapa langkah dan hanya melihat dokter tersebut jatuh. Butuh waktu lebih dari satu menit bagi wanita tersebut meminta tolong, sampai akhirnya salah seorang perawat datang."
"Sebelumnya kepolisian sudah mengkonfirmasi setelah melakukan autopsi bahwa korban tewas karena racun. Gelas yang digunakan korban untuk meminum air mineral mengandung Strychnine, diperkuat dengan hasil laboratorium forensik."
"Strychnine menyerang sistem saraf pusat dan menyebabkan reaksi refleks berlebihan. hal ini dapat menyebabkan kontraksi pada otot leher dan kepala. Kontraksi ini segera menyebar di otot-otot bagian tubuh lain yang menyebabkan sesak napas dan bisa menghilangkan nyawa hanya dalam setengah jam."