"Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Nikmatilah dulu, Seikha. Sebelum semua kenikmatanmu hilang." Kento membatin, amarahnya bertumpuk. Kento teringat akan janjinya.
Sudah lebih dari 3 bulan Seikha tidak sadarkan diri, sejak April hingga Juni 2020 dan masih bergantung pada alat bantu pernafasan. Kento tidak sekalipun menjenguk keponakannya dengan berbagai alasan.
Siang itu cukup terik, Kento akhirnya pergi ke rumah sakit mengunjungi Seikha yang masih terbujur kaku di atas ranjang. "Sudah aku katakan berulang kali, jangan pernah membantahku." Gumam Kento dalam hati.
"Sayang sekali Seikha, kamu harus membusuk di rumah sakit seperti ini. Menghabiskan uang perusahaan agar kamu tidak mati. Aku melakukannya karena masih butuh namamu. Sebelum semua proses alih nama selesai, bertahanlah," Kento menepuk pipi Seikha yang terbaring lemah.
"Hari ini tanggal 21 Juni 2020, hari besar umatku, pendukungmu, Dewa." Kento berbicara sendiri.
Kento mengeluarkan kunci mobil dan mengendarainya. Lantas memarkirkan mobilnya di parkir khusus perusahaan. Ruangan kantor Kento yang luas penuh dengan vas bunga dan harum menyegarkan.
"Selamat siang, Pak Kento," seseorang masuk ke dalam ruangannya. Beberapa wajah familier datang menghampiri. Seolah Kento guru besar, begitu sangat dihormati.
Diikuti beberapa orang lainnya yang membawa bunga, sake dan alkohol lain favorit Kento. Mereka menunduk 90 derajat, berbaur, berbincang, melakukan ritual seperti biasa.
Mereka adalah para pengikut Sekte Matahari. Kesetiaan keyakinan yang dipupuk oleh para pendahulu. Mulai berusia 20 tahun hingga yang telah berusia diatas 70 tahun, tercatat 105 orang hadir pada hari itu.
Ruangan yang dijadikan gudang selama ini adalah saksi misteri persembahan para pengikut setia Dewa Matahari pimpinan Kenichi Sato pada zamannya. Terletak di samping ruangan kerja Kento yang tersembunyi.
"Bapak, ini bunga-bunga sudah di kumpulkan," kata seorang pria yang pernah membantu Seikha saat perjalanan di kota Yogyakarta, Rian.
Kemudian seorang wanita perawakan berisi dengan kacamata ditangannya berlarian kecil menuju tempat pertemuan. Dia adalah kepercayaan Seikha, Jumiati atau Mbok Jum.
Setelahnya datang seorang pria paruh baya, rambut putihnya mendominasi, senyumannya hangat. Menggunakan baret dan jaket, orang yang memberikan Seikha informasi akan Yumi. Siapa lagi kalau bukan Pak Jono, supir almarhum Kusno.
Mereka datang bersiap memberikan persembahan di kala fenomena langka terjadi. Gerhana matahari yang mereka nanti-nanti. Mereka berjalan menuju ruangan serba putih, dengan jendela yang terbuka lebar.
Di dalamnya terdapat kumpulan bunga dandelion serta mesin pelarut mayat yang di lapisi keramik. Terdapat rak lemari penyimpanan guci yang memuat abu, ditandai dengan nama serta tanggal kematian.
Semenjak kepemimpinan Kento menjadi Ketua Sekte Matahari, jenazah persembahan yang telah dimasukkan dalam peti, akan dibakar dalam mesin. Dengan api bersuhu 760 derajat celcius hingga 1150 derajat celcius, peleburan akan memakan waktu 1,5 hingga 3 jam. Pengabuan dipercaya akan membantu melepaskan roh dari keterikatan duniawi.
"Bapak, hari ini siapa yang beruntung pergi ke surga?" Tanya Rian, pegawai Kento yang memiliki loyalitas tinggi padanya.
"Kurnio. Dia memiliki pribadi yang jujur, tulus. Dia sendiri yang meminta agar kesempatan kali ini, memenuhi syarat persembahan." Ternyata Kento yang sudah menyekap Kurnio selama ini, akan membunuhnya dengan dalih persembahan.
"Apakah Rini sudah ketemu, Mbok Jum?" Kento berpura-pura khawatir dan berempati.
"Belum, Bapak... Semoga dia baik-baik saja," Mbok Jum yang polos terlalu mudah dibodohi.
"Baiklah semuanya, mari kita lihat ke sini," Kento membawa Kurnio dengan tudung berwarna putih menutupi wajahnya. Pakaiannya pun sudah di ganti dengan kafan putih dan panjang.
"Kepada Dewa penguasa alam, penguasa langit dan bumi, terimakasih akan kebesaranMu! Kami mendapatkan nikmat atas kemurahan hatiMu! Hari ini, sesuai panggilanMu pada gerhana matahari cincin, kami persembahkan, yang akan mendampingimu di Surga."
Kento memasukan jenazah Kurnio yang sudah mati ke dalam peti terbuka. Mendorongnya ke dalam mesin kremasi. Para pangikut menundukan kepalanya dan berlutut di depan mesin tersebut.
Kento menekan tombol pelebur mayat, kemudian terlihat api-api menyembur membinasakan. Mereka menatap mesin kremasi, memenuhinya dengan bunga-bunga yang mereka bawa. Tidak ada raut wajah bimbang atau merasa bersalah. Hanya Jumiati yang dilanda ketakutan luar biasa.
Para pengikut menunggu sembari berlutut kurang lebih 2 jam sampai jenazah itu melebur menjadi abu. Kemudian Kento akan membuka dan menaruh leburannya ke dalam guci yang sudah diberikan nama dan tanggal persembahan. Setelahnya mereka bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Para pengikut pamit kembali ke tempatnya masing-masing, sedangkan Kento akan terus berada di sana untuk mengawasi.
"Pak, bagaimana keadaannya Mbak Seikha?" Mbok Jum mendatangi Kento dengan rasa penasaran sebelum pergi kembali ke rumah.
"Apakah masih ndak boleh kalau saya menemani di sana? Tambah Mbok Jum yang memang menyayangi Seikha sepenuh hati.
"Tidak usah, Mbok. Siapa yang menggaji Mbok Jum, Seikha atau saya?" Kento tidak mengizinkan.
Mbok Jum dilanda dilema, ia mengetahui semua perbuatan Kento dan para pengikutnya. Namun hanya bisa diam membisu dan menuruti perintah. Mbok Jum hanya tidak punya pilihan. Lain halnya jika Mbok Jum tahu putri kesayangannya dibunuh oleh Kento, mungkin keadaannya akan berbeda. Namun saat ini, Mbok Jum tidak mengetahui apa-apa.
Kento yang baru saja membunuh Kurnio dengan dalih persembahan, merasa lega. Seperti biasa, Kento meminum alkohol untuk menghilangkan dehidrasinya. Membuatnya melayang, seolah menjadi raja yang tak terkalahkan hingga malam tiba.
Kemudian Kento membasahi dirinya dengan air, sebenarnya itu adalah kebiasaan saat dirinya mabuk. Mengucuri badannya dengan aliran air yang deras, Kento menyukainya. Menghilangkan bau alkohol dan membuatnya tersentak. Begitu pula ketika Kento pulang dengan baju basah kuyup.
****
Keesokan harinya, Kento mengunjungi Seikha di rumah sakit. Ingin menyelamatinya bahwa Kurnio sudah mati. Kento membuka ruangan Seikha, dipandangnya keponakan satu-satunya itu.
Mulai mengamati, ada perasaan tak sampai hati. Namun apa daya, kegelapan dan sifat rakusnya sudah menguasai. Kento tidak ragu lagi menunjukan sikap asli. Menguak misteri demi misteri dari rentetan peristiwa keji, di depan keponakan yang terbaring koma akibat tabrak lari, yang Kento siasati.
"Apa kamu tahu keponakanku yang cantik? Foto-foto dan berkas yang sengaja Paman kumpulkan adalah untuk menolongmu, Sei. Seharusnya kamu berterimakasih, bukannya malah mencaci dan mengkhianati.
Foto pertama : Yumi (sedang mengandung) bersama Kusno di ayunan Taman Dandelion mereka (tertulis 11 Agustus 1999).
"Paman masih mengingat dengan jelas saat Yumi begitu gembira akan memiliki seorang putri. Saat itu Paman yang memotretnya di sana, saat terjadi gerhana matahari. Kita melakukan seikerei. Sedangkan Mas Kusno sibuk sendiri. Kamu tidak tahu bukan? ," Kento menjelaskan.
Foto kedua : Kusno, Yumi dan Kento sedang berfoto bersama di depan Air Terjun Wringin (tertulis Tahun 9 Maret 1997)
"Pada foto kedua, kami sedang menikmati gerhana matahari di dekat rumah kecil Paman dan Yumi. Tepatnya beberapa ratus meter sebelum Air Terjun Wringin bersama kekasih Paman saat itu, Ayu. Sayang sekali umurnya tidak panjang. Tahu kenapa? Karena Yumi cemburu dan posesif. Yumi menuduhnya bermain mata dengan Kusno dan membunuhnya!"
"Ya, Ibu yang kamu banggakan itu membunuhnya! Sampai sekarang aku masih menyimpan kenang-kenangannya di rumah lama kami. Yumi begitu buas saat dia emosi, wajah malaikatnya sungguh tipu muslihat! Paman berkali-kali menghentikannya, namun dia gelap mata.
"Memusnahkan segala hal yang ada. Paman kehilangan Ayu, satu-satunya wanita yang Paman cintai. Yumi lebih psikopat dari siapapun di dunia ini, kamu harus tahu itu Seikha!" Kento terengah-engah, ledakan emosi tak tertahankan, luka mendalam menjadi dendam.
Foto ketiga : Kusno yang berada di depan Pantai Parangtritis (tertulis 26 Mei 2006)
"Oiya ada satu foto pantai. Tentu saja dia bukan Mas Kusno, melainkan Kurnio. Mereka berencana lari, namun sayang, Mas Kusno terlanjur meninggal karena gempa. Sei, Mas Kusno adalah orang paling tulus yang pernah Paman temui. Dia begitu polos dan murni sebelum Yumi mencuci otaknya. Paman menyayangi Ayahmu sepenuh hati, Seikha." Kali ini Kento mengucap lirih.
Foto keempat : Foto Kusno di depan gazebo miliknya (tertulis 8 April 2005)
"Foto di gazebo adalah favorit ayahmu. Paman tidak tahu mengapa, namun dia sangat menyukai gazebo tua itu. Mungkin karena dibuat oleh orangtuanya. Kala itu gerhana mataharinya sangat cantik. Paman menikmati berdua, bersama Mas Kusno...."
"Yumi adalah penghalang bagi cinta kami. Selain itu, Paman membencinya setengah mati. Foto ini diambil beberapa bulan sebelum Yumi melebur tak bersisa menjadi abu. Ya, Paman sudah merencanakan menyingkirkan Yumi, psikopat gila yang tidak berhak bahagia!" Matanya dipenuhi kecemburuan pragmatis.
Foto terakhir : Kento yang berdiri depan Tugu Prasasti (tertulis 26 Juni 2017).
"Paman setiap tahun pergi ke Tugu Prasasti untuk memperingati kematian Mas Kusno tersayang. Kalau saja Paman tahu dimana Ayahmu meninggal saat gempa terjadi, akan Paman buatkan monumen khusus untuknya sendiri."
"Setelah gempa, Paman menyadari Mas Kusno begitu berbeda. Sampai akhirnya Paman menyadari, dia bukan Kusno, melainkan saudara kembarnya yang menyebalkan. Tidak bisa diatur, seenaknya. Seandainya dia mau menurut, pasti sekarang dia masih hidup."
"Oiya, Paman juga sudah membunuhnya! Dia datang ke kantor mengancam, memberikan ultimatum kepada Paman. Memangnya dia siapa? Enak saja."
"Saat Paman siksa, Kurnio menyembunyikan berkas Seikha yang dia ambil diam-diam. Dia menganggap berkas itu dapat menghalangi kamu mendapatkan kuasa perusahaan." Kusno tertawa terbahak-bahak.
"Sebenarnya Paman hanya ingin memperingatkan. Tapi Rian sungguh bodoh, dia tidak bisa membedakan antara menabrak dan menyerempet. Paman tidak sungguh-sungguh ingin membunuhmu, Sei. Kalau kamu tidak ada, hidup Paman tidak seru lagi, akan semakin membosankan."
"Satu lagi, tentang racun! Kejadiannya sungguh lucu. Paman hanya bercanda dengan dokter Samuel yang selama ini bersekongkol denganmu. Namun dia mengancam akan melaporkan Paman, maka saat ia lengah, Paman masukkan hanya beberapa tetes dalam tehnya. Dasar tua bangka."
"Tapi sungguh beruntung, sebelum menghabisi nyawa dokter tua bangka itu, Paman menyadari ada monitor perekam kecil dekat pajangannya. Untung saja! Jika tidak, dapat berbahaya, bukan? Hahaha...." Kento mengakhirinya dengan tawa puas yang ganas.