Prolog
Kala menanti asa penuh pengharapan, aku terdiam. Kisahku adalah dimensi kehidupan yang berbeda. Apa sebenarnya patokan bahagia dalam hidup kalian?
Untukku, sepertinya tidak ada.
Aku bukan Dandelion yang bisa tumbuh di mana saja. Aku adalah Seikha yang bertumbuh karena kalian.
***
Silau matahari pagi menembus jendela kamar Seikha. Terlihat bunga dandelion dalam vase bening yang sengaja Juna taruh di tepi ranjang. Hari ini Juna libur, membawa sandwich buatan Marni untuk sarapan di kamar kekasihnya.
Di sisi lain, Seikha menekan tombol bantuan, sehingga para perawat berlarian. Tak berselang lama, dokter Andra sebagai dokter penanggung jawab, memeriksanya.
Selama ini agar kondisinya dapat terpantau secara intensif, Seikha dirawat di ruang ICU khusus. Dokter Andra selalu memastikan alat bantu pernapasan terpasang sempurna. Selang makan dan infus untuk memasukkan nutrisi dan obat-obatan juga tidak luput dari pantauannya.
Dokter Andra terengah-engah berlari dan langsung melihat monitor denyut jantung Seikha. Memegang nadi, memeriksa dada dengan stethoscope yang ia bawa kemana-mana.
"Puji Tuhan," ucap dokter Andra setelah melihat kondisi pasiennya yang sudah lama terbaring koma.
"Coba lihat Seikha, buka matanya," dokter Andra mengecek indra penglihatan Seikha yang tampaknya cukup baik.
"Apakah bisa bicara?" Sembari memeriksa luka pada kepala Seikha, dokter Andra bertanya.
Seikha hanya diam namun merespon dengan matanya. Tentu saja butuh waktu baginya untuk dapat kembali seperti sedia kala.
Juna tertegun karena banyak perawat yang lalu lalang di depan kamar Seikha. Jantungnya berdebar kencang, matanya bergetar, Juna takut mendapatkan kabar yang kurang mengenakkan.
"Mas, mas! Alhamdulillah, pasien atas nama Seikha sudah sadar! Sekarang sedang diperiksa dokter Andra," perawat yang terharu dan tahu perjuangan Juna berlari memberitahunya.
Juna terdiam sejenak, mencerna perkataan perawat itu. Lalu berlari untuk menemui kekasih yang sudah lama dinanti. Dadanya sesak, matanya memerah, tarikan nafasnya lebih cepat.
Juna perlahan mendatangi Seikha hingga pandangan mereka bertautan. Lantas memegang erat jemari gadis pujaannya, mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Juna begitu terharu, sampai tidak perduli dengan dokter dan beberapa perawat yang ada di sana.
Perawat rumah sakit begitu paham akan kesabaran seorang Juna, yang selalu datang setiap hari. Beribadah di dalam kamar ICU, membacakan buku cerita.
Dokter Andra pun berkaca-kaca, lantaran tahu betapa besar harapan Juna akan kesadaran Seikha. Beberapa perawat bahkan menangis haru, melihat kisah sepasang dewasa muda yang tulus dan setia.
"Selamat ya Mas Juna. Kondisi Seikha semakin membaik. Sungguh keajaiban, juga doa dari Mas yang dijabah Tuhan." Dokter Andra menepuk bahu Juna dan tersenyum hangat.
"Dokter Andra, suster, semua yang membantu, terimakasih banyak. Terimakasih." Juna kembali mengusap air matanya yang terus saja bercucuran.
Seikha yang melihat Juna, sungguh merasakan kelegaan. Mendengar cerita dari dokter Andra tentang bagaimana Juna merawatnya setiap hari, membuat Seikha tersentuh haru dan bersyukur.
"Seikha." Juna memeluk dan mencium keningnya.
"Kamu lihat? Aku membawa dan mengisahkan berbagai cerita indah dan komik lucu untukmu. Apa kamu bisa dengar? Sei, terimakasih karena sudah kembali. Aku sungguh berterimakasih," ucap Juna lirih, tak kuasa menahan tangis.
"Juna...." Ucap Seikha pelan, membuat Juna terkejut.
"Iya? Jangan terlalu dipaksakan, pelan-pelan saja. Jangan terburu-buru," ujar Juna dengan lembut membantu Seikha untuk beradaptasi.
Beberapa jam kemudian Dayu dan Ali serta Marni, berbondong-bondong berlarian menuju kamar Seikha. Sudah tidak ada lagi berbagai alat bantu di sana. Dayu tak henti menangis, sedangkan Ali tertegak menahan tangis. Marni histeris, langsung berlari memeluk Juna dan Seikha yang memandangnya.
"Sei, akhirnya kamu sadar juga. Juna setiap hari di sini," ucap Dayu sesenggukan.
"Jun, selamat. Sei, jangan sia-siakan lelaki hebat seperti ini." Ali memeluk Juna. Pertahanannya akhirnya roboh juga. Mengingat kesungguhan sahabatnya, Ali berderai air mata.
Marni terkesima, cinta putranya dan Seikha sungguh nyata, hanya bisa mendukung dan berdoa untuk keduanya. Hati Seikha perlahan luluh lantaran kehangatan yang tulus.
Hari-hari berlalu, Juna membantu Seikha berjalan, menggerakan badan dan berbicara. Perlahan Seikha berangsur pulih. Hingga tidak terasa sudah beberapa bulan terlewati. Ketika Seikha dan Juna menikmati taman yang rindang di rumah sakit, mereka berbincang. Juna mendorong Seikha di kursi rodanya.
"Sudah akhir tahun. Hampir delapan bulan kita berada di rumah sakit ini, Sei. Sudah terasa seperti rumah untukku," ucap Juna sembari duduk berjongkok agar setara dengan Seikha.
"Bagaimana jika tidak ada kamu di hidupku, Juna? Kamu adalah berkah, Oasis Havasu-ku." Seikha menatap Juna hangat.
"Apa itu Oasis Havasu?" Wajah Juna yang kebingungan sungguh menggemaskan bagi Seikha.
"Oasis Havasu, salah satu oasis terindah di dunia. Sebuah kolam air indah, yang terbentuk oleh air terjun Havasu. Oasis yang menjadi surga di tengah lanskap gurun pasir yang luas." Seikha menjelaskan sembari memegang tangan Juna erat.
"Benarkah? Hmm.. Bagaimana kalau kita ke sana suatu hari nanti? Saat aku sudah menabung tentu saja." Juna tertawa diikuti dengan Seikha.
"Jun, sebentar lagi aku berusia 21 tahun, tanggal 1 Januari tinggal beberapa hari lagi." Seikha menyampaikan.
"Aku tahu, kamu tidak perlu mengingatkan," ucap Juna.
"Bukan. Pada saat itu, aku tepat berusia 21 tahun, semua hak dan fasilitasku sudah legal sebagai pewaris perusahaan. Dalam surat wasiat Ayah, aku akan diberikan saham 100% dan menjadi pewaris tunggal." Seikha menjelaskan pada Juna.
"Oh itu maksudnya. Maaf Sei, aku tidak tahu." Juna berhati-hati.
"Aku akan datang pada saatnya tiba, untuk meminta dan menerima yang sudah seharusnya. Kamu temani aku ya?" Seikha meminta bantuan Juna.
"Tentu saja," jawab Juna riang.
*****
Jakarta, 1 Januari 2021
"Juna...Maaf, tapi aku akan datang sendiri menemui Kento. Setelah ini, mari kita pergi ke Arizona! Jika terjadi sesuatu denganku, aku tidak meminta apapun. Hanya percayalah padaku." Seikha menuliskan catatan di ranjang kamar rumah sakit. Dengan tambahan manis bunga dandelion yang dipetiknya di taman.
Bertemu Kento setelah berbagai badai dan perjalanan, semakin berat Seikha rasakan. Psikopat dengan wajah flamboyan dan kharisma yang menipu semua orang.
"Non Seikha! MasyaAllah Mbok Jum kangen sekali. Non, maafkan Mbok karena...." Mbok Jum terkejut dan senang Seikha datang. Sebelum Mbok Jum selesai berbicara, Seikha memotongnya.
"Mbok, bersabarlah." Seikha langsung memeluk Mbok Jum yang sudah lama tidak ditemuinya.
"Tok.. Tok.. Tok," suara panggilan pintu terdengar.
"Kenapa Mbok?" Kento mengira Seikha adalah Mbok Jum.
"Saya Seikha," Seikha lantang bersuara.
Kento yang kaget langsung membuka pintu.
"Wah, Seikha Sahl. Keponakan Paman tersayang, semakin cantik saja. Mari duduk di sana? Baru saja Paman akan menjenguk," kilah Kento.
"Non, mau dibuatkan minuman apa?" Mbok Jum menyela saat Seikha hendak berjalan dengan Kento ke ruang keluarga.
"Mbok, kak Rini sudah meninggal. Dia dibunuh oleh Kento di rumah dekat air terjun. Carilah disana, mudah-mudahan jenazahnya masih ada. Ada kotak peti kayu, di sana barang-barang kak Rini disembunyikan," Seikha menarik Mbok Jum ke dapur, sedikit berbisik memberitahu kebenaran pahit.
"Tidak mungkin, Non," ucap Mbok Jum terperanjat menolak percaya, membekap mulut dengan tangannya sendiri.
"Buat apa Sei berbohong." Seikha menunjukan simpati dengan menepuk lengan Mbok Jum dan berlalu pergi menuju Kento.
Seikha dan Kento duduk di ruang keluarga yang luas, saling berhadapan. Mbok Jum datang membawa minuman dan makanan ringan. Dengan amarah bertumpuk, dendam yang sudah dipendam selama bertahun-tahun, Mbok Jum semakin bertekad.
Teko guci yang berisi teh panas, Mbok Jum kucurkan di kaki kento yang sedang duduk. Sontak Kento berteriak, merajuk, kepanasan, membantingnya. Lalu memukul kepala Mbok Jum dengan kepalan tangannya.
Seikha terperanjat, memegang Mbok Jum yang terjatuh karena bogem keras Kento. Memapahnya untuk berdiri, namun Kento sudah terlanjur gelap mata.
"Bapak, selama ini saya setia bertahun-tahun, tapi kenapa lakukan ini sama saya? Rini anak saya! Kenapa Pak Kento bunuh! Kenapa!" Mbok Jum enggan mengendalikan dirinya, menjerit dan menangis sekuat tenaga.
Seikha memberi tatapan jijik serta benci pada pamannya itu. Sedangkan Kento yang berdiri dengan kaki kepanasan, mengambil pisau di dapur dan menantang mereka.
"Kalian memang tidak tahu diuntung! Sudah dipelihara malah menerkam! Betul, Rini perempuan laknat itu sudah saya bunuh! Lantas kenapa? Dunia ini tidak akan rugi kehilangan gadis munafik seperti dia! Kento mengayunkan pisaunya, Seikha dan Mbok Jum perlahan mundur.
"Dari luar tampak seperti gadis sholehah bukan? Sholat, mengaji, namun murahan sekali! Bukan saya yang menginginkan, dia rela melakukan apapun hingga hamil. Perempuan seperti itu sampah! Kento semakin maju mendekati Mbok Jum dan Seikha.
Seikha memajukan dirinya untuk melindungi Mbok Jum. Melebarkan lengannya tanda Kento tidak boleh menyakiti Mbok Jum. "Jangan maju! Mundur!" Seikha mengancam.
"Ngapain kamu bela kacung itu? Dia juga membohongi kamu Seikha sayang. Yang paling bodoh ya tentu saja kamu. Sudah dibohongi semua orang. Mbok Jum adalah pengikut Paman! Dia yang selalu memberitahu tentang kamu setiap detiknya," ujar Kento diakhiri dengan tawanya puas.
Seikha tertegun dengan pangakuan Kento. Mbok Jum yang sudah ia anggap seperti keluarga, ternyata juga pengkhianat.
"Non, Mbok ndak ada pilihan.... Sungguh, maafkan...." Sebelum Mbok Jum selesai berbicara, Kento menancapkan pisau di leher Mbok Jum saat Seikha lengah.
Seikha kaget bukan kepalang. Mbok Jum sudah bersimbah darah. Kali ini Kento menarik rambut Seikha.
"Aku tidak bisa menunggu sampai waktu persembahan tiba dengan semua pengikut yang ada. Pas sekali, kamu datang tanpa diminta. Seikha, selamat ulang tahun! Mari ambil hadiahmu, ayo pergi ke surga," Kento menyeret Seikha masuk ke mobilnya.
Mengikatnya di kursi depan mobil dan membekap mulutnya dengan kain. Melaju cepat sekali menuju gudang persembahan. Menaiki lift khusus agar langsung sampai ke sana, sehingga tidak perlu memasuki kantor utama.
Seikha terbelalak melihat lemari yang penuh guci dan mesin kremasi. Kento memukul kepalanya, membuatnya merunduk untuk melakukan penghormatan pada Dewa. Masih terikat tali, Seikha meronta-ronta.
Kento mengambil samurai berwarna emas yang menjadi pajangan, lalu ia buka perlahan. "Seikha, Paman sungguh menyayangimu. Saat kamu baru lahir, Paman sangat bahagia. Namun perasaan manusia mudah berubah, bukan?"
"Lihat ini, guci cantik saksi perjalanan para pengikut Dewa yang setia sampai mati. Begitupun dengan Seikha. Ini adalah persembahan paling istimewa di bumi, karena Dewa sudah lama tidak merasakan darah keturunan leluhur kami," ucap Kento sembari memainkan samurainya.
Kento membuka ikatan Seikha, ingin mempermainkan keponakannya itu. "Bagaimana sudah lebih baik? Ayo lawanlah," Kento berusaha memprovokasi.
Seikha tidak berlari, dengan berani memegang ujung samurai yang tajam. Kendati darahnya mengucur, namun Seikha tidak gentar. Kento semakin tertantang menunjukan aksi.
Kento berusaha menusuk Seikha namun Seikha berhasil berkelit hingga samurai terlempar. Seikha berhasil mengambil alih samurai itu, matanya menjadi liar, naluri tidak berkompromi. Seikha tidak dapat menahan setan dalam pikirannya.
Dengan kucuran darah yang terus menetes dari tangannya, Seikha menjulurkan samurai pada Kento. Menghunuskannya secara membabi buta. Seikha menusuk perut, dada, dan wajah Paman yang pernah disayanginya tersebut.
Kemudian Seikha tersadar, ia telah membunuhnya. Kento terbujur kaku bersimbah darah, sekujur tubuhnya terkoyak, beberapa daging di badannya terbelah. Seikha gemetar, menjatuhkan gagang samurai yang dipegangnya erat.
Seikha sempat terdiam, memandangi Kento yang sudah mati. Lalu Seikha pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Menatap bayangannya sendiri di cermin, penuh darah, degup jantungnya cepat sekali.
Lantas Seikha mengambil kemeja bersih pada kantor Kento dan mengenakkannya. Kemudian pergi menggunakan lift dan melarikan diri. Hanya satu tempat aman yang terpikir olehnya, ruang bawah tanah di Gazebo Taman Dandelion milik keluarganya.
****
Sampai bertemu kembali di sequel SEIKHA SAHL...!