Prolog
Aku bermimpi sedang berada di gurun pasir. Hamparan pasir tiada berujung.
Sendiri aku mencari mata air untuk membasahi tenggorokanku yang kering.
Hingga tertidur di bawah pohon kaktus yang berduri. Lalu terselamatkan karena bertemu Ayah dan Ibu. Rasanya bahagia namun hampa tanpamu.
Juna, ingin rasanya aku kembali ke duniamu, namun rasanya aku tak mampu.
***
Jari jemari lemah sedari tadi menunjukan tanda. Perlahan bola matanya bergerak dan sedikit demi sedikit membuka mata. Kendati indera di tubuhnya sudah cukup lama tak terkoordinasi, Seikha dapat mendengar secara jelas dan pasti.
Seikha sudah sadar sebelum Kento memasuki kamarnya. Tangannya hendak menekan tombol panggilan, namun mendadak mengurungkan niat. Kento datang tanpa diduga, Seikha menutup matanya kembali dan berpura-pura.
Semua yang Kento ceritakan didengarnya dengan sangat baik. Namun belum tercerna sepenuhnya karena kondisi fisiknya yang kurang adaptif. Seikha berusaha memahami, memejamkan mata dan berkonsentrasi.
Amarahnya ingin meledak, dadanya sungguh tidak kuat. Namun tubuhnya masih lemah, enggan mengikuti. Seikha merasakan hatinya hancur, terluka, seolah semua asa dan harapannya sirna.
Sedangkan Kento yang sedari tadi berbicara tiada henti sedikit lelah. Lalu meminum wiski yang ia bawa dibalik jas tebalnya. Kento kembali merancau, membongkar kejahatan lain yang ia tutupi.
"Sei, lihat, lihat ini. Oh kasihan tidak bisa yah? Sebentar lagi kamu juga mati?" Berbau alkohol, Kento memperlihatkan foto yang terdapat dalam kotak peti kayu di ponselnya pada Seikha yang terpejam membisu.
1. Kotak pertama berisi kacamata dengan frame berwarna pink yang lensanya sudah retak. Terlihat pula saputangan dengan ukiran bunga dengan inisial V dan handphone.
"Seikha ingat bagaimana dokter Vena tidak pernah datang lagi ke rumah? Paman tidak bermaksud. Namun wanita cantik itu terlalu cerewet, dia selalu ingin ikut campur, tapi sangat baik. Maka Paman menghadiahkannya untuk dekat bersama Dewa." Kento mabuk.
2. Kotak kedua berisi kalung emas putih dengan liontin berbentuk bulan sabit dan handphone case doraemon.
"Ini adalah milik Ayu. Kekasih Paman yang dibunuh oleh Yumi tanpa belas kasih! Sungguh malang, dia adalah satu-satunya wanita yang Paman cintai." Kali ini Kento menangis tersedu-sedu, mencurahkan sisi melankolis yang tidak semua orang tahu.
3. Pada kotak ketiga, terdapat cermin, tanda pengenal (KTP) dan handphone yang pecah.
"Kotak ketiga ini adalah kontak random. Tahu maksudnya random? Paman tidak bermaksud membunuhnya. Hanya saja dia melihat saat Paman sedang melakukan persembahan. Dia adalah Alexa, sekretaris Paman saat itu. Padahal dia masih muda, sayang sekali." Kento tak terkendali, masih meminum wiski.
4. Berisi bros kerudung berbentuk bunga dan sebuah handphone.
"Nah, ini adalah surprise untuk Seikha, Rini! Tampak alim dari luar, namun menakutkan. Sejenis perempuan munafik, mayoritas makhluk bumi. Padahal Paman cukup menyukainya, sayang sekali dia hamil. Paman tidak suka anak kecil!" Kento tertawa keras sekali lalu duduk di sofa dan tertidur.
Kento akhirnya kembali ke rumah setelah menelepon supir pribadinya. Seikha belum juga menekan tombol panggilan dokter atau suster yang merawatnya. Seikha menyiapkan fisik dan mentalnya, menghadapi dunia nyata.
*****
Juna kembali ke rumahnya untuk beristirahat setelah menemani Seikha seperti biasa. Sudah pula merampungkan diary Seikha, yang membuatnya memahami batin yang penuh luka. Juna melafalkan kembali lantaran rindu perkataan sang kekasih. Melihat curahan hatinya, kendati hanya goresan pena.
Dear Juna,
Saat kamu membaca ini, berarti aku sudah siap dengan segala konsekuensi. Pilihlah, masih ingin bersamaku dengan senyum yang palsu atau pergi meninggalkanku?
Hidupku berat, masa laluku suram, aku juga tidak memiliki orangtua. Jika aku tersenyum selama ini, maka itu adalah karena kamu. Namun aku tidak mau menipumu lagi.
Bacalah dengan hatimu yang lembut, ini kisahku.
"Tentu saja aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Sei." Juna tersenyum tipis dan memiliki ide untuk menjawab semua curahan hati Seikha di bawah tulisannya.
***
Dear Diary
6 Januari 2020.
Hari ini Kento datang. Seperti biasa ia melihatku dengan matanya yang penuh kepalsuan. Tidak tahukah dia bahwa aku sangat membencinya? Sampah.
Dia hanya sampah yang ingin aku buang. Andai saja saat itu aku tidak menghubunginya. Saat dia ada, dadaku terasa panas, jantungku berdetak lebih cepat. Aku sungguh tidak bisa menahannya.
"Seikha, aku harap kamu bisa melepaskan semua kebencian itu. Jangan pernah sia-siakan hidupmu untuk membenci." Juna kembali menulis di bawah tulisan tangan Seikha.
***
Dear Diary,
31 Januari 2020
Hati itu laksana kertas ujian. Semua terhubung ke otak. Semakin kamu memahami, semakin penuh isinya. Semakin kamu tidak belajar, semakin kosong kertasnya. Atau mungkin hanya diisi jawaban yang asal-asalan. Toh pada akhirnya semua hanya melihat berapa nilainya. Padahal jawaban yang benar mungkin hanya karena keberuntungan tebakan. Bukan karena benar mengerti dan memahami maksudnya.
"Benarkah? Menurutku semakin memahami orang yang kamu cintai, kamu akan semakin bersabar dengannya. Bukan keberuntungan, namun berusaha. Bagaimana, Sei?" Kali ini Juna membalasnya dengan sedikit candaan.
***
Dear Diary,
01 Februari 2020
Aku sudah lama memimpikan mimpi yang sama. Berada di surga, dengan sekeliling air terjun dengan hamparan taman bunga menakjubkan. Sungai-sungai jernih yang mengalir indah. Tapi kali ini, aku bermimpi berada di neraka.
Api-api menyembur membakar semua orang. Mereka kesakitan, berteriak-teriak kepanasan. Begitu juga aku, yang hangus terbakar. Sudah saatnya aku menghentikan ketidakpastian ini. Walau jiwaku rapuh, aku akan tetap terlihat angkuh dan tangguh. Ibu, akan aku berikan keadilan untukmu. Sabarlah menunggu.
"Walau jiwamu rapuh, entah angkuh atau tangguh, aku dapat bertaruh. Kamu akan bahagia bila bersamaku. Mimpikan hal yang indah saja. Semua hanya ada di pikiran kita bukan?" Juna memahami maksud Seikha, namun tak sampai hati mengungkit mimpi buruknya.
***
Dear Diary,
10 Februari 2020
Kekuatanku semakin rapuh, terombang-ambing mencari hal yang tak pasti. Seperti mencari jarum di lautan gurun pasir. Aku tahu semua orang memiliki rahasianya sendiri. Sepertiku, yang sangat membenci kehidupan ini.
Gulungan hitam berombak semakin mendekat ke bumi. Terbang melayang melintasi lapisan-lapisan langit. Khayalanku semakin tak tentu. Aku berada di dimensi kehidupan yang berbeda. Hidupku sungguh semu.
"Aku tidak punya rahasia. Hanya kamu rahasiaku. Hidupmu tidak semu, hanya belum bertemu denganku. Dimensimu tidak berbeda, karena semua orang pasti tidak sama." Menggunakan emoji hati, Juna mencari cara tidak tenggelam dalam lautan emosi Seikha.
***
Dear Diary,
12 Februari 2020
Hari ini aku bertemu Pak Jono, supir kepercayaan Ayah dan Ibu. Dia menceritakan kisah pahit, kehidupan yang harus dijalani oleh Ibu. Tidak pernah terlintas dalam pikiranku sebelumnya, ternyata Ibu begitu menderita.
Bahkan menggunakan pasung? Ya Tuhan, sungguh sejujurnya aku sangat lemah. Mendengarmu melewati semua itu, aku tidak sanggup. Seikha yakin Ibu tidak sakit jiwa, mengapa hidupmu begitu tidak adil?.... Maaf karena kau harus menghadapi kejamnya dunia sendirian.
Seikha.
Kali ini Juna tidak membalas atau memberikan reaksinya. Juna melewatkan lembaran tentang Yumi karena merasa tidak berhak mengomentari.
***
Dear Diary,
17 Februari 2020
Aku sempat berpikir dunia yang kutinggali ini adalah sebuah bayangan semu. Kelak bumi akan menghilang berlalu digantikan bumi yang baru. Sama seperti manusia, aku sungguh tidak tahu. Tidak bisa membandingkan ketulusan atau pemanfaatan yang berlangsung di duniaku.
Dulu, aku selalu bersyukur ada Ibu, Ayah dan Paman Kento di sisiku. Jika semuanya semu, biarlah, setidaknya aku merasakan keaslian kasih sayang mereka. Namun ternyata, tidak semua hal di dunia seperti yang kuinginkan. Lebih tepatnya, tidak mungkin ada.
Bukan aku atau Ibu yang punya gangguan jiwa itu. Tapi lingkungan ini memang membunuh kami perlahan. Kebaikannya membuatku rapuh. Kepura-puraannya membuatku bimbang. Kerja kerasnya membuatku teralihkan. Kejahatannya membuatku bungkam.
Betapa luar biasa Topengku, Topengmu, Wahai Manusia.
"Seikha, begitu banyak cobaan dan kesulitan yang kamu lalui. Aku tidak bisa berjanji karena manusia makhluk paling ingkar di seluruh dunia ini. Aku hanya bisa berusaha untuk membantumu keluar dari jeratan belenggu masa lalu. Jika kamu tidak kuat, lepaskanlah. Jangan kamu pendam sendiri." Juna menarik nafasnya panjang sembari mencatat kata demi kata dengan rapi.
***
Dear Diary,
21 Februari 2020
Kak Rini masih menghilang tiada berkabar. Kami sudah mencari bahkan lapor polisi. Mbok Jum terlihat cemas sekali. Suaranya bergetar, wajahnya pucat pasi.
Begitu besar curahan kasih sayang seorang ibu pada anaknya. Bagaimana denganmu, Ibu? Aku menyesal karena tidak mengenal bahkan mengingat banyak hal tentangmu.
"Sei, ibu kamu pasti bangga memiliki anak yang tangguh seperti Seikha." Juna kembali menulis hal yang positif untuk kekasihnya.
***
Dear Diary,
25 Februari 2020
Kemarin, tanggal 24 Februari 2020, Juna menjadi kekasihku. Namanya Arjunara, Ibu. Sebenarnya aku sudah banyak menulis tentangnya. Namun kali ini berbeda, kisahku baru dimulai. Bagaimana aku menceritakan tentangnya? Dia lelaki yang sabar, hangat dan menawan. Aku menyukainya sedari dulu.
Jika kelak aku putus asa dan menyerah, mungkin hanya Juna, manusia yang bisa membuatku bangkit kembali. Mungkin. Sejujurnya, aku takut untuk jatuh cinta. Tahu mengapa? Karena hati manusia yang tahu hanya mereka saja. Aku sudah melewati banyak rasa sakit, tidak ingin bertambah luka lagi.
Namun tampaknya aku juga ingin bahagia. Walau tidak terjamin kepastiannya.
"Terimakasih sudah hadir di hidupku, Seikha. Mari kita menjelajahi dunia. Bersusah bersama, bahagialah bersamaku, Sei! 愛してます (Aku mencintaimu)." Terakhir Juna memberi emot hati. Pertama kali dalam hidupnya menyatakan cinta pada seorang wanita, cinta pertamanya.