Maxime berlarian mengeluarkan map berkas tebal yang ia bawa. "Dok, ini riwayat pasien. Dia pasien almarhum dokter Samuel," beber Maxime pada dokter Andra, dokter syaraf yang menangani Seikha.
Sebelumnya dokter Andra meminta Maxime mengecek rekam medis Seikha, yang ditengarai pernah mengalami kecelakaan sebelumnya. Terlihat dari cedera kepala ringan yang dilihatnya saat melakukan operasi.
"Dok, tapi apa tidak apa-apa kita meminjam rekam medis pasien?" Maxime memastikan agar tidak ada kesalahan.
"Bisa. Rekam medis dapat diberitahukan pada pasien, keluarga pasien, orang yang diberi kuasa oleh pasien atau keluarga pasien, serta orang yang mendapat persetujuan tertulis dari pasien atau keluarga pasien. Kita mendapatkan persetujuan tertulis di sini," jelas dokter Andra pada Maxime.
"Selain itu dalam kasus tertentu, pihak rumah sakit berhak meminjam rekam medis sesuai kebutuhan yang berlaku." Dokter Andra berusaha memberikan pemahaman.
"Oke dok, Ini." Maxime memberikan rekam medis Seikha.
"Ternyata pasien ini pernah kecelakaan saat berusia lima tahun. Terkena sisa ledakan, kepalanya mengalami cedera ringan. Sepertinya dia memiliki PTSD sejak saat itu," dokter Andra memberikan pandangannya.
"PTSD dok?"
"Betul. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Perubahan perilaku seseorang pasca suatu kejadian yang traumatis. Biasanya ditandai dengan flashback berulang-ulang tentang kejadian yang menimpa, mimpi buruk, dan rasa menghindar pada tempat-tempat yang mengingatkannya pada kejadian tersebut. Pantas pasien ini meminta pertolongan pada psikiater," dokter Andra serius melihat berkas Seikha.
Disisi lain Juna telah sadarkan diri, tampak Marni duduk mendampingi di samping ranjangnya. Syukurlah, Juna tidak mengalami cedera berat, ia mendapatkan luka memar pada tangan dan cedera pada kaki.
"Untuk saat ini silakan Mas jangan banyak berjalan. Posisikan kakinya lebih tinggi. Misal ketika tidur, letakkan satu bantal di bawah kaki yang bengkak," ucap perawat yang memeriksa Juna pada Marni.
"Bund, gimana keadaan Seikha? Saat itu dia menggunakan helm yang tidak tertutup, berbeda denganku. Aku juga menggunakan pelindung dada dan kaki, sedangkan Seikha tidak." Juna menangis, shock.
"Sudah Jun. Kamu jangan banyak pikiran dulu. Seikha sedang ditangani dokter, maafkan Ibu...." Marni meneteskan air matanya.
"Ibu nanti akan cek bagaimana kondisi Seikha setelah operasi," kata Marni.
"Hah operasi?" Juna terkejut.
"Seikha mengalami cedera pada kepalanya karena benturan keras. Tapi Bunda yakin Allah akan selamatkan Seikha, kamu tenang, Juna..." Marni berderai air mata mengenang gadis yatim piatu malang tersebut.
"Bund, aku mau ke sana. Ayo kita lihat keadaan Seikha," Juna lirih, memaksa.
Akhirnya Marni mengantar Juna yang bersikeras, mendorongnya dengan kursi roda. Melihat dari balik jendela keadaan Seikha yang masih terbaring lemah. Marni dan Juna memasuki ruangan dokter Andra. Terlihat Maxime sedang berdiskusi dengannya saat mereka memasuki ruangan.
"Dok, bagaimana keadaan Seikha?" Tanya Juna pada dokter Andra.
"Saat ini operasi berjalan lancar. Sekarang tinggal menunggu kesadaran dan pemulihan pasien Seikha." Dokter Andra menjelaskan pada Juna dan Marni.
"Kapan Seikha akan sadar, dokter?" Kali ini Marni bertanya pada dokter Andra, gugup.
"Kita berdoa ya, Ibu. Cedera otak pasien Seikha cukup berat. Pasien saat ini mengalami koma meskipun operasi berhasil. Koma dapat berlangsung kurang dari empat minggu dengan pemulihan kesadaran secara bertahap." Jelas dokter Andra.
"Tapi Seikha bisa sembuh sepenuhnya kan, dok?" Juna gelisah akan jawaban dokter.
"Sebagian pasien dapat sembuh total tanpa ada kecacatan, ada pula yang tersadar namun fungsi otak atau tubuhnya mengalami penurunan bahkan kelumpuhan. Semoga pasien Seikha bisa segera bangun, kekuatan itu sepenuhnya ada dalam dirinya," jawab dokter Andra mempaparkan kondisi terkini Seikha.
Juna menolak percaya, sibuk menyalahkan dirinya. Maxime yang berdiri tepat di tepi dokter Andra, dengan tatapannya tampak berempati.
"Mohon maaf menyela, kendati belum ada keluarga pasien Seikha yang hadir, biaya administrasi sudah terselesaikan ditanggung perusahaan asuransi." Perawat datang memberitahu pada dokter dan Marni sebagai wali saat itu.
Marni kembali membawa Juna ke kamar rawat inapnya. Juna terlihat sangat terpukul, terus menerus menyalahkan dirinya. "Bund, semua ini salahku, aku yang mengendarai motor. Seikha bahkan tidak pernah naik motor jika tidak denganku."
"Jun sudahlah, semua sudah takdir Allah." Marni memberikan kekuatan pada Juna.
Mendadak petugas kepolisian mendekati Juna di ruangannya. "Maaf dengan Arjunara? Mohon maaf mengganggu istirahatnya sebentar, kami dari kepolisian. Ingin menanyakan kronologi...." Sebelum polwan itu melanjutkan bicaranya, Juna memotong.
"Betul, saya ingin melaporkan Ibu. Sebelum saya kecelakaan, ada mobil sedan berwarna hitam, platnya saya tidak ingat jelas. Membuntuti kami saat kami baru keluar dari hotel...." Juna berusaha menjelaskan, kali ini Marni memotong omongannya.
"Hotel? Apa kamu menginap sama Seikha makanya tidak pulang?" Marni emosi mendengar penjelasan Juna.
"Tidak Bunda, jangan berpikiran macam-macam. Percaya pada Juna, kami tidak melakukan apapun. Juna tidur di sofa menemani Seikha. Itu saja, kami sedang mencari tahu kematian psikiater Seikha," Juna menjelaskan rinci pada Marni.
Marni memilih diam dan percaya pada putra sematawayangnya itu. Polwan terus merinci dan mencatat kejadian sesuai penjelasan Juna. Kemudian polwan tersebut pergi meninggalkan mereka. Marni yang juga seorang reporter menyampaikan kegelisahan dan kecurigaannya.
"Jun, bukankah semua ini aneh? Sepertinya ada yang berusaha membuat kalian celaka. Orang yang mengenal Seikha, buktinya tidak ada keluarga Seikha yang datang ke rumah sakit." Marni saat ini tengah waswas, memikirkan putranya dalam bahaya.
"Bunda, bisa Juna minta tolong? Hubungi Paman Seikha agar dia tahu Seikha kecelakaan." Pinta Juna.
"Bunda tidak ada nomer teleponnya, nanti sekalian bunda cari makan. Bunda ke perusahaannya saja, langsung bertemu dengannya. Bagaimana?" Marni menawarkan.
"Baik, Bund," ucap Juna.
Setelahnya Juna tampak beristirahat. Sedangkan Maxime terlihat di ruangan Seikha pasca operasi. Maxime memberikan pereda nyeri pada Seikha sebagai pasiennya. Memandangnya dalam, entah mengapa Maxime merasa bersalah.
Maxime memegang tangan Seikha yang tidak berdaya, "Seikha, bertahanlah. Lawan semuanya, bangunlah."
Juna dengan kursi roda mendatangi kamar Seikha. Tidak sengaja melihat Maxime yang sedang menggenggam jemari Seikha.
"Maaf, apa saya kenal dengan," tanya Juna.
"Oh, Maxime bukan? Yang menolong Seikha di air terjun?" Juna mengingatnya.
"Betul. Saya dokter magang, kebetulan bagian anastesi di sini." Maxime pun terlihat ragu ingin memberitahu Juna.
"Terimakasih atas bantuannya, Max," ucap Juna.
"Saat itu kami mau berangkat ke suatu tempat setelah melihat video rekaman yang kamu berikan pada Seikha." Juna memberitahu Maxime.
"Benarkah? Maafkan saya," Maxime menundukan kepalanya.
"Tidak, ini semua sudah takdir. Saya yang salah karena tidak berhati-hati." Juna menimpali.
"Juna, saya tidak tahu ini membantu atau tidak. Tapi sebelum kecelakaan ini Seikha mengalami PTSD, itu diagnosa dokter Samuel, ayahku. Saat Seikha menemuinya dulu," Maxime memberitahu Juna.
"Mungkin karena itu juga Seikha saat ini belum sadar, dia sedang berjuang. Sejak kecelakaan dan trauma masa kecilnya, kerja otak Seikha pasti lebih berat dari yang seharusnya." Tambah Maxime.
"Saat ini Seikha mengalami cedera otak yang menyebabkan peningkatan aliran darah ke daerah tersebut. Semoga Seikha bisa segera sadar dan pulih. Berilah kekuatan padanya," Maxime menepuk bahu Juna, meninggalkan Juna di ruangan Seikha.
Juna memegang tangan Seikha erat dan mulai menangis tersedu-sedu. "Maafkan aku Sei. Aku mohon. Bertahanlah. Berjuanglah. Aku akan menunggumu."
Kemudian Juna kembali memasuki ruangan dokter Andra untuk mengetahui kondisi Seikha lebih lanjut. Rasa penasaran dan khawatir pada Seikha yang besar membuat Juna tidak bisa berhenti mencari tahu.
"Begini Mas, ada beberapa tanda yang muncul ketika seseorang mengalami kerusakan otak. Bisa karena cedera kepala yang traumatis atau kerusakan yang terjadi karena adanya gangguan pada internal otak." Jelas dokter Andra.
"Gejala kognitif, persepsi, fisik serta emosi dan perilaku. Berdasarkan analisa rekam medis sebelumnya, pasien Seikha sudah mengalami gejala emosi dan perilaku." Tambah dokter Andra.
"Seperti apa dokter maksudnya?" Juna bertanya.
"Gejala emosi dan perilaku seperti mudah marah dan stress, memiliki emosi yang tinggi atau bahkan tidak memiliki emosi sama sekali, sifat agresif meningkat. Hal-hal seperti itu," ucap dokter Andra menerangkan pada Juna.
Juna bisa memahaminya. Seikha memang terkadang terlihat seperti yang dijelaskan dokter Andra. Juna hanya bisa berdoa, berharap Seikha segera siuman.
****
Sudah 3 minggu berlalu sejak kecelakaan yang menimpa Juna dan Seikha. Juna sudah bisa berjalan, kendati masih terdapat bengkak pada kakinya. Ali dan Dayu juga datang ke rumah sakit begitu tahu kabar kecelakaan mereka.
Hanya saja Seikha belum sadarkan diri hingga saat ini. Juna selalu datang ke rumah sakit, bahkan membersihkan wajah dan lengan Seikha setiap hari. Membacakan cerita untuknya, terutama cerita anak-anak yang menyenangkan.
Juna ingin Seikha melupakan kejadian dan kenangan buruk yang menghantuinya di masa lalu. Ia juga ingin menyampaikan pada Seikha bahwa kehidupan itu menyenangkan dan cerah, seperti cerita-cerita yang ia kisahkan.
Marni pun sering datang ke rumah sakit, namun tidak sesering Juna, sekitar 2 kali seminggu. Juna bahkan melakukan kelas daring dalam ruangan Seikha. Berharap Seikha juga mendengarkan materi bersamanya.
"Dok, bagaimana apa ada perkembangan? Seikha masih bisa bangun dan normal kan dokter?" Juna langsung bertanya pada dokter Andra yang masuk ke ruangan Seikha.
"Pada pasien koma seharusnya tidak berlangsung lebih dari beberapa minggu. Orang yang tidak sadarkan diri dalam jangka waktu lebih lama biasanya beralih ke keadaan vegetatif yang menetap. Tentu saja kita tidak mengharapkan itu."
"Saat ini banyak perkembangan dan fungsi genital juga baik. Kita berdoa, dengan harapan Seikha segera siuman," dokter Andra memberikan pemaparan ketika sedang visit dan melihat kondisi Seikha.
Juna tidak hilang harapan. Ia beribadah, belajar, bahkan makan di ruangan Seikha. Saat ini rumah sakit sudah seperti rumah kedua baginya. Untungnya Marni tidak keberatan dengan hal tersebut.
"Kring..kring..kring...."
Suara ponsel Juna berdering di ruangan nan sepi itu, nomor tidak dikenal memanggilnya.
"Juna, bagaimana Seikha? Maaf Om kemarin dari Melbourne. Ponsel Om yang biasa tertinggal di Jakarta. Ini baru sampai bandara." Kento mendadak menelepon Juna.
Juna tampak kesal, ingin marah, namun ingat akan perkataan Seikha bahwa Kento berbahaya. "Pantas saya tidak bisa hubungi nomer Om, akhirnya Bunda pergi ke kantor Om. Katanya Om sedang perjalanan ke luar negeri."
"Betul, tapi semua asuransi dan lainnya sudah Om urus. Dokter juga selalu kabari keadaan Seikha," ucap Kento.
"Terimakasih Jun sudah merawat Seikha. Sampaikan juga pada Ibu Juna ya. Sebagai gantinya, ada hadiah untuk Juna dan Ibu. Sudah di depan kantor Ibu Marni ya." Kento memberitahu.
Kento langsung mematikan panggilan teleponnya. Kemudian Juna menelepon Marni untuk mengkonfirmasi.
"Bund, tadi paman Seikha telepon Juna," sebelum Juna menyelesaikan kalimatnya, Marni menyela.
"Juna, ini ada mobil baru di depan kantor, orang dealernya bilang hadiah untuk Juna. Maksudnya bagaimana Bunda tidak paham?"Marni kebingungan.
"Sepertinya itu yang dimaksud hadiah oleh pamannya Seikha. Bunda, tolong jangan diterima, kembalikan saja." Juna menutup panggilan pada Marni.
"Seikha, betapa malangnya kamu. Aku paham maksudmu. Tenanglah, ada aku di sini. Kembalilah Sei..." Juna memegang erat jari jemari Seikha.