Prolog
Hidupku penuh dengan realita. Cerita yang indah berakhir dengan duka. Sudah biasa.
Kalian yang belum memahami arti cinta, bergembiralah. Jika belum merasakannya, tidak akan sakit jika kecewa. Cinta bukan hanya kepada lawan jenismu saja. Pada Tuhanmu, pada keluargamu. Pada orang yang kamu benci sepenuh hati.
***
Seikha terbangun mendengar Juna berlalu-lalang di depan kamar. Seikha membereskan sebisanya kamar Marni, lalu berganti pakaian kembali.
"Jun! Jun...! Marni yang datang langsung masuk membuat Juna yang berada di dapur kaget.
"Ya Allah, Bun, kaget. Kenapa?" Juna berusaha tenang, tidak panik.
"Sudah lihat berita? Itu ada Seikha! Bunda yakin sekali itu Seikha. Ada apa?!" Marni tampak terkejut karena saat ini nama Seikha menjadi pencairan nomer satu di media sosial.
"Bund, Ssstt, jangan keras-keras, ada...." Juna belum sempat menyelesaikan kalimatnya, dikejutkan dengan Seikha yang keluar dari kamar Marni.
Marni terbelalak melihat Seikha keluar dari kamarnya, merasa tidak enak karena membicarakannya. Namun Marni merasa harus mengkonfirmasi, karena berita itu akan semakin besar nantinya.
"Sei, ada di sini rupanya. Tante pikir masih di Yogyakarta," ucap Marni sedikit canggung.
"Maaf Tante, merepotkan. Tadi numpang di sini dulu." Seikha menjelaskan pada Marni yang terlihat cemas.
"Mohon maaf Sei, sebelumnya. Tante minta maaf sekali... Tapi apa Seikha tahu tentang berita yang sedang beredar di luar?" Marni menarik tangan Seikha dan menyuruhnya untuk duduk di sofa bersamanya.
Juna yang melihat tidak berbicara, tidak tega, serba salah. Berbagai pemikiran muncul di otak pintarnya. Juna memutuskan untuk diam, melihat situasi dan kondisi Seikha saat itu.
"Tentang apa, Tante?" Tanya Seikha sedikit bingung.
"Kematian psikiater, disangkutpautkan dengan Seikha yang masuk ke ruangannya. Belum lagi omongan miring tentang sikap Seikha dan lain sebagainya," ucap Marni menjelaskan.
"Sei baru bangun Tante, jujur belum melihat sama sekali." Seikha merespon yang Marni sampaikan.
"Sei, ini masalah serius. Tante yakin sekali Seikha tidak melakukan hal-hal yang tidak seharusnya. Tolong diluruskan agar orang-orang tidak salah paham," ucap Marni.
"Tidak perlu Tante, aku tidak perduli hal itu." Seikha tidak ingin Marni khawatir.
"Sudahlah, Bun. Biarkan saja, nanti seiring berjalannya waktu, mereka pasti akan lupa." Juna ikut mengomentari.
"Jun, bedakan hal yang bisa dilupakan dan yang tidak. Ini kasus pembunuhan melalui racun mematikan. Ingat sebesar apa kasus Sianida di Kafe Oliver saat itu? Hingga sekarang masih banyak kontroversi terkait hal tersebut." Marni berusaha memberikan pemahaman pada Juna dan Seikha.
"Bolehkah untuk sementara aku tinggal di sini Tante?" Tanya Seikha melipat tangannya, tidak enak pada Marni dan Juna.
"Tentu saja." Juna langsung menyambar mengiyakan.
"Sei... Memangnya Paman Kento nanti tidak akan khawatir jika Seikha tidak pulang ke rumah?" Marni yang tidak tahu kejadian sebenarnya bertanya pada Seikha.
"Tidak akan khawatir," dengan singkat Seikha meyakinkan Marni.
"Seikha, bukannya Tante tidak boleh. Tapi kalian ini sudah dewasa. Tante juga punya banyak tetangga yang melihat, sejujurnya kurang nyaman pasti bagi mereka yang melihat kalian tinggal bersama," ucap Marni berusaha menolak dengan cara halus.
"Hmm iya betul Tante, kalau begitu sebentar lagi Seikha pergi, karena sudah malam...." Seikha menyadari sikap Marni yang membuat jarak padanya.
"Bund, setidaknya sehari dua hari saja. Ini sudah malam. Sei besok saja pulangnya, sekarang disini dulu ya....." Juna memohon pada Marni.
"Sei, Seikha tahu betapa Tante menyayangi Seikha seperti anak sendiri bukan? Tante hanya tidak ingin Seikha terluka karena omongan orang di luar sana," Marni berusaha menjelaskan.
"Iya Seikha paham Tante. Jun, malam ini aku akan tidur di hotel saja, sekalian berlibur." Seikha mengatakannya dengan senyuman tipis yang terlihat dipaksakan.
"Maaf Seikha.. Maafkan Tante, ya...." Marni memeluk Seikha.
"Sudah tahu mau menginap di hotel apa? Biar aku antar," ucap Juna pada Seikha.
"Tidak perlu. Aku akan pesan grabcar saja. Kamu temani Tante, pasti lelah habis bekerja seharian." Seikha menepuk bahu Juna.
"Tapi Sei.. aku tidak bisa membiarkan kamu sendirian, tidak bisa," Juna bersikeras.
"Besok kamu bisa ke sana, ini sudah sampai drivernya." Seikha memeriksa ponselnya.
Dengan berat hati, Juna membiarkan Seikha sendiri. Seikha berpamitan pada Marni dan Juna lalu mengambil tas ranselnya. Saat berjalan menuju drivernya, Seikha menyadari cardigannya tertinggal di kamar Marni, Seikha pun kembali untuk mengambilnya.
Seikha hendak mengetuk, namun tidak sengaja mendengar perdebatan Marni dan Juna, yang membuat Seikha terhenti di depan pintu.
"Jun! Kamu gila ya? Bunda tahu betapa besar perasaan kamu sama Seikha. Tapi kamu juga harus realistis dong. Kamu ga lihat videonya? Kamu tahu Seikha bisa jadi tersangka. Kalau kamu ikut terseret-seret bagaimana?!" Seru Marni yang ternyata keberatan Juna membantu Seikha.
"Kenapa Bund? Bukannya Bunda suka sama Seikha? Sudah anggap anak sendiri?" Juna kaget mendengar Marni bicara seperti itu.
"Juna, Bunda sayang dengan Seikha, apalagi dia anak yatim piatu. Bunda sangat tersentuh dan mengasihaninya. Namun Juna adalah anak kandung Bunda. Satu-satunya keluarga yang Bunda punya. Kebanggaan dan harapan Bunda. Apa Bunda salah?" Marni terlihat sedikit emosional.
"Bun, maksudku...." Belum selesai Juna berbicara Marni memotongnya.
"Maksud kamu akan membahayakan diri kamu demi Seikha dan membiarkan Bunda sendirian? Begitu?" Mata Marni berkaca-kaca, air matanya berlinang.
"Juna, Bunda mohon. Jangan libatkan diri kamu dengan hal yang berbahaya. Bunda hanya punya Juna di dunia ini." Marni langsung masuk ke kamarnya.
Juna tidak bisa berkata-kata. Merasakan dilema besar yang belum pernah dirasakannya. Sedangkan Seikha merasa bersalah karena menjadi pemicu pertengkaran mereka. Seikha memahami Marni sepenuhnya.
Sesampainya di hotel, Seikha mencari berita terkini tentang dokter Samuel dan melihat beberapa tagline tentang dirinya.
"Ini ternyata berita yang dimaksud Tante," ucap Seikha sendirian.
"Pantas saja dia begitu," tambah Seikha lagi.
Anehnya Kento sama sekali tidak menelepon Seikha terkait berita tersebut. Seikha tampak melihat-lihat kalender di ponselnya. Minggu depan seharusnya menjadi jadwal rutin Seikha dan dokter Samuel.
Seikha juga teringat akan Maxime, anak dokter Samuel yang membantunya. Membayangkan perasaan kehilangan yang pernah Seikha rasa. "Pasti sangat sulit baginya," ucap Seikha.
Biasanya Seikha mencatat dan mengeluarkan isi hatinya pada diary miliknya. Namun sekarang tidak ada apapun atau siapapun yang bisa menghiburnya. Kesepian menghantam Seikha.
Dinginnya AC atau pemandangan malam yang menakjubkan di hotel pun tidak menbantu Seikha menyingkirkan kesendiriannya. Belum lagi bayang-bayang kejadian di rumah sakit yang terulang-ulang di memorinya.
Seikha mencari tahu kasus dokter Samuel dan racun yang disebutkan polisi, digunakan untuk membunuhnya. Seikha baru pertama kali mendengar perihal racun tersebut. Seikha juga memikirkan Kurnio yang berada di basement. Berbagai pemikiran memusingkan Seikha.
Sayang sekali Kurnio tidak memiliki telepon genggam, jadi Seikha tidak bisa menghubungi. Tujuan awal Seikha yang utama ke Jakarta adalah untuk mengkonfrontasi Kento. Namun apa yang terjadi justru sebaliknya. Seikha yang menjadi bahan konfrontasi di dunia maya.
Seikha sebenarnya tidak terlalu memikirkan pendapat orang lain. Namun melihat reaksi Marni yang begitu berbeda, Seikha menyadari. Sebesar itu kehormatan nama bagi manusia di bumi.
Di rumahnya, Juna membaca buku harian Seikha kembali. Selagi menahan rasa khawatir yang dalam, Juna berusaha memahami Seikha lebih dekat lagi.
Dear Diary,
1 Januari 2020.
Hari ini, Juna membuatkan pasta yang sangat lezat. Kami juga menonton Harry Potter bersama. Aku sangat gugup. Juna memberikanku Kalung Dandelion. Ia bahkan bekerja dan menabung untukku. Juna, bersamamu lebih lama membuat dadaku semakin sesak. Ini adalah keputusasaanku. Tetaplah di sampingku.
Mata Juna bergetar, ternyata Seikha begitu menghargai setiap hal kecil yang ia terima. Terlebih Juna memikirkan kini Marni membuat benteng antara mereka, kesedihan menghampirinya. Membayangkan Seikha sendirian dan kesulitan, Juna frustasi.
"Sei, bergembiralah. Jangan bersedih. Kamu tidak sendiri. Walau aku tidak di sana, aku selalu ada bersamamu. Apapun yang terjadi, aku tetap berada di samping Seikha." Pesan teks whatsapp yang Juna kirimkan pada Seikha.
Seikha membaca pesan dari Juna, tidak terasa matanya berlinang, perlahan air matanya menetes. Namun Seikha tidak bisa berbuat apa-apa jika Marni melarangnya. Kekhawatiran sebagai seorang Ibu tunggal, Seikha tidak ingin Marni membencinya.
"Dimanapun angin membawa dandelion terhenti, di sanalah ia akan tumbuh, Seikha harus bisa seperti Dandelion....." Seikha teringat pesan Ayahnya. Ia menguatkan dirinya.
"Siapa yang meracuni dokter Samuel? Mengapa dia diracun?" Seikha mencari tahu hingga teleponnya berdering.
"Selamat Malam dengan Mbak Seikha Sahl? Saya Eddy dari Kepolisian. Besok pagi bisa datang ke kantor untuk memberikan saksi terkait dokter Samuel? Tidak hanya Mbak, ada beberapa orang yang berada di TKP." Seorang polisi menelepon Seikha.
"Baik, saya akan ke sana." Seikha tidak gentar.
***
Kento menyiram air pada tubuh Kurnio yang berlumur darah. Posisi Kurnio duduk di kursi dengan tangan dan kaki yang terikat. Wajah Kurnio sudah babak belur tak berdaya.
"Seikerei? Pengorbanan diri? Menurutmu apa itu masuk akal?" Kurnio menghardik, tidak takut dengan apa yang akan dilakukan Kento selanjutnya.
"Lihat! Lihat ini, luka di wajahmu yang tidak bisa hilang. Kakimu yang tidak bisa berjalan sempurna. Kau lihat tidak?!" Sambil menampar Kurnio, Kento berteriak.
Kurnio mengejek, dia hanya tertawa mendengar Kento berbicara. "Hahaha... Terimakasih karena memberiku pengalaman yang baru. Sangat menyenangkan."
Kento lantas memukul kepala Kurnio dengan keras. "Lihat ke atas, lihat, gelap bukan? Sinar bulan yang gelap. Betapa berharganya matahari bahkan bagi orang sepertimu!"
"Dimana kamu selama ini sembunyi?!" Kento mengancam Kurnio.
"Di hatimu," Kurnio masih mengejek Kento dengan caranya.
"Beritahu tempat persembunyianmu," ucap Kento kembali memaksa.
"Tidak akan pernah. Tunggu dan sebentar lagi kamu akan membusuk di penjara! Kurnio meludahi Kento.
"Kurang ajar! Bagaimana bisa kamu masuk ke rumah ini, selama ini apa kamu bersembunyi di rumah Jakarta? Membuat basement yang tidak aku tahu?" Kento semakin penasaran.
Namun Kurnio hanya diam. Sebelumnya Kurnio mendapati Seikha sudah pergi. Ia memutar CCTV ruang bawah tanah Jogja untuk mengetahui. Kento takut Seikha melakukan perbuatan bodoh.
Kurnio menyusul ke rumah Seikha di Jakarta, beranggapan Seikha akan pergi ke sana. Namun sayang, saat sedang mengendap-ngendap, Kento memergoki dan menyekapnya.