Chereads / Seikha Sahl (Psycological Romance Thriller) / Chapter 29 - Bab 29. Kecelakaan Terorganisir ?

Chapter 29 - Bab 29. Kecelakaan Terorganisir ?

Pria yang mereka lihat adalah Kusno, ayah Seikha. Entah Kusno atau Kurnio, yang jelas Juna mengetahui wajahnya karena foto-foto di dinding rumah Seikha, baik Yogyakarta maupun Jakarta. Sedangkan Seikha, yakin bahwa pria dalam video adalah Kurnio. Saudara Kembar ayahnya yang merawatnya sejak Kusno meninggal dunia.

"Kenapa? Ada apa ini?" Seikha cemas memikirkan hal yang tidak masuk akal. Semua seperti mimpi baginya. Mulai dari ledakan, hingga banyak hal lainnya. Jika di urutkan, sejak kecil pikiran Seikha sudah terganggu, karena memikirkan sesuatu yang bukan untuk anak seusianya.

"Mengapa Ayah Kurnio ada di sana?" Seikha mulai berbicara.

"Ayah Kurnio? Maaf, tapi bukannya ayahmu bernama Kusno, Sei?" Tanya Juna yang bingung.

"Betul, ayahku adalah Kusno. Dia punya saudara kembar, Kurnio. Aku pun baru tahu belum lama ini." Seikha masih tercengang dengan informasi terkini yang ia dapatkan.

"Lalu kenapa selama ini dia tidak menemui kamu?" Juna bertanya kembali.

"Menurut pengakuannya, karena diancam oleh Kento, dia juga khawatir Kento melakukan hal buruk padaku," jawab Seikha menjelaskan.

"Aku tidak mengerti, Sei. Lalu mengapa dia menemui dokter Samuel?" Juna kebingungan.

"Aku juga tidak tahu." Jawab Seikha.

Mereka memutar klip keempat saat Kurnio berlutut di hadapan dokter Samuel, terlihat dokter Samuel menolak dan pergi dari ruangannya. Sedangkan pada klip kelima (terakhir), Kurnio datang mengendap-ngendap ke ruangan dokter Samuel dengan kaki pincangnya.

"Pantas saja Maxime berpikir ini semua karena aku, lihat, dia mengambil berkas atas namaku," Seikha memperbesar tampilan video saat Kurnio mengambil berkas di rak dokter Samuel.

"Untuk apa, Sei?" Juna masih belum paham.

"Itu yang perlu kita cari tahu. Jun, Ayah Kurnio sekarang berada di Jogja. Coba lihat, rekaman pada klip kelima sekitar 2 pekan yang lalu. Berarti saat itu dia di Jakarta," ucap Seikha.

Seikha bimbang siapa yang harus ia percaya. Apakah Kurnio atau Kento yang mendalangi kematian dokter Samuel. Lalu untuk apa mereka melakukannya sampai sejauh itu. Banyak pertanyaan yang belum terjawab.

"Apa kita perlu ke Jogja?" Tanya Juna pada Seikha.

"Ke Jogja lagi? Bolak-balik ke sana seperti dekat saja," ucap Seikha yang sudah lelah.

"Tapi kalau kita mau cari tahu harus ke sana, Sei." Juna memberikan masukan pada Seikha.

"Aku lelah, lusa saja jangan besok," sambil mengambil bantal dan berbaring di ranjang berukuran king size bed, Seikha merebahkan dirinya.

Juna terlihat tidak nyaman, gelisah karena mereka hanya berdua saja. Terlebih di hotel, konotasinya sudah tidak baik bagi yang mendengarnya. Juna ingin pamit pulang namun tidak tega meninggalkan Seikha sendirian.

"Sei, aku tidur di sofa boleh?" Juna berhati-hati bertanya pada Seikha.

"Bunda kamu gimana? Nanti dicariin," ujar Seikha khawatir.

"Tidak apa-apa. Aku kan sudah dewasa, sudah bisa jaga diri." Juna meyakinkan Seikha.

"Terserah kamu," bagaimanapun Seikha memang ingin ditemani. Ia tidak bisa menahan Juna di sini, maka Seikha memberikan jawaban ambigu.

"Oke, aku tidur di sofa ya. Aku izin ke kamar mandi." Juna melangkah pergi.

Seikha pun merasa lega, Juna mengerti walau Seikha tidak meminta. Seikha segera mengambil satu buah bantal dan guling serta selimut yang ia letakkan di sofa.

Untungnya walaupun Seikha memesan ruangan deluxe, terdapat sofa yang cukup besar di sana. Tadinya Seikha ingin menambah bed, namun Juna melarangnya. Juna tahu Seikha harus berhemat.

Mereka pun bersiap untuk tidur. Ada perasaan kurang nyaman dan canggung diantara keduanya. Seikha membolak-balikan badannya ke kanan dan kiri tidak karuan. Sementara Juna sibuk mengambil remote dan mengganti channel TV.

Beberapa saat kemudian, setelah lampu dimatikan, Seikha belum juga tertidur. Tentu saja karena Seikha memiliki insomnia, belum lagi jika mimpi buruknya mulai datang. Waktu 4 hingga 5 jam baginya sudah sangat cukup untuk beristirahat.

"Jun, belum ngantuk?" Tanya Seikha yang tidak bisa juga memejamkan matanya.

Juna tidak menjawab, sehingga Seikha pikir Juna sudah tertidur pulas. Seikha juga tidak berani menatap Juna. Mereka tidur berhadapan punggung. Seikha sedikit gelisah, ia berjalan mengambil minumannya.

Juna menutupi dirinya dengan selimut, melihat Seikha terbangun. Juna juga mendengar Seikha memanggilnya, namun tidak kuasa menahan kegugupannya. Jadi Juna berpura-pura tidur pulas. Pertama kali berduaan di malam hari dengan kekasihnya, satu kamar, sungguh membuat Juna geleng-geleng kepala.

"Jika Bunda tahu, pasti aku akan di coret dari kartu keluarga," ucap Juna dalam hati berusaha memejamkan matanya.

Suasana cukup tenang dan sepi. Juna berpikir kali ini Seikha pasti sudah terlelap. Juna yang sedari tadi menahan buang air kecil, akhirnya berkesempatan ke kamar mandi.

Begitu keluar dari kamar mandi, tentu saja Juna melihat Seikha yang sudah tertidur, jam menunjukan pukul 02.32 WIB dini hari. Semakin Juna memandangnya, semakin Juna mengagumi kecantikan Seikha.

"Bahkan saat tertidur saja, wajahmu sangat cantik, Sei. Begitu damai," Juna berbicara sendiri.

Juna kembali berusaha untuk memejamkan matanya. Sampai terdengar suara dari arah Seikha tidur.

"Ah, Ah!" Seikha terbangun dan duduk.

Juna lantas menghampirinya, Seikha terengah-engah seperti habis berlari. Matanya juga ketakutan, wajahnya pucat. Juna memberikan air mineral pada Seikha, menyuruhnya untuk tidur kembali.

"Mimpi buruk? Sudah tidak apa-apa. Ayo tidur lagi," ucap Juna.

Seikha yang mendengarnya, merebahkan kepalanya pada pundak Juna. Sedangkan Juna dalam posisi duduk di ranjang Seikha. Juna diam terpaku, jantungnya berdebar kencang. Juna harus keluar dari situasi ini.

"Berbahaya. Tidak bisa, aku harus menahannya." Juna berpikir dalam hati.

"Sei, sudah tidur ya. Aku kembali ke sofa," Juna langsung meloncati ranjang Seikha, tangannya memegangi dadanya yang terus menerus berdegup kencang.

Juna tidak ingin menyentuh Seikha, membuang jauh-jauh naluri laki-lakinya, demi kebaikan bersama. Seikha dan Juna pun akhirnya terlelap di tempatnya masing-masing.

*Astagfirullah!" Teriak Juna begitu bangun dari tidurnya.

Bagaimana tidak, Seikha sudah duduk persis di hadapannya. Seikha bangun sejak pukul 07.00, sedangkan Juna baru terbangun pukul 08.00, setelah sebelumnya pukul 05.00 meluangkan waktu untuk sholat subuh kemudian tidur kembali.

"Kaget Sei!" Seru Juna.

"Lama banget tidurnya. Ayo sarapan," ucap Seikha yang ternyata menunggunya untuk makan bersama.

"Ya ampun maaf, aku mandi bentar," ucap Juna.

"2 menit ya, cepet." Seikha tampaknya sudah sangat lapar.

Setelah Juna dan Seikha pergi sarapan, mereka memutuskan untuk berangkat ke Yogyakarta menemui Kurnio. Mereka berangkat menuju stasiun menggunakan motor Juna. Setelah 200 meter dari hotel, tiba-tiba ada sebuah mobil yang melaju sangat cepat di belakang Juna.

Juna yang melihat dari spion menyadari dan milih jalur kiri dengan mengendarai motor lebih lambat, namun mobil sedan berwarna hitam yang tidak berplat enggan mengurangi kecepatannya. Barulah Juna sadar, mobil itu mengikuti mereka.

"Sei, sepertinya mobil itu mengikuti kita," ucap Juna di balik helmnya.

Seikha lantas menoleh, dan benar saja, jarak antara motor dan mobil yang mengejar mereka semakin dekat. Juna berusaha mengebut, namun sayang, mobil sedan hitam lebih cepat mendahuluinya dan menabrak bemper belakang motor Juna dengan kencang.

Motor Juna terpelanting, Juna terjatuh dan Seikha yang kurang berpautan terlempar jauh. Motor Juna terseret hingga beberapa ratus meter, sedangkan sedan hitam misterius itu melarikan diri secepat kilat.

Para pejalan kaki berteriak melihat Juna dan Seikha yang sudah tergeletak di jalan raya. Sampai akhirnya ambulance datang dengan cepat karena rumah sakit berada tidak jauh dari lokasi kecelakaan lalu lintas itu.

Juna dan Seikha segera di bawa menggunakan tandu, kepala Seikha berlumuran darah karena helmnya terpental saat ia terjatuh. Sedangkan kaki Juna terhimpit badan motor. Mereka berdua tidak sadarkan diri.

"Bisa berbicara dengan Ibu Marni? Mohon maaf Ibu, apakah orangtua dari saudara Arjunara?" Pihak rumah sakit menelepon Marni.

"Iya betul, dengan siapa saya bicara?" Marni bertanya.

"Mohon maaf Ibu, saat ini putra Ibu mengalami kecelakaan lalu lintas di jalan ruas...." Pihak rumah sakit memberikan rincian terkait kejadian.

Marni shock berat, buru-buru berlari keluar dari kantornya dan menyalakan mobil menuju rumah sakit.

Sedangkan pihak rumah sakit tidak dapat menemukan kartu tanda pengenal atau identitas lainnya pada diri Seikha. Mereka berada di Unit Gawat Darurat, Seikha kehilangan banyak darah.

Seorang dokter senior dan beberapa dokter magang berlarian menghampiri, untuk memeriksa Seikha dan Juna. Betapa terkejutnya salah satu dokter magang di sana, karena mereka adalah pasien yang dikenalnya.

Maxime tersentak, ia terkejut Seikha mengalami kecelakaan, setelah kemarin mereka bertemu membahas kematian Ayahnya, dokter Samuel. Maxime bergegas membantu salah satu dokter memasukkan Seikha ke ruang operasi. Lalu kembali ke UGD memeriksa Juna.

Maxime juga melihat Juna sudah ditangani dengan baik. Kondisinya lebih stabil dibanding Seikha. Kemudian seorang wanita berlarian berteriak memanggil nama Juna sembari menangis.

"Ibu, maaf, tenang dulu. Pasien sedang kami lakukan tindakan," seorang perawat menghentikan Marni.

"Dokter tolong, mohon selamatkan anak saya," Marni sudah bermandikan keringat dan air mata.

"Ibu bisa tenang dulu, untuk temannya anak Ibu saat ini dalam kondisi kritis. Kami harus segera melalukan tindakan operasi tapi wali pasien tidak ada. Apa Ibu mengenalnya?" Tanya perawat pada Marni.

"Siapa?" Marni terkejut karena Juna tidak kecelakaan sendirian.

"Kurang tahu Ibu, karena dia tidak membawa identitas apapun," ucap perawat.

"Namanya Seikha, dia teman kuliahnya." Maxime memotong pembicaraan perawat dan Marni untuk mengkonfirmasi.

"Tolong beritahu wali Seikha, Ibu," ucap Maxime yang repot berlarian kesana kemari.

"Seikha?" Marni melihat kondisi Seikha dari balik kaca ruang operasi. Ia tertegun, bingung dan menangis. Lantas menanyakan pada perawat terkait ponsel Seikha.

Perawat memberikan ponsel Seikha pada Marni, namun sayang handphonenya sudah retak dan rusak, tidak bisa dinyalakan lagi.

"Ibu, harus sekarang, tolong tandatangani, sebelum terlambat. Pasien ini bisa tidak tertolong," ucap Perawat memaksa Marni.

"Baik, silahkan operasi, lakukan apapun yang terbaik. Saya walinya," ucap Marni memberanikan diri.

Maxime yang mendengar itu, langsung menuju ruang operasi. Membantu dokter syaraf senior menjadi asisten untuk mengoperasi kepala Seikha. Maxime bertugas membantu dokter anastesi melakukan pembiusan sebelum pembedahan, serta nantinya maintance perawatan nyeri pada pasien setelah operasi.

Juna yang sudah sadar langsung di peluk oleh Marni, Ibunya. Kondisi Juna masih lemah.

Lalu bagaimana kondisi Seikha? Apakah bisa diselamatkan? Siapa dalang dari semua ini?