Chereads / Seikha Sahl (Psycological Romance Thriller) / Chapter 28 - Bab 28. Menguak Kasus dr. Samuel

Chapter 28 - Bab 28. Menguak Kasus dr. Samuel

Dear Diary

6 Januari 2020.

Hari ini Kento datang. Seperti biasa ia melihatku dengan matanya yang penuh kepalsuan. Tidak tahukah dia bahwa aku sangat membencinya? Sampah.

Dia hanya sampah yang ingin aku buang. Andai saja saat itu aku tidak menghubunginya. Saat dia ada, dadaku terasa panas, jantungku berdetak lebih cepat. Aku sungguh tidak bisa menahannya.

Juna membaca maraton diary Seikha dan menyadari kesakitan yang dipendam Seikha selama bertahun-tahun, terasa olehnya. Sudah berkali-kali Juna menghubungi, namun Seikha belum merespon juga. Resah dan gelisah, Juna semakin khawatir dibuatnya.

31 Januari 2020

Hati itu laksana kertas ujian. Semua terhubung ke otak. Semakin kamu memahami, semakin penuh isinya. Semakin kamu tidak belajar, semakin kosong kertasnya. Atau mungkin hanya diisi jawaban yang asal-asalan. Toh pada akhirnya semua hanya melihat berapa nilainya. Padahal jawaban yang benar mungkin hanya karena keberuntungan tebakan. Bukan karena benar mengerti dan memahami maksudnya.

Juna bimbang, sedangkan di sisi lain Seikha tidak ingin Marni salah paham kepada mereka. Hubungan yang begitu dekat kini terbelenggu oleh salah paham antar pikiran. Juna yang dilema tidak ingin menyakiti hati kedua wanita yang disayanginya.

****

Keesokan harinya tepatnya pukul 09.10 WIB Seikha memenuhi panggilan kepolisian terkait kematian dokter Samuel. Banyak pertanyaan yang diajukan polisi terhadapnya. Bukan kepada Seikha saja, melainkan 25 orang saksi yang berada di TKP saat itu.

Nama Seikha viral karena perlakuannya pada dokter Samuel sebelum meninggal. Terlihat di video Seikha menunjuk-nunjuk dan terlihat marah pada lelaki paruh baya itu.

Saat Seikha menanyakan pada penyidik yang menginterogasinya, mereka tidak memberikan informasi. Keluar dari kantor polisi, Seikha tidak sengaja bertemu dengan Maxime, anak dokter Samuel.

Mereka bertatapan mata, namun Maxime tidak menyapanya. Alih-alih menghampiri, sikap Maxime tampak dingin. Hanya melirik Seikha dan masuk ke mobilnya. Seikha pun kembali ke hotel dengan taksi yang di pesannya.

Seikha menyiapkan ponsel dan buku pelajaran kuliahnya untuk kelas daring siang hari ini. Laptopnya masih ia tinggalkan di rumah Juna entah mengapa. Pandangan mata orang-orang seperti mengutuknya. Tampak Juna, Ali, Dayu dalam classroom.

Biasanya mereka akan mengirimkan pesan teks pribadi saat kelas berlangsung. Namun tidak saat ini. Hanya Juna yang mengiriminya pesan teks. "SEMANGAT!" dengan tulisan capslook.

"Begini rupanya dijauhi dan dibenci, dulu aku tidak perduli. Namun ternyata cukup menyakitkan, karena aku sudah tahu rasanya berteman," ucap Seikha dalam hati.

"Baiklah. Semua manusia sama saja. Mengapa harus aku pusingkan?" Seikha mencengkram kertas putih dimejanya, lalu memukul meja tempat menaruh ponselnya.

Seikha mematikan kelas zoom itu. Lalu berteriak berulang kali keras sekali hingga suaranya serak dan degup jantungnya berdebar hebat. Seikha memandang pemandangan dari jendela besar kamarnya di lantai 25.

"Jika aku terbang, apakah Ibu akan membawaku? Semua orang memiliki penolong dalam hidupnya. Kenapa aku hanya sendirian saja?" Seikha mulai berhalusinasi, rancauannya tidak jelas.

"Sepertinya semua orang jahat padaku, Ibu. Mereka menginginkan aku tidak bahagia. Ternyata aku hanya sendiri, seorang diri!" Teriakan Seikha semakin keras, kini wajahnya memerah, Seikha mengeluarkan air mata.

"Maafkan aku, Ayah. Sepertinya aku tidak bisa seperti dandelion yang bisa hidup di mana saja. Aku lemah. Aku lemah!" Seikha semakin menangis meratapi hidupnya.

Seikha tiba-tiba menyadari dan mengingat kembali, yang selalu mengajarkannya akan Dandelion adalah Kurnio, bukan Kusno. Siekha mulai mengingat dan kagum akan kepribadian ayahnya saat ia memasuki usia 7 tahun. Sedangkan tahun 2007 Kusno telah meninggal dunia.

Kemarin saat bertemu Kurnio, Seikha tidak bisa berpikir jernih. Ia bahkan memaki dan berbicara layaknya orang asing padanya. Kenyataan itu menghantamnya. Seikha sungguh merasa bersalah.

"Sei, boleh aku ke sana? Kamu lagi apa? Kenapa aku telepon tidak diangkat-angkat? Aku khawatir. Tolong balas pesanku," tiba-tiba pesan whatsapp Juna masuk, terlihat dalam notifikasi layarnya.

"Ternyata aku masih memiliki Juna. Sudah cukup bagiku," guman Seikha dalam hati.

Memang dari semalam Seikha mengabaikan pesan maupun telepon dari Juna. Banyak juga notifikasi dari ribuan orang yang mengumpat, mencemooh, menghina, berbicara buruk pada Seikha di media sosialnya. Belum lagi yang bergosip di belakangnya.

"Namun Juna yang malang itu selalu saja menerimaku, apa adanya. Saat aku sedang kaya, saat aku sedang miskin. Saat aku marah-marah, saat aku menangis. Bahkan saat aku dimaki, dicaci, dijauhi. Juna, betapa beruntungnya aku. Kamu terlalu baik untukku," Seikha berbicara sendiri.

"Seikha? Ini Maxime. Tolong balas pesan atau angkat telepon. Penting. Thx," pesan singkat dari Maxime yang membuat Seikha terkejut.

Seikha menelepon Maxime, mengabaikan pesan atau telepon Juna. "Ada apa?" Tanya Seikha pada Maxime di telepon.

"Bisa ketemu sebentar?" Sepertinya ada yang ingin Maxime sampaikan.

"Oke, whatsapp saja tempatnya." Seikha langsung mengiyakan ajakan Maxime.

Seikha belum sempat menyampaikan dukanya pada keluarga dokter Samuel. Ini merupakan kesempatan baginya, pikir Seikha saat itu.

Seikha bersiap-siap menemui Maxime di salah satu dessert cafe yang tidak jauh dari hotelnya. Ternyata Maxime sudah berada di sana. Seikha langsung mendatangi Maxime, mengucapkan turut berbelasungkawa. Mereka pun berbincang.

"Maaf sewaktu berada di kantor polisi, sikapku begitu dingin." Kalimat awal Maxime pada Seikha sore itu.

"Its Okay." Seikha meresponnya.

"Seikha, aku tidak tahu harus berbicara dari mana. Tapi aku tahu, bahwa kamu melihat secara langsung saat Ayah meregang nyawa," ucap Maxime serius, menatap Seikha dengan tajam dan dalam.

Sikap Maxime yang serius dan dingin sungguh berbeda dengan sosoknya beberapa waktu lalu. Seikha memahaminya, Maxime tengah melalui kesulitan dalam hidupnya.

"Iya. Aku melihat," ucap Seikha singkat.

"Apa yang kamu lihat?" Maxime terus mengajukan pertanyaan demi pertanyaan.

"Dokter Samuel menjerit kesakitan. Ia memegang lehernya seperti terasa sesak tidak bisa bernafas. Tidak lama darah keluar dari mulutnya dan dokter Samuel terjatuh ke lantai," jelas Seikha sesuai dengan apa yang dilihatnya saat itu.

"Apa kamu juga mempaparkan hal yang sama pada penyidik?" Maxime penasaran.

"Tentu saja." Jawab Seikha.

Maxime sejenak diam berpikir. Lalu mengatakan, "Seikha, apa ada yang kamu curigai?"

"Maksudnya?" Seikha bingung dengan pertanyaan Maxime.

"Orang yang kamu curigai meracuni Ayah? Apakah ada?" Tanya Maxime pada Seikha.

"Kenapa kamu bertanya padaku? Aku hanya pasiennya. Tentu saja aku tidak tahu," ucap Seikha meyakinkan Maxime.

"Kamu bukan sekedar pasien, Seikha. Ayahku pernah bilang. Saat kamu mulai datang ke tempat prakteknya, rumah sakit jadi ramai. Selain itu banyak juga kejanggalan lain." Maxime berusaha menjelaskan.

"Seperti? Maaf tapi aku tidak paham." Seikha sungguh tidak mengerti apa yang Maxime bicarakan.

"Pasti orang yang meracuni Ayah, ada hubungannya denganmu. Dari awal aku sudah peringatkan Beliau. Agar jangan berurusan dengan gadis bermasalah sepertimu. Namun dia tetap saja keras kepala," sambil meminum kopinya, Maxime tampak kesal.

"Oh jadi dia mengganggapku dari awal bermasalah," kata Seikha dalam hati.

"Saat itu sekitar satu tahun setelah kamu jadi pasiennya, Ayah bilang padaku. Bahwa kamu spesial. Kamu sendirian, perlu dibantu. Setiap aku melihatmu, aku terkesima dengan paras kamu Sei. Tapi aku juga takut karena semua orang yang berhubungan dengan kamu pasti akan menghilang. Bukan begitu?" Panjang lebar Maxime mengatakan apa yang ada dibenaknya.

"Maksudnya?" Seikha kaget dengan penjabaran Maxime seolah tahu saja apa yang telah Seikha lewati.

"Aku tahu semuanya. Tentang orangtuamu, tentang pamanmu, tentang kamu yang ingin membunuh, semuanya." Akhirnya Maxime mengatakannya pada Seikha.

"Bukan Ayahku yang membeberkan, tapi aku tidak sengaja mendengarkan saat sesi therapy," tambah Maxime.

Jantung Seikha seakan terhenti, ia seperti ditelanjangi. Seikha yang tidak mengerti motif Maxime berbicara seperti itu, hanya berusaha memahami.

"Kematian Ayahku, sepertinya ada hubungannya dengan kamu. 80% dalam diriku ingin percaya kamu tidak terlibat. Namun saat teringat kamu yang bahkan bisa menyakiti diri dan berbuat apapun, aku sungguh tidak tahu." Jelas Maxime.

"Aku bukan orang jahat." Seikha mendadak menyela Maxime.

"Dokter Samuel adalah satu-satunya oase saat hidupku mengalami kekeringan saat itu. Seorang gadis SMA yang bertahan hidup hanya dengan kata-kata dan semangat darinya. Kamu tidak tahu betapa aku sangat kehilangan beliau." Seikha berbicara dengan cepat, meminum jus yang telah ia pesan untuk menghilangkan kegugupannya.

"Ini," Maxime memberikan flashdisk pada Seikha.

"Apa ini?" Seikha bingung.

"Itu ada beberapa cuplikan video yang aku kumpulkan. Beberapa bulan terakhir. Aku belum memberikannya pada yang berwenang," ucap Maxime.

"Kenapa kamu berikan padaku?" Tanya Seikha tidak paham.

"Karena semuanya adalah tentang kamu, Seikha. Lihatlah dulu," Maxime langsung berdiri dan pergi meninggalkan Seikha.

Seikha kembali ke hotelnya setelah menemui Maxime, ia lupa bahwa laptopnya sedang ada di rumah Juna. Kemudian Seikha mencari warnet terdekat untuk melihat isi dari flashdisk yang diberikan Maxime. Sayang di sekitar hotel yang Seikha tempati tidak ditemukan adanya warnet.

"Jika isi dari flashdisk tersebut berkaitan dengan penyidikan, maka harus dibuka ditempat yang aman," pikir Seikha dalam hati.

"Juna, lagi di mana? Bisa ke Hotel ShangriLa? Jangan lupa bawa laptopku." Seikha langsung menelepon Juna.

"Ya ampun Sei. Kenapa baru kabari aku sekarang? Aku khawatir. Oke aku ke sana, tunggu." Juna bergegas menemui Seikha.

Sesampainya di kamar Seikha, Juna langsung memeluknya dengan erat. Seikha hanya diam saja, waswas terbawa pemikiran.

"Tante tahu?" Tanya Seikha.

"Sudahlah, ini laptopnya," ucap Juna mengalihkan pembicaraan.

"Ini flashdisk yang diberikan oleh anak dokter Samuel padaku. Namanya Maxime, kamu pernah bertemu dengannya. Dia yang menyelamatkanku saat tersesat di air terjun. Kamu ingat?" Seikha memberitahu Juna.

"Maxime? Oh ya, dokter co-ass itu. Kamu habis bertemu dengannya?" Pandangan mata Juna sedikit berubah.

"Iya sebentar tadi di kafe. Sekalian aku mengucapkan belasungkawa," jawab Seikha.

"Oh, oke," ada sedikit kecemburuan dalam diri Juna yang ia tutupi.

Mereka melihat potongan klip video itu bersama. Ternyata video tersebut merupakan potongan video CCTV di ruangan pribadi dokter Samuel. Maxime sengaja menaruhnya di sana karena khawatir pada Ayahnya. Namun Maxime tidak memberitahu polisi karena rekaman itu ilegal.

Seikha dan Juna segera membukanya. Terlihat pada klip pertama, dokter Samuel bertemu dengan pria yang menggunakan masker dan jaket baseball, mereka berbincang. Pada klip kedua, pria yang sama memukul meja dokter Samuel dan terlihat berdebat dengannya.

Begitu klip ketiga, Seikha dan Juna nampak kaget bukan kepalang. Mata Seikha terbuka lebar, ia memegang dadanya menutupi degup jantung yang begitu cepat. Sedangkan Juna tersentak hingga meletakkan kedua tangan di kepalanya. Seikha dan Juna saling bertatapan canggung.