Chereads / Seikha Sahl (Psycological Romance Thriller) / Chapter 23 - Bab 23. Terpaan Keheningan, Sepi.

Chapter 23 - Bab 23. Terpaan Keheningan, Sepi.

Suaran kicauan burung membangunkan Seikha dari tidur singkatnya. Begitupun suara rentetan pesan masuk di ponselnya yang bergetar berulang kali. Kepalanya sedikit pusing efek perjalanan kemarin. Dengan rambut berantakan, Seikha keluar kamarnya.

Mbok Jun sudah menyiapkan sarapan, Mbak Rara sedang bersih-bersih. Pemandangan yang indah bagi Seikha karena ia tidak sendiri. Mbok Jum yang melihatnya memanggil Seikha untuk sarapan, namun Seikha sungguh tidak lapar. Bahkan sejak kemarin Seikha belum makan, hanya makan cemilan sekedarnya saja.

Seikha sedikit tenang karena belum juga ada kabar dari Kento. Tampaknya Kento hanya ingin Seikha enyah dari hadapannya. Seikha berpikir seharusnya Kento tidak perlu bertindak lebih jauh dengan memecat Mbak Rara, orang yang tidak tahu apa-apa.

"Non, sudah bangun? Sini makan dulu," Mbok Jum menghampiri Seikha dan menyuruhnya untuk sarapan.

"Nanti saja, Mbok. Sei belum lapar," jawab Seikha dengan lemas.

"Mbak Seikha, nanti siang saya pulang ke rumah ya. Pak Kento sudah tahu saya ada di sini, tadi pagi-pagi menelepon saya. Katanya tidak boleh membantu Mbak Seikha. Mohon maaf Mbak, tapi sungguh menakutkan," ujar Rara melaporkan dan menjelaskan apa yang ia dengar.

"Mbok Jum, apa dia menelepon Mbok Jum juga?" Tanya Seikha pada Mbok Jum.

"Belum, Non. Walaupun Bapak nanti telepon, Mbok akan tetap di sini menemani Mbak Seikha. Rini belum juga ada kabar, Mbak Seikha sudah Mbok anggap anak sendiri," jelas Mbok Jum pada Seikha yang terlihat kurang sehat.

"Makasih, Mbok. Mbak Rara, kalau mau pulang tidak apa-apa. Hati-hati dan maafkan Seikha ya." Seikha mengizinkan Rara untuk pulang ke kampung halamannya, agar bisa menenangkan diri.

"Maaf karena sekarang aku tidak bisa menyuruh Mbak untuk bersamaku karena tidak bisa menggaji. Aku tidak punya uang," ucap Seikha sedikit tersenyum sambil berjalan menuju meja makan.

"Tidak apa-apa, Mbak. Maaf juga, Mbak Rara belum bisa membantu, karena jujur Mbak Rara memang membutuhkan biaya untuk keluarga." Rara menjelaskan agar Seikha tidak salah paham.

"Tenang saja, Mbak Rara. Aku paham sekali. Mari makan bersama. Setidaknya temani aku makan. Ayo Mbok Jum. Kita makan bertiga di meja." Seikha menarik tangan Mbok Jum dan Rara untuk sarapan bersama, walapun Seikha tidak nafsu makan.

"Lho tapi Mbak Seikha kok ga dimakan?" Tanya Mbok Jum melihat Seikha hanya memainkan sendok dan garpu saja.

"Iya," akhirnya Seikha menyendok sedikit nasi putih itu, memakannya dengan sop ayam sayur buatan Mbok Jum.

Kemudian Seikha bersiap mengikuti kuliah online dari kampusnya. Sebenarnya Juna melakukan panggilan video juga pada Seikha, namun Seikha mengabaikan panggilannya. Kepala Seikha memang sedikit pusing.

Rara mengetok pintu kamar Seikha untuk berpamitan. Seikha memeluknya, meminta maaf. Kemudian Rara diantar Mbok Jum sampai depan halaman rumah.

Rumah besar ini sekarang hanya tersisa Mbok Jum dan Seikha saja. Melihat dari kejauhan Mbok Jum yang sedang menyapu pekarangan, Seikha teringat dulu saat orangtuanya masih hidup. Rumah ini tidak pernah sepi sebelum malam tiba, banyak pegawai yang membantu mereka.

Ponsel Seikha bergetar, kali ini Kento memanggilnya.

"Sei, lagi di rumah Jogja ya? Kok ga bilang-bilang?" Kento setengah mengejek.

"Ada Mbok Jum di sana? Bilang kepada Mbok Jum. Orang yang menggajinya itu Paman, bukan Seikha. Jika ingin digaji, suruh pulang ke Jakarta. Kalau besok dia masih belum berangkat juga, yasudah, silahkan kamu yang gaji saja." Nada Kento biasa namun tersirat mengancam.

Seikha langsug menutup telepon Kento tanpa menjawab sepatah katapun. Tidak ingin bertindak gegabah karena Kento bertindak semaunya, termasuk melakukan pemecatan seenaknya.

"Mbok, tadi Sei dapat telepon dari Paman. Katanya Mbok harus ke Jakarta. Nanti Sei belikan tiket untuk besok ya?" Seikha harus menahan kesedihan karena akan ditinggal sendirian.

"Ndak Non, Mbok di sini saja menemani Mbak Seikha." Mbok Jum bersikeras.

"Mbok, dengarkan Seikha baik-baik. Kalau Mbok di sini bersama Sei, Mbok tidak akan digaji. Seikha juga mungkin tidak bisa bayar Mbok. Uang yang diberikan pada Seikha mungkin hanya cukup untuk makan dan keperluan kuliah saja," ucap Seikha tampak dewasa bagi Mbok Jum yang lama mengenalnya.

"Nanti kalau Kak Rini datang, akan Seikha kabari." Seikha kembali meyakinkan Mbok Jum.

Mbok Jum melihat mata coklat Seikha yang sedikit sayu dan lelah. Suaranya juga tidak selantang biasanya, tampak lemah dan lemas. Tidak tega meninggalkan Seikha sendirian, Mbok Jum pun tetap ingin tinggal di Yogyakarta.

"Mbok Jum di sini saja ya, Mbak," lirih Mbok Jum dengan mata berkaca-kaca. Tidak tega meninggalkan Seikha sendirian.

"Jangan Mbok, nanti Sei merasa bersalah." Seikha menekankan pada Mbok Jum kegundahan hatinya.

Sampai akhirnya dengan berat hati Mbok Jum menuruti Seikha untuk kembali ke Jakarta. Seikha enggan membebani orang lain, karena ia akan frustasi. Seikha yakin bisa hidup sendiri, walau keheningan pasti menghampiri.

***

Keindahan pekarangan dan taman bunga dandelion menjadi saksi kenangan Seikha dan keluarga. Tidak dipercaya, Seikha kembali ke rumah ini, sendirian dan bahkan tidak punya apa-apa.

Memasak nasi pun tidak bisa, Seikha yang lapar pergi membuka kulkas. Hanya tersisa 3 butir telur, sayuran, dan sirup saja. Seikha melihat dispenser beras, terlihat sisa 1 liter. Perut Seikha sudah bergemuruh sejak pagi. Kemarin-kemarin Seikha bahkan tidak lapar. Namun pagi ini, Seikha lapar sekali.

"Bagaimana caranya memasak nasi? Apa aku harus telepon Mbok Jum? Hmm, sepertinya jangan. Nanti Mbok Jum khawatir," ucap Seikha mengoceh sendirian di rumah besar nan luas itu.

Seikha mengambil semua beras yang tersisa, lalu ia masukan ke dalam penanak nasi. Seikha tambahkan air yang menurutnya cukup, bahkan tidak mencuci beras itu. Selanjutnya Seikha berniat memasak telur mata sapi.

Seikha terlalu banyak menuang minyak ke dalam penggorengan. Tetesan air dari sodet yang digunakannya membuat minyak panas memercik-mercik. Seikha memalingkan wajahnya dari kompor, melindungi lengannya.

Kemudian Seikha pecahkan telur. Minyak semakin memercik, asap sudah terlihat dan berbau karena terlalu panas, Seikha bingung tidak mengerti. Karena takut, Seikha mematikan kompor. Alhasil telurnya gosong, namun bagian dalamnya belum matang.

Tidak lama kemudian penanak nasi berbunyi menandakan nasi sudah matang. Seikha membukanya, merasa bangga karena bisa memasak. Namun setelah Seikha aduk, nasinya terlalu keras. Tampaknya Seikha kurang menuangkan air.

Seikha menyendok nasi kering itu ke mangkuk, lalu ia tambahkan telur yang dibuatnya. Perutnya yang lapar tidak bisa diajak kompromi, dengan terpaksa Seikha memakannya. Seikha mengernyitkan dahinya, tanda makanan tersebut kurang enak.

Seikha harus pergi ke pasar atau supermarket terdekat untuk berbelanja bahan makanan. Seikha juga harus berhemat. Seikha bahkan tidak tahu kemana ia harus pergi. Ia membuka google, penolong umat manusia di bumi.

Kali ini Seikha berjalan kaki, sambil melihat apa saja yang ada di sekitar rumahnya. Ternyata banyak juga penjual makanan matang atau minuman yang menjajakan dagangannya. Dengan celana pendek, kaos oblong, dan sendal jepit pink yang ia beli di Singapore, Seikha berjalan-jalan.

Gudeg, oseng mercon, mangut lele, sate klatak, sampai es kepala muda dan berbagai macam dagangan terlihat sekitar 100 meter dari rumah Seikha.

"Bapak, gudeg dan kreceknya satu. Pak, melayani delivery?" Tanya Seikha pada Bapak penjual gudeg paruh baya.

"Mboten, Mbak.. delivery iku opo?" Bapak penjual gudeg kebingungan.

"Maksudnya makanannya bisa diantarkan? Itu lho dekat disana," ucap Seikha sembari menunjuk rumahnya.

"Oh, Mbak tinggal di rumah besar iku? Bapak pikir kosong. Njeh, bisa diantar kalau dekat, nanti bagian antar anak Bapak itu," jawab Bapak Gudeg sambil melihat anaknya yg sedang membungkus.

"Maturnuwun, Pak." Seikha merasa lega, nanti tidak perlu repot memasak. Cukup membeli makanan dekat rumahnya.

Seikha juga melakukan permintaan yang sama pada beberapa penjual yang menjajakan dagangannya di jalan besar itu. Semua Seikha mintai nomer telepon. Setelah itu, dengan penuh bungkusan di tangan kanan dan kirinya, Seikha pulang berjalan kaki kembali.

Seikha mendengus lelah, melempar berbagai bungkusan yang dibeli. Seikha langsung membuka es kelapa jeruk, menyeruputnya karena kepanasan. Seperti matahari lebih dekat, suhu panas sangat terasa.

"Untuk apa aku membeli sebanyak ini? Sepertinya aku hanya lapar mata." Seikha tertawa melihat meja makan yang penuh.

Seikha berjalan-jalan mengitari rumahnya. Menyirami tanaman di pekarangan dan taman depan. Kemudian Seikha beristirahat, berbaring di gazebo kayu, melebarkan lengannya, mengayunkan kakinya ringan.

Bersantai, menikmati, seperti tidak ada yang terjadi. Mentalnya semakin tangguh saja, Seikha bisa mengendalikan diri. Kendati terpaan keheningan tak bisa dipungkiri, tertampar sepi.

Walaupun banyak pertanyaan yang melintas di pikirannya, Seikha tidak bergeming. Harus menjadi tangguh dan kuat agar dapat melewati semua ini. Seikha memandang langit senja begitu dalam, tenggelam dalam keindahan dan pemikiran.

"Seikha?" Terdengar suara serak dan berat mendatanginya.

Seikha menoleh ke belakang, mencari ke kanan dan kiri. Asal suaranya terdengar dekat, Seikha berdiri lalu pergi mencari di sekitar taman. Entah mengapa dadanya berdegup kencang, hawa dingin terasa di tubuhnya.

Sekali lagi Seikha berputar, namun tak ada siapa-siapa. Mungkin hanya perasaannya saja. Seikha kembali masuk ke dalam rumah, menutup pintu dan menguncinya.

Malam itu, suasana di rumah lebih gelap karena lampu di halaman belakang yang mati dan belum diganti. Seikha tidak tahu cara mengganti lampu, jadi Seikha membiarkannya.

Keesokan paginya, Seikha bangun pukul 08.03 WIB. Seikha mengambil susu yang kemarin ia beli di kulkas lalu meminumnya. Berjalan ke halaman belakang untuk mengambil sapu karena ada remahan makanan di lantai.

Betapa terkejutnya Seikha, dua lampu yang mati di halaman belakang tiba-tiba menyala. Saat Seikha ingin membuang bungkus susu pack, Seikha tertegun melihat 2 lampu bekas yang sudah diganti ada di tempat sampah.

"Hah? Siapa yang mengganti? Apa ada orang lain di sini?!" Seikha terkejut, bulu kuduknya berdiri membayangkan ada orang lain yang mengawasinya selama ini.

"Apa ada orang? Halo?! Keluar atau saya panggil polisi! Keluar!" Seikha berteriak, marah-marah memutarkan badannya sembari matanya sibuk mencari.

Seikha mengambil pisau dapur, dipegangnya untuk berjaga-jaga. Lalu berkeliling mengitari setiap sela rumah klasik itu.

"Krekkk.....Krekkk....." terdengar suara pintu terbuka.

Seikha yang mendengarnya langsung mengacungkan pisau, bersikap awas, walau dalam hati Seikha takut setengah mati.

"Sei, ini Ayah," suara berat, serak, dengan kaki yang pincang, seorang laki-laki paruh baya memanggil dirinya dengan sebutan ayah.

Seikha yang berbalik melihat seorang pria berusaha masuk dari pintu taman ke dalam rumah. Tinggi badan dan wajahnya nampak tidak asing. Ya, dia terlihat seperti Kusno. Ayah Seikha yang menghilang dan dianggap sudah mati.