Chereads / Seikha Sahl (Psycological Romance Thriller) / Chapter 25 - Bab 25. Misteri Ruang Bawah Tanah

Chapter 25 - Bab 25. Misteri Ruang Bawah Tanah

Sulit bagi Seikha percaya akan segala yang dikisahkan oleh pria yang mengaku sebagai saudara kembar Kusno, Kurnio. Namun entah mengapa, Seikha melihat ketulusan dan kejujuran dari matanya.

Jika benar, maka selama ini (setelah kejadian gempa), Kurnio lah yang merawatnya. Pria tegas nan lembut yang mengasihinya. Sedangkan potret ayah kandungnya, ternyata sesuai dengan ingatannya. Ayah yang sangat melindungi anaknya.

"Percayalah pada Ayah, Sei..." ujar Kurnio dengan gemetar, menangis sendu.

"Selama ini, Ayah bertahan di ruangan bawah tanah. Sengaja menunggu momen saat Seikha sendirian, agar Ayah bisa menceritakan semua kebenaran ini. Beberapa ruangan di rumah ini disertai CCTV kecuali kamar dan kamar mandi."

"Saat Sei sedang bersama teman-teman, Ayah melihat dengan jelas.. Ayah juga memasang CCTV di rumah dekat air terjun Wringin. Dimana dulu Ayah disekap oleh Kento. Ayah bisa melihat semuanya."

"Rumah Jakarta, Ayah bisa memantaunya dari sini. Butuh bertahun-tahun mempersiapkan ini semua. Sei.... Mari, ikutlah, akan Ayah tunjukan ruangan bawah tanah rahasia buatan keluarga Dihardjo. Hanya almarhum

ayah Kusno dan Ayah saja yang tahu.

"Satu lagi, saat Seikha mendengar percakapan kami, tentang Yumi di ruang bawah tanah. Semua itu adalah settingan Kento. Ia sengaja mensabotase agar membenci Ayah Kusno. Mengiranya berkomplot dengan Kento membunuh Yumi."

"Ayah juga yang membantunya membereskan itu semua hanya dalam waktu 3 hari, mengganti keramik dan lemari kayu dalam kamarnya. Membuat Seikha seperti memiliki gangguan jiwa yang berdelusi tinggi."

Seikha terbelalak mendengar semua pengakuan Kurnio, Dadanya berdegup kencang, seluruh tubuhnya lemas. Seikha tampak tak berdaya dan memutuskan percaya padanya.

"Mari Sei..... Ayah akan buktikan, semua ada di ruangan bawah tanah. Tepatnya dibawah gazebo, tempat Seikha berbaring melihat senja." Kurnio perlahan meyakinkan Seikha untuk pergi bersamanya.

Seikha berjalan mengikuti Kurnio di belakangnya. Tubuhnya sudah lemas menolaknya, namun rasa penasaran dan pembuktian lebih besar menyelimuti.

Kurnio menekan salah satu tonjolan kayu pada bagian bawah gazebo dengan tangannya. Tanah buatan itu bergeser, membelah diri perlahan, menyisakan pintu yang terbuka di dalamnya. Terlihat tangga-tangga tersusun rapi dibawahnya, besar dan indah.

Saat Seikha menuruni ruangan itu, terlihat foto-foto dari kecil hingga besar kebersamaan Kurnio dan Kusno. Foto mereka dengan orangtua serta sanak saudara.

Betapa terkejutnya Seikha, begitu sampai di ruang bawah tanah itu. Ruangannya sangat luas, berukuran sekitar 120 meter persegi. Ada kamar, kamar mandi, dapur, seperti apartemen saja.

Kurnio mempersilahkan Seikha memasuki ruangan yang di depannya diberi nama "Seikha". Terlihat begitu banyak monitor yang memantau dari berbagai CCTV yang sebelumnya disebutkan Kurnio. CCTV di rumah Jakarta, Yogyakarta, bahkan terdapat rumah indah yang Seikha tidak kenali.

"Itu rumah Kento dan Yumi saat kecil. Tepatnya di dekat Air Terjun Wringin. Bukankah Seikha sudah pernah ke sana?" Tanya Kurnio sembari mengambilkan Seikha minuman dari dalam kulkas.

"Tidak, hanya ke air terjunnya. Tidak tahu sama sekali tentang rumah itu," jawab Seikha.

"Hm baiklah. Banyak hal yang Kento lakukan di sana. Tapi sudahlah. Kelak semua orang akan tahu," ucap Kurnio menundukan kepalanya. Seperti sulit mengisahkan apa yang dilihatnya.

Seikha duduk di sofa berwarna maroon, matanya berkeliling melihat arsitektur yang unik namun rapi. Bangunan kokoh yang masih berdiri tegak diterpa gempa, Seikha terkesima.

"Bagus? Kalau tidak nyaman, Ayah juga tidak akan sanggup bertahun-tahun di dalam sini. Apalagi tidak mendapatkan sinar matahari. Saat Ayah mengecek CCTV tidak ada orang di rumah ini, baru Ayah keluar menikmati." Kento menjelaskan sembari berjalan terseok membawa nampan untuk Seikha.

"Tidak perlu repot," ujar Seikha yang melihatnya kesulitan.

"Tidak repot sama sekali. Ayah sangat lega, akhirnya kita bisa bertemu hanya berdua." Kurnio mengelap air matanya yang sudah mengalir sejak tadi.

"Bagaimana bisa lepas dari Kento? Apakah dia tahu kalau anda masih hidup?" Tanya Seikha pada Kurnio.

"Tidak tahu, mungkin dia mengira Ayah sudah mati atau keluar negeri. Beberapa minggu setelah mengunjungi rumah Seikha di Jakarta, Kento berjanji akan mempertemukan Seikha dan Ayah. Namun janjinya palsu, hari demi hari, hingga berbulan-bulan dan berganti tahun." Kurnio menjelaskan rasa frustasi yang di rasakannya.

"Akhirnya Ayah berhasil meloloskan diri dengan melompat dari apartemen yang disediakan Kento. Ayah melompat ke 2 lantai di bawahnya. Jika saat itu lompatan Ayah gagal, pasti Ayah sudah mati. Sebelumnya Ayah mengakali CCTV yang dipasang oleh Kento di apartemen." Kurnio kembali mempaparkan cerita versinya.

"Kenapa sesulit itu untuk melepaskan diri dari Kento?" Seikha penasaran.

"Sei, kamu tidak tahu? Kento memiliki pengikut yang sangat loyal kepadanya, mereka menyeramkan. Belum lagi Ayah takut dia akan menyakitimu. Namun dia tidak bisa melakukan apapun karena semua aset atas nama Seikha," ujar Kurnio.

"Kento sudah berlumuran darah. Membunuh seperti hal biasa baginya. Lihat, ini bekas luka karena Ayah berusaha kabur," Kurnio menunjuk bekas luka pada wajahnya.

"Apa Seikha mengenal gadis ini? Belum lama Kento juga menghabisinya." Kurnio memperlihatkan sepotong video CCTV yang diambil di dalam rumah dekat air terjun.

Seikha memperbesar wajah gadis dengan rambut hitam panjang sepunggung. Wajahnya nampak tidak asing namun sedikit buram karena cahaya lampu. Lalu Seikha menyadari, gadis itu ialah Rini, yang mereka cari selama ini.

"Itu, Kak Rini! Anak dari Mbok Jum. Mengapa dia ada di sana? Sei harus cepat memberitahu Mbok...." Seikha menutup mulut dengan tangannya, matanya membesar melihat adegan selanjutnya. Saat Kento mencekik gadis malang itu.

"Apa?! Jadi. Kento? Kak Rini? Apa yang harus kita lakukan?!" Seikha panik, terengah-engah.

"Tidak ada. Gadis itu sudah mati dan Kento menghilangkan jejaknya begitu rapi," ucap Kurnio pada Seikha.

"Kak Rini dibunuh oleh Kento? Apa yang dia perbuat sampai harus diperlakukan seperti itu?" Seikha memegang dadanya, sungguh sesak.

"Sei? Tidak apa-apa? Wajahmu pucat sekali, beristirahatlah. Tidak perlu melihat ini semua, sudah cukup." Kurnio mengkhawatirkan Seikha.

"Jika anda tahu ini semua, kenapa tidak berusaha menghentikannya?!" Seru Seikha menghardik pada lelaki di hadapannya.

"Jarak dari rumah ini ke sana tidak dekat, Sei. Selain itu, Ayah juga sangat terkejut karena kejadiannya begitu cepat. Padahal sebelumnya mereka terlihat baik-baik saja," kata Kurnio.

"Bagaimana ini, bagaimana menjelaskan pada Mbok Jum yang selalu menanti Kak Rini? Hatinya pasti hancur sekali." Seikha mencemaskan betapa terpukulnya jika Mbok Jum mengetahui itu.

"Orang yang dipercaya, yang dilayani sepenuh hati, dari bangun tidur hingga malam hari, adalah manusia yang membunuh anaknya sendiri?!" Hati Seikha sakit membayangkan kebenaran ini.

Seikha membutuhkan waktu untuk termenung sejenak. Berpikir dan mencerna segala hal yang menjadi satu begitu cepat. Seikha melihat sekeliling ruangan dengan konsep industrial. Kesan ruangan yang pengap namun nyaman.

"Tidak ada yang tahu tentang basement ini Sei. Tidak akan pernah ada selain keluarga kita, Dihardjo. Paham?" Kurnio meyakinkan Seikha tidak boleh memberitahu siapapun terkait rahasia mereka.

Seikha pergi keluar ruangan bawah tanah itu, tidak lupa sebelumnya mengambil beberapa foto Kento dan Kurnio di dinding. Seikha memasukkan pada sakunya, sebagai pengingat bahwa ia tidak bermimpi atau berimajinasi.

Kurnio tetap berada di ruangan bawah tanah, menyusun strategi pembalasan pada Kento, yang tidak mudah dilakukan. Kento memiliki kekuasan dan kekayaan, semua orang berpihak padanya. Dengan topeng kebaikan dan kharisma yang selalu ia pertontonkan.

Seikha mendekati bunga-bunga dandelion yang berguguran. Gelap, seperti relung hatinya. Sepi, seperti rumah dan keluarga yang tidak Seikha miliki. Namun tenang seperti hatinya saat ini. Kurnio ada di bawah tanah setiap saat, melindunginya.

"Ayah, maafkan Seikha karena sudah berprasangka," matanya memerah, badan Seikha dingin ditusuk angin malam.

Seikha terdiam, mendengus dan menarik nafas panjang. Tangannya bergetar menutupi linangan air mata yang deras jatuh di pipi. Seikha menangis kencang sekali. Taman dandelion yang selalu menjadi saksi.

Seikha meronta, menggali tanah dibawahnya. Menangis tidak karuan, berteriak semaunya. Melampiaskan sakit di dada yang selama ini menyiksa. Seikha ingin membebaskan dirinya dari belenggu pikiran buruk yang menghancurkan hidupnya.

Kurnio menyaksikan dari CCTV di ruang bawah tanah. Berkaca-kaca dan memegang dadanya. Pasti terasa sangat sakit bagi Seikha, ledakan realita demi realita yang harus dihadapi.

Kurnio harus cepat menyusun strategi, agar tidak ada korban lagi. Ia memutar otaknya, berpikir dalam. Mengantisipasi berdasarkan pengalaman yang sudah terjadi.

Seikha masih terus memandangi peristirahatan terakhir ayahnya. Padahal makamnya begitu dekat dengannya selama ini. Pantas hati Seika tenang dan nyaman jika berada di Jogja, ternyata orangtua Seikha senantiasa menjaga dan menemaninya.

Seikha berbaring di tanah, disamping tanaman serta bunga dandelion yang mengitari. Memandang gemerlap bintang dilangit yang tampak membentuk berbagai rasi.

Air matanya tak henti menetes dari mata coklat nan indah itu. Seikha melebarkan lengannya. Terkena bebatuan hingga perih tidak berasa bagi Seikha. Kerinduan dan kekaguman terhadap ayahnya membuat Seikha senang sekali, sehingga tidak mau beranjak pergi.

Seikha tertidur hingga dini hari di taman, untung tidak hujan. Seikha terbangun, dan mandi pukul 4 dini hari. Seikha mengecek bahan makanan yang ada dalam kulkas. Membuat sarapan semampunya, menulis surat dan meletakkannya di meja makan, berharap Kurnio memakan dan membaca suratnya.

Lalu Seikha bersiap pergi dengan tas ranselnya. Membawa makanan, obat-obatan, serta berbagai macam barang yang Seikha perlukan. Seikha pergi berjalan kaki lalu menaiki taksi online yang dipesannya menuju Stasiun Wates.

Menaiki kereta api, Seikha bersiap menuju Jakarta. Entah apa yang ada dipikirannya. Kemarin malam Seikha tampak tenang, dapat mengendalikan diri. Namun setiap detik suasana hatinya bisa berubah.

"Sudah saatnya aku membersihkan sampah yang ada di sekitarku. Agar harum dan indah, kembali seperti dulu. Tunggu saja. Akan aku balas semua perbuatanmu. Hingga kamu akan memohon kematian dari pada hidup." Seikha dengan tenang dan datar berucap, matanya tajam, penuh dendam.