Chereads / Seikha Sahl (Psycological Romance Thriller) / Chapter 22 - Bab 22. Kampung Halaman, Aku Kembali.

Chapter 22 - Bab 22. Kampung Halaman, Aku Kembali.

Seikha membanting pintu ruangan Kento. Semua karyawan atau karyawati yang melihat sampai kaget dibuatnya. Seikha emosi, ia harus keluar dari tempat ini. Jika tidak, pasti membuat keributan. Seikha berlari menuju kamar mandi, tempat terdekat untuk sendiri.

"Ah! Kurang ajar! Dasar sampah! Sudah aku bilang seharusnya aku membuangnya, sampah! Seikha berteriak keras sekali. Membanting semua benda mati. Suara keras terdengar sampai luar hingga orang-orang berkumpul di depannya.

"Kenapa? Ada yang salah? Kenapa lihat-lihat?!" Seikha memelototi setiap mata yang melihatnya di depan area restroom. Kemudian Seikha berlalu pergi, menghentakan kakinya di depan kumpulan orang-orang yang memperhatikan.

Seikha mencari mobilnya yang terparkir di basement, namun tidak menemukannya. Seikha berlarian berkeliling, yakin bahwa ia menaruhnya di tempat yang diingat. Hingga seorang security mendatanginya, dengan ramah bertanya padanya.

"Mbak Seikha?" Tanya security yang ternyata mengenal Seikha itu.

"Iya betul. Pak. Maaf bapak, saya sedang cari mobil saya. Tadi saya parkir di sana tapi tidak ada," ucap Seikha menjelaskan pada security sambil menunjuk lokasi terakhir Seikha menaruh mobilnya.

"Oh iya. Mohon maaf, Mbak. Itu perintah dari Bapak Kento, mobil Mbak Seikha akan dipergunakan untuk operasional kantor." Jelas security itu dengan ramah dan senyum tipis.

"Hah! Kenapa mobil saya juga diambil? Ini perusahaan orangtua saya! Pencuri, pengkhianat, apalagi title yang cocok dengan sampah itu," Seikha berteriak dengan nada tinggi. Ia sulit mempercayai semua kejadian ini.

Seikha mengambil handphonenya, mengunduh aplikasi taksi online dan memesan untuk mengantarkannya pulang. Seikha memegang dadanya, terasa sakit dan tidak nyaman. Saat ia sedang emosi, semua perasaan memuncah jadi satu.

Sesampainya di rumah, Seikha menekan bel dan Mbak Rara yang membukanya nampak sudah siap dengan koper dan segala bawaannya. Rara menangis begitu melihat Seikha.

"Mbak! Aku harus gimana, Mbak? Aku butuh sekali pekerjaan ini," ucap Rara dengan air mata yang terus mengalir.

"Lho kenapa Mbak Rara? Tolong jelaskan pelan-pelan ," tanya Seikha perduli.

"Aku dipecat, Mbak...." Rara menangis sesengukan karena mendapat kabar mendadak yang menyulitkan hidupnya.

"Siapa yang pecat? Tidak ada yang bisa memecat selain Seikha, Mbak! Seikha menggebrak pintu masuk di sampingnya, keras sekali.

"Pak Kento tadi baru saja di telepon. Katanya pesangon Mbak Rara sudah dimasukkan ke tabungan," Rara menjelaskan perlahan sambil menarik nafas.

"Hah?! Seikha kaget bukan kepalang.

Bukan Seikha saja yang Kento berikan hukuman, namun semua orang yang berada di sekelilingnya. Seikha mulai khawatir, siapa lagi orang yang di persulit hidupnya oleh Kento. Paman yang mengelabui keponakannya sendiri.

"Lalu Mbak Rara akan kemana?" Tanya Seikha khawatir.

"Akan pulang kampung, Mbak. Saya tidak boleh tinggal di sini oleh Pak Kento, tertulis sore ini harus sudah meninggalkan rumah." Rara menunjukan pesan yang didapatnya dari Kento pada Seikha.

"Mana sini lihat," Seikha mengambil ponsel Rara dan membaca pesan singkat pemutusan hubungan kerja sepihak itu.

"Kurang ajar! Dia sungguh penipu. Jahat sekali." Seikha semakin marah saja.

"Sudah, Mbak. Tidak apa-apa. Saya pulang ya, Mbak Seikha jaga diri baik-baik..." Rara terlihat tidak tega meninggalkan Seikha sendirian.

"Mbak, bisa tunggu? Aku juga akan berkemas. Mari kita ke rumahku di Jogja," kata Seikha diiringi langkah kaki cepatnya menuju kamar. Mengambil semua barang yang diperlukan. Dibantu oleh Rara, Seikha cukup cepat mengemas.

"T-tapi Mbak, apa benar ini semua? Jangan pergi, nanti Pak Kento bisa semakin marah." Rara ketakutan karena Seikha akan ikut dengannya.

"Gak apa-apa Mbak, aku juga sudah dibuang. Sudahlah. Nanti saja jelaskannya, sekarang bantu aku dulu." Seikha menjelaskan sembari sibuk mengemasi pakaian dan buku kuliahnya yang berantakan.

Mereka pergi dengan memesan tiket kereta. Sebelumnya Seikha mengambil semua tabungan yang ada di rekeningnya. Seikha memiliki dua rekening. Rekening yang diberikan perusahaan dan rekeningnya sendiri selama ini yang luput dari Kento.

Saldo yang tersisa di tabungannya Rp 43.200.500,-. Seikha mengambil Rp 43.150.000,- menyisakan saldo minimun yang seharusnya. Seikha juga ingin menarik atm dari rekening yang diberikan perusahaan namun sayang rekening sudah dibekukan.

Rara yang saat itu melihat Seikha buru-buru pergi ke atm, sungguh heran. Biasanya Seikha jarang sekali memegang dana cash.

"Mbak, pake uang ini saja," ucap Rara sembari menyodorkan uang sekitar satu juta untuk memesan tiket kereta bersama Seikha.

"Jangan, Mbak." Seikha mendorong lembut jemari Rara tanda ia tidak ingin menggunakan uang itu.

Mereka akhirnya pergi secara dadakan ke Yogyakarta. Dalam perjalanan, Seikha tersenyum, lalu tertawa sendiri. Melepaskan semua beban di hati. Seikha sepertinya menikmati.

"Wah, seru sekali! Aku belum pernah naik kereta antarkota seperti ini!" Seikha terlihat bersemangat sekali.

"Oalah, iya pasti Mbak Seikha baru pertama ya naik ekonomi begini, kalau yang mewah juga ada, Mbak..." jelas Rara pada Seikha.

"Tidak, aku sekarang harus berhemat. Aku tidak punya uang." Seikha memberitahu Rara sambil tertawa, padahal sebelumnya Seikha emosi dan marah-marah.

Rara yang baru melihatnya seperti itu keheranan dibuatnya. Sungguh momen langka Seikha menjadi seorang yang ceria. Seikha yang duduk di depan Rara menikmati pemandangan alam Indonesia yang indah.

"Perjalanan dengan kereta sungguh enak di pandang. Saat terbang dengan pesawat, kamu akan menjadi kecil karena bumi terlihat begitu besar. Namun saat naik kereta, aku seperti berjalan beriringan. Tidak ada jarak, lebih dekat di hati," celoteh Seikha dengan berbagai imajinasi dan perumpaman yang ia sukai.

"Wah iya betul juga, Mbak. Mbak Rara ini memang belum pernah naik pesawat, tapi jika lihat di TV bisa dibayangkan. Sama seperti yang Mbak Seikha gambarkan," Rara tampak hangat. Lalu perlahan ia tertidur karena kelelahan.

Ponsel Seikha bergetar, Juna menghubunginya. Seikha langsung teringat, ia belum memberitahu Juna. Seikha langsung bergegas menelepon Juna.

"Jun, aku perjalanan ke Yogyakarta," ucap Seikha.

"Hah? Kok mendadak sekali? Kemarin kamu ga bilang. Ngapain ke sana? Sama siapa?" Juna bertanya-tanya efek terkejut, risau, dan bingung.

"Aku juga tidak tahu kalau ini akan terjadi, Juna. Tadi aku habis dari perusahaan. Kento adalah monster, dia membuangku. Bahkan menyulitkan orang-orang di sekitarku." Jelas Seikha yang tidak biasanya berbicara panjang lebar.

"Pelan-pelan, tarik nafas dulu.... Hembuskan..... Ayo silahkan cerita," ucap Juna lembut menuntun Seikha.

"Dia membuatku menandatangani berkas yang ternyata isinya adalah peralihan hak. Sekarang aku tidak punya apa-apa sebelum usiaku 21 tahun. Credit card, kartu debit, tabungan, mobil, rumah, asistenku, semuanya sudah tidak ada. Kento tidak membiarkanku memiliki itu semua," akhirnya Seikha menceritakan kejadiannya pada Juna.

"Aku sungguh tidak menyangka, Om Kento adalah orang yang seperti itu." Juna terbelalak, ia kaget, merasa bersalah karena Juna yang menyuruh Seikha menemui Kento. Juna bahkan menenangkan Seikha akan pikiran buruknya pada Kento.

"Sei, maafkan aku. Seharusnya aku percaya kamu. Kalau Om Kento tidak sebaik yang aku pikirkan, maafkan aku Sei..." Juna bingung harus berbuat apa.

"Sudahlah, lebih baik, aku menyepi dulu ke kotaku. Mungkin aku akan tinggal di sini sampai usiaku 21 tahun dan akan kurebut kembali perusahaan milik orangtuaku," ucap Seikha bertekad.

"Lalu aku?" Juna bertanya dengan lemas.

"Kita LDR saja," dengan mudah Seikha memutuskan hubungan mereka, anomali.

"Sei? Serius?" Juna sungguh tidak bisa berkata-kata dengan sikap Seikha yang sepertinya biasa saja.

"Jun, ini bukan mauku. Tolong mengertilah. Jika kamu bisa menungguku," jawab Seikha kali ini dengan lembut.

"Maafkan aku." Tambah Seikha.

"Apa kamu baru saja meminta maaf? Ini bukan seperti Seikha yang aku kenal." Juna tertegun.

"Jaga diri, Juna. Aku mau tidur, perjalanan masih panjang," langsung Seikha menutup teleponnya.

"Perjalanan masih panjang? Dari suaranya Seikha menaiki kereta. Seikha belum pernah menaiki angkutan umum selain pesawat sebelumnya." Juna berbicara sendiri.

Seikha tidak beristirahat, ia tidak tidur. Hanya memandang kosong keluar jendela. Teringat akan Juna, Marni, Ali bahkan Dayu. Tidak lupa Mbok Jum, Rini, serta Mbak Rara. Mereka yang membuatnya tersenyum dan menikmati momen bersama.

Akhirnya sampai di stasiun, Seikha memesan taksi online menuju rumahnya. Turut serta Rara menemaninya. Hamparan sawah dan kebun yang hijau sudah terlihat, harumnya terasa seperti kampung halaman.

"Mbok! Mbok! Seikha berteriak di depan pintu rumah megah namun sepi itu.

Tidak lama seorang wanita paruh baya yang sedikit gemuk, dengan daster batik berwarna merah maroon membuka pintu.

"Non! Lho kok ga bilang mau datang? Kalau bilang, Mbok bisa belanja," ucap Mbok Jum tampak senang melihat Seikha sembari mengambil koper besar yang Seikha bawa.

"Ga perlu, Mbok." Seikha menjawabnya, menyuruhnya untuk tidak membantu mengangkat koper, Mbok Jum terlihat lelah bagi Seikha.

"Oalah, Mbak Rara juga ikut, mari Mbak," Mbok Jum ikut mempersilahkan Rara untuk masuk ke dalam rumah.

"Gini lho Mbak Seikha, Mbok Jum. Saya itu harus pulang kampung dulu ke Wonosari." Rara berhati-hati tidak ingin menyinggung Seikha atau Mbok Jum.

"Oalah begitu, ya menginap di sini dulu, nanti besok ke sana," ucap Mbok Jum menenangkan Rara menyuruhnya istirahat karena terlihat lemas.

"Iya menginap dulu. Mbak. Capek pasti." Seikha berusaha meyakinkan Rara.

"Baik, Mbak. Aku tidur di sini dulu ya," kata Rini sambil membantu mendorong koper besar Seikha yang sedang di bawa Mbok Jum.

Akhirnya Seikha dapat beristirahat. Ia memasuki kamar orangtuanya, karena kamar Ssikha sewaktu kecil terlihat sempit baginya. Mungkin karena dulu Seikha terakhir berada di rumah Jogja saat berusia 10 tahun.

Seikha merebahkan diri sejenak, bukan hanya pikirannya, namun tubuhnya pun lelah. Seikha memikirkan biaya konsultasi, therapy, biaya dokter.

"Sepertinya aku tidak akan menemui siapapun, baik Juna atau yang lainnya," ucap Seikha sembari berbaring di ranjang, matanya menengadah ke atas hingga perlahan terlelap.

"Aku lupa kemarin aku memberikannya pada Juna. Mengapa pas sekali? Bahkan sebuah buku tempatku mencurahkan isi hati saja, berada di tangan orang lain saat ini." Seikha terbangun, tiba-tiba mengingat diary yang biasanya selalu ikut kemanapun Seikha pergi.

"Sepertinya buku diary itu sudah menemukan pemiliknya." Seikha berbagi pemikirannya.

"Jun, tolong disimpan baik-baik buku harianku. Aku sudah sampai Jogja," Seikha memberitahu Juna via whatsapp. Seikha merasa lega, setidaknya Juna atau Mbok Jum yang ditemuinya baik-baik saja.

"Aku akan buat perhitungan jika sampah itu menyentuh manusia yang dekat denganku." Seikha diselimuti amarah.

"Walau memory yang tersimpan di rumah ini buruk sekali, namun tetap membuatku nyaman dan aman. Hmm, mungkin ini yang namanya kampung halaman," ucap Seikha kembali berusaha memejamkan matanya.