Hari berlalu dengan indah, Seikha masih tertawa jika mengingat kelakuannya sendiri. Bertanya langsung pada orangtua pria yang ia sukai. Untung saja, Marni berpikiran terbuka.
Sudah dua hari sejak Kento perjalanan dinas. Seikha juga masih belum bertanya alasan Kento menyuruhnya datang cepat ke Jakarta. Begitupun berkas yang katanya harus Seikha tandatangani, belum muncul juga.
"Dasar aneh. Menyebalkan," ucap Seikha berbicara sendiri memikirkan Kento.
Suara mobil terdengar dari halaman belakang. Benar saja, Kento datang. Tidak ada hujan, namun Kento basah kuyup seperti waktu lalu. Gemericik air keluar dari pakaiannya yang tampak berat.
Mbak Rara yang membuka pintu terperanjat, langsung memberikan jalan pada Kento yang terlihat buru-buru pergi ke kamarnya.
"Tolong bersihkan nanti ya," ucap Kento pada Rara agar mengelap jejak basah yang ia ciptakan.
"Baik, Pak Kento," jawab Mbak Rara santun.
Kento langsung menutup pintu kamarnya. Seikha yang sedang menonton televisi mendengarnya samar. Seikha keheranan, mengapa Kento seringkali pulang basah kuyup padahal menggunakan mobil atau bahkan tidak hujan sama sekali.
Namun pikiran itu hilang begitu saja. Seikha beristirahat sembari memainkan ponselnya. Membuka laptop, mengerjakan tugas kuliah yang menumpuk. Seikha melihat folder yang ia beri nama "misteri". Kumpulan informasi serta foto yang Seikha cari dan kumpulkan semua ada di sana.
"Atau aku hapus saja? Aku ingin membuat lembaran yang baru," ucap Seikha berbicara sendiri berbagi pemikirannya yang berarti.
Perjalanan ke Yogyakarta kemarin mendewasakan Seikha, baik dari segi pemikiran maupun sikap pada sesama. Walau sikapnya tidak bisa langsung berubah, setidaknya ia lebih sedikit bijaksana.
"Seikhaa! Coba turun sebentar!" Seru Kento dari lantai satu berteriak memanggil Seikha.
"Apa sih ah." Seikha yang kesal menggerutu.
Lalu ia perlahan turun untuk menemui pamannya itu. Sudah lama Seikha tidak melihat wajah Kento. Namun tampaknya, semakin kusut saja. Entah beban pekerjaan atau hal lain, yang jelas fisiknya terlihat lebih kurus dari biasa.
"Kenapa?" Tanya Seikha dengan nada malas.
"Ini. Tolong ditandatangani di masing-masing halaman ya," jelas Kento sambil menunjukan beberapa dokumen di ruang keluarga.
"Apa ini?" Seikha yang bingung tidak langsung menuruti perintah Kento.
"Hanya arsip kepemilikan, sebentar lagi Seikha berusia 21 tahun. Pada surat wasiat yang di berikan Mas Kusno, Seikha sudah harus mengurus perusahaan." Kento menjelaskan secara singkat pada Seikha yang masih mengernyitkan dahinya.
"Coba Sei baca dulu." Seikha mengambil berkas tersebut, dibacanya dengan seksama.
Walaupun tampak acuh, Seikha anak yang pintar dan teliti. Apalagi untuk hal besar seperti ini. Keberlangsungan semua karyawan taruhannya, Seikha tidak boleh gegabah.
Seikha membaca dari baris awal hingga akhir. Kento memperhatikan sambil duduk dan meminum kopinya di sofa depan televisi. Kento terlihat nyaman dengan rambut yang masih basah dan piyama hangat di tubuhnya.
"Sudah? Tidak perlu baca semua. Itu ada 35 lembar, intinya kurang lebih serupa dengan penjelasan Paman." Kento meyakinkan Seikha untuk segera menandatanganinya.
"Point-point yang ada dalam surat notaris tersebut, memang keinginan dari Mas Kusno. Paman hanya sebagai pemegang sementara dan perantara. Setelah ini, Paman ingin istirahat. Mungkin akan keliling dunia atau berlibur, yang jelas menyenangkan diri." Kento panjang lebar menyampaikan keinginannya pada Seikha.
Seikha melihat Kento, terbesit perasaan bersalah dan terimakasih. Bagaimanapun Kento telah menjaganya selama ini. Memegang perusahaan di masa yang sulit, memenuhi kebutuhan hidup dan lain sebagainya.
Pikiran Seikha dilemahkan oleh belas kasihan, menjauhkan pikiran buruknya yang dominan. Pada akhirnya Seikha menandatanganinya untuk menghargai adik dari Ibunya. Prasangka buruk pada Kento selama ini, bisa saja salah, pikir Seikha.
"Oke." Seikha masuk ke kamarnya kembali setelah menandatangani seluruh dokumen yang tidak Seikha baca sepenuhnya.
Seikha hanya membaca dari halaman 1-10. Namun karena terlalu banyak pasal dan lain sebagainya, belum lagi nasehat dan permintaan Kento yang ada di depan matanya, Seikha teralihkan.
Seikha kembali ke kamarnya, tidak terlalu memikirkan dokumen atau apapun yang berhubungan dengan perusahaan. Sedangkan Kento masih menikmati kopinya, lalu terdengar memanggil Mbak Rara untuk menyiapkan makan malam untuknya.
Tidak ada keanehan atau hal yang berarti. Kecuali momen Seikha dan Juna bersama kemarin. Sayang sekali, di hari yang sama Seikha mendapatkan pengumuman bahwa kuliahnya juga akan dilaksanakan secara daring. Ia tidak lagi bisa ke kampus karena pandemi covid19.
"Hari-hariku pasti akan sangat membosankan," ucap Seikha memikirkan.
Lalu handphonenya bergetar. Terlihat pesan singkat dari Juna, "Sudah tidur?"
"Belum," Seikha menjawabnya.
"Lagi apa, Sei?" Tanya Juna kembali pada Seikha.
"Kenapa sih klise amat? Pasti lagi apa. Yang lain pertanyaannya ada ga?" Seikha tiba-tiba sewot, menceramahi Juna.
"Ya ampun, Sei. Aku masih gugup. Hehe," jawab Juna canggung.
"Tumben. Yaudah sana istirahat, besok jemput aku ya," Seikha mengetik dengan cepat.
"Kita mau kemana Sei?"
"Jam berapa?"
"Pakai motor atau mobil kamu?"
"Karena nanti takutnya hujan."
"Kamu kuliah daring jam berapa emang?"Rentetan pertanyaan Juna yang membuat Seikha semakin sakit kepala.
"Ih bawel amat! Udah dateng aja dulu. Bolos aja sehari," ucap Seikha pada seorang Juna yang rajin.
"Ehm, tapi Sei, besok aku ada quiz...." Sebelum Juna melanjutkan Seikha sudah terlebih dulu menutup teleponnya.
Seikha tersenyum geli melihat percakapannnya bersama Juna. Tidak lupa Seikha meminum obatnya, menulis diary lalu bersiap untuk beristirahat.
Keesokan harinya Juna datang pagi-pagi sekali. Tampaknya Juna ingin memanfaatkan waktu bersama Seikha sebaik mungkin. Tidak ingin melewatkan walau hanya 1 menit saja.
Juna menekan bel di mana saat itu menunjukan pukul 07.05 WIB. Mbak Rara yang membuka pintu bahkan mempersilahkannya untuk ikut sarapan.
"Oalah Mas Juna, mari ikut sarapan, ini sudah siap. Sebentar lagi juga Pak Kento makan," ujar Mbak Rara.
"Aduh, Mbak. Tidak usah, terimakasih. Sudah makan roti tawar dan susu kok." Jawab Juna dengan senyumnya yang menawan.
"Wah. Pagi-pagi ada Juna rupanya. Ada apa Jun? Jemput Seikha kuliah?" Kento yang sedang berjalan ke dapur, melihat Juna di ruang keluarga.
Juna langsung menghampiri Kento, salim kepadanya dan dengan santun mengatakan,"selamat pagi, Om. Maaf sekali mengganggu pagi-pagi."
"Oh tidak apa-apa. Juna sudah dianggap seperti anak Om juga. Tapi kayaknya Seikha belum bangun Jun. Hahaha," kelakar Kento sambil merangkul Juna mengajaknya ke meja makan.
"Sudah sini, sarapan dulu. Sudah lama Om sarapan sendirian. Menyedihkan, bukan?" Kento langsung duduk dan mempersilahkan Juna ikut sarapan bersama.
Juna yang tidak enak, tentu saja mengiyakannya. Mereka sarapan dan berbincang bersama. Dari pandangannya, Juna terlihat mengagumi sosok Kento.
"Berkharisma, flamboyan, pekerja keras, dan perduli pada Seikha," ucap Juna dalam hati sambil memperhatikan Kento yang sedang melahap makanannya.
"Om, memang tidak ada rencana menikah?" Juna yang sudah dekat dengan Kento berani menanyakan hal tersebut.
"Pengen sih, Jun. Tapi nanti yang urus Seikha ajaib siapa? Om bertaruh tidak ada yang bisa. Hahaha," ucap Kento sembari tertawa lepas.
Juna yang mendengarnya juga ikut tertawa, lelucon Kento tampak lucu baginya. Tidak berselang lama, Seikha turun ke lantai satu karena mendengar suara Juna. Sebenarnya Seikha enggan sarapan bersama Kento, tapi apa boleh buat.
"Sei! Wah kalau ada Juna pagi-pagi gini, Seikha jadi mau sarapan sama Paman?" Tanya Kento pada Seikha yang langsung duduk menjaga jarak, berjauhan dengan Kento.
"Sudah lama?" Seikha tampak bertanya pada Juna, mengabaikan pertanyaan dari Kento.
"Baru. Sei, jawab dulu itu Om Kento lagi bicara sama kamu," ucap Juna merasa canggung berada diantara mereka.
"Gak apa-apa. Tidak masalah, Jun. Sudah biasa Om dicuekin Seikha," Kento masih tampak ramah. Ia menyodorkan nasi goreng pada Juna.
"Oiya, kenalkan, ini pacarku. Arjunara." Seikha berucap sambil mengoles roti dengan selai strawberry.
"Maksudnya kalian pacaran?" Tanya Kento pada Seikha dan Juna.
"He em," jawab Seikha singkat.
"Mohon maaf sekali, Om. Juna belum meminta izin, mohon izinkan Juna untuk...." Juna berbicara pelan, hati-hati agar tidak ada yang tersakiti.
"Hahaha. Juna, Om senang! Untung kamu yang jadi pacar Seikha. Kalau orang lain, tidak akan kuat," Kento memotong ucapan Juna, ia terlihat riang. Terlebih sama sekali tidak mempermasalahkan hubungan mereka.
"Kalian mau kemana?" Tambah Kento lagi.
"Rahasia," jawab Seikha sembari meminum jus tomat di depannya.
"Oiya, Juna sudah tahu? Tahun depan Seikha yang akan memimpin perusahaan, karena Om akan pensiun." Kento menjelaskan diikuti dengan keterkejutan Juna.
"Benarkah, Sei?" Tanya Juna menahan rasa kagetnya pada Seikha.
"Entahlah," jawab Seikha terlihat malas menanggapi.
"Tentu saja harus. Karena semua ini miliknya, milik orangtua Seikha. Tentu saja dia yang seharusnya mengelolanya bukan? Biar tahu susahnya cari uang." Kento menjelakan sembari tersenyum hangat, namun ada kesan menyindir dalam kalimatnya.
Seikha yang mendengar hal tersebut, pura-pura tidak merasa. Padahal Seikha orang yang mudah terbawa perasaan. Gampang tersinggung, seringkali takut namun ia pendam. Hingga yang keluar hanya sikapnya yang apatis saja.
"Paman diberitahu kalau mulai hari ini perkuliahan semuanya daring? Bisa ke kantor besok, Sei? Lihat-lihat dulu saja." Kento setengah memaksa.
"Males ah, nanti-nanti saja." Seikha tidak mau kalah.
"Kalau besok tidak datang ke kantor, semua kartu debit dan kartu kredit Seikha akan Paman blokir," ucap Kento tersenyum tipis sembari menatap Seikha.
Seikha diam sejenak, melihat Juna disampingnya. Juna berada dalam situasi serba salah. Tidak ingin ikut campur, Juna hanya diam mendengarkan perdebatan Seikha dan Kento.
"Maaf ya Jun. Om pikir sudah waktunya Seikha untuk dewasa dan belajar menghargai orang lain. Oke, kalian sarapannya dihabiskan. Pergi dulu, Bye!" Seru Kento mengambil tas kerjanya dan berlalu pergi meninggalkan Seikha dan Juna di meja makan.
"Sei?" Juna berhati-hati memanggil Seikha yang terlihat ketus, kesal dan marah.
"Apa kamu tidak mau sama aku, kalau aku miskin?" Seikha melirik sinis pada Juna yang polos.
"Ya enggak lah. Jangan gitu, bagaimanapun Om Kento adalah satu-satunya keluarga yang kamu punya." Juna menenangkan Seikha.
"Kamu belum tahu siapa dia sebenarnya. Hm, sama sepertiku. Tidak tahu maksud dan tujuannya," ucap Seikha menjabarkan pemikirannya tentang Kento.
Juna hanya menerka-nerka akan hubungan Kento dan Juna yang tidak biasa. Namun ia tidak berani lebih dalam bertanya. Sampai akhirnya, Seikha membuka mulutnya.
"Juna, bisa ke kamarku sebentar?" Seikha menarik tangan Juna ke kamarnya di lantai dua.
"Ada yang ingin aku katakan," celoteh Seikha pada Juna.
"Jika kamu ada waktu, bacalah," Seikha memberikan buku diary tempatnya berkeluh kesah.
"Kenapa kamu memberikan hal yang begitu privacy dan berharga padaku?" Tanya Juna yang masih terbelalak.
"Karena kamu lebih berharga." Jawab Seikha.