Chereads / Seikha Sahl (Psycological Romance Thriller) / Chapter 21 - Bab 21. Buku Harian Seikha

Chapter 21 - Bab 21. Buku Harian Seikha

Dear Juna,

Saat kamu membaca ini, berarti aku sudah siap dengan segala konsekuensi. Pilihlah, masih ingin bersamaku dengan senyum yang palsu atau pergi meninggalkanku?

Hidupku berat, masa laluku suram, aku juga tidak memiliki orangtua. Jika aku tersenyum selama ini, maka itu adalah karena kamu. Namun aku tidak mau menipumu lagi.

Bacalah dengan hatimu yang lembut, ini kisahku.

Seikha.

***

Sebelumnya Seikha dan Juna menghabiskan waktu menonton TV bersama setelah makan pagi. Berjalan-jalan ke taman dan bermain games bersama. Sampai pukul lima sore hari, Juna mengantarkan Seikha kembali pulang.

Dalam perjalanan, Juna termenung sebentar. Tas ranselnya kini bertambah berat dengan buku diary Seikha yang tebal. Belum lagi bahan kayu pada cover, membuat buku itu seperti enskiklopedia bagi Juna. Begitu besar rasa percaya Seikha padanya, pikir Juna dari balik helm yang menutup wajahnya.

Sesampainya di rumah, Juna membersihkan dan membereskan diri dahulu. Marni memanggilnya untuk makan malam bersama, kemudian mereka berbincang sebentar. Tentu saja Marni penasaran karena Juna baru pertama kali pacaran.

Orang yang mendengarnya mungkin tidak percaya, seorang Juna yang tampan dan menawan, baru berpacaran. Seikha adalah cinta pertamanya. Juna begitu setia akan perasaannya, mengingatkan Marni pada almarhum Ayah Juna.

"Gimana, Gimana Jun? Kayaknya lagi kasmaran yah? Hihi..." Canda Marni mengganggu putranya.

"Apa sih Bund, biasa aja ah." Juna tampak malu-malu menanggapi Marni.

"Tenang Jun. Bunda ga iseng kok. Udah sana istirahat anak ganteng," ucap Marni berdiri dan membereskan makan malam mereka.

"Bund, aku ke kamar ya...." Juna berjalan menuju kamarnya.

Juna tampak belum siap membuka tas ransel yang berat itu. Namun rasa penasaran menyelimutinya, tentu saja ia ingin tahu segala hal tentang Seikha. Dibukanya perlahan buku diary tebal itu, lalu menaruhnya di meja belajar. Juna menyalakan lampu bacanya.

Dear Diary

Yogyakarta, 1 Februari 2010

Ini adalah kali pertamaku menulis diary. Diary ini adalah hadiah dari Ayah untuk Ibu. Mulai hari ini, kau adalah sahabatku. Diary, apa kau tahu? Ibuku menguap terkena ledakan, sedangkan Ayah juga lenyap. Keduanya menghilang meninggalkanku sendirian.

Seikha.

Juna terperanjat begitu membuka halaman pertama diary Seikha yang berharga. Kalimat awal saat Seikha berusia 10 tahun. Berbagai macam emosi mengganggu pikiran Juna. Menggelitik nuraninya, membakar api amarah, namun memercik rasa belas kasihan.

"Dia mengalami semua ini?!" Juna merinding berkali-kali membaca penggambaran imajinasi yang dituliskan oleh Seikha.

"Kenapa selama ini dia diam? Kenapa Sei? Kenapa kamu tidak minta bantuanku?" Mata Juna berkaca-kaca. Ia tidak mengerti mengapa tulisan tangan ini seperti dekat dengannya. Mengingatkan kehilangan yang dalam pada Ayah yang dicintainya.

Kedekatan Juna dan Seikha seperti takdir alami. Juna merasa selalu terhubung dengan Seikha karena rasa kesakitannya yang dalam, yang ia pendam. Tidak pernah berbicara akan penyesalan, air mata atau rasa sakit hati yang ia rasakan. Juna memahami tulisan Seikha yang mengandung banyak makna.

Juna baru membaca saat Seikha berusia 12 tahun, namun menyadari kisah Seikha semakin kelam saja. Tidak ada kata bahagia yang ia tuliskan disana. Kehilangan, kemarahan, air mata, penyesalan, dendam. Kata-kata itu yang terbesit dalam pikiran Juna.

Juna menarik nafasnya kembali, menghembuskannya panjang kali ini. Ia mendengus untuk kesekian kalinya. Juna tidak ingin membaca lanjutannya, namun tangannya entah mengapa menuntunnya mengetahui kisah Seikha lebih lanjut lagi.

Ada paragraf saat Seikha berusia 12 tahun :

"Mengapa semua orang yang Seikha sayang menghilang, Tuhan? Semua yang berharga untukku akan sirna seketika. Sepertinya aku adalah kutukan."

"Ternyata ini yang dipikirkannya dulu, pantas saja Seikha selalu menyendiri," pikir Juna.

Juna kembali perlahan membuka lembar-demi lembar tulisan Seikha kecil yang polos namun dipenuhi banyak luka hati. Seikha yang sangat merindukan ibu dan ayahnya, karena ditinggalkan sendiri. Seikha yang selalu negative thinking kepada orang lain. Sampai Juna melihat keriangan dalam tulisan manis Seikha.

Dear Diary,

19 Juli 2012

Hari ini aku bertemu dengan teman. Ya mungkin aku bisa menyebutnya begitu. Dia diantar oleh Ibunya, aku sangat iri. Namanya Arjunara, Juna panggilannya. Entah mengapa, tapi dia sangat menggemaskan. Dia juga mengajakku berkenalan. Aku jadi punya teman bicara.

Seikha.

Juna terenyuh, itulah perasaan Seikha yang sesungguhnya, yang tidak bisa dilihat dengan mata. Sifatnya yang dingin dan kaku, membuat orang lain pasti salah paham terhadap Seikha. Semakin Juna membacanya, semakin ia kagum akan kepribadian gadis yang dicintainya itu.

"Seikha sungguh gadis yang unik. Tepatnya gadis malang yang hangat namun kurang bisa berekspresi," ucap Juna sembari melihat foto Seikha dalam ponselnya.

"Sepertinya hari ini sudah cukup. Butuh keberanian dan kesiapan mental untuk membacanya. Besok akan aku lanjutkan lagi," ujar Juna menutup buku harian tebal itu.

Juna mulai mengenakkan kacamata baca, membuka laptop dan mengerjakan tugas kuliahnya. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Juna menyelesaikan tugas tersebut. Juna langsung merebahkan diri di kasur. Mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada Seikha.

"Sudah tidur, Sei?" Kalimat yang selalu Juna ucapkan jika jam menujukkan pukul 9 malam ke atas.

"Belum. Bisa tidak nanyanya jangan itu terus?" Balasan dari Seikha yang sudah diprediksi Juna.

Juna tertawa sendiri di kamarnya yang temaram. Berhenti sejenak, ia masih membayangkan kemalangan Seikha saat kecil. Kesakitan yang sebenarnya Juna juga rasakan.

"Aku sudah baca diary kamu, tapi baru awal-awal. Sei, apa kamu baik-baik saja?" Juna tampak mencemaskan Seikha.

"Jun, bolehkah aku buat permohonan atau permintaan?" Tanya Seikha tiba-tiba.

"Tentu saja, Sei," jawab Juna masih dalam pesan whatsapp mereka.

"Tidak perlu membicarakan isi dalam buku harianku. Aku sengaja memberikannya, agar tidak perlu bercerita padamu," jelas Seikha menyampaikan pada Juna.

Juna terdiam melihat pesan tersebut. Rupanya Seikha tidak ingin Juna membicarakan sisi gelap kehidupannya.

"Oh ya maaf, Sei. Aku tidak akan membicarakannya," ucap Juna menuruti permintaan Seikha.

Padahal saat itu, Juna juga ingin Seikha tahu bahwa ia memiliki sisi kelam. Ingin Seikha tahu, bahwa Juna juga pernah menderita atau masih menderita. Ingin Seikha tahu bahwa Juna juga pernah merasakan kehilangan yang dalam. Namun tampaknya percuma, Seikha tidak ingin membahasanya.

"Yasudah, yuk istirahat. Besok aku ada kelas daring pagi. Sei, jangan lupa pergi menemui Om Kento." Juna mengingatkan Seikha kembali.

"Aku tidak akan datang," balas Seikha.

"Sei, tidak boleh begitu. Datang ya. Bukan karena apapun, hanya saja, kasihan Om kamu. Bagaimanapun dia bukankah sudah memenuhi tugasnya dengan baik?" Juna berbagi pemikiran dengan Seikha.

"Akan aku pikirkan, tapi aku tidak janji. Bye! Seikha membalas pesan Juna.

"Oke, istirahat ya... Sei, miss you. Hehe," celoteh Juna yang membuatnya senyum sendiri.

Seikha yang melihatnya nampak risih, ia tidak membalas. "Miss you, miss you, baru juga ketemu kemarin. Ga masuk akal. Dasar cowok." Seikha menggerutu, meminum obatnya dan istirahat tidur.

Keesokan harinya Seikha bersiap untuk menuju perusahaan. Sudah bertahun-tahun Seikha tidak pernah berkunjung ke sana. Terakhir saat ia duduk di bangku SMP, menemani Kento setelah pulang sekolah.

Sesampainya Seikha di perusahaan, ia tidak langsung menuju kantor pamannya. Seikha berkeliling. Melihat ruangan demi ruangan yang dipenuhi orang-0rang sedang fokus pda PCnya masing-masing.

Kento melihat dari kaca Seikha yang berkeliaran dan memanggilnya masuk ke dalam ruangan.

"Gimana, Sei? Sudah lama tidak ke sini. Paman pikir Seikha tidak akan datang. Baru saja menghubungi bank untuk blokir kartu Seikha," ucap Kento tenang sembari merapikan meja kerjanya yang berantakan.

"Oke jadi apa yang harus dilakukan?" Seikha menarik kursi dan langsung duduk tanpa dipersilahkan.

Kento melihatnya, lalu berkata, "siapa yang suruh duduk?"

Seikha menyeringai, melirik kento dengan tatapan sinisnya. Rupanya begitu Kento sekarang, Seikha menanggapi, ia langsung berdiri kembali.

"Hahaha, bercanda Sei! Kok serius amat sih kamu? Duduk, duduk," ucap Kento berkelakar tidak mengetahui apa yang ada dipikiran Seikha.

"Jadi duduk atau berdiri?" Suara Seikha terlihat kesal, ia tidak ingin bercanda.

"Duduk lah, berdiri tidak sopan Seikha sayang." Kento berbicara lambat sembari memainkan laptop didepannya.

"Ada apa?" Seikha to do point.

"Ini." Kento memberikannya sebuah map berwarna biru yang didalamnya berisi selembar kertas.

"Apa ini?" Tanya Seikha pada Kento.

"Coba saja dibaca," ucap Kento tidak lagi bercanda, terdengar serius dan mengintimidasi.

——————————————————————

Jakarta, 25 Februari 2020

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Seikha Sahl

Usia : 20 Tahun

Pekerjaan : Mahasiswa

Alamat : Jalan Merpati No 15, Jakarta

Jabatan : Komisaris

Dengan ini menyatakan tunduk dengan segala ketentuan dan pasal yang berada dalam butir kesepakatan. Sebelum tanggal 1 Januari 2021, tidak berhak atas segala properti, kartu debit, kartu kredit, maupun pembelanjaan lainnya. Dana yang akan diberikan setiap bulannya adalah sebesar Rp 5.000.000,-/bulan.

Segala bentuk tanggung jawab dan permasalahan yang timbul sebelum dan setelah penunjukan saya, atau pelepasan jabatan setelahnya, berada di tangan saya. Urusan perusahaan sepenuhnya dilakukan oleh Bapak Kento selaku CEO. Demikian surat pernyatan saya buat tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.

Dengan Hormat

(Tanda tangan Seikha yang sudah diisi plus materai)

Seikha Sahl.

——————————————————————

Mata Seikha terbelalak, sedikit terguncang, ia tidak percaya. Beraninya Kento membodohinya.

"Bagaimana, Sei?" Mata Kento berbeda, memandang tajam. Tidak lagi ada kehangatan dimatanya.

"Jadi ini sifat asli Paman rupanya." Seikha tersenyum tipis melawan tatapan mata Kento.

"Sudah Paman bilang, Seikha. Jadilah anak yang baik." Ucap Kento menghardik Seikha.

"Tinggal saja di Yogyakarta. Ada Mbok Jum kan? Setidaknya ada yang mengurusi Seikha di sana. Paman tidak sampai hati meninggalkan kamu sendiri," ucap Kento dengan nada mengejek.

"Tunggu sampai aku pegang perusahaan ini," ucap Seikha pada Kento yang meminum kopi di cangkir emasnya.

"Tunggu sampai pegang perusahaan? Hm, benarkah? Jika tidak bagaimana? Setelah surat perjanjian ini, setelah Seikha berusia 21 tahun, bagaimana jika hidup mandiri?" Kento menjelaskan dengan santai.

"Ini sebagai permulaan agar Seikha bisa beradaptasi," tambah Kento lagi.

"Jadi intinya, Paman ingin membuangku?" Seikha bertanya pada Kento.

"Tentu tidak, Sei. Jika Paman ingin membuang Seikha, kenapa tidak dari dulu? Kenapa baru sekarang?" Tanya Kento padanya.

"Karena sekarang aku sudah berusia 20 tahun," jawab Seikha.

"Salah! Usia dewasa untuk menandatangani perjanjian secara notaril adalah 18 tahun atau sudah menikah. Mengapa harus sekarang saat Seikha sudah berusia 20 tahun jika ingin membuangmu?" Kento menjelaskan pada Seikha yang penasaran.

"Jawabannya adalah dulu Seikha belum berulah. Namun kini, kamu sudah kurang ajar dan terlalu banyak tahu. Membuat Paman repot." Jawaban Kento yang tentu saja mengejutkan Seikha.

"Namun tenang saja, saat Seikha tepat berusia 21 tahun, Paman akan berikan hadiah yang tidak akan terlupakan." Kento berdiri menatap Seikha tiada henti. Kini, ia menunjukan sisi asli.