Chereads / Seikha Sahl (Psycological Romance Thriller) / Chapter 18 - Bab 18. Positif dan Eksentrik, Maxime.

Chapter 18 - Bab 18. Positif dan Eksentrik, Maxime.

Hawa panas dan suasana hectic di Jakarta pagi ini sungguh terasa. Membuat Seikha semakin merindukan kampung halaman, Yogyakarta. Kota yang tenang dengan tradisi kental. Padahal baru kemarin Seikha dari sana, namun sudah rindu saja.

Lusa Seikha masuk kuliah lagi, ia harus melupakan sejenak kebimbangan dilema peristiwa yang terjadi. Mengosongkan isi pikiran yang ada di kepala. Menahan gejolak

di hati yang rasanya ingin tumpah.

"Problematika hidup. Apakah semua orang setidaknya pernah menderita? Pernah mengalami kehilangan yang dalam? Dikhianati?" Seikha bertanya-tanya. Sembari merapikan oleh-oleh, kepalanya mulai bercabang.

Pagi ini Seikha sengaja meluangkan waktu untuk menemui psikiaternya, dokter Samuel. Seikha mengendarai mobilnya dengan kacamata hitam gradasi merah maroon. Curly rambutnya terlihat lembut.

Sesampainya di rumah sakit, klinik dokter Samuel tampak sepi. Seikha berjalan menuju receptionist, menanyakan keberadaan psikiater favoritnya itu.

"Mba, saya ingin bertemu dokter Samuel," ucap Seikha pada perawat yang sedang berjaga.

"Mohon maaf, Mbak. Dokter Samuel belum datang. Kebetulan jam pertama beliau pukul 10.00 WIB. Apakah sudah daftar?" Perawat menjelaskan sembari melihat jam di PC yang menunjukan pukul 09.46 WIB.

"Oh Oke, kebetulan saya tidak ada janji temu. Hanya ingin memberikan ini saja." Seikha menyodorkan goodiebag yang berisi oleh-oleh khas Yogyakarta.

"Tolong sampaikan saja ya, terimakasih," tambah Seikha pada perawat yang ramah itu.

Saat Seikha berjalan keluar dari pintu otomatis ruangan yang memisahkan lobby rumah sakit dan receptionist klinik dokter Samuel, ia melihat seseorang. Seikha mengamatinya seksama, hingga pria itu menyadari dan menghampiri Seikha.

"Sei! Mau kemana?" Tanya pria tersebut ramah, berlari menghampiri Seikha.

"Dokter Samuel, tapi belum datang. Oke bye," ujar Seikha langsung menghentikan pembicaraan.

"Eh tunggu! Masih ingat saya?" Pria itu mendekati Seikha, bertanya sembari memegang dadanya.

"Maxime, anak dokter Samuel." Seikha dengan dingin dan muka datarnya mengenali pria itu.

"Kirain lupa," timpal Maxime tersenyum hangat.

"Sudah sarapan? Kebetulan saya belum sarapan, brunch di sana bareng gimana? Temani saya." Ajak Maxime yang menggunakan seragam Co-Ass (Co-Assistant). Penampilannya terlihat kacau, bayangan lingkaran bawah mata menunjukan kelelahannya.

"Sorry, sudah makan," jawab Seikha cuek sembari berlalu. Padahal Seikha tidak sempat sarapan di rumah karena sengaja ingin menemui dokter Samuel. Namun Seikha lupa membuat janji temu dengannya.

"Hmm.. saya belum makan, belum tidur dan sangat lelah. Kepala pusing, sepertinya bentar lagi pingsan," ucap Maxime menggoda Seikha sengan logat manja, sambil mengusik kepala Seikha.

Seikha risih, cemberut, kesal hingga berteriak, "berani-beraninya!" Seikha waspada. Matanya yang datar sekarang terlihat galak. Alis dan mata juga dikerutkan. Seikha tidak menyukai pria yang usil dan banyak bicara seperti Maxime.

"Maaaf.. aku hanya bercanda.. hehehe," celoteh Maxime pada Seikha.

"Aku?" Seikha tampak heran dengan panggilan diri Maxime yang biasanya formal.

"Kok di Jakarta? Katanya magang di Jogja? Seikha bertanya pada Maxime yang sibuk merapikan rambutnya yang berantakan.

"Iya, baru 2 hari di Jakarta, langsung kena piket. Ha ha ha.." Maxime tertawa lepas.

"Aku kan bilang kemarin, liburan di Jogja itu terakhir sebelum co-ass. Nah ini co-assnya di Jakarta," jelas Maxime pada Seikha yang sibuk dengan handphonenya.

"Sibuk kayaknya nih," tambah Maxime dengan wajah yang usil.

"Apa sih," Seikha tampak risih dengan sikap sok dekat Maxime padanya.

"Yang jelas, aku senang sekali ketemu kamu," ucap Maxime menatap lembut Seikha dengan matanya yang sayu.

"Ayo ah, sini, La la la la...." Maxime menarik tangan Seikha, lalu bernyanyi-nyanyi tak jelas. Seikha yang risih langsung melemparkan tangan Maxime.

"Oh, maaf, maaf. Kirain patung, cantik banget soalnya. Hahaha," dengan tawanya Maxime bercanda riang.

Seikha heran, tertegun dengan keceriaan Maxime. Energi positifnya sungguh terasa. Bagaimanapun Seikha berhutang budi padanya. Seikha kembali mengingat pertolongan Maxime di air terjun. Tadinya Seikha enggan menemani pria itu, namun hatinya menjadi sungkan.

"Ayo," dengan singkat Seikha menyuruh Maxime mengikutinya.

"Yeyy!" Maxime gembira, ia melompat mengekspresikannya.

Seikha memesan sandwich tuna, sedangkan Maxime sibuk melahap nasi goreng dan ayam goreng. Ia juga memesan jus alpukat dan kopi hitam. Seikha mengintip eskpresi Maxime yang terlihat kelaparan, lalu tersenyum tipis.

"Sudah berapa lama tidak makan?" Seikha bertanya dengan gayanya yang judes.

"Hihihi.. Sehari! Sehari bagai setahun. Hmm, makanan ini adalah oase hidupku, Sei! Sembari sedikit berteriak, Maxime kembali melahap makanan yang ada di depannya.

Dahi Seikha mengernyit, "Sstt! Malu-maluin aja," Seikha terlihat sedikit kesal dan malu karena orang-orang di kantin rumah sakit memperhatikan mereka.

"Maaf.. hehehe," Maxime tertawa dan tersenyum pada Seikha yang sedikit cemberut. Baginya, Seikha mampak menggemaskan.

Setelah selesai makan, Seikha yang sudah meminum habis jus jeruk yang dipesannya, berpamitan pada Maxime. Namun Maxime menghalangi.

"Tunggu Sei, kenapa buru-buru sekali? Bukannya kuliah belum mulai?" Tanya Maxime memegang tangan Seikha yang hendak berdiri. Seikha yang risih langsung melepaskan genggaman tangan Maxime.

"Sorry, sorry, lupa lagi," ucap Maxime pada Seikha.

"Sok tahu sekali, kata siapa kuliah belum mulai?" Seikha membuat Maxime bingung dengan tatapan galaknya.

"Lho, memang sudah? Bukannya serempak seluruh Indonesia?" Tanya Maxime sembari meminum kopinya.

Seikha tertegun, "Oiya." jawabnya sembari sedikit malu.

Maxime hanya tertawa. Sebenarnya Maxime sudah lama melihat Seikha menemui ayahnya. Dulu saat Maxime semester awal kuliah, ia sering berdiam diri di klinik sang ayah. Maxime tidak sengaja melihat Seikha dengan baju seragam, sendirian, dengan wajah pucat pasi dan ketakutan.

Seikha sudah menarik perhatiannya sejak saat itu. Memang hanya kenangan yang berlalu begitu saja, tapi memiliki kesan kuat yang sulit dilupakannya. Seorang gadis cantik blasteran, kaku, kikuk, kesepian, terlebih pergi menemui psikiater sendirian.

Ingatannya tentang Seikha begitu spesial, karena suatu waktu saat Seikha pergi therapy menemui dokter Samuel, Maxime tidak sengaja mendengar cerita masa kecil Seikha. Ia mengetahui dan menyimpannya sendiri.

Ya, Maxime adalah satu-satunya orang selain dokter Samuel yang mengetahui perjalanan dan masa lalu Seikha dan keluarganya. Seikha sendiri tidak mengetahui hal tersebut.

***

Flashback

Jakarta, 21 September 2015

Suatu ketika Seikha pergi ke rumah sakit tempat dokter Samuel bertugas, ia terlihat menangis di pojok ruangan rumah sakit dekat gudang. Tapi saat hendak memasuki lobby, dengan segera menghapus dan memasuki kantin untuk membeli es batu.

Hal itu menarik perhatian Maxime yang sedang berada di ruang tunggu. Maxime dikenal oleh staf rumah sakit sebagai anak dokter Samuel yang jahil namun jenius. Maxime beranggapan gadis cantik yang tidak dikenalnya itu, ingin menutupi bengkak di matanya.

Kemudian Maxime melihat Seikha memasuki ruangan ayahnya yang sedang praktek. Maxime yang terkenal playboy, penasaran akan Seikha. Ia menguping dari balik ruangan praktek dokter Samuel.

"Wah cantik sekali," pikir Maxime dalam hati, mulai beraksi mencari targetnya lagi.

"Tadi Max tidak sengaja dengar, Dad," ungkap Maxime pada sang Ayah setelah Seikha keluar dari ruang therapy.

"Seorang dokter tidak boleh memberikan pernyataaan tentang diagnosis dan pengobatan yang terkait diagnosis pasien, kepada pihak ketiga atau kepada masyarakat luas tanpa persetujuan pasien. Paham tidak? Walaupun sama anak sendiri tidak boleh," jelas dokter Samuel panjang lebar kepada putranya.

"Nakal ah! Sudah ke sekolah sana, nanti terlambat," dokter Samuel dengan gayanya yang jenaka cemberut dan menepuk bahu Maxime lalu menyuruh Maxime pergi dari ruangannya.

"Tapi...Dad, cantik soalnya! Ha ha ha..." Maxime hendak berlalu keluar dari ruang therapy sambil bercanda seperti biasa.

Dokter Samuel tampak menggelengkan kepalanya, tersenyum tipis. Sudah tidak heran dengan kelakuan anak bungsunya yang selalu mengagumi wanita cantik.

"Memang kamu itu mirip Daddy waktu muda, sama-sama ganteng. Tapi tentu saja gantengan Daddy. Hahaha...." Dokter Samuel kembali berkelakar dan mendorong Maxime hingga keluar dari ruangannya.

"Ya ampun, ga usah dorong-dorong, dokter Samuel. Udah kayak gerobak aja," celoteh Maxime.

Maxime kecewa karena tidak mendapatkan informasi tentang gadis yang menarik perhatiannya. Namun ia mengingat jelas nama gadis itu. Setiap berbicara dengan dokter Samuel, Seikha selalu menyebut diri dengan namanya.

"Seikha. Hm, nama yang cantik secantik wajahnya. Sayang sekali, banyak luka yang ia pendam. Semoga kelak kita bisa berjumpa, Seikha." Maxime berbicara sendiri.

Kali kedua Maxime bertemu dengan Seikha adalah kala therapy Seikha terakhir kali. Saat Maxime dengan sengaja menabraknya di lobby. Ia mengenalinya dari jauh saat Seikha memasuki ruangan ayahnya.

Seikha selalu memilih jam terakhir kunjungan dokter Samuel, karena ia tidak suka keramaian. Bahkan dokter Samuel sering mengizinkannya di luar jam praktek agar tidak terganggu.

Maxime yang saat itu sedang pulang ke Jakarta dan mengunjungi ayahnya, tidak sengaja melihat Seikha. Maxime menguping di depan ruangan dokter Samuel. Sempat di tegur oleh perawat yang bertugas, namun pria ekstentrik itu tidak bergeming.

"Sssttt..." Maxime menyuruh perawat tidak memberitahu ayahnya.

"Jangan bilang ayah, suster cantik...." Maxime genit mengedipkan satu matanya.

Perawat yang sudah biasa dengan keisengan Maxime hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepala. Kemudian berlalu membiarkan Maxime melancarkan aksinya.

Maxime mendengarkan cerita Seikha untuk yang kedua kalinya. Tersirat kesepian dan kesakitan yang semakin dalam. Banyak yang ada di pikiran Maxime saat itu, tentu saja yang utama adalah wajah dan tubuh Seikha yang terngiang di kepala playboynya.

"Wah, dia sudah dewasa rupanya. Cantik sekali. Hmm, sepertinya gadis yang sulit didekati." Celoteh Maxime mengagumi paras Seikha.

"Hidupmu sungguh mengejutkan, Seikha. Aku sungguh berharap kamu bisa bahagia," Maxime berbicara sendiri, lalu ia berjalan menuju lobby. Menunggu ayahnya selesai memberi sesi therapy.

Mendengar Seikha berbincang dengan ayahnya, membuat Maxime bersyukur. Seringkali ia mengeluh dengan kerasnya ia belajar. Namun orangtuanya utuh, tidak kekurangan harta. Maxime juga mendapatkan kasih sayang tak terbatas. Hidup Maxime jauh lebih mudah, keberuntungan ada di pihaknya.

"Terkadang dalam hidup, beruntung adalah suatu kata klise dan tidak dipercaya. Namun ternyata dampaknya sungguh besar," pikir Maxime dalam hati.