Dear Diary,
21 Februari 2020
Kak Rini masih menghilang tiada berkabar. Kami sudah mencari bahkan lapor polisi. Mbok Jum terlihat cemas sekali. Suaranya bergetar, wajahnya pucat pasi.
Begitu besar curahan kasih sayang seorang ibu pada anaknya. Bagaimana denganmu, Ibu? Aku menyesal karena tidak mengenal bahkan mengingat banyak hal tentangmu.
***
Hawa malam terasa begitu dingin di rumah klasik Belanda yang sudah lama tidak ditinggali ini. Ali dan Juna sedang berbincang di depan teras sembari memainkan gitar yang dibawa Juna dari Jakarta. Sementara Dayu sudah bersiap untuk tidur dengan mengenakkan piyama berwarna coklat bergambar beruang.
Sudah seharian mencari, namun Rini tak kunjung ditemukan, tidak juga pulang. Mbok Jum sedang berangkat dari Jakarta menuju Bantul, Yogyakarta. Ia tidak berani menggunakan pesawat terbang, lebih memilih naik kereta.
Berkali-kali Mbok Jum berusaha menelepon ponsel Rini namun selalu tidak aktif. Ia juga menuliskan rentetan pesan dalam whastapp yang belum terbaca. Padahal Rini dikenal sangat responsif jika ada yang menghubunginya.
Malam menunjukan pukul 20.35 WIB, tiba-tiba ponsel Seikha bergetar.
"Non, Non, ini pesan-pesan yang Mbok kirim ke whatsapp Riini terkirim! Sudah dibaca!" Mbok Jum tampak bersemangat berharap Rini segera menghubunginya.
"Benarkah Mbok? Syukur kalau begitu," Seikha merespon Mbok Jum yang berharap.
Namun hanya sekitar 2 menit terlihat online pada whatsapnya, sinyal ponsel itu hilang kembali. Sontak hal itu menimbulkan kecurigaan, apalagi bagi yang sangat mengenal Rini seperti Mbok Jum.
"Mbok, coba telepon handphonenya Kak Rini sekali lagi? Seikha akan coba juga," pinta Seikha pada Mbok Jum.
Juna yang berada di samping Seikha menyimpulkan mungkin ponsel Rini dipegang oleh orang lain. Yang menemukan ponselnya atau yang merampasnya dari Rini.
"Mungkin juga," ucap Seikha menanggapi Juna yang terlihat serius.
"Kita harus laporkan pada polisi kembali. Ini sungguh aneh," Juna berasumsi.
"Yasudah besok kita ke kantor polisi lagi. Tidurlah," ucap Seikha pada Juna dan teman-temannya di ruang keluarga.
Mereka kembali mendatangi kantor polisi keesokan harinya. Mbok Jum sudah sampai dan menyusul ke sana. Seikha memegang tangan Mbok Jum yang gemetar. Wajahnya terlihat sembab dan bengkak, efek terlalu sering menangis.
Mbok Jum menjelaskan awal Rini tidak ada kabar hingga belum kembali. Para polisi mendengarkan dan mencatat dengan berdedikasi. Hingga datang polisi berpakaian preman, dengan lencana di saku bajunya mendekati Mbok Jum.
"Mohon maaf, Ibu orangtua dari Rini Pangestika?" Suaranya berat, namun tatapan matanya hangat.
"Iya betul, Pak," jawab Mbok Jum sambil berdiri berjabatan tangan dengan pria paruh baya itu.
"Kenalkan, saya Syarif. Saya kepala di sini. Kasus orang hilang memang sulit, saudari Rini sudah dewasa. Ada kemungkinan dia tidak hilang, hanya pergi saja. Makanya kami membutuhkan barang bukti lain yang menunjukan saudari Rini hilang tidak biasa," ucap Syarif Kepala Kepolisian Resor yang mendatangi Mbok Jum.
"Sungguh tidak biasa, Bapak. Bahkan tidak satu hari pun Rini tidak memberikan kabar pada saya walau kami berjauhan." Mbok Jum menjelaskan sembari menangis, air matanya keluar tiada henti.
"Oke tenang dulu, harus dengan kepala dingin, Ibu," Syarif berusaha menenangkan Mbok Jum yang terlihat panik.
Syarif menoleh ke sebelah Mbok Jum dan melihat Seikha bersamanya. Seperti pernah melihatnya entah dimana. Seikha pun memiliki pemikiran yang sama. Suara dan wajah Syarif tampak tidak asing baginya. Mereka hanya bertatapan sebentar lalu berlalu begitu saja.
"Mbok, kita ke rumah dulu saja. Istirahat dan makan dulu," Seikha memapah Mbok Jum berdiri dan mengantar ke rumahnya kembali.
Juna, Ali dan Dayu tampak sedang membereskan ruang keluarga saat Seikha dan Mbok Jum datang.
"Sudah? Bagaimana ada perkembangan?" Juna langsung mendatangi Mbok Jum dan Seikha saat masuk ruangan.
Seikha menggelengkan kepalanya. Mbok Jum bingung, gelisah, ia duduk tidak tenang di sofa ruang tamu Seikha.
"Mbok, makan dulu," ucap Dayu mendekati Mbok Jum.
"Nanti saja, Non..." Mbok Jum tampak sungkan dan berdiri lalu pergi ke dapur menemui Rara.
"Sudah, biarkan Mbok Jum sendiri dulu. Pasti pikirannya lagi kemana-mana," ujar Ali sambil duduk mendengus karena lelah.
"Tumben bener, Li!" Dayu menggoda Ali sambil ikut duduk dan menonton TV.
Seikha dan Juna tampak pergi ke Taman Dandelion, mereka berbincang-bincang. Kali ini duduk di gazebo kayu unik yang berdiri di tengah taman. Seikha menidurkan dirinya, dengan melipat tangan kanannya.
"Jun, kepanasan ga?" Seikha tiba-tiba bertanya pada Juna.
"Iya, lumayan menyengat mataharinya. Ke dalam aja gimana?" Jawab Juna sembari meruncingkan matanya karena silau akan sinar matahari di siang hari itu.
"Iya betul, panas. Matahari begitu panasnya, bahkan dengan jarak yang sangat jauh. Benda planet terbesar di antariksa. Bahkan benda-benda langit lainnya tidak bisa menandingi, bukan?" Seikha berceloteh.
"Hm, iya. Memang matahari sangat besar. Tapi tidak ada yang sebesar Tuhan yang menciptakannya, Allah," ucap Juna tersenyum menatap Seikha.
"Sei, di KTP agamamu Islam kan, sebenarnya ini pertanyaan sensitif yang aku penasaran dari lama. Tapi boleh aku bertanya kenapa aku tidak pernah melihatmu sekedar berdoa?" Juna memberanikan diri mengorek lebih dalam jati diri Seikha.
"Iya, ayahku Muslim. Ibuku sepertinya tidak memiliki agama. Aku tidak pernah dikenalkan, dan setiap pelajaran agama di sekolah, kamu tahu apa yang aku lakukan," jawab Seikha pada Juna.
"Ha ha iya. Kamu dari dulu selalu ada alasan untuk tidak mengikuti pelajaran. Tapi Seikha ikut pun, nilainya bagus." Juna ingin Seikha lebih terbuka padanya.
"Itu semua karena bacaan dari buku. Kehidupanku rumit, bahkan aku tidak memikirkan agama atau hal yang lain selain diriku sendiri," ujar Seikha sembari duduk kembali dan menggoyangkan kaki dari gazebo itu.
"Jika kamu mendalaminya, kamu akan mendapatkan ketenangan. Jika kamu tahu dunia ini ciptaanNya dan dari mana berasal, kamu tidak akan pernah beralasan. Sungguh, kuasa Tuhan begitu besar. Sei, belajarlah denganku. Pelan-pelan saja, agar Seikha bisa tahu arti kehidupan. Semua tertera di Al Quran, jawaban yang Seikha inginkan," panjang lebar Juna memberikan nasehatnya pada Seikha.
Juna merasa Seikha harus dituntun ke jalan Tuhan. Jika tidak mendapatkan pencerahan dan bimbingan, maka Seikha akan semakin tersesat. Namun Juna tidak bisa memaksa, ia tak punya kuasa.
Dua hari berlalu begitu saja, mereka tidak kemana-mana. Hanya bermain-main di rumah besar Seikha dan sekitarnya. Sampai akhirnya Seikha memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Mbok Jum untuk sementara di Yogyakarta bergantian dengan Mbak Rara yang ditugaskan Seikha menggantikan Mbok Jum di Jakarta.
Hingga Seikha hendak pergi dari rumahnya di Jogja, sayang sekali Rini belum ditemukan juga. Seikha dan teman-temannya, begitupun dengan Mbak Rara berpamitan dengan Mbok Jum yang terlihat tenang. Sepertinya sudah ikhlas dengan apapun hasilnya kelak.
"Mbok, maaf kami semua harus pulang. Sebentar lagi masuk kuliah, secepatnya Seikha kembali," ucap Seikha sembari menepuk lengan Mbok Jum yang menyilangkan tangannya.
"Baik, Non. Terimakasih banyak atas bantuannya." Mbok Jum merespon dengan hangat.
"Kami juga ya, Mbok. Pamit. Semoga Kak Rini segera ditemukan atau pulang." Juna bergabung berpamitan dengan mereka.
Seikha, Juna, Ali, Dayu maupun Mbak Rara berlalu meninggalkan Mbok Jum berjaga di rumah Yogyakarta. Walau liburannya singkat, namun cukup berarti untuk Seikha.
Bagaimana tidak, menambah teman yang membuat nyaman. Mentalnya juga stabil di sana. Benar kata dokter Samuel, mungkin memiliki teman mengisi hari dapat membantu meringankan pikiran. Walau mereka hanya diam dan tidak paham. Seikha menjadi lebih terbuka, tidak terlalu ketus ataupun acuh pada teman-teman yang menemaninya.
Sesampainya di Jakarta, Seikha yang lelah melemparkan tubuhnya ke ranjang. Berbaring terlentang masih menggunakan sepatu ketsnya. Rasanya malas membersihkan diri, inginnya langsung tidur saja.
Seikha membuka ransel yang bertambah berat. Tidak lupa membawa berkas yang berada di amplop coklat beserta data yang dikumpulkan dalam laptopnya. Lebih tepatnya, data dan informasi yang sengaja diberikan oleh Kento, Pamannya.
"Mengapa perlu memberikan hal-hal seperti ini. Padahal tinggal bilang saja," ucap Seikha yang kesal karena pencariannya tidak berarti.
"Aku tahu sekarang. Dia (Kento) sengaja membuatku repot. Senang sekali sepertinya aku masuk dalam permainan tipu muslihatnya." Seikha yang kesal membanting map coklat itu ke kasurnya.
"Sei, sudah datang?" Kento tampak mendatangi kamar Seikha sembari berteriak memanggil nama Seikha.
Seikha yang mendengarnya segera menenggelamkan diri dalam tumpukan selimut yang ia buat. Menggunakan penutup telinga. Berusaha untuk tidur, walau tidak meminum obatnya. Namun sulit bagi Seikha memejamkan mata, berapa kali ia berusaha, Seikha belum mengantuk juga.
Seikha terbangun dari tempat tidurnya, jam menunjukan pukul 19.21 WIB. Waktu yang terlalu awal untuk beristirahat. Seikha turun ke bawah untuk mengambil minuman di dapur, sembari memastikan kenyamanan Mbak Rara. Asisten sementara yang menggantikan Mbok Jum di Jakarta.
"Mbak Rara, sudah nyaman?" Seikha mendatangi kamar Mbak Rara di sebelah kamar Mbok Jum.
"Sudah, Mbak. Ndak perlu repot-repot, saya gampang," ucap Rara yang sungkan sambil
tersenyum dan melipat tangannya.
"Kalau ada apa-apa bilang saja," ucap Seikha datar sembari berlalu pergi.
Walau setiap berbicara Seikha terkesan datar dan kurang menekankan emosi pada setiap kalimatnya, Seikha sesungguhnya orang yang tulus. Ia hanya kurang mampu mengekspresikan diri, sehingga yang keluar dari mulutnya terkadang tidak sejalan dengan hati dan pikirannya.
Mbak Rara seumur Rini, masih muda dan ayu. Rambutnya hitam, perawakannya sedang dengan tahi lalat di hidungnya. Suaranya nan lembut namun medok khas Yogyakarta. Gayanya juga santun dan bersahaja.
"Lho, Mbok Jum mana?" Kento yang datang ke meja makan kaget dengan kehadiran Rara.
"Maaf Bapak, saya disuruh oleh Mbak Seikha menggantikan Mbok Jumiati sementara di sini," ucap Rini menjelaskan.
"Seikha yang suruh." Seikha datang dan langsung duduk di meja makan.
"Tidak bisa begitu, Sei. Banyak yang harus Mbok Jum urus. Dia yang tahu apa-apa saja yang harus dilakukan," Kento kesal Seikha membuat keputusan tanpa membicarakan dengannya.
"Oiya, maaf. Tapi rumah, dan semua yang ada di sini milik orangtua SAYA. Jadi terserah saya." Seikha mulai berani melawan Kento terang-terangan, apalagi menggunakan kata formal yang tidak pernah dilakukannya.
Mata Kento memerah, kekesalan terlihat dari raut wajahnya. Seikha yang selama ini diurus tidak menghargai kerja kerasnya, pikirnya. Kento terlihat kesal dan pergi menuju kamar tidurnya.
"Sial! Anak itu mulai bertingkah rupanya!"Kento menggebrak meja.
"Tidak bisa aku biarkan. Menyebalkan. Tidak tahu diri," ucap Kento menggerutu sambil berbaring.
"Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Nikmatilah dulu, Seikha. Sebelum semua kenikmatanmu hilang." Kento membatin, amarahnya bertumpuk.