Chereads / Seikha Sahl (Psycological Romance Thriller) / Chapter 16 - Bab 16. Kemana, Kak Rini?

Chapter 16 - Bab 16. Kemana, Kak Rini?

Prolog

Perputaran kehidupan yang tidak bisa diprediksi, katanya sudah tercatat dalam goresan tinta Tuhan-mu masing-masing. Ada yang hidupnya sulit, bahkan jika sudah bersusah payah. Ada yang hidupnya seperti mimpi indah, bahkan tanpa mengenal kata usaha.

Seorang Ibu melahirkan anak ke dunia dengan bertarung nyawa. Namun tetap tidak bisa membaca dan memahami isi hati anaknya. Padahal anak itu terbuat dari darah dan cairan tubuhnya. Tahukah mengapa? Karena dalamnya laut tidak sedalam pikiran manusia.

Memikirkannya saja membuatku merinding, bahkan ingin tertawa. Hidup memang realita sandiwara. Tentu saja, bagi yang merancangnya.

***

Seikha bingung karena harus ke Jakarta memenuhi permintaan Kento. Sementara Mbok Jum terus meneleponnya menanyakan keberadaan Rini. Keresahan Mbok Jum dirasakan Seikha, apalagi mendengar suaranya yang gemetar. Mbok Jum tampak panik dan putus asa.

"Non, Rini apa belum sampai rumah Jogja juga? Mbok kok khawatir ya. Ini ndak bisa dihubungi sampai sekarang," ujar Mbok Jum resah pada Seikha.

"Mungkin masih di perjalanan, Mbok? Sudah tanya rumah Mbok di kampung?" Seikha berusaha menenangkan Mbok Jum.

"Nah, mangkanya ternyata sudah dari dua hari yang lalu Non. Piye Non, Mbok khawatir sekali.. " Mbok Jum tidak berhenti memikirkan Rini yang belum kembali.

"Tenang dulu, Mbok. Kita tunggu sampai besok, mungkin handphone Kak Rini habis baterei. Tapi kalau masih nihil, besok Seikha akan lapor polisi," Seikha kembali menenangkan Mbok Jum sambil berlalu mencari nomer telepon atau kerabat Rini yang bisa dihubungi. Seikha juga memberitahu penjaga rumah, Mbak Rara, Rian, maupun teman-temannya perihal ini.

Seikha penasaran, seberapa penting urusan yang dikatakan Kento. Sampai mengharuskannya kembali ke Jakarta secepatnya, sedangkan liburan kuliah Seikha masih cukup lama. Memikirkan harus berkomunikasi dengan Kento saja membuatnya muak.

Semakin Kento berusaha baik padanya, batin Seikha menolaknya. Seperti memiliki firasat, Seikha tidak menyukai Kento yang sekarang. Dulu saat ia masih kecil dan belum mengerti, kehadiran Kento menjadi secercah harapan baginya,

Namun setelah sedikit merasakan perjalanan hidup, hubungan antar manusia, Seikha dapat memilah dan merasakan dengan sendirinya. Kenyamanan atau ketidaksesuaian dalam kehidupan yang ia jalani.

Juna memberanikan diri menemui Seikha yang sedang duduk di ayunan kayu berwarna pink di tengah taman pada malam hari. Pancaran cahaya temaram dari lampu taman, cerahnya lampu neon berwarna putih terang di gazebo membuat suasana semakin romantis namun sedikit mistis.

"Sedang apa Sei?" Tanya Juna pada Seikha sambil memegang cokelat panas di tangannya.

"Naik ayunan. Ga lihat?" Jawab Seikha acuh seperti biasa.

"Hm.. Boleh ikut?" Ucap Juna.

"Nanti cokelatnya tumpah," Seikha menimpali Juna sembari melihat asap keluar dari cangkir yang Juna pengang.

"Oh, ini. Sebentar...." Juna menaruh minuman coklat itu di gazebo yang berada di sampingnya lalu bergabung naik ayunan bersama Seikha.

Sejenak mereka memandangi pemandangan malam yang indah. Jelas terlihat kerlipan bintang di langit, suara jangkrik yang berbunyi, serta angin yang berhembus dingin. Suasana nyaman yang tak terbantahkan dari Taman Dandelion favorit Seikha.

"Kenapa Sei, masih memikirkan Kak Rini?" Tanya Juna yang selalu penasaran terhadap apa yang dipikirkan Seikha.

"Tidak. Hanya sedang menikmati saja. Sudah lama sekali tidak ke Taman Dandelion ini. Taman yang dibuat khusus oleh Ayah." Seikha mengenang.

"Ayah Seikha sungguh berbakat. Lihat, semuanya seperti menyatu dan memang ada alasan kenapa dibuat," Juna mengagumi karya Kusno.

"Tapi sayang sekali, taman ini juga merupakan saksi pahit dari kelamnya masa lalu....." Seikha seketika terdiam, ia menoleh dan menatap Juna yang sedang mendengarkannya.

Juna terlihat serius, sesungguhnya ia ingin mengetahui dan membantu kegundahan Seikha. Juna ingin memberitahunya bahwa Seikha tidak sendirian dan percaya padanya. Namun apa daya, setiap Juna ingin membuka mulutnya, keraguan selalu menyelimuti.

"Sei, apa kamu ga percaya sama aku?" Juna menatap Seikha hangat.

"Aku bahkan tidak mempercayai diriku sendiri, bagaimana bisa aku percaya dengan orang lain? Itu tidak adil bukan. Tidak adil untukku." Seikha menjelaskan sambil sedikit tersenyum.

"Sudah malam, ayo tidur," ucap Seikha pada Juna.

"Sei, jika tidak ada yang mempercayaimu di dunia ini, datanglah padaku. Bahkan jika kamu berbohong, aku akan percaya." Juna berdiri, memegang tangan lembut Seikha.

Seikha hanya diam, tapi dalam lubuk hatinya, Juna menggelitik nuraninya. Mengetahui mungkin satu-satunya orang yang bisa ia percaya hanya Juna saja di dunia ini.

****

Pagi hari yang menyegarkan, burung-burung sudah berkicau. Sejak subuh ayam di pekarangan sudah berkokok membangunkan semua orang di rumah Seikha di Yogyakarta. Tampak kartu-kartu beserta kacang dan minuman soda berserakan di meja ruang keluarga.

Ali dan Ryan tertidur di sofa, mereka begadang bermain kartu semalaman. Dayu yang disiplin sudah mandi bahkan menyapu ruangan sambil menggerutu melihat Ali dan Ryan. Mbak Rara sedang memasak sarapan, sedangkan Juna baru saja keluar dari kamar tamu dan bergegas membangunkan Ali dan Rian yang seharusnya tidur dengannya.

"Li, Li, Mas Ryan.... Bangun sudah jam 7... Li! Juna menepuk-nepuk bahu Ali dan Ryan.

Ryan langsung bergegas bangun dan menuju kamar mandi. Sedangkan Ali tampak semakin pulas, memutar-mutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri.

"Plak!" Juna menepuk keras pipi Ali,. dan sontak saja Ali langsung terbangun karena nyeri.

"Aduuuh, Jun! Apee sih, ganggu orang tidur aja. Baru tidur jam 3 subuh nih! Ali mengomel sembari duduk.

"Ga sholat subuh dong?" Juna mengingatkan Ali.

"Ya ampun, Astagfirullahaladzimm...." Ali menepuk dahinya sendiri, lalu berdiri untuk mandi karena Dayu melihatnya sinis sedari tadi.

"Iya Dayu! Ini mau mandi...." Ali masih mengomel sambil melihat Dayu yang sedang membereskan meja bekas permainan kartunya semalam.

"Orang aku diem aja, ngerasa yah? Bau! Dayu menekan hidungnya sambil menggerutu.

Juna yang melihatnya hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kedua sahabatnya yang bertengkar di pagi hari yang tenang. Membuat Juna semakin bersemangat.

"Hei, udah-udah... kita kan mau ke Jakarta, ayo pada mandi terus sarapan," ucap Juna pada ALi dan Dayu.

Rencana mereka untuk tinggal lebih lama dan berwisata di Yogyakarta dan sekitarnya tampaknya gagal, karena Seikha harus kembali ke Jakarta. Yang berarti mereka pun harus kembali, tentu saja karena sponsor liburan mereka adalah Kento.

Juna lalu berjalan ke kamar Seikha, berjaga-jaga jika Seikha belum bangun. Tapi ternyata Seikha sudah siap duduk di meja makan sambil berbincang dengan Mbak Rara.

"Lho Sei, sudah siap?" Tanya Juna sembari duduk di bangku berseberangan dengan Seikha.

"Belum. Kak Rini belum juga ada kabarnya. Mbok Jum subuh tadi menelepon lagi. Jadi sebelum ke Jakarta, aku mau ke kantor polisi dulu." Seikha menjelaskan sambil mengoleskan roti tawar dengan selai strawberry di depannya.

"Hah? Ya ampun, kalau gitu kita temani ya Sei. Ali, Dayu, cepat, sarapan terus kita ke kantor polisi!" Juna tampak berteriak memanggil teman-temannya.

"Mbak Seikha, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan Mbak Rini ya. Ya Allah, kemana dia...." Rara yang juga dekat dengan Rini menjadi khawatir.

"Biar saya yang antar ya, Mbak." Ryan yang sudah rapih tampak menimpali.

"Oke, kita bareng-bareng laporannya," ucap Seikha.

Seikha, Juna, Ali dan Dayu diantar Ryan untuk datang ke kantor kepolisian terdekat. Mereka turut serta membawa foto, memberikan informasi terkait nomer telepon dan tempat kerja Rini. Mbok Jum yang khawatir selalu menanyakan perkembangan laporan, bahkan ia ingin menyusul ke Yogyakarta.

Seikha memiliki firasat yang buruk mengenai ini, entah mengapa jantungnya berdebar sangat cepat. Seikha mengambil obat di tas selempang yang di bawanya. Juna yang melihatnya, memberikan air mineral pada Seikha.

"Obat apa itu? Kamu sakit?" Juna penasaran melihat beberapa obat yang tampaknya Seikha minum setiap hari.

"Vitamin," jawab Seikha singkat.

"Oh vitamin, sini aku minta 1," Juna tiba-tiba menyodorkan tangan tanda meminta.

Seikha yang kaget berkata, "Apaan, beli lah sendiri," sambil memasukkan kembali obatnya ke dalam tas. Juna hanya tersenyum menanggapinya.

Seikha berpikir cepat, ia harus mengabari Kento. Mumpung sedang berada di Bantul, di mana Rini belum ada kabar selama berhari-hari. Seikha ingin meminta Kento agar menundanya pulang ke Jakarta, untuk membantu mengurus pencarian Rini terlebih dahulu.

"Sepertinya harus stay di sini dulu. Kasihan Kak Rini belum ada kabar, Mbok Jum khawatir," ucap Seikha pada panggilannya dengan Kento.

"Biar Mbok Jum saja yang urus, sudah Paman suruh dia pulang ke sana. Seikha kembali saja ke Jakarta." Kento memaksa.

"Apa yang penting? Kak Rini lebih penting." Seikha menambahkan dengan nada tinggi.

"Bagaimana orang yang tidak ada hubungan denganmu menjadi penting? Sejak kapan Seikha terlalu mendramatisir keadaan? Seperti bukan Seikha saja...." Sambil tertawa Kento bercanda.

"Sejak dulu," ucap Seikha kesal dan langsung mematikan panggilannya pada Kento.

Seikha memutuskan tidak akan kembali ke Jakarta. Lagipula bukan kali pertama ia tidak menuruti perintah pamannya. Setelah membuat laporan ke kantor polisi, Seikha dan teman-temannya bertolak ke kampung Mbok Jum.

Walaupun mereka sudah menghubungi pihak berwenang, namun Seikha pikir mereka tetap harus mencari. Dengan ajakan cuek dan dinginnya, ia pergi bersama Juna, Ali dan Dayu, serta Rian yang mengantar mereka berkeliling. Namun pencarian Rini tiada hasil.

Panas matahari siang itu membakar kulit dan membuat sakit kepala. Mereka menyalakan AC dan mendinginkan diri di mobil. Ali dan Dayu kompak tertidur, sedangkan Juna dan Seikha sibuk melihat maps di handphone masing-masing.

"Mbak, kita mau kemana lagi?" Rian yang bingung bertanya pada Seikha yang sedang berdiskusi dengan Juna.

"Pulang ke rumah saja, Mas," jawab Seikha mempertimbangkan kelelahan teman-temannya.

"Sei, apa Seikha dekat dengan Kak Rini?" Juna bertanya di perjalanan mereka.

"Tidak, hanya saja dulu Kak Rini selalu membantu saat aku baru pindah ke Jakarta. Tapi ga lama, karena ia diterima kuliah di Jogja," ujar Seikha menjelaskan pada Juna sembari meminum air mineral.

Firasat dan feeling Seikha sungguh semakin tidak enak saja. Meskipun Rini tidak dekat dengannya, melihatnya menghilang begitu saja membuatnya resah. Seikha nampak tenang, sikapnya juga biasa saja. Namun ia paling rajin mengecek dan mencari sejak awal Mbok Jum meminta bantuannya.