Dear Diary,
17 Februari 2020
Aku sempat berpikir dunia yang kutinggali ini adalah sebuah bayangan semu. Kelak bumi akan menghilang berlalu digantikan bumi yang baru. Sama seperti manusia, aku sungguh tidak tahu. Tidak bisa membandingkan ketulusan atau pemanfaatan yang berlangsung di duniaku.
Dulu, aku selalu bersyukur ada Ibu, Ayah dan Paman Kento di sisiku. Jika semuanya semu, biarlah, setidaknya aku merasakan keaslian kasih sayang mereka. Namun ternyata, tidak semua hal di dunia seperti yang kuinginkan. Lebih tepatnya, tidak mungkin ada.
Bukan aku atau Ibu yang punya gangguan jiwa itu. Tapi lingkungan ini memang membunuh kami perlahan. Kebaikannya membuatku rapuh. Kepura-puraannya membuatku bimbang. Kerja kerasnya membuatku teralihkan. Kejahatannya membuatku bungkam.
Betapa luar biasa Topengku, Topengmu, Wahai Manusia.
Seikha.
***
"Mas, sarapannya sudah siap sayang." Rini membangunkan Kento yang masih terlelap.
Kento yang baru bangun segera mencuci mukanya. Rini yang telah menunggu di meja makan tersenyum hangat menyambutnya. Hari ini Rini senang sekali, karena akan berduaan saja bersama Kento, kekasihnya.
"Hmm, wanginya lezat sekali. Apa ini?" Kento datang sambil mencium harum masakan.
"Mas kan suka kare buatanku." Jawab Rini sembari menyendok dan memberikannya pada Kento.
Kento tersenyum dan mereka makan bersama. Berbincang dengan tawa, mengukir kenangan indah bersama. Mereka seperti masih di mabuk asmara. Perbedaaan usia 16 tahun tampaknya tidak menjadi penghalang keduanya.
"Mas, kapan kita akan jujur pada Ibu dan Seikha?" Tanya Rini menatap Kento lembut.
"Nanti, saat semuanya sudah siap." Kento menjawab sambil mengunyah makanannya.
"Mas, ini," ucap Rini menyodorkan testpack dengan hasil positive pada Kento.
"Aku hamil." Rini menambahkan sembari menatap Kento dengan lirih.
Kento yang terkejut awalnya diam membeku. Ia bingung menanggapi Rini yang ternyata mengandung anaknya.
"Berapa bulan?" Kento terlihat tidak senang.
"Entahlah, sepertinya sekitar 2 bulan," jawab Rini yang langsung menyadari Kento tidak menginginkan bayi ini.
"Kenapa kamu tidak minum pil KB? Kenapa bisa kebobolan seperti ini?" Tiba-tiba Kento berdiri dari kursi.
"Bukankah tahun ini kita memang berencana menikah? Aku minta maaf karena lupa meminumnya bulan kemarin, itu masa suburku," ujar Rini menjelaskan.
"Hmmm. its okay. Sorry...." Kento menarik nafas panjang lalu mencium kening Rini. "Kamu istirahat dulu ya. Aku mau beli rokok dulu." Kento menimpali.
"Baik, Mas. Jangan lama-lama ya, kita habis ini mau lihat air terjun kan?" Rini berkata sambil masih memakan kare buatannya.
"Oke." Kento pun pergi berjalan kaki sendiri, memikirkan masa depan yang harus ia hadapi.
Kento menjadi gelisah akan kehamilan Rini. Ia tidak menyukai anak-anak. Rini hanya digunakannya sebagai pemuas nafsu saja. Kento mencari cara agar Rini tidak melahirkan anaknya.
"Udah? Kok cepat sekali beli rokoknya?" Tanya Rini yang sedang membersihkan meja makan.
"Tidak jadi, besok saja," ucap Kento sembari menatap Rini dengan hangat.
"Sayang, sejujurnya aku belum siap untuk memiliki anak. Bagaimana kalau kamu aborsi dulu saja. Kita akan memilikinya lagi kelak," ucap Kento sambil memegang tangan Rini sembari memohon.
"Mas, jangan... Kita sudah melakukan dosa, jangan menambahnya lagi. Aku tidak mau, aku ingin anak ini, kelak Ibuku pasti juga mengerti..." Rini yang enggan melakukan perintah Kento menyingkirkan tangan Kento dan berjalan, ia kecewa.
Kento yang melihat Rini menolak, merasa gusar. Kento berpikir cepat, matanya tidak berpaling menatap Rini tajam. Lantas dengan cepat Kento menarik lengan Rini. Lalu membekap wajah Rini dengan tangan kekarnya. Rini tidak bisa bernafas, ia melawan ingin melepaskan cengkraman Kento. Lalu Kento membalik badan Rini, ia mencekiknya hingga terjatuh ke lantai.
Rini meronta, tak berdaya, hingga badannya perlahan lemas, kaku hingga tak bernyawa. Air mata keluar dari mata Rini yang terbuka, Kento yang kehabisan tenaga duduk di sisinya. Ia melihat dengan seksama wajah gadis malang itu.
"Jangan pernah bermimpi, kamu hanya manusia rendahan. Harusnya kamu mengikuti perintahku. Aku tidak suka perlawanan," ucap Kento sembari menepuk pipi Rini yang sudah mati.
Kento menyeret koper besar yang ia miliki di kamar, lalu memaksakan tubuh Rini masuk ke dalamnya. Kento tutup mata Rini dengan jarinya, lalu menutupnya erat, ia memberikan password pada koper itu. Kento menyeretnya, membuat lubang besar di belakang pekarangan rumah dengan cangkul yang sudah tersedia. Badannya berkeringat, Kento terengah-engah.
Kento memasukkan koper besar yang berisi mayat Rini ke dalam lubang yang ia buat dengan tergesa-gesa. Ia tutupi dengan bongkahan tanah. Lalu Kento membuat adonan semen, ia menutup halaman yang masih tanah itu dengan ubin dan keramik.
Kento menyalakan kayu bakar yang berada di halaman belakang, ia membakar semua baju dan barang-barang Rini. Tidak lupa Kento juga memusnahkan bukti testpack, saksi bisu hubungan mereka. Kobaran api diikuti asap tidak menghentikan kejahatannya.
"Aku sangat menyukai panas. Panas matahari, panas api.... Hmmh, bau panas yang harum. Tidak akan aku kotori dengan mayat busukmu." Ucap Kento sembari membungkuk 45 derajat mengarah pada terangnya matahari.
"Aku persembahkan, perempuan penuh dosa untukmu wahai Dewa! Tidak aku bakar, karena nanti harummu bisa tercemar. Aku menaruhnya di tanah, di lubang tikus. Koper itu dibelinya untuk menyimpan rahasia tentangku. Kali ini aku membantunya menyimpan rahasiaku." Kento berucap dengan melebarkan kedua lengan tangannya, kepalanya menengadah ke atas.
Setelah melakukan kejahatan bengisnya, Kento merokok sembari menikmati suasana. Lalu membaca koran dan memakan cemilan yang berada di depannya. Tepat menghadap mayat Rini, yang sudah dikubur dalam tanah. Sesekali Kento menatap ubin yang baru terpasang, menarik nafas panjang, lalu memasang wajah datar.
Seperti sudah biasa melakukan kekejian, Kento tidak bergeming ketakutan. Sungguh rajapati yang sunyi lagi tersembunyi. Ia tenang, dengan wibawanya, di siang hari bolong, yang terang benderang.
Kento menghubungi supir pribadinya agar menjemputnya di rumah yang seperti villa itu. Rumah yang dimiliki Kento sejak lama, bersama Yumi kakaknya. Rumah di balik Air Terjun yang menyimpan banyak cerita.
Perjalanan hidup seorang Kento dan Yumi yang menjadi rahasia. Kento berkeliling mencari sebuah peti kayu tempatnya menaruh barang-barang pribadinya. Ia menaruhnya dibawah ranjang, dikunci menggunakan passcode yang rumit.
Sangat pentingnya peti kayu itu hingga semua orang tidak boleh tahu isi didalamnya. Kento perlahan membukanya, wajahnya berubah, ia masih bisa tersenyum getir.
****
Seikha, Juna, Ali dan Dayu pagi itu tampak menikmati teh poci beserta serabi yang dibelikan oleh Mbak Rara. Seikha tampak lebih tenang, pagi hari ia sudah siap dengan make up tipis dan dress cantik yang menambah keanggunannya.
"Cantik amat Sei, mau kemana?" Canda Ali sambil melahap kue serabi.
Seikha hanya meliriknya sinis, Ali yang sudah biasa melihat Seikha seperti itu, hanya berbalik dan mengalihkan obrolannya dengan topik lain.
"Jun, jadi kan kita hari ini jalan-jalan, wisata kuliner? Pengen cobain itu apa namanya oseng mercon...." Ali yang bawel terus berbicara.
"Ih berisik amat, tenang napa. Lagi menikmati teh sambil melihat pemandangan juga ah," ucap Dayu kesal meruncingkan pandangannya pada Ali.
"Jadi, ayo kalian mau kemana? Biar aku antar." Seikha tampak menjawab diikuti keterkejutan teman-teman yang mendengarnya.
"Sei, serius?" Juna nampak tidak percaya dengan Seikha yang terlihat ramah itu.
"Wah, ayo mumpung Seikha lagi baik, nanti klu kambuh...." belum selesai Ali berbicara Dayu memukul lengannya.
"Oke, oke, nanti abis ini kita pergi wisata kuliner! Rian dan Mbak Rara ajak ga Sei?" Tanya Juna pada Seikha.
"Aku mau nyetir sendiri. Ga usah, biar mereka istirahat saja," ucap Seikha sambil berlalu mengambil kunci mobil dan dompet di kamarnya.
"Jangan, biar aku saja yang nyetir, kaki kamu masih sakit." Juna menawarkan dirinya.
"Wah mantap!" Ali tampak bersemangat hingga menumpahkan teh poci di depannya.
"Tuh kan! Kebiasaan deh, berantakan nih. Beresin Alii! Ucap Dayu yang kesal pada Ali.
"Ya Allah Ya Kariim, maaf teman-teman..." Ali membereskan kekacauan yang dibuatnya sembari cekikikan.
Juna hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Memandang Seikha yang sedang berjalan ke arah mereka. Sudah lengkap dengan tas yang menambah modis tampilannya.
"Ayo," ajak Seikha mendadak.
"Sei, aku belum dandan, tunggu..." Dayu gelagapan karena belum bersiap.
"Aku tunggu di mobil," Seikha berlalu begitu saja diikuti Juna di belakangnya.
"Semangat sekali, sudah tidak sakit memang lukanya?" Celoteh Juna sambil mengikuti Seikha.
Seikha hanya membalas Juna dengan tatapannya.
"Jun, maafkan soal yang kemarin," Seikha menatap Juna tajam.
"Tidak apa-apa Sei, aku kok yang salah." Ucapan Juna yang selalu membuat Seikha semakin merasa bersalah.
Mereka berempat pun berangkat berkeliling. Juna yang menyetir, Seikha di sampingnya. Dayu dan Ali di belakang tampak sibuk memotret dari kaca jendela. Mereka mengitari Jalan Margo Utomo, lalu melewati Stasiun Tugu. Di area pedestrian Jalan Malioboro, terlihat batu marmer yang mewah dengan tanaman hijau di sepanjang jalan.
"Ini rame kalau malam,"ucap Seikha dengan gaya khasnya yang terkesan dingin.
"Nanti kita pulangnya lewat sini lagi," respon Juna sambil sesekali melirik pada Seikha yang duduk di sebelah kemudi.
Tempat duduk di Jalan Malioboro ramai dipenuhi oleh para wisatawan pada sore hingga malam hari. Terlebih lampu jalan yang memiliki desain unik khas Jawa dengan lampu kuning menimbulkan kesan romantisme yang berkesan.
"Harusnya berdua saja nih ke sini," gumam Juna dalam hati diikuti tawa kecilnya.
"Kenapa Jun? Kesambet? Ketawa sendiri," Ali selalu mengganggu khayalan Juna.
Seikha merasakan getaran pada kantong celananya, ia melihatnya, Kento menelepon. Seikha yang sedang dalam good mood, sontak langsung mengangkatnya.
"Kenapa Mbok Jum?" Seikha tampak menerima telepon.
"Non, Rini sudah berangkat ke Jogja dua hari yang lalu. Tapi katanya mau ke rumah nenek dulu di Kebumen. HPnya Mbok hubungi ndak bisa. Ini proposal kerjanya tertinggal. Bisa nanti kalau bertemu disampaikan? Mbok takut lupa Non," Mbok Jum menjelaskan pada Seikha.
"Oh gitu, oke Mbok. Kapan Kak Rini ke rumah Jogja?" Tanya Seika sembari melihat pemandangan.
"Mungkin besok. Makasih ya Non Seikha yang cantik...." Dengan suara medoknya Mbok Jum tertawa sembari mematikan telepon.
Tidak lama handphone Seikha kembali bergetar, kali ini Kento meneleponnya. "Sei, maksimal besok pulang ke Jakarta ya. Ada berkas yang harus diisi."
"Kenapa? Nanti-nanti saja," jawab Seikha yang terlihat kesal karena permintaan dadakan Kento.
"Harus. Ini penting. Kalau sudah di Jakarta akan Paman sampaikan," ucap Kento terkesan serius. "
"Memang sedang pada dimana?" Timpal Kento yang penasaran.
"Malioboro. Lusa saja ke Jakarta. Mau ketemu Kak Rini dulu besok." Seikha menjawab dengan dingin.
"Rini? Oke." Kento segera mematikan panggilannya.
"Tunggu saja sampai mati, karena Rini tidak akan pernah kembali. Bodoh." Gumam Kento dalam hati.
Kento yang berada di balik telepon genggamnya sedikit berpikir, namun tidak khawatir. Tentu Rini belum menjadi masalah baginya, hanya saja kehadiran Seikha dengan kecurigaannya seringkali mengganggu pikirannya.
Namun apa boleh buat, Kento harus sabar sampai saat itu tiba. Hingga Seikha berusia 21 tahun. Dimana sudah ada peristiwa yang Kento persiapkan sejak lama. Hadiah khusus bagi keponakan kesayangannya.