Kento lupa diri, ia meminum wiski dari balik lemari. Mendudukan diri di peti kayu, saksi mati pengunci misteri. Kento mulai berdelusi akan peristiwa lampau, sumber warta dari orangtua yang ia kasihi. Keluarga Kento yang saat itu tengah kesulitan, mendapatkan bantuan dan kenyamanan dari penduduk asli kota Yogyakarta.
Flashback
Yogyakarta, 1945-1950
Kakek Kento dan Yumi yang bernama Hitoshi Nakamura, merupakan salah satu arsitek senapan yang dihormati di masanya. Pada 20 Juni 1945, Hitoshi mendapatkan undangan dari tentara Jepang guna mengecek persenjataan dan model peledak Nippon di Indonesia. Hitoshi turut serta mengajak istri dan putranya yang berusia lima tahun.
Ia pun berencana mengunjungi sahabat kecilnya yang sedang melakukan penelitian di Yogyakarta. Namun peristiwa jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, membuat krisis masa depan Hitoshi. Ia dilanda kebimbangan dan memutuskan tinggal sementara di tanah air bersama keluarga.
Hitoshi bahkan sempat menyediakan tempat rapat untuk para pasukan Indonesia di kediamannya. Pada saat itu, Kota Yogyakarta menjadi sasaran penyerangan utama ketika Agresi Militer Belanda II. Sebelumnya Belanda telah menguasai Jakarta dan Yogyakarta menjadi ibu kota sementara.
Diketahui senjata-senjata Jepang yang sebagian besar berupa senapan Arisaka berbagai tipe, senapan mesin Nambu tipe 97, serta berbagai model peledak dan mesiu telah turut berjasa menghadang para agresor Eropa pasca berakhirnya Perang Dunia II. Tonggak sejarah dimana Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, yang membuat Hitoshi diambang kebimbangan.
Puncak penyerangan terjadi pada 1 Maret 1949 (Serangan Oemoem 1 Maret), ketika pasukan Indonesia menyerang pos-pos militer Belanda pada pagi hari. Fenomena yang menarik yaitu dipakainya persenjataan Jepang oleh pasukan Indonesia, untuk menghadapi tentara sekutu dan Belanda. Ketika itu Daidancho Soedirman, berhasil mendapatkan senjata dengan meyakinkan pasukan Jepang bahwa keselamatan mereka akan dilindungi.
Kegundahan Hitoshi akan keselamatannya pun sempat diutarakan pada sahabatnya. Namun sekutu yang sudah mengetahui perihal Hitoshi, merasa tidak senang, melabelinya dengan pengkhianat. Hitoshi luput dari pengamanan pasukan Indonesia. Ia diam-diam diculik, diadili, serta diinterogasi oleh sekelompok orang yang tidak dikenal saat berjalan menuju kediamannya.
Hitoshi pantang gentar, ia bersikukuh enggan memberikan informasi model peledak mesiu Nippon kala itu. Alhasil pada 13 November 1949, Hitoshi Nakamura beserta sang istri Fumiko, ditemukan tidak bernyawa. Untung saja, putra mereka yang bernama Ken Nakamura berhasil diselamatkan oleh sahabat Hitoshi, Kenichi Sato. Seorang insinyur mesin, yang juga mengajar sebagai dosen.
*****
Ken Nakamura sudah dianggap seperti anak kandungnya sendiri oleh Sato. Ia menikahkan Ken dengan putri sematawayangnya, Sayuri. Ken yang sedari kecil diasuh oleh Sato, diberikan pemahaman keyakinan yang sama. Terlebih Ken selalu diingatkan bahwa Sato menyelamatkannya, sehingga Ken selalu merasa berhutang budi.
Ken dan Sayuri memiliki putri-putra yang mereka beri nama Ayumi dan Kenta. Marga Jepang yang menunjukkan asal usul, tidak lagi di pakai oleh Ken dan Sayuri. Terlebih, mereka hidup di Yogyakarta yang masih erat dengan adat istiadat. Tentu saja alasan utama adalah Ken ingin melupakan tragedi pahit yang malabeli keluarganya.
Teman-teman Kenta sedari kecil memanggilnya Kento, dengan logat medok khas Jawa, sedangkan Ayumi lebih dikenal dengan sebutan Yumi. Mereka menyembunyikan asal usul serta keyakinan mereka yang berbeda. Hal itu karena Kenichi Sato merupakan Ketua dari Sekte Matahari, diikuti oleh Ken dan Sayuri sebagai jajarannya.
Pada keyakinannya, para pengikut rela memberikan raga sebagai bentuk rasa syukur setiap gerhana matahari datang. Mereka percaya jika memberikan persembahan saat fenomena langka itu, Dewa akan membuat bumi lebih makmur dan terhindar dari bencana alam. Bentuk keikhlasan, ibadah paling tertinggi yang mereka yakini dan amalkan untuk umat manusia lainnya.
Sato pun rela menumbalkan istrinya sebagai persembahan pada Dewa, sampai hanya tersisa dirinya dan putrinya saja. Sayuri bertahan karena harus meneruskan tradisi garis keturunan. Dalam hati kecilnya, Sayuri tidak sepemahaman dengan Sato, namun ia terlalu takut pada ayahnya yang keras.
Sato terlebih dulu kecelakaan dan meninggal dunia, sebelum ia memulai ritual persembahan Dewa. Ken diliputi kesedihan, berjanji akan melanjutkan apa yang sudah Sato ajarkan demi kepentingan umat manusia. Sementara Sayuri entah mengapa merasa lega. Ia berharap tidak perlu meneruskan ritual keluarga, berharap hidup normal seperti manusia lainnya.
Namun semua hanya angan-angan Sayuri saja, sebab Ken memiliki loyalitas tinggi pada Sato. Mungkin karena semasa hidup, Sato memperlakukan Ken dengan penuh kasih sayang. Jiwa keibuan dan rasa cinta pada anak-anaknya membuat Sayuri akhirnya mengkhianati Ken.
Sayuri hendak membawa Kento dan Ayumi ke Jepang untuk menyelamatkan mereka. Ia berencana meminta bantuan pada keluarga yang sudah lama tidak ditemuinya. Sayuri masih memiliki nenek dan kakek serta adik Sato di Jepang. Keluarga Sato yang berbeda keyakinan dan menentang pemahaman Sato.
Namun sayang di perjalanan, Ken berhasil menemukan dan menyusul istri beserta anak-anaknya. Sayuri pun dilarang untuk menemui anak-anaknya lagi. Ken mengusirnya dengan keji, menyuruhnya meninggalkan Indonesia. Dengan hati yang hancur, Sayuri dipaksa meninggalkan Yumi dan Kento yang beranjak remaja. Ken membuat Sayuri di deportasi dengan melaporkannya ke polisi.
Sebelum upacara sesembahan, Ken mengumpulkan bunga dandelion yang diyakini sebagai simbol adaptasi di kehidupan lain oleh kalangan pengikutnya. Tidak lupa Ken juga menulis surat perpisahan dan amanat pada putra-putrinya untuk meneruskan ritual keluarga. Didampingi ratusan pengikutnya, Ken memulai upacara sesembahan, disaksikan kedua anaknya.
Gerhana matahari yang ditunggu tiba, saatnya Ken untuk menepati janji pada tetua, mendiang Kenichi Sato. Ia sengaja menjatuhkan diri di tebing laut yang tinggi dan curam, jenazahnya langsung menghilang terkena ombak besar kala itu. Para pengikut melakukan Seikerei sambil meneriakkan nama Ken sebagai bentuk penghormatan terakhir.
Yumi maupun Kento yang berusia remaja, sudah terbiasa mandiri tanpa kehadiran orangtua. Kento tangguh dan memiliki prinsip idealis, sedangkan Yumi mudah berubah haluan.
*****
Yogyakarta, Tahun 1995-2005
Saat masih berpacaran, Kusno yang tergila-gila dengan Yumi menyanggupi semua permintaannya. Termasuk menjalankan segala ritual kepercayaan keluarga. Yumi jatuh cinta, menikah hingga memiliki Seikha. Sedangkan Kento yang logis dan egois, enggan menikah atau membina hubungan serius dengan wanita.
Yumi perlahan berubah, ia meragu. Hatinya dilema, ingin membatalkan perjanjiannya dengan Dewa. Sampai suatu ketika, sebuah kejadian demi kejadian membuatnya terpukul dan hilang arah.
Malam itu, Yumi memergoki Kento dan Kusno sedang berciuman di pesta syukuran kantor baru perusahaan. Yumi hampir mengumpat, ia shock berat, berlari menampar keduanya, sambil menangis berlalu pergi. Hal yang tabu baginya melihat hubungan sesama jenis.
"Kalian sudah gila?!!! Apa ini??!!" Yumi terkejut bukan kepalang.
"Ini tidak seperti yang dipikirkan, kita hanya terbawa suasana, sayang.." Kusno berusaha mengejar Yumi yang berlari.
Yumi sungguh merasa terkhianati dengan suami dan adik yang dicintainya sepenuh hati. Setiap kali Yumi ingin pergi, Kusno selalu menahannya. Menangis hingga berlutut memohon pada Yumi. Hampir setiap hari mereka bertengkar, namun Kusno selalu mengejarnya. Mereka berdebat seperti yang diceritakan Pak Jono pada Seikha.
Suatu waktu di malam yang berbeda, Yumi tertidur di ranjang Seikha kecil, dengan buku cerita berserakan. Yumi terbangun karena haus, ia menuju dapur untuk mengambil minuman di kulkas.
Terdengar suara samar yang Yumi dengar dari balik pintu kamar tidur Kusno. Yumi membukanya perlahan, ia melihat Kusno sedang berhubungan badan dengan Sari. Yang lebih mengejutkan, Kento duduk menyaksikan mereka di sofa kesayangan Yumi. Spontan saja Yumi langsung berteriak histeris.
Kento yang terkejut berusaha menjelaskan pada Yumi, disusul Kusno yang berusaha menenangkannya. Sementara Sari pergi terbirit-birit hanya dengan mengenakan handuk di badannya.
"Dek, dengarkan dulu. Tunggu," suara serak Kusno memanggil Yumi.
"Gila! Berani-beraninya kalian melakukan itu di rumah!" Yumi hilang kesabaran, ia emosi sampai terengah-engah.
"Kak, sabar dulu. Kento akan jelaskan, Mas Kusno tidak salah, ini..." Sebelum Kento menjelaskan lebih lebar, tangan Yumi menampar pipinya keras.
Kemudian Yumi menampar Kusno, sembari memukul-mukul dada pria yang dicintainya itu. "Jahanam, Jahanam!"
Sembari gemetaran, menangis sesenggukan, ia menahan kesakitan yang dalam. Seperti dihantam benda keras, kepala Yumi sakit. Matanya berkunang-kunang, sambil masih berteriak tidak terima, Yumi pingsan tidak berdaya. Kento dan Kusno membopongnya dan menaruhnya di kamar.
Kento dan Kusno berpelukan, Kusno membelai Kento dengan lembut. "Kamu pulang saja, biar aku yang urus Yumi." Suara serak Kusno masih terngiang di telinga Yumi dimana ia masih setengah sadar.
Kusno dihantui perasaan bersalah, namun percuma, Yumi sudah depresi dan hilang arah. Raga dan jiwanya sudah tersakiti. Permasalahan ini mengganggu pikiran dan menyerang psikis Yumi. Perlahan Yumi seperti kehilangan jati diri, sehingga Kusno terpaksa membawanya ke psikiater.
Kento mengaku salah dan tidak pernah menampakkan dirinya lagi. Namun kejadian itu masih terpatri pada ingatan Yumi. Ketika diketahui Yumi pertama kali, mereka mengaku khilaf, berjanji tidak akan mengulangi. Namun peristiwa Sari membuka mata Yumi, mereka sudah tidak terselamatkan lagi. Meskipun begitu, entah bagaimana Kusno yang flamboyan selalu berhasil meyakinkan Yumi, hingga Yumi selalu luluh kembali.
Pikiran Yumi seperti diambang dilema, ia berusaha mengalihkan ingatannya. Seringkali mengunci dirinya sendiri, bergulat dengan pikiran buruknya sehari-hari. Berimajinasi dengan apa yang ia ingin yakini. Terkadang Yumi berdelusi seperti pengantin baru, kadang ia mengganggap dirinya mahasiswa. Kerja otaknya meleburkan kejadian dan memory pahit untuknya.
Obat penenang yang membuatnya waras selain obat medis, hanya putri kecilnya. Setelah melihat Seikha, Yumi ditampar realita kembali. Yumi hanya bisa menangis serta mengasingkan diri. Setahun sebelum kematian Yumi, Kusno terlihat lebih tempramen.
Kusno sering berteriak, kadang membentak pada Yumi yang linglung. Bosan melihat tingkah Yumi yang semakin aneh dan menjauh. Kusno hilang kesabaran, ia membuat pasung lengkap dengan rantainya. Pasung longgar agar tidak menyakiti tangan atau kaki Yumi, hanya untuk memastikan Yumi tidak kabur atau menimbulkan masalah di luar rumah.
Yumi mengalami mood swing yang cukup parah. Ketika Yumi sedang mengingat peristiwa buruk, ia berteriak, menangis, hilang kendali. Namun jika ia sedang tenang, Yumi tampak seperti orang normal, ia berjalan-jalan dengan Kusno dan Seikha seperti tidak ada yang terjadi.